Filsafat
Kampus
Mahasiswa
Opini
Pendidikan
Shame Culture: Ketika Rasa Malu Menjadi Belenggu Kreativitas Generasi Muda
APERO FUBLIC I OPINI.- Dalam lingkungan sosial Indonesia yang kental dengan nilai-nilai tradisional, konsep shame culture atau budaya malu telah mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari. Shame culture adalah sebuah budaya dimana seseorang enggan untuk melakukan sesuatu karena didasari oleh rasa malu, yang didasarkan pada konsep rasa malu atau 'kehilangan wajah' di hadapan orang lain. Namun, di era digital dan globalisasi ini, pertanyaan mengemuka: apakah budaya malu yang selama ini dianggap sebagai bentuk kesopanan dan kedisiplinan justru menjadi penghalang bagi kreativitas dan inovasi generasi muda? Fenomena ini perlu dikaji secara mendalam mengingat dampaknya yang signifikan terhadap perkembangan potensi anak muda Indonesia.
Generasi muda Indonesia saat ini berada pada posisi yang unik dalam sejarah. Mereka tumbuh dalam era digital yang menawarkan kebebasan ekspresi dan ruang kreativitas yang hampir tak terbatas, namun tetap hidup dalam masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai tradisional. Generasi Z memiliki peran strategis dalam pemertahanan budaya lokal di tengah arus budaya asing, dengan kreativitas, inovasi, dan pemanfaatan teknologi. Paradoks ini menciptakan ketegangan internal yang tidak jarang menghambat ekspresi kreatif mereka. Ketika setiap langkah harus dipertimbangkan dengan matang demi menghindari "kehilangan muka" di hadapan masyarakat, spontanitas dan keberanian untuk bereksperimen, dua elemen krusial dalam proses kreatif menjadi terkikis.
Dampak negatif shame culture terhadap kreativitas dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan generasi muda. Dalam konteks pendidikan, siswa seringkali enggan untuk bertanya atau menyampaikan pendapat berbeda karena takut dianggap bodoh atau tidak sopan. Rasa malu ini menjadi pengendali utama dalam berperilakunya seseorang. Fenomena ini menciptakan lingkungan belajar yang pasif, di mana kreativitas dan pemikiran kritis tidak berkembang optimal. Siswa lebih memilih untuk "aman" dengan mengikuti apa yang sudah ada daripada berani mencoba hal-hal baru yang mungkin mendapat kecaman sosial.
Di ranah seni dan budaya, pengaruh shame culture semakin terasa. Akibatnya, generasi muda kehilangan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan dan apresiasi yang cukup terhadap seni budaya, dan tanpa minat yang kuat, kelangsungan dan perkembangan seni budaya tradisional terancam. Ketika ekspresi artistik dibatasi oleh norma-norma sosial yang kaku, seniman muda kesulitan untuk mengeksplorasi tema-tema kontroversial atau menggunakan medium-medium baru yang mungkin dianggap "tidak pantas" oleh masyarakat. Hal ini ironisnya justru menjauhkan mereka dari akar budaya mereka sendiri, karena kreativitas dalam berkesenian menjadi terhambat.
Dalam era media sosial, shame culture mengambil wujud baru yang lebih kompleks. Platform digital yang seharusnya menjadi ruang kebebasan berekspresi justru menjadi arena di mana generasi muda semakin waspada terhadap "social judgment". Meskipun sering dipandang negatif, fenomena alay juga memiliki beberapa aspek positif: mendorong kreativitas dalam penggunaan bahasa, menjadi sarana ekspresi diri bagi remaja, dan menciptakan rasa kebersamaan dan identitas kelompok di kalangan penggunanya. Ketakutan akan kritik dan cemoohan membuat banyak dari mereka memilih untuk mengikuti trend yang sudah aman daripada menciptakan konten yang benar-benar orisinal. "Cancel culture" yang berkembang di media sosial semakin memperkuat efek menakutkan dari shame culture tradisional.
Aspek psikologis dari shame culture juga tidak bisa diabaikan. Shame culture dan guilt culture membuat seseorang lebih sensitif terhadap perasaan, perilaku, pendapat, dan tugas yang harus mereka jalankan. Ketika seseorang terus-menerus hidup dalam ketakutan akan penilaian negatif dari orang lain, hal ini dapat menimbulkan kecemasan kronis dan menurunkan kepercayaan diri. Generasi muda yang seharusnya berada dalam fase eksplorasi dan penemuan jati diri malah terjebak dalam pola pikir yang terlalu hati-hati dan konservatif. Mereka kehilangan keberanian untuk mengambil risiko yang diperlukan dalam proses kreatif.
Perbandingan dengan negara-negara yang menerapkan "guilt culture" menunjukkan perbedaan yang mencolok dalam tingkat inovasi dan kreativitas. Sebaliknya suatu bangsa yang menganut shame culture, orang akan terus melakukan sesuatu perbuatan yang salah dan merasa nyaman saja dan akan merasa malu (shame) kalau ketahuan, sementara di Dunia Barat etika yang berkembang adalah Guilt Culture atau etika kebersalahan. Dalam guilt culture, individu lebih fokus pada pertanggungjawaban internal atas tindakan mereka, sehingga memberikan ruang yang lebih besar untuk eksperimentasi dan pembelajaran dari kesalahan. Sementara dalam shame culture, fokus pada "apa kata orang" seringkali mengalahkan dorongan internal untuk berkreasi dan berinovasi.
Namun, penting untuk dicatat bahwa shame culture bukanlah sesuatu yang sepenuhnya negatif. Shame culture menyembunyikan kesalahan pada aspek yang sangat ditekankan seperti "hormat", "reputasi", "nama baik", "status", "pesona". Dalam konteks yang tepat, budaya malu dapat membantu menjaga kohesi sosial dan mencegah perilaku yang merugikan masyarakat. Masalahnya adalah ketika budaya ini menjadi begitu dominan sehingga menghambat perkembangan individu, terutama dalam hal kreativitas dan inovasi. Yang diperlukan adalah keseimbangan antara menjaga nilai-nilai sosial dan memberikan ruang bagi ekspresi individual.
Solusi untuk mengatasi belenggu shame culture terhadap kreativitas generasi muda memerlukan pendekatan yang holistik. Sistem pendidikan perlu direformasi untuk lebih menghargai keragaman pemikiran dan mendorong siswa untuk berani bertanya serta mengeksplorasi ide-ide baru. Teknologi memiliki dampak yang besar terhadap kreativitas anak muda, baik secara positif maupun negatif, dan penggunaan teknologi harus dilakukan dengan bijaksana, dengan memanfaatkan manfaatnya untuk meningkatkan kreativitas. Orang tua dan pendidik harus belajar untuk memberikan ruang bagi anak-anak muda untuk bereksperimen tanpa takut akan konsekuensi sosial yang berlebihan. Media massa dan influencer juga memiliki peran penting dalam menciptakan narasi yang lebih mendukung terhadap kreativitas dan inovasi.
Pada akhirnya, transformasi dari shame culture menuju budaya yang lebih mendukung kreativitas bukanlah tentang menghilangkan sama sekali nilai-nilai tradisional, melainkan tentang mencari keseimbangan yang tepat. Era globalisasi dapat menimbulkan perubahan pola hidup masyarakat yang lebih modern, dan salah satu faktor yang menyebabkan budaya lokal dilupakan adalah kurangnya generasi penerus yang memiliki minat untuk belajar dan mewarisi kebudayaannya sendiri. Generasi muda Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk menjadi pionir dalam berbagai bidang, namun potensi ini hanya dapat terwujud jika mereka diberi kebebasan untuk berkreasi, bereksperimen, dan belajar dari kesalahan tanpa harus terus-menerus khawatir akan stigma sosial. Sudah saatnya kita sebagai masyarakat mulai mengubah perspektif: dari melihat kesalahan sebagai aib yang harus disembunyikan, menjadi melihatnya sebagai bagian natural dari proses pembelajaran dan pertumbuhan. Hanya dengan demikian, kreativitas generasi muda Indonesia dapat berkembang optimal dan berkontribusi pada kemajuan bangsa.
Oleh: Maria Velisita Funan
Mahasiswa universitas Timor
Fakultas Pertanian Sains Dan Kesehatan (faperta).
Editor. Tim Redaksi
Sy. Apero Fublic
Via
Filsafat

Post a Comment