Kampus
Katolik
Kupang
Mahasiswa
Opini
Natal: Saat Kasih Menyapa Kaum Miskin sebagai Jantung Injil. (Renungan Natal berdasarkan Lukas 2:1–20)
APERO FUBLIC I MAHASISWA.- Natal selalu membawa pesan sukacita, namun sukacita itu tidak lahir dari kemegahan dunia. Dalam Lukas 2:1–20 kita melihat bagaimana Inkarnasi Putra Allah dimulai dari sebuah palungan sederhana di Betlehem. Allah memilih menjadi kecil agar dapat mendekat kepada mereka yang kecil dalam pandangan dunia.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa kemuliaan Tuhan menyentuh bumi melalui kerendahan hati-Nya yang sungguh nyata. Tidak ada istana, tidak ada keagungan, hanya kesunyian dan kemiskinan malam itu yang dipenuhi terang ilahi. Di sanalah kasih Allah pertama kali menyapa dunia.
Ketika kita merenungkan Natal, bacaan Lukas menegaskan bahwa Kristus hadir di tengah situasi yang sangat sederhana. Lukas menulis bahwa Maria “membaringkan-Nya dalam palungan karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (Luk 2:7). Kesederhanaan itu bukan sekadar kondisi sosial, tetapi pilihan ilahi untuk menyatakan solidaritas terhadap manusia yang kecil dan terpinggirkan.
Allah tidak memilih tempat kelahiran yang dihormati atau berkuasa, melainkan ruang marginal yang nyaris tak dianggap. Ia memulai karya penyelamatan-Nya dari pinggiran hidup manusia. Melalui cara itu, Lukas menyingkapkan bahwa jantung Injil berdegup bagi mereka yang tersisih.
Penginjil Lukas juga menunjukkan bahwa kaum miskin dan sederhana bukan hanya hadir dalam cerita, tetapi menjadi penerima pertama kabar gembira. Malaikat tidak datang kepada tokoh penting, tetapi kepada para gembala yang hidup di padang. Para gembala adalah golongan yang dianggap rendah dalam masyarakat. “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kabar baik. Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Luk 2:10–11). Mereka menerima pewartaan pertama karena hati mereka terbuka dan hidup mereka dekat dengan kesederhanaan.
Dengan memilih gembala sebagai saksi awal, Allah membalik logika dunia yang mengutamakan kuasa dan status. Natal mengingatkan bahwa setiap manusia berharga di mata-Nya. Ketika kita merayakan Natal, kita sering fokus pada perayaan yang megah dan penuh gemerlap. Namun Lukas mengajak kita kembali ke palungan, ke kesunyian malam Betlehem yang jauh dari sorotan. Di sanalah cahaya sejati Natal bersinar bukan melalui pesta, melainkan melalui kehadiran Allah dalam kerendahan. Sukacita sejati muncul ketika kita mampu melihat kasih-Nya yang hadir dalam kesederhanaan.
Natal menantang kita untuk bertanya apakah hati kita masih peka terhadap mereka yang menderita, sebagaimana para gembala peka terhadap suara malaikat. Tanpa kepedulian, Natal berubah menjadi seremoni yang kehilangan makna.
Jantung Injil adalah kasih yang menyapa, dan seluruh Lukas bab 2:1-20 memperlihatkan gerakan Allah yang mendekati manusia yang paling kecil. Para gembala mendatangi palungan dan melihat sendiri tanda keselamatan itu yakni “seorang bayi yang dibungkus kain lampin” (Luk 2:12). Tanda keselamatan bukanlah kuasa, melainkan kerentanan dan kedekatan. Yesus, sejak lahir, hadir bagi mereka yang sederhana, pendengar pertama warta damai itu.
Natal mengingatkan bahwa kita juga dipanggil mengikuti jejak kasih yang bergerak menuju mereka yang paling membutuhkan. Iman tanpa kepekaan terhadap sesama hanyalah bentuk lahiriah yang kosong. Ketika kita membuka hati kepada kaum miskin, kita sedang mengikuti teladan para gembala yang “bergegas” pergi kepada Yesus (Luk 2:16). Mereka tidak menunda, tidak menimbang untung-rugi; mereka datang membawa hati yang tulus.
Natal mengundang kita melakukan hal yang sama: mendatangi mereka yang kelaparan, kesepian, atau terluka, dan melihat wajah Kristus dalam diri mereka. Lukas menunjukkan bahwa kehadiran Yesus hanya bisa dijumpai oleh mereka yang mau mendekat dan membuka hati. Natal bukan hanya tentang menerima berkat, tetapi juga menjadi berkat. Inilah bentuk iman yang paling nyata dan hidup.
Lukas mencatat bahwa setelah melihat Sang Bayi, para gembala “memberitahukan apa yang telah dikatakan kepada mereka” (Luk 2:17). Pertemuan dengan Kristus melahirkan komitmen, bukan hanya kekaguman sesaat. Natal menantang kita untuk memperjuangkan martabat manusia sebagaimana para gembala mewartakan kabar sukacita itu dengan berani. Kita dipanggil menjadi tanda kasih Allah yang konsisten di tengah dunia yang sering mengabaikan kaum miskin. Gereja harus menempatkan mereka di pusat perhatian, sebagaimana Allah menempatkan mereka di pusat kisah kelahiran Kristus. Natal menjadi momentum untuk memperbarui komitmen itu dalam kehidupan sehari-hari.
Akhirnya, Lukas 2:20 menutup kisah itu dengan para gembala “kembali sambil memuliakan dan memuji Allah atas segala sesuatu yang mereka dengar dan lihat.” Sukacita mereka lahir dari perjumpaan dengan kasih Allah yang turun mendekati manusia, terutama yang sederhana dan rapuh. Jika kita ingin merayakan Natal dengan benar, kita pun harus menghadirkan kasih itu dalam tindakan nyata.
Mari kita melihat dunia dengan mata para gembala, yakni mata yang mampu mengenali kehadiran Allah dalam kesederhanaan. Dengan begitu, Natal bukan hanya perayaan tahunan, tetapi pengalaman iman yang hidup setiap hari. Dan dunia akan dipenuhi terang ketika kasih itu sungguh menyapa kaum miskin sebagai jantung Injil.
Penulis: Laurensius Antoin Funan
Mahasiswa Fakultas Filsafat. Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.
Editor. Tim Redaksi
Sy. Apero Fublic
Via
Kampus

Post a Comment