11/10/2019

Legenda Putri Bulan. Kesetiaan Yang di Abadikan Menjadi Sungai Sake

Apero Fublic.- Kisah ini menceritakan tentang kesetiaan seorang istri pada sang suaminya. Walau penderitaan dan kesakitan dia hadapi. Namun dia tetap setia dan tidak pernah mau menghianati sang suami. Walau sang suami tidak ada disisinya. Tidak tahu juga apa masih hidup atau sudah mati. Dari kisah itulah kemudian menjadi awal terbentuknya sebuah sungai yang cukup besar di Kecamatan Sungai Keruh, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Penduduk menamakan dengan Sungai Sake.

*****

 

Pada zaman dahulu kalah, Pedatuan Bukit Pendape adalah sebuah negeri yang makmur. Di pimpin oleh seorang yang bergelar Depati Puyang Maha Datu atau pemimpin dari semua puyang dan datu-datu, namanya Bagunara. Tempat pemerintahan di Kota Pedatuan, bernama Salikutanjung.

Talang Bulan salah satu wilayah Pedatuan Bukit Pendape. Rakyatnya banyak, rumah berbentuk panggung. Hidup dari berternak dan juga berladang berpindah. Dinamakan Talang Bulan karena di talang ini banyak sekali wanita cantik. Masa lalu kecantikan wanita diibaratkan bulan purnama. Itulah sebabnya dinamakan dengan Talang Bulan. Talang Bulan dipimpin oleh seorang datu, bernama Bagaru. Bagaru kemudian diberi bergelar Datu Puyang Bulanan.

Bagaru atau Puyang Bulanan memiliki tabiat serakah, sombong, dan keras kepala. Dia banyak harta berupa keping emas, perak, batu muliah, dan hewan ternak. Puyang Bulanan badannya tinggi besar, kulit sawo matang, rambut ikal bergelombang. Akalnya cerdik dan licik sekali. Puyang Bulanan sudah beristri dan memiliki lebih dari sepuluh orang anak.

Datu Puyang Bulanan menyukai seorang gadis miskin yang sangat cantik, namanya Masana. Dia tinggal di tepi Talang Bulan di rumah yang sederhana, berdinding bambu dan beratap daun sedang. Ibunya sudah tua dan sakit-sakitan. Ayahnya sudah lama meninggal dunia. Sekarang dia tinggal bersama ibunya saja. Masana yang sangat cantik menjadi kembang Talang. Banyak yang jatuh cinta padanya. Karena dia sangat cantik dan paling cantik. Maka Masana dijuluki Putri Bulan.

*****

 

Mentang-mentang seorang Datu dan kaya dia dengan remeh memperlakukan orang-orang. Suatu hari datanglah Datu Puyang Bulanan ke rumah Putri Bulan dan menyatakan niatnya melamar Putri Bulan pada ibunya.

Dia mengenakan baju kurung, celana panjang, kain melilit di pinggang, pibang terselip, dan memakai ikat kepala tanjak songket. Banyak hadiah dan hantaran dia bawak. Puyang Bulanan bejanji akan membahagiakan Putri Bulan, akan membuatkan rumah yang bagus dan baru. Akan menuruti semua permintaan Putri Bulan. Asalkan Putri Bulan bersedia menjadi istrinya.

“Maaf Datu, Aku belum mengizinkan Masana menikah sebab dia masih terlalu muda.” Jawab Ibu Putri Bulan. Kesombongan dan meremehkan keluarga miskin membuat dia tertampar. Padahal dia sangat yakin dengan harta banyak dia akan diterima.

Hanya karena keluarga Putri Bulan miskin Datu Puyang Bulanan mengira akan dapat membeli cinta Putri Bulan.  Mereka adalah wanita yang mulia dan terhormat. Memiliki harga diri yang tinggi. Tidak ternilai oleh materi. Apalagi sampai merebut suami orang. Itu tidak mungkin bagi Putri Bulan.

*****

 

Sementara itu seorang bujang yang baik hatinya. Berbudi luhur dan rendah hati. Yang rupanya Putri Bulan juga menyukainya. Nama pemuda itu, Larasipan. Dipanggillah Larasipan oleh ibu Putri Bulan, lalu menceritakan tentang kejadian beberapa hari yang lalu. Kalau Datu Puyang Bulanan melamar Putri Bulan. Karena takut akan Puyang Bulanak yang buruk tabiatnya. Maka menikahlah Larasipan dan Putri Bulan segerah. Pernikahan sederhana, namun membuat bahagia keduanya termasuk keluarga Larasipan.

Puyang Bulanak merasa sakit hati sekali. Namun rasa sukanya telah ditunggangi setan. Dia tidak berpuas hati dirinya di tolak. Padahal dia orang terkaya dan seorang Datu di Talang Bulan. Yang menambah jengkel Putri Bulan menikah dengan pemuda miskin sederhana juga. Apabila dibandingkan dengan dirinya, jauh lebih kaya. Maka dia merasa gengsi dan tidak berpuas hati kalau belum memiliki Putri Bulan.

“Untuk apa jadi Datu dan kaya, kalau tidak mampu mendapatkan gadis muda dan miskin.” Kata seorang warga.

“Kalah sama bujang miskin.” Ujar warga lainnya. Kata-kata warga sampai ke telinga Datu Puyang Bulanan. Betapa mendidih dan marah dirinya. Dia menyimpan dendam kesumat pada Putri Bulan.

*****

 

Sekarang, bukan lagi rasa suka tapi bentuk kesombongan diri yang menguasai Datu itu. Dicarilah cara untuk menyingkirkan Larasipan suami Putri Bulan. Sebulan kemudian ibu Putri Bulan meninggal dunia karena sakitnya bertambah parah. Lalu kuburkan di samping makam ayahnya. Ibu Putri Bulan wanita yang setia. Walau ayah Putri Bulan sudah lama meninggal. Dia masih muda dan banyak yang melamar. Tapi ibu Putri Bulan tidak mau menikah lagi. Sifat kesetiaan itu juga dimiliki oleh Putri Bulan. Betapa sedih Putri Bulan. Hanya sang suami tempat dia bergantung sekarang.

Suatu hari Larasipan akan pergi ke pasar di Pasar Pedatuan. Dia seorang diri, hendak membeli garam dan bibit padi. Sebab sebentar lagi musim berladang tiba. Sedangkan mereka belum memiliki benih padi. Maklumlah mereka baru menikah jadi harus dari awal semuanya.

“Dinda kanda pergi.” Kata Larasipan.

“Iya Kanda, hati-hati di jalan. Kalau sudah belanja segerah pulang.” Kata Putri Bulan, dia begitu mencintai suaminya yang sederhana dan baik. Pagi sekali Larasipan berangkat dengan menggendong bunang. Matahari belum muncul di langit timur, hanya warna merah yang tampak.

*****

 

Larasipan pulang, dia menggendong bibit padi. Keringatnya bercucuran dan kelelahan. Dia terkejut saat muncul lima belas orang bertopeng dari balik semak-semak di sisi jalan.

“Larasipan, kami akan membunuhmu dengan upah yang besar sekali.” Kata oang bertopeng menghadang di jalan pulang. Larasipan meletakkan keranjang bunangnya, dan mencabut pibang kidau dan pibang kanan miliknya. Tidak ada pilihan lain, selain melawan.

“Traanggg. Traanggg.” Senjata beradu, Larasipan melawan mati-matian. Dia berhasil membunuh tiga belas orang pengeroyoknya. Tapi dia manusia biasa dan dia tewas tertusuk senjata lawan akhirnya.

“Dinda Putri Bulan, maafkan kanda. Kanda pulang terlambat sepertinya.” Kata Larasipan dan dia meninggal. Dua orang bertopeng tampak tertatih-tatih menyeret mayat Larasipan. Keduanya juga terluka pada sayatan di bahu dan betis mereka. Keduanya membiarkan mayat-mayat teman mereka. Tapi menyembunyikan mayat Larasipan.

“Ahkkkk.”

“Uggkkk.” Kedua orang bertopeng tiba-tiba roboh.

“Senjata Larasipan ternyata beracun bisa ular.” Ujar salah satunya, lalu mereka muntah darah dan tewas juga.

*****

 

Hari menjelang malam, tapi Larasipan belum pulang. Masakan sudah dingin dan perut Putri Bulan juga sudah lapar. Tapi dia belum makan karena menunggu suaminya untuk makan malam bersama. Putri Bulan memanaskan kembali gulai pindang jamur kuping kesukaan Larasipan. Namun sampai besok pagi belum juga pulang. Hari demi hari Putri Bulan menunggu dan menunggu.

Saudara dan keluarga mencari Larasipan ke Pedatuan. Tapi mereka tidak menemukannya. Bulan berlalu, tahun berganti, namun Larasipan masih belum pulang. Kini sudah empat tahun berlalu. Tapi Putri Bulan masih menunggu suaminya pulang. Tabah dan sabar dirinya sebagai seorang istri yang setiah dan berbudi luhur. Setiap malam Putri Bulan tidur di depan pintu, doa terus dipanjatkan pada yang maha kuasa.

*****

 

Waktu yang direncanakan Datu Puyang Bulanan tiba. Dia ingin melamar Putri Bulan kembali. Beralasan suami Putri Bulan sudah lama tidak pulang. Jadi sudah dianggap janda atau gugur pernikahan mereka. Datu Puyang Bulanan kembali mengganggu Putri Bulan. Kembali merayu dan mendekati, memberi hadia baju dan kain tenun songket yang indah. Memberikan perhiasan dan bermacam-macam makanan. Dia berkata tidak ada gunanya lagi Putri Bulan menunggu suaminya. Tidak ada gunanya lagi setia dengan laki-laki tidak bertanggung jawab seperti Larasipan.

“Suamimu kabarnya sudah menikahi wanita lain di daerah jauh.” Ujar seorang wanita menghasut Putri Bulan. Tapi dia tidak percaya dengan kata-kata orang tidak berdasar.

Bermacam-macam isu tentang Larasipan tersebar. Entah siapa yang menyebar isu-isu tersebut. Ada yang bilang Larasipan telah pergi ke negeri jauh dan menikah. Ada yang bilang kalau Larasipan diambil suban atau sejenis mahluk halus. Ada juga yang bilang mungkin di terkam harimau. Tapi Putri Bulan tetap setia dan setia. Dia bilang kalau dia seorang istri yang menunggu suaminya pulang.

“Putri Bulan, terimahlah lamaran kakanda. Kakanda berjanji akan menceraikan istri kakanda nantinya kalau kita sudah menikah.” Kata Datu Puyang Bulanan suatu hari.

“Maafkan saya, Paman Datu. Bukan menolak tapi Aku ini istri seseorang. Maka tidak patut kalau menikah lagi. Apalagi menikah dengan suami orang.” Jawab Putri Bulan. Datu Puyang Bulanan masih sabar dan terus berusaha dengan lembut. Sampai batas kesabaran itu habis. Maka mulailah berkata-kata kasar pada Putri Bulan.

“Dasar wanita keras kepala. Suamimu sudah mati dimakan cacing tanah. Masih saja menunggu pulang.” Kata Datu Puyang Bulanan kesal dan marah.

“Tidak, kakanda Larasipan masih hidup. Setidaknya dia hidup di hatiku. Tidak akan ada lagi yang lainnya. Walau pun seandainya Aku tidak mencintainya lagi. Tapi Aku tetap perempuan terhormat sebagai istri. Sebab sebuah kehormatan bagi seorang istri ketika dia tetap setia pada suaminya yang jauh darinya. Kapanpun dan dimanapun." Jawab Putri Bulan marah dan menangis.

“Baiklah kalau kau begitu keras kepala. Dasar wanita tidak sadar diri. Kau pikir siapa dirimu. Kalau begitu tunggulah akibat dari penolakanmu ini. Aku mau memuliakanmu, tapi kau sombong sekali. Tanggunglah akibatnya atas kekerasan kepalamu ini. Ingat itu, kau akan menyesal nanti.” Kata Puyang Bulanak dengan berapi-api. Kemudian dia pergi entah kemana. Tinggal Putri Bulan yang malang meratapi nasibnya yang penuh cobaan. Saudara dan keluarga sudah pergi semua. Dia kini hidup sebatangkara di Talang Bulan.

Putri Bulan menangis pilu seorang diri. Dia tetap berpegang pada kesetiaan untuk suaminya. Dia bersumpah lebih baik dia mati dari pada berkhianat pada suaminya. Walau dia akan menangis sampai air matanya berair kuning lalu mengalir seperti sungai. Dia tidak akan menyerahkan dirinya pada lelaki manapun. Dia tetap menjaga kehormatan dirinya sebagai seorang istri.

*****

 

Sementara itu, Datu Puyang Bulanan terus marah-marah dan sangat marah. Dia mencaci maki dan menghina-hinakan Putri Bulan. Datu Puyang Bulanan mengancam akan membuat Putri Bulan menyesal dengan keputusannya itu. Dalam gusarnya dia minum tuak sampai mabuk. Membanting-banting barang, cangkir, piring, kendi, guci dan apa saja yang ada di dekatnya.

Putri Bulan yang pilu hatinya. Untuk menenangkan pikirannya Putri Bulan berdundai untuk mengobati kesedihannya.

"Ayah dan ibuku, sudah pergi. Mertua juga sudah lama pergi. Suami yang aku tunggu belumlah pulang. Saudara-saudara juga tiada lagi. Mengapa aku begitu malang. Wahai pencipta langit dan bumi. Kapan aku juga menyusul pergi. Hidup miskin tiada mengapa. Asalkan tidak miskin saudara."

Itulah suara badundai Putri Bulan. Badundai adalah kesenian tradisional masyarakat Melayu Sungai Keruh.

*****

 

Datu Puyang Bulanan yang tidak menerimah penolakan cintanya di tolak terus oleh Putri Bulan menjadi dendam. Dia merasakan sangat sakit hatinya. Sudah berbagai cara dia lakukan untuk mendapatkan cinta Putri Bulan. Tapi itu sangat mustahil pikirnya. Kemudian dia menyusun rencana jahat. Akan memfitnah Putri Bulan dengan kejam. Dia kemudian mengumpulkan puluhan warga yang berpihak padanya. Lalu dia mengarang cerita bohong. Menuduh Putri Bulan telah berzinah dan bercinta gelap. Itulah mengapa Putri Bulan selalu menolak cinta dan lamarannya. Warga percaya dan termakan hasutan Datu Puyang Bulanan. Selain hasutan juga ada hadiah-hadiah uang untuk mereka.

Datu Puyang Bulanan membayar seorang laki-laki. Tugas laki-laki itu adalah mendatangi rumah Putri Bulan. Lalu anak-anak buah Datu Puyang Bulanan mengajak warga mengintip. Suatu hari rencana fitnah dimulai. Diatur, seorang laki-laki bertopeng bayaran Datu Puyang Bulanan mendatangi rumah Putri Bulan. Laki-laki itu terlihat mengetuk pintu rumah Putri Bulan. Kemudian warga yang bersembunyi mendatangi rumah. Melihat banyak warga, laki-laki itu berlari dengan cepat.

“Putri Bulan, siapa yang datang tadi. Apakah dia laki-laki yang menjalin hubungan gelap denganmu.” Tanya seorang warga. Putri bulan begitu kaget dan tidak mengerti. Dia bilang tidak tahu menahu. Keluarga suaminya juga ada yang ikut dan termakan hasutan.

Warga tidak percaya dan terus mendesak agar mengakui siapa laki-laki itu. Karena belum ada bukit kuat. Untuk sementara warga menahan amarahnya. Datu Puyang Bulanan terus menerus memanasi-manasi warga. Keluarga besar Larasipan juga sangat kecewa pada Putri Bulan.

Suatu hari, warga berkumpul dan beramai-ramai mengintai rumah Putri Bulan. Kembali seorang lelaki bertopeng bayaran Datu Puyang Bulanan datang. Mengetuk pintu, kemudian Putri Bulan membuka pintu.

Putri Bulan terkejut dan ketakutan. Kemudian laki-laki itu menerobos masuk dan memeluknya. Warga melihat semua itu, salah menduga. Padahal pelukan itu adalah paksaan. Warga tidak sabar lagi. Lalu menyerbu kerumah Putri Bulan. Kembali si laki-laki bertopeng berlari menghilang. Maka Putri Bulanlah yang menjadi sasaran. Dia dipukul, disiksa dan rambutnya dipotong. Putri Bulan diarak di tengah talang. Warga yang terhasut begitu marah. Membuat Putri Bulan sepanjang jalan menjadi bulan-bulanan pukulan, lemparan batu, dan caci maki.

Darah membasahi sekujur tubuh Putri Bulan. Putri Bulan diikat di sebuah tingan kayu yang terdapat di lapangan berumput di pinggir Talang Bulan. Tanah lapangan itu memang tempat warga berkumpul dan musyawarah dan tempat menghukum warga yang bersalah. Hanya menangis pilu dan sedih yang dapat Putri Bulan lakukan. Kemudian datang Puyang Bulanak dan kembali membujuk agar mau menjadi istrinya.

“Kalau kau mau menuruti Aku. Tidak akan terjadi hal seperti ini." Ujar Puyang Bulanak.

“Ternyata ini ulah busukmu, wahai orang jahat. Aku tidak akan mau menyerahkan diriku padamu. Aku punya suami walau Aku tidak tahu di mana dia berada sekarang. Sudah mati atau masih hidup. Aku wanita bersuami dan akan tetap setia pada suamiku sampai kapan pun. Tidak perduli seberapa menderitanya Aku. Tidak perduli betapa buruknya jalan nasibku. Jangankan orang jahat sepertimu. Orang baikpun Aku akan tetap setia pada suamiku.” Jawab Putri Bulan dengan tegas.

Datu Puyang Bulanan sebagai Datu Talang Bulan memutuskan menghukum mati Putri Bulan. Alasannya dia tidak mau menyebutkan laki-laki yang menjalin hubungan gelap dengannya. Putri Bulan telah mengotori Talang dan harus dihukum. Agar tidak ada lagi yang berbuat zinah. Serta menjadi pelajaran bagi yang lainnya. Fitnah Datu Puyang Bulanan berhasil dengan baik. Maka Putri Bulan di hukum gantung oleh warga Talang Bulan. Tidak ada yang membelah sebab semua benci pada Putri Bulan yang dituduh berzinah. Sebelum dia meninggal terbayang wajah suaminya, ayah dan ibunya. Kemudian dia pasrah dan menerima ketentuan dari sang pencipta. Sebelum dia dihukum gantung, dia berkata.

“Aku tidak perlu menjelaskan tentang Aku. Sebab kebenaran dan kesalahan selalu terlihat dikemudian setelah semuanya usai. Seandainya Aku pernah bersalah, maka maafkan Aku. Selamat jalan semuanya. Aku habiskan kemarahan dan Aku tidak membenci kalian semua. Sebab kalian tidak tahu apa-apa. Hanya satu manusia yang bertanggung jawab. Maka satu  juga yang dihukum. Tapi kalian juga tetap terkena imbasnya.” Kata Putri Bulan untuk terakhir kalinya.

Dia pun meninggal di tiang gantungan. Tubuh Putri Bulan dikubur di sebuah lembah. Setelah itu, warga pulang kerumah masing-masing seperti biasa. Beberapa saat kemudian cuaca buruk sekali. Angin dan mendung datang, yang dilanjutkan hujan dan petir. Bagi warga itu adalah hal biasa. Jadi tidak dipermasalahkan. Memang musim hujan. Warga juga tidak merasa bersalah atas Putri Bulan. Yang mereka tahu Putri Bulan telah berbuat dosa yang sangat besar, berzina. Warga benar-benar tertipu sekaligus terhasut oleh Datu Puyang Bulanan.

Namun hujan mulai dirasakan aneh ketika tidak kunjung berhenti. Sehari, dua hari, seminggu, sebulan. Ada seorang kerabat Larasipan bermimpi bertemu dengan Larasipan dan Putri Bulan di sebuah taman yang indah. Putri Bulan meminta mereka segera pergi ke Bukit Pendape. Sebuah tempat tertinggi di kawasan Pedatuan Bukit Pendape. Setelah diceritakan hal itu, satu demi satu warga pergi mengungsi ke Bukit Pendape. 

Penduduk mengungsi ke atas Bukit Pendape. Tidak lama kemudian tenggelamlah Talang Bulan. Datu Puyang Bulanan yang kasar, sombong, kejam, angkuh tidak mau pindah. Hanya anak istrinya yang pergi. Puyang Bulanak tidak mau pindah karena tidak mau meninggalkan harta bendanya yang banyak. Dia sibuk memindahkan ternak, harta benda, ke bukit-bukit sekitar Talang Bulan. Tentu saja para pengawal dan beberapa penjilat dan orang bayaran memfitnah Putri Bulan tetap tinggal. Mereka yakin kalau hujan akan berhenti. Mereka juga membuat perahu untuk berjaga-jaga.

“Kita buat perahu besar, untuk mengangkut semua harta kita, sapi dan semua ternak.” Kata Datu Puyang Bulanan. Mereka tidak mau mengungsi.

*****

 

Pada zaman kehidupan Putri Bulan. Masih banyak hidup ular-ular naga yang panjang dan besar-besar. Nun jauh di Samudera Hindia, beratus-ratus ular naga besar itu sedang berenang menuju Samudera Pasifik. Keadaan banjir besar membuat air laut dan daratan Pulau Sumatera Bersatu. Maka tersesatlah ratusan ular naga itu. Tanpa sadar berenang menuju Pedatuan Bukit Pendape.

Ular naga yang lapar tentu saja mencari-cari makanan di dalam perjalanannya. Saat menemukan banyak sapi, kerbau, kambing yang berkumpul di atas bukit-bukit kecil yang hampir tenggelam. Ular-ular naga itu langsung memakan semuanya. Bahkan anak buah dan Datu Puyang Bulanan juga dimakan oleh ular naga itu. Mereka tidak dapat melarikan diri karena terkepung air.

Karena kekenyangan ular-ular naga itu istirahat di kaki Bukit Pendape yang tidak tenggelam. Penduduk yang mengungsi termasuk Depati Puyang Maha Datu. Melihat banyaknya ular naga itu. Ada yang masih membawa sapi atau kerbau di mulutnya. Ada juga yang mengunyah dan memuntahkan baju manusia. Tahulah mereka kalau itu baju Datu Puyang Bulanan dan para pengikutnya.

Ada seorang penduduk yang terjatuh dan hanyut. Mereka mengira akan dimakan oleh naga-naga itu. Tapi ternyata tidak, justru ditolong dan di antar ke daratan. Penduduk Talang Bulan kemudian menceritakan semua itu pada Depati Puyang Maha Datu. Maka tahulah mereka kalau semua itu adalah hukuman dari sang pencipta. Memang kata beliau, satu orang berbuat dosa kemungkinan semua juga terdampak dari azab itu.

Ular-ular naga itu, tertidur cukup lama membuat mereka lupa kembali ke laut. Hujan telah redah dan air telah surut. Ratusan ular naga itu berenang di sisa banjir yang membuat lumpur memanjang. Karena gesekan tubuh ular-ular naga yang besar itu membuat semacam jalur mirip sungai. Karena ular naga beriringan, membuat jalur itu menjadi dalam dan seperti sungai kecil. Ular naga itu tiba di Sungai Keruh dan terus berenang ke hilir sampai ke Sungai Musi dan menuju Selat Malaka.

Jalur berlumpur dan mirip sungai kecil tersebut tergenang air. Akibat pengikisan tanah saat hujan maka jalur itu semakin dalam dan dalam. Saat hujan air hujan mengalir deras di dalamnya terus mengalir sampai ke Sungai Keruh. Dalam kurun waktu ribuan tahun kemudian. Aliran air semakin deras, yang terus mengikis dasar tanah ke kiri ke kanan. Membuat badan sungai menjadi lebar dan dalam. Sehingga terbentuklah sebuah sungai yang berair kuning mirip air Sungai Keruh. Penduduk Talang Bulan yang telah kembali beberapa bulan kemudian. Menamakan sungai baru itu dengan, Sungai Sake.

Penamaan Sungai Sake karena ada fhilosofisnya. Pengertian dari kata sake adalah bentuk dari suatu akhir perjalanan kehidupan yang buruk. Kata sake dalam bahasa Melayu diistilahkan untuk menyebut pohon yang sudah terlampau tua sehingga sebagian dahannya, batangnya sudah lapuk, atau mati. Sebagian lagi masih hidup dan berdiri. Kata sake bermakna hidup jangan sombong dan angkuh apalagi melampaui batas. Sebab kekuatan, kekuasaan di dalam hidup itu ada akhirnya. Ada hukumannya dan ada yang berkuasa atas alam semesta.

Ingatlah, Sungai Sake maka kamu tidak akan menjadi sombong. Pesan orang tua-tua di Kecamatan Sungai Keruh. Kalau kamu menikah nak, ingatlah Putri Bulan yang setiah dan mulia. Jangan pernah menghianati suamimu walau dia sendiri kurang baik terhadapmu. Apalagi kalau dia memang baik. Jadilah wanita sesungguhnya, setia adalah harta termahal seorang istri.


Oleh. Joni Apero.
Editor. Selita. S. Pd.
Palembang, 10 November 2019.

Arti Kata:
Puyang: Gelar kehormatan untuk pimpinan atau panggilan untuk orang tua atau saudara dari kakek nenek kita. Datu: Pimpinan Talang/Desa/Dusun. Kata datu bahasa asli Melayu sebelum dipengaruhi oleh kebudayaan hindhu-budha dan Islam.

Dataran Negeri Bukit Pendape adalah nama wilayah tradisonal yang meliputi tiga kecamatan dan seluruh wilayah di seberang Kota Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin. Yaitu, Kecamatan Sungai Keruh, Kecamatan Pelakat Tinggi, Kecamatan Jirak Jaya. Selain itu banyak bagian-bagian dari kecamatan lain seperti sebagian Kecamatan Sekayu dan lainnya.

Sy. Apero Fublic

1 comment:

  1. Cerita rakyat asli Dari kecamata Sungai keruh musi banyuasin, Sudah lama Aku Cari persi tuliskan seperti ini, soalnya Aku selama ini cuma dengardari cerita Lisan Saja, Terimakasih

    ReplyDelete