PT. Media Apero Fublic

PT. Media Apero Fublic merupakan perusahaan swasta yang bergerak pada bidang usaha Publikasi dan Informasi dengan bidang usaha utama Jurnalistik.

Buletin Apero Fublic

Buletin Apero Fublic adalah buletin yang mengetengahkan tentang muslimah, mulai dari aktivitas, karir, pendidikan, provesi, pendidikan dan lainnya.

Penerbit Buku

Ayo terbitkan buku kamu di penerbit PT. Media Apero Fublic. Menerbitkan Buku Komik, Novel, Dongeng, Umum, Ajar, Penelitian, Ensiklopedia, Buku Instansi, Puisi, Majalah, Koran, Buletin, Tabloid, Jurnal, dan hasil penelitian ilmiah.

Jurnal Apero Fublic

Jurnal Apero Fublic merupakan jurnal yang membahas tentang semua keilmuan Humaniora. Mulai dari budaya, sejarah, filsafat, filologi, arkeologi, antropologi, pisikologi, teologi, seni, kesusastraan, hukum, dan antropologi.

Majalah Kaghas

Majalah Kaghas, meneruskan tradisi tulis tradisional asli Sumatera Selatan.

Apero Fublic

Apero Fublic, merupakan merek dagang PT. Media Apero Fublic bidang Pers (Jurnalistik).

Apero Book

Apero Book merupakan toko buku yang menjual semua jenis buku (baca dan tulis) dan menyediakan semua jenis ATK.

Buletin

Buletin Apero Fublic merupakan buletin yang memuat ide-ide baru dan pemikiran baru yang asli dari penulis.

Showing posts with label Mitos. Show all posts
Showing posts with label Mitos. Show all posts

2/22/2022

Kisah Asal Usul Simpai

APERO FUBLIC.- Di suatu masa di Pedatuan Bukit Pendape hiduplah sepasang suami istri yang jahat, bernama Sambunu dan istrinya Rampa. Mereka memiliki lima anak laki-laki dan satu anak perempuan. Demi harta mereka relah menjadi penghianat pedatuannya sendiri. Sehingga membuat bencana di Pedatuan dan bagi keduanya.

Ada segerombolan perampok asing yang memasuki tanah Sumatera melalui Sungai Musi. Lalu menguasai puluhan talang-talang penduduk. Semua kaum laki-laki dipaksa menjadi pasukannya. Sedangkan kaum wanita di perbudak untuk kepentingan mereka. Pemimpin perampok bernama Duruka. Dia ingin membangun Pedatuan sendiri. Dia mengangkat dua orang kepercayaannya Kamita dan Kamito menjadi hulubalang. Dia pun menggelari dirinya, Depati Puyang Duruka.

“Bagaimana caranya kita menaklukkan Pedatuan Bukit Pendape, Kamita.” Tanya Tanya Puyang Duruka.

“Kalau diamati, pedatuan itu kuat. Rakyatnya bersatu dan pandai ilmu kuntau. Kita harus memakai siasat, dan mencari orang yang mau diperalat.” Kata Kamita. Dia makan ayam bakar dengan sangat rakus. Setelah itu, Duruka memerintahkan Kamito untuk mengintai dan memata-matai pedatuan dengan menyamar menjadi pedagang.

*****

Sebuah perahu kajang penuh dagangan merapat ditepian pedatuan. Tiga pekerja dan seorang saudagar. Tampak ramah sekali, mereka mempersilahkan dua pasukan pedatuan mengecek dagangan mereka. Seorang bendahara pedatuan menetapkan pajak untuk barang mereka. Setelah membayar pedagang itu bebas berjualan di seluruh Pedatuan. Menyewa sebuah kamar di pasar, sehingga mereka mudah berdagang setiap hari.

“Berapa kain songket ini.” Tanya seorang ibu-ibu yang ditemani suaminya untuk berbelanja.

“Mura sekali, Uwa.” Kata pedagang itu. “Saya akan memberikan cuma-cuma kalau kita mau saling membantu.

“Apa yang dapat kami bantu.” Ujar suami si wanita itu.

“Menjadi teman kami, seandainya kalian bersedia. Kami akan memberikan dagangan kami dan satu keranjang keping emas.” Kata pedagang itu. Kemudian dia memberikan puluhan kain songket secara cuma-cuma sebagai tanda serius. Sepasang suami istri itu bukan main senangnya. Setelah itu, bertambah sering mereka berkunjung ke tokoh saudagar asing itu. Karena sudah berteman mereka menjadi akrab dan diundanglah sepasang suami istri itu ke pedatuan perampok pimpinan Duruka.

*****

“Kalau kalian mau bekerja untukku, kalian akan Aku berikan satu keranjang emas. Kemudian akan Aku angkat menjadi Depati di pedatuan kalian nantinya.” Kata Perampok Duruka.

“Benarkah apa yang Puyang katakan.” Kata Sambunu. Mata istri Sambunu bersinar mendengar akan mendapat emas satu keranjang dan suaminya bisa menjadi Depati. Alangkah kayanya mereka nanti.

“Benar, Aku berjanji.” Kata Duruka. Sambunu bertanya apa yang harus dia perbuat. Duruka meminta dia membawa masuk pasukannya dengan diam-diam. Baik menyamar sebagai pedagang atau pekerja, atau pura-pura menjadi budak Sambunu. Rencananya, Sambunu diminta mengadakan pesta jamuan untuk warga Pendape. Undang untuk Depati, hulubalang, panglima dan datu-datu talang. Lalu makanan di racun agar mereka dapat dengan mudah mengalahkannya. Sambunu dan istrinya setuju, karena akan mendapat satu keranjang emas dan akan menjadi Depati.

Sebagai hadia pertama, ambillah satu keranjang perak, satu ikat kain songket dan satu ikat baju tenun.” Kata Kamita. Pulanglah Sambunu dan istrinya dengan penuh kegembiraan. Perahu mereka banyak memuat hadiah dan tiga orang pekerja. Mereka seakan menjadi saudagar kaya raya sekarang.

“Apa tidak rugi kita memberikan banyak harta pada orang bodoh itu.” Tanya Makito pada Duruka.

“Nanti kita rampas kembali apa yang kita berikan. Bahkan kita rampas apa yang dia miliki.” Kata Duruka sambil tetawa senang. Dia yakin akan dapat menaklukkan Pedatuan Bukit Pendape.

*****

Sambunu mengadakan pesta jamuan makan besar. Dia memotong lima kerbau, lima sapi, ratusan ayam. Kemudian mengundang Depati, Panglima Pedatuan, Jurai Tue, Hulubalang dan prajuritnya. Para Datu dan pasukannya dari talang-talang. Sebagaimana direncanakan kalau makanan sudah diracuni.

Hulubalang Ujum, dia bertugas mengamankan pedatuan dengan misi-misi rahasia. Dia merasa ada hal aneh. Mengamati banyaknya pelayan tidak dikenal. Adanya saudagar-saudagar baru di pedatuan. Hulubalang melaporkan pada Depati, tapi dia tidak menanggapi dengan serius. Hanya meminta berjaga-jaga saja. Hulubalang menyamar menjadi pengemis bersama beberapa anak buahnya. Sedangkan yang lain bersiap siaga di sekitar itu.

“Ini saudagar terkaya di muaro, Depati. Semua ini pedagang dan pelayan-pelayannya.” Kata Sambunu memperkenalkan pada Depati pada saudagar-saudagar.

“Selamat datang di Pendape, saya harap puyang-puyang senang berdagang di sini.” Kata Depati. Panglima, Jurai Tue, Para Datu yang lain juga menyambut dengan rama.

“Mari-mari, kita makan-makan Depati hari ini. Datu-datu semua, mari makan, jangan sungkan.” Kata Sambunu mempersilahkan tamu-tamu. Semua makan dengan lahap.

“Ahhhh. Uggghhhh.” Teriakan di mana-mana setelah mereka hampir selesai makan. Hanya Sambunu dan kelompok saudagar baru itu yang terus makan. Mereka hanya tersenyum puas dan terus makan. Tahulah kalau makanan telah diracuni. Depati ingat apa yang dikatakan Hulubalang Ujum.

“Ha. Ha. Ha. Ha. Depati, Aku akan menjadi penguasa baru di pedatuan ini.” Kata lelaki yang mengaku saudagar itu. Sambunu berdiri senang tapi dia terkejut saat Duruka berkata kalau dia yang akan berkuasa. Bukankah dia berjanji kalau dirinya yang akan menjadi depati baru.

“Kurang ajar kau Sambunu, ternyata kau penghianat buruk lagi keji.” Ujar Panglima Pedatuan, dia menusuk kerongkongannya dan muntah sehingga semua makanan keluar. Tapi dia langsung ditendang beberapa anak buah Duruka, hingga jatuh pingsan.

Duruka mencabut pedangnya dan ingin menyerang Depati. Sedangkan Makita dan Makito beserta pasukannya yang pura-pura menjadi pelayan mulai akan menyerang para datu dan pasukannya. Mereka tidak berdaya, dengan kondisi teracuni. Beberapa mencoba berdiri dan mencabut pibang. Tapi jatuh kembali dan memegangi dada mereka.

“Brakkkk.” Muncul dari dalam plavon rumah, puluhan prajurit Hulubalang Ujum.

“Heeaaa. Wusss. Wuusss.” Pedang Duruka beradu dengan pibang hulubalang Ujum. Panah banyak menancap di tubuh anak buah Duruka. Sambunu bersembunyi dan hampir terkena serangan panah. Puluhan pasukan hulubalang masuk dan melindungi depati dan para datu. Sebagian mengangkat dan membawa pergi mereka. Puluhan pasukan tidak dapat di selamatkan. Selama melarikan para pemimpin mereka. Hulubalang Ujum dan pasukannya terus menerus di kejar dan dikejar oleh anak buah Duruka. Untung berhasil bersembunyi di hutan dan mengobati mereka semua.

“Masyarakat sudah mengungsi, anak buah Duruka menjarah pedatuan dan membakar rumah-rumah. Mereka juga berlaku bejat pada wanita yang tertangkap.” Lapor seorang prajurit pada Depati dan Hulubalang. Semua bersedih dan marah sekali, terutama pada Sambunu dan istrinya.

“Penghianat itu, akan menerima hukuman berat.” Kata Depati.

*****

Duruka begitu gembira dia berhasil menduduki pedatuan. Dia sekarang menempati balai pedatuan dan membangun benteng. Hulubalang Ujum berhasil mengumpulkan pasukan pedatuan dan berkumpul di tempat rahasia. Depati mulai sembuh dan bersiap memimpin penyerangan. Sementara itu, Sambunu dan istrinya begitu kecewa karena dia hanya diperalat. Tidak ada yang akan mereka dapatkan. Bahkan pemberian Duruka dirampas kembali. Bukan hanya itu saja, harta mereka dan rumahnya diambil oleh Duruka juga.

“Kita harus lari, sebelum mereka membunuh kita.” Kata Sambunu pada istri dan anak-anaknya. Karena Duruka khawatir mereka akan membuka rahasia mereka. Penghianat tidak dapat dipercaya, pedatuannya sendiri dihianati apa lagi musuh. Kata Duruka. Tanpa sengaja Sambunu mendengar kata-kata itu. Mengetahui itu, larilah dia ke hutan bersama anak istrinya.

*****

Pelarian Sambunu dan istrinya berakhir saat dia tertangkap oleh pasukan pedatuan yang berjaga dan patroli. Dia kemudian dihadapkan ke Depati.

“Apa yang membuatmu menjadi penghianat, Sambunu. Harta atau kedudukan yang kau inginkan. Kau tahu tidak akan ada orang yang percaya pada penghianat. Kebanyakan penghianat setelah diperalat, akan dibunuh. Sekarang pedatuan kacau, talang-talang dibakar. Wanita banyak diperkosa dan orang tidak bersalah terbunuh. Semua itu, adalah karena perbuatanmu. Berapa banyak hartamu, tapi sekarang habis dirampas perampok itu lagi. Itulah, hasil perbuatan penghianat sepertimu. Menjadi penghianat berarti; membunuh dirimu dan membunuh negerimu. Sebab pemerintahan itu adalah rumah besar setiap orang. Kalau dia merusaknya, maka dia juga akan rusak rumahnya.” Ujar Depati.

“Ampun depati, Aku menyesal sekali. Aku siap menerima hukuman. Asal anak-anakku dilindungi.” Kata Sambunu dan istrinya. Sementara anak-anaknya dipisahkan dari mereka.

“Kau akan dihukum dengan berat Sambunuh. Supaya menjadi pelajaran untuk anak cucu kita.” Kemudian Depati mencabut pibang saktinya. Lalu membaca matera perubah rupa dan kutuk diri.

Setelah merontah-ronta dan mengeluarkan asap aneh. Tubuh Sambunu dan Rampa istrinya merasa panas dan gatal-gatal. Lama kelamaan tubuh membengkak dan keluar air. Berlarianlah Sambunu dan istrinya tidak tentu arah. Entah apa yang terjadi, tubuhnya mulai tumbuh buluh-buluh kuning. Semakin lama semakin lebat dan lebat. Rupa juga berubah menjadi seperti kera. Tapi berbulu warna kuning dan badannya lebih beasar dari kera, sedangkan suara aneh.

“Ceyyyyyy-ceyyyy.” Suara berulang-ulang. Kadang juga. “Cayyyyyyy-caayyyyy.” Juga berulang-ulang. Penduduk Pedatuan Bukit Pendape menamakan hewan itu dengan, simpai.

Namun mereka punya anak yang menurunkan sifat mereka. Sehingga setiap penghianat dikemudian hari adalah keturunan dari Sambunu dan Rampa istrinya. Sebagaimana kita ketahui, semasa penjajahan Belanda banyak sekali penghianat hanya ingin mendapatkan sedikit imbalan seperti Sambunu dan istrinya, tapi menghancurkan negerinya. Bahkan sampai sekarang dimana banyak penghianat negara, mereka tentulah keturunan Simpai.

*****

Depati mengatur setrategi, dengan cara mengepung Balai Pedatuan. Mereka tidak menyerang langsung. Pasukan tombak dan panah di siapkan, berjaga siang dan malam. Sehari, sebulan dan sampai tiga bulan akhirnya Duruka bersama anak buahnya menyerang keluar. Mereka tidak punya pilihan lain selain menyerang keluar. Kalau tidak mereka akan mati kelaparan, sebab padi di dalam bilik pedatuan habis.

“Heaaaa. Heeaaa.” Terdengar teriakan putus asah anak buah Duruka. Mereka menggunakan tameng untuk melindungi diri. Tapi pasukan pemanah mengurung dan terus menerus memanah. Satu demi satu anak buah Duruka tewas tertembus panah atau tertembus mata tombak. Di setiap sudut hutan telah dijaga ketat, membuat langkah mereka tidak dapat melarikan diri. Perahu dan rakit telah dihancurkan, penjaganya diserang.

“Sekarang Kau mau lari kemana, perampok busuk.” Kata Datu Pedatuan Pendape. Tinggal tersisa Duruka, Makita dan Makito. Datu maju menghadapi Duruka, dan Hulubalang Ujum menghadapi Makita, sedangkan Makito berhadapan dengan Datu Kemenangan dari Talang Rengas.

“Ha. Ha. Ha. Ha.” Tawa Duruka membahana, dia meludah dan sesumbar kalau dia akan mengalahkan datu. “Bertarung satu lawan satu, Aku akan mengalahkan kalian semua. Kalau kalian laki-laki jangan main keroyok.” Kata Duruka sombong. Dia berkata kalau dia sudah sangat banyak berperang dan selalu menang. Datu diam saja, dia berkata agar Duruka segerah menyerangnya dan jangan hanya bicara saja.

“Heeeaaaa.” Trangg. Traang. Trang.” Tiga senjata beradu, dengan terikan membahana. Semua pasukan memperhatikan saja tidak ikut membantu. Karena itu pertarungan satu lawan satu. Pada awalnya Duruka mampu membuat Depati kewalahan dengan serangan membabi buta Duruka. Tapi berikutnya Duruka mulai habis tenaganya.

“Craasss.” Depati menyabet betis dan bahu Duruka. Tidak lama kemudian Hulubalang Ujum menusukkan pibang kidau di dada Makita. Makita roboh dan tewas seketika. Disusul dengan Datu Kemenangan dapat mengalahkan Makito. Tampak pibang kanan Datu Kemenangan menekan leher Makito dan Makito tidak dapat bergerak.

“Hari ini dalah hari terakhir kalian berbuat jahat di bumi ini. Kalian menumpahkan dara orang-orang, memperkosah wanita baik-baik, dan merampok di sana sini. Maka atas nama kebaikan dan penegakan hukum di Pedatuan Bukit Pendape, kalian dihukum mati. Depati Pedatuan kemudian memberi isyarat Datu Kemenangan untuk menghukum mati Duruka dan Makito. Pedatuan Bukit Pendape kembali aman dan tentram sepeti semula.


Oleh. Joni Apero.
Editor. Deni Sutra.
Palembang, 22 Februari 2022.

Sy. Apero Fublic

8/28/2021

Andai-Andai: Lubuk Lesung dan Raksasa Ompong

APERO FUBLIC.- Dikisahkan pada suatu masa yang lampau, terdapat sebuah Talang orang Melayu di pedalam Sumatera Selatan. Masa itu, manusia masih sedikit dan kehidupan sangat tradisional sekali. Belum ada kerajaan-kerajaan, masyarakat masih hidup dalam kelompok-kelompok yang dipimpin orang yang dituakan. Pemimpin dipilih dan mereka menggelari pemimpin dengan, Datu. Talang tersebut bernama Talang Gajah Mati. Nama diberikan karena kelompok pendiri Talang menemukan seekor gajah yang sudah mati di dalam sebuah sungai kecil di sisi Talang.

Masa itu, tersebutlah seorang datu yang baik hatinya. Dia memimpin dengan adil dan bijaksana, sehingga warganya menyayanginya. Nama beliau Tan Maranu, dan istrinya bernama Tan Manana.  Namun, telah lama dia hidup berumah tangga dengan istrinya, namun belum juga mendapatkan seorang anak pun. Suatu saat bedoalah datu itu pada yang maha kuasa dengan sungguh-sungguh. Agar dia mendapat seorang seorang anak. Datu Tan Maranu sangat sedih, sebab umur sudah mulai lanjut. Doa sang datu dikabulkan oleh yang kuasa, dan hamilah istrinya walau sudah berusia agak lanjut. Dimana manusia biasa apa bilah seumuran dengnya tentu tidak lagi bisa hamil.

“Kanda, sepertinya adinda hamil.” Istrinya menceritakan di suatu hari. Bukan kepalang bahagianya suami istri itu. Mereka akhirnya merayakan kehamilan itu, dengan mengundang banyak warganya. Mengadakan jamuan makan-makan enak. Semua bahagia, dan mengucapkan selamat.

Waktu berlalu cepat, sudah sembilan bulan umur kandungan. Namun belum juga ada tanda-tanda akan melahirkan. Datu dan Datuna sang istri sudah tidak sabar ingin menggendong anak mereka. Baru setelah sepuluh bulan umur kandungan, melahirlah istri Datu. Dengan sangat kesakitan, proses berhari-hari istri datu melahirkan seorang anak laki-laki. Datu menamakan anaknya dengan Punta Balarai. Arti dari namanya adalah seorang pemuda yang cepat dan gesit.

*****

Bertahun-tahun sudah terlewati penuh kebahagiaan. Sekarang besarlah anak Datu, Punta Balarai. Sudah lima belas tahun umur Punta Balarai. Dia banyak belajar ilmu alam dan ilmu beladiri. Sehingga dia menjadi pemuda yang tangkas dan gesit. Selain itu, Punta Balarai juga pintar dan banyak akalnya. Semua pemuda di Talang Gajah Mati menjadi sahabatnya. Banyak pula gadis tergila-gila padanya.

Suatu, hari Punta Balarai berkeliling Talang. Dia ditemani dua sahabatnya, Kadra Puju dan Kadra Pacung. Yang menjadi aneh bagi mereka bertiga. Sejak kecil mereka selalu menyaksikan aktivitas, dimana semua penduduk Talang Gajah Mati sering menumbuk buah padi bersama-sama beberapa kali dalam setahun. Ratusan keranjang tepung beras entah dibawa kemana. Suara alu beradu dengan lesung bertalu-talu bagai musik yang luas.

Perlu diketahu kalau masa itu buah padi masih besar-besar, sebesar buah kelapa. Belum kecil-kecil seperti zaman kita sekarang, bertangkai berbulir-bulir. Punta Balarai berhenti di depan rumah seorang warga, lalu bertanya. Dia sangat penasaran, sebab dari kecil memendam keingin tahuan itu. Namun jawaban orang-orang tidak ada yang meyakinkan Punta.

“Bibik, apa yang menyebabkan warga kita menumbuk padi beberapa kali dalam setahun, dan sebanyak ini.” Tanya Punta. Punta selalu bertanya pada orang yang berbeda-beda. Namun jawaban juga simpang-siur tanpa ada penjelasan.

“Sudah, ini pekerjaan orang-orang tua, nanti kalau kalian sudah dewasa, dan mulai menjadi orang tua, akan diberitahu yang sebenarnya.” Jawab bibik itu, kemudian dia mulai menumbuk padi lagi. Punta dan dua sahabatnya pergi dan bermain di sisi Talang mereka.

“Aku merasa aneh, mengapa warga kita menumbuk padi begitu banyak. Padahal warga talang kita masih kekurangan makanan.” Tanya Punta pada dua sahabatnya.

“Aku juga tidak mengerti, Punta. Mengapa orang-orang tua kita melakukan itu.” Jawab Kadra Puju.

“Ada baiknya kita selidiki saja, Aku juga penasaran. Aku sering meminta Umak untuk menanak nasi lebih banyak. Sebab di bilik banyak buah padi.” Kata Kadra Pacung.

“Setiap kali bertanya, Umak-Bak selalu bilang, "untuk sesuatu dan keselamatan Talang kita.” Ujar Kadra Puju.

“Betul katamu, Pacung. Kita selidiki saja, sebab ada yang aneh dan semua ini merugikan warga.” Kata Punta Balarai.

"Kasihan, orang-orang tua kita." Sahut Kadra Puju, menanggapi. Mereka kemudian bermain-main di sisi tebing sebuah lubuk yang tidak jauh dari Talang. Ada juga beberapa pemuda datang untuk bersantai di sana, bertambah seruhlah mereka bermain. Di Sungai Keruh sesekali lewatlah perahu atau rakit warga.

*****

Beberapa hari berlalu, penduduk selesai menumbuk buah padi.  Sekarang buah padi sudah sudah menjadi tepung beras. Sudah dikemas di dalam bunang (keranjang besar). Jumlahnya dua ratus bunang, dan telah siap diberangkatkan. Dua ratus sepuluh orang laki-laki berkumpul di halaman rumah datu. Mereka, dipimpinan datu mulai bergerak. Masing-masing laki-laki menggendong satu bunang. Lima orang laki-laki membawa getuk dari cangkang kura-kura sungai. Mereka berjalan beriringan menuju suatu tempat. Lima lagi membawa perbekalan mereka.

Sementara itu, Punta Balarai dan dua sahabatnya mengawasi dari jauh. Mereka bertiga mengikuti, kemana tujuan Datu dan warga membawa tepung beras itu. Perjalanan berlanjut, siang dan malam. Jalan semakin lama semakin menanjak dan berbukit-bukit. Terdengar dari percakapan mereka kalau mereka menuju Bukit Pendape. Tiga hari-tiga malam sampailah di tempat tujuan. Di kaki Bukit Pendape. Meletakkan dan mengumpulkan keranjang di tanah terbuka berumput hijau. Lima orang warga memukul getuk (kentongan). Suara getuk bertalu-talu memekakkan telinga.

Dari kejauhan terdengar suara bergemuruh makhluk besar berjalan. Pohon besar bergoyang-goyang dan burung-burung berterbangan. Sosok besar itu semakin dekat, warga mulai berlarian bersembunyi di balik pepohonan disekitar lapangan berumput itu. Hanya datu yang masih berdiri di sekitar keranjang berisi beras yang sudah di tumbuk. Tidak lama kemudian muncul raksasa yang sudah tua. Rambut putih, wajah keriput. Ada tongkat besar, dan bercawat terbuat dari kulit hewan. Tampak berjalan mendekati lapangan itu. Tanah bergetar saat kakinya melangkah.

“Kalian sudah mengantar upeti kalian, wahai manusia?” Kata raksasa. Saat dia berkata, terlihat kalau dia tidak lagi memiliki gigi dan taring, ompong.

“Benar Puyang Raksasa Pendape, ini semua tepung beras sebagaimana permintaanmu setelah panen.” Kata Datu. Raksasa menghitung dan jumlahnya seperti yang dia syaratkan, 200 bunang.

“Baiklah, sekarang kalian boleh pulang. Ingat, 200 hari lagi kalian datang mengantarkan tepung beras lagi, kalau tidak kalian yang akan Aku makan dan Talang kalian Aku hancurkan.” Kata Raksasa itu mengancam. Sebagai gertakan dia memukulkan tongkat kayu ulinnya ke tanah lapang itu. Terdengar suara seperti pohon besar yang roboh. Datu mengiakan, kemudian dia pulang bersama rakyatnya. Sementara itu, Punta dan kedua sahabatnya menyaksikan semua yang terjadi dari tempat persembunyian mereka.

"Grubakkkkk. Grubakkkk. Grubakkk." Bunyi langkah kaki raksasa itu membawa bunang ke puncak Bukit Pendape.

*****

Waktu berlalu, sudah mendekati dua ratus hari lagi. Sekarang warga Talang Gajah Mati bersiap menumbuk buah padi lagi. Punta Balarai dan dua sahabatnya Kadra Puju dan Kadra Pacung mulai menyusun rencana. Mereka ingin mengalahkan raksasa ompong yang selalu makan bubur nasi hasil memeras warga. Menindas warta Talang Gajah Mati untuk memenuhi kebutuhan makannya.

“Pantasnlah raksasa itu meminta tepung beras karena dia sudah ompong.” Kata Kadra Puju.

“Betul, lalu bagaimana kita menghadapi raksasa itu.” Tanya Kadra Pacung.

“Aku sudah berpikir sejak lama, sepertinya Aku memiliki ide untuk mengalahkan raksasa ompong itu.” Ujar Punta.

“Baiklah, apa rencanamu Punta. Kami akan membantumu.” Kata Kadra Puju.

“Tapi, jangan sampai warga talang dan ayahku tahu tentang ini.” Kata Punta. Lalu punta memberi tahu rencananya dan mereka diminta mulai membantu untuk membuat jebakan raksasa tua yang sudah ompong itu, agar tidak menindas masyarakat mereka lagi. Pagi-pagi keesokan harinya mereka berangkat ke hutan, membawa parang masing-masing.

“Mau kemana kalian, koyong-koyong.” Tanya seorang wanita agak tua yang sedang menumbuk padi di sisi jalan.

“Kehutan, mencari onak rotan, Uwa.” Jawab Punta.

“Kenapa buah padi semakin mengecil Aku perhatikan, Uwa.” Tanya Kadra Pacung basa-basi.

“Ya, beginilah tak sebesar dahulu, Bujang. Kata orang tua buah padi sebesar keranjang pada mulanya. Namun karena sering di tumbuk manusia di setiap tahun, membuat buah padi mengecil." Jelas ibu-ibu itu.

"Mengapa bisa demikian, Uwa." Tanya Punta.

"Karena padi punya jiwanya. Dia mengecil sebab manusia selalu mengecilkan buahnya." Jelas nenek itu. Punta dan kedua sahabatnya baru mengerti mengapa buah padi terus mengecil. Bisa-bisa natinya sebesar buah embacang, atau lebih kecil lagi pikir mereka. Sebab di tumbuk warga setiap tahun untuk diberikan pada raksasa Bukit Pendape. Ketiganya juga kesal sekali, sebab buah padi menjadi kecil karena ulah raksasa itu.

*****

Punta Balarai dan dua sahabatnya mengambil onak berduri sebanyak-banyaknya. Kemudian mereka menjalin seperti susunan jaring. Ada bagian yang mereka buat seperti tali dan melingkar seperti jerat tali. Ada juga onak yang mereka rangkai seperti tali-tali melintang. Kemudian mereka juga menjalin onak berduri seperti jala-jala. Banyak onak mereka ikatkan pada batang dan dahan-dahan pohon di sekitar sebuah lubuk dimana mereka sering bermain. Lubuk tidak bernama itu, kemudian mereka penuhi dengan onak berduri. Sekarang, jebakan onak berduri mereka sudah siap. Rencana mulai dilaksanakan.

Pekerjaan menumbuk padi mulai dilaksanakan. Pada malam harinya, Punta Balarai, dan dua sahabatnya mencuri semua lesung-lesung milik warga. Lalu mereka lemparkan semua lesung-lesung itu di dalam lubuk tidak bernama dimana mereka sering bermain. Lesung tersangkut dijalinan onak-onak berduri, sehingga tampak mengambang tapi tidak hanyut. Dua ratusan lesung berserakan di lubuk itu.

Setelah itu, mereka juga mencuri bunang-bunang yang baru saja selesai dianyam untuk wadah tepung beras, Kemudian mereka menghancurkannya. Keesokan harinya, ibu-ibu dan warga semuanya menjadi ribut dan bertanya-tanya kemana kiranya lesung dan keranjang besar (bunang) mereka. Semua warga menjadi, panik, takut dan khawatir akan kemarahan raksasa yang tinggal di Bukit Pendape.

“Datu, bagaimana ini. Sepertinya lesung kita telah dicuri. Begitu juga dengan bunang-bunang yang kita anyam. Waktu kita tinggal satu hari lagi, tentu raksasa itu marah sekali. Kita akan menjadi makanannya, dan talang kita akan dia hancurkan.” Kata seorang warga, dan yang lainnya menjadi takut.

“Aku tidak habis pikir, bagaimana ada orang mencuri lesung dan keranjang-keranjang itu. Ini adalah perbuatan yang sangat membahayakan. Kalau dia perlu makanan atau harta, tentu dia dapat memintanya daripada dia mencuri lesung-lesung itu.” Kata Datu dengan rasa kesal dipenuhi rasa khawatir.

“Lalu bagaimana, kita sekarang. Apakah kita perlu membuat lesung dan keranjang kembali. Mungkin kita bisa bermusyawara dengan raksasa itu.” Kata seorang ibu-ibu memberi saran.

“Iya, kita akan membuat lesung dan keranjang kembali. Tapi untuk berjaga-jaga ada baiknya, wanita, anak-anak dan orang tua kita sembunyikan terlebih dahulu. Kalau musyawara gagal tentu akan aman bagi mereka. Sementara yang lain mulailah membuat lesung dan menganyam keranjang. Aku da hulubalang juga lima orang prajurit akan menemui raksasa itu, untuk musyawara.” Kata Datu.

Lalu dia memerintahkan lima orang prajurit untuk mengambil lima getuk dari cangkang kura-kura untuk memanggil raksasa. Dia naik ke rumah, mengambil pibang kidau dan pibang kanan, lalu dia selipkan di pinggangnya.

“Ampun Datu, tiga buah getuk juga hilang.” Lapor seorang prajurit, sementara dua lainnya membawa dua getuk yang tersisa.

“Kurang ajar, siapa yang melakukan ini. Sepertinya mereka ingin kita semua mati oleh raksasa itu. Akan Aku hukum berat mereka kalau ketahuan." Kata Datu sangat marah sambil menggenggam telapak tangannya. Dia memerintahkan prajurit untuk menyelidiki dan menggeledah seluruh Talang. Namun mereka tidak menemukan, kemudian semua warga juga dikumpulkan. Tapi sia-sia, semua memang tidak tahu menahu. Hanya ada yang aneh, Punta Balarai, Kadra Puju dan Kadra Pacung tidak ada. Saat dicari juga tidak ada, dan timbul tuduhan kalau mereka bertigalah yang berbuat. Tapi belum ada bukti, jadi mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

"Kalau anakku, Punta Balarai adalah pelakunya, dia akan tetap di hukum." Kata Datu Tan Maranu tegas, dia tidak pilih kasih. Walau anaknya dia tetap dihukum. Menandakan dia pemimpin sejati yang bijaksana.

“Sudah dari nenek moyang kita dahulu tidak pernah kejadian seperti ini. Kita selalu tepat waktu menghantarkan tepung beras pada Raksasa Bukit Pendape.” Ujar seorang Jurai Tue.

*****

Sementara itu, Punta Balarai, Kadra Puju, dan Kadra Pacung sudah sampai di kaki Bukit Pendape. Mereka berdiri di padang rumput luas dimana biasanya warga memberikan persembahan dua ratus keranjang besar tepung beras. Raksasa ompong itu tidak bisa menungu lagi. Karena dia memakan bubur yang terbuat dari tepung beras satu keranjang dalam satu hari. Karena raksasa itu tidak bisa bertani dan tidak mau berusaha. Maka dia memaksa masyarakat Talang Gajah Mati memberikan hasil panen padi padanya. Sudah ribuan tahun pemerasan dan kejahatan raksasa itu. Bahkan bua padi terus mengecil gara-gara ditumbuk terus menerus. Saatnya kita menghentikan raksasa itu. Kata Punta geram dan jiwa mudanya yang memberontak berapi-api.

“Tungggg. Tuuungggg. Tuuunggg.” Begitulah bunyi getuk yang dipukul berulang-ulang. Mereka memanggil raksasa itu agar datang ke padang rumput. Sementara raksasa di atas bukit mendengar suara getuk itu. Dia tersenyum, manusia telah datang mengantar makanan untuknya. Maka dia bergegas bangkit dan berjalan menuju Padang Rumput.

“Wahai manusia, di mana keranjang tepung beras untukku.” Tanya Raksasa dengan marah.

“Maaf raksasa, kami datang mengadu padamu. Bahwa lesung-lesung penumbuk padi di Talang kami telah dicuri oleh raksasa lainnya. Ayah dan banyak warga ditangkap olehnya. Kalau kau ingin kami memberikan tepung beras lagi padamu, tolong ambilkan lesung yang diambil Raksasa itu. Kami tidak bisa melawannya, hanya dirimu yang sama besar dan sama kuat.” Kata Punta Balarai.

“Kalian ingin menipuku, tidak ada raksasa lagi di dunia ini selain Aku.” Jawab Raksasa itu.

“Apakah kau takut, pada raksasa itu sehingga kau begitu marah dan tidak mau melawannya.” Ujar Kadra Pacung, sengaja memancing amarah raksasa.

“Kurang ajar, Aku tidak pernah takut. Awas kalian berbohong akan Aku hancurkan Talang kalian dan Aku makan kalian bertiga. Tunjukkan padaku raksasa lain kata kalian itu, dan dimana lesung-lesung itu dia buang, Aku akan mengambilnya.” Kata Raksasa ompong itu.

Raksasa itu, berjalan menju Talang Gajah Mati diikuti Punta dan dua sahabatnya. Setibanya di Talang mereka, Punta terus menunjukkan dimana lesung-lesung berada. Sementara penduduk talang menjadi takut dan mereka mulai berlarian bersembunyi. Mereka berpikir kalau raksasa itu mulai marah, sebab mereka terlambat memberikan upeti tepung beras dua ratus keranjang besar seperti biasa. Tibalah di dekat Sungai Keruh, Raksasa itu melihat lesung berserakan di dalam sebuah lubuk di Sungai Keruh.

Tanpa ragu raksasa itu melangkah masuk ke lubuk itu, dimana kedalam air Sungai Keruh sedang naik. Sungai sedalam itu, hanya sebatas pinggangnya. Saat dia mulai memunguti lesung-lesung itu. Tiba-tiba kakinya dibelit sesutau yang tajam dan banyak. Semakin lama semakin banyak dan terus berbelit belit. Aneh juga, semakin dia bergerak semakin rapat juga pada kaki dan pinggangnya. Rupanya, Punta dan kedua temannya membuka ikatan onak berduri yang sudah mereka siapkan di hulu lubuk. Lalu hanyut terbawa arus air yang deras. Semakin lama semakin banyak. Raksasa sulit bergerak sebab kaki sudah terpilin onak berduri. Saat dia ingin menarik terasa sangat sakit menggores kulitnya. Selain itu, duri onak yang melekuk juga saling mengait membuat onak tidak bisa dilepaskan.

Semakin lama semakin berat dan rapat, membuat tubuh raksasa roboh kedalam air sungai. Kemudian dari sisi tebing seberang melesat onak berduri seperti jala ikan. Tubuh raksasa itu sekarang dibaluti onak berduri dengan kuat. Sehingga dia tidak bisa bergerak sedikit pun. Lesung-lesung mulai hanyut ke hilir. Begitu juga raksasa mulai tenggelam kedalam sungai.

Dalam waktu cukup lama raksasa itu tidak dapat bernafas di dalam air. Lalu mati dan jasadnya menghilang di dalam aliran sungai entah kemana. Mungkin hanyut terbawa arus air. Kejadian tersebut disaksikan Datu ayah Punta beserta warga Talang Gajah Mati. Punta dan kedua sahabatnya merasa gembira, begitu juga semua masyarakat Talang Gajah Mati menjadi bahagia. Sekarang mereka terbebas dari raksasa yang kejam itu. Semua memuji atas keberanian dan kecerdasan Punta dan dua sahabatnya.

Setelah semua berlalu dan suasana tenang kembali. Barulah Punta Balarai menceritakan semuanya pada ayah dan warganya. Mereka meminta maaf karena telah mencuri lesung dan tiga getuk. Datu dan warga memaafkan mereka bertiga. Mereka juga bersyukur sebab memiliki calon pemimpin di masa depan. Kelak Punta Balarai akan menjadi seorang Datu yang hebat. Kadra Puju dan Kadra Pacung menjadi hulubalang yang luarbiasa.

Lubuk dimana Punta Balarai dan dua sahabatnya Kadra Puju dan Kadra Pacung meletakkan lesung-lesung untuk menjebak raksasa kemudian dinamakan dengan, Lubuk Lesung. Sampai sekarang Lubuk Lesung masih ada, yang terletak di Sungai Keruh, di Desa Gajah Mati, Kecamatan Sungai Keruh, Kabupaten Musi Banyuasin. Karena seringnya warga menumbuk buah padi. Akhirnya buah padi semakin kecil seperti sekarang. Orang tidak lagi menyebut buah padi, tapi biji padi atau bulir padi.

Oleh. Joni Apero.
Editor. Desti, S.Sos.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 26 Agustus 201.
Sumber Andai-andai: Sastra lisan masyarakat di Kecamatan Sungai Keruh, Musi Banyuasin.

Arti Kata: Datu: Gelar pemimpin tradisonal Melayu. Puyang: Gelar Bangsawan/orang yang dihormati/tokoh agama/ketua adat. Lubuk: Bagian badan sungai yang terletak di pengkolan/tikungan aliran sungai, dimana kedalaman dan luas badan sungai lebih lebar dan dalam. Talang: Nama pemukiman tradisional zaman dahulu. Umak: Ibu. Bak: Ayah. Bilik: Tempat menyimpan hasil panen, terutama padi. Embacang: Nama buah-buahan sejenis buah mangga. Bunang: Keranjang besar yang dibuat dari anyaman bambu. Keranjang ini khusus untuk mengangkut padi karena rapat dan besar. Getuk: Kentongan, biasanya dibuat dari cangkang kura-kura atau labi-labi sungai.

Sy. Apero Fublic.

3/27/2021

Sungai Keruh: Mitos Antu Golong Ijok

Apero Fublic.- Mitos. Di Kecamatan Sungai Keruh, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Ada sebuah mitos yang tersebar ditengah masyarakatnya sejak dahulu. Cerita hantu gulung ijuk ditahun 90-an masih menjadi topik hangat dalam cerita hantu anak-anak di Sungai Keruh. Saat mereka bermain, siang atau malam hari.

Waktu itu, masih dijadikan anak-anak untuk saling takut-manakuti sesama teman-temannya. Sehingga teriakan hantu gulung ijuk akan membuat semuanya berlari tunggang langgang. Namun, seiring waktu, mitos hantu gulung ijuk mulai terlupakan. Hadirnya televisi dan smartphone mengikis cerita horor itu.

Antu Golong Ijok atau Hantu Gulung Ijuk menurut masyarakat adalah mahkluk campuran antara mahluk halus (Jin) dan bukan mahluk halus (mahluk nyata). Dinamakan demikian karena hantu ini menyerupai gumpalan ijuk pada struktur wujudnya saat berjumpa dengan manusia. Kebiasaan hantu ini menurut masyarakat, selalu menggulung tubuhnya, dengan bentuk bulat seperti roda. Lalu menggelinding kemana dia suka. Dengan demikianlah sehingga hantu ini, dinamakan masyarakat dengan hantu golong ijok atau hatu gulung ijuk.

Kata golong berarti gulung, sedangkan Ijok bermakna ijuk. Ijok atau ijuk adalah bagian dari pohon enau atau aren yang berbentuk seperti benang berwarna hitam. Ijuk sering dijadikan sapu dan atap pondok di zaman dahulu.

Ciri-Ciri Hantu Gulung Ijuk (Golong Ijok)

1.Ciri utama hantu gulung ijuk bentuk tubuhnya, terdiri dari gumpalan-gumpalan ijuk yang memembentuk struktur tubuhnya.

2.Dengan tubuh berstruktur seperti ijuk, dia dapat merubah wujud atau bentuknya sesuai yang dia suka. Tetapi tetap berstruktur warna hitam yang terdiri dari gumpalan ijuk. Misalnya dia merubah wujudnya yang semulah berbentuk seperti manusia berubah menjadi ular. Bentuk perubahan wujudnya menjadi ular terdiri dari serat-serat ijuk yang memanjang seperti ular.

3.Mata hantu gulung ijuk bundar besar berwarna merah, bertaring hitam, gigi hitam, lidah hitam, hidung hitam. Mata adalah satu-satunya pada anggota tubuh yang berwarna merah. Selain itu, hitam seperti ijuk enau.

4.Hantu gulung ijuk, tubuhnya dapat berubah menjadi bundar seperti bolah atau Seperti rofa, lalu menggelinding seperti bola bowling. Tapi menggelinding bukan hanya ke tempat yang rendah, tapi sebaliknya dapat juga menggelinding ketempat yang tinggi atau menajak.

5.Hantu gulung ijuk, dapat meniru suara yang dia dengar dengan sama persis dari sumber suara yang dia dengar.

6.Hantu gulung ijuk dapat menyesatkan orang di dalam hutan. Dengan cara memindahkan tumbuhan-tumbuhan untuk menutup jalan setapak di hutan. Tanpa meninggalkan bekas sedikitpun, sehingga manusia akan tersesat karena tidak mengenali lagi jalannya.

7.Apabilah tidur, berhenti, atau istirahat hantu gulung ijuk kembali menggulung tubuhnya. Kadang melingkar diatas dahan pohon, batang pohon, atau melingkar seperti ular dan bergulung seperti roda pada batang atau cabang pohon.

Hantu gulung ijuk tinggal di hutan lebat. Berdiam di dalam lobang pohon, diakar pohon besar (banir) diatas pohon besar yang tinggi, atau di dalam gua-gua. Hantu ini, menurut mitos masyarakat suka menculik anak-anak yang suka bermain di hutan atau sekitar hutan.

Anak-anak yang diculik akan dijadikan sanderaannya, dia kurung di dalam kandang atau dia ikat diatas pohon tinggi sehingga tidak dapat melarikan diri lagi. Anak-anak tersebut ada yang dijadikannya makanan dan ada juga yang dia jadikan pengikutnya.

Untuk anak-anak dihimbau agar tidak bermain di hutan atau dipinggir hutan seorang diri atau bersama teman-teman tanpa ada orang tua. Karena rentan sekali diculik oleh hantu gulung ijuk ini. Mitos ini kemungkinan dimunculkan masyarakat Sungai Keruh untuk menakuti anak-anak zaman dahulu agar tidak suka bermain-main di hutan.

Sebab di hutan banyak bahaya, baik zaman dahulu atau zaman sekarang. Hutan adalah tempat yang tidak aman bagi anak-anak. Namun, sebagian besar masyarakat ada yang mempercayai kalau hantu gulung ijuk benar-benar ada.

Oleh. Joni Apero
Editor. Selita, S.Pd.
Tatagambar. Dadang Saputra.
Palembang, 27 Maret 2021.
Sumber tulisan ini disarikan dari cerita-cerita yang tersebar pada masyarakat di Kecamatan Sungai Keruh, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Cerita diwariskan secara lisan yang dituturkan secara turun-temurun. Masyarakat mengistilahkan cerita lisan itu dengan, andai-andai (mendongeng).

Sy. Apero Fublic