3/21/2020

Legenda Cinta Puyang Gadis. Sumatera Selatan

Apero Fublic.- Kisah sebenarnya diperkirakan terjadi diawal abad ke 18 Masehi. Semasa Pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I. Pemerintahan Marga (pedatuan) telah menyatu dengan Kesultanan Palembang. Marga Sungai Keruh terdiri dari Talang Gajah Mati, Kertajaya, Tebing Bulang, Kertayu, Sukalali, Pagar Kaya, Rantau Sialang dan Sindang Marga. Marga di pimpin pasira dengan gelar Depati. Pasirah dibantu seorang Pembarap, juru tulis, dan penghulu. Selain itu ada 12 orang dewan marga (jurai tue). Pasukan Marga terdiri dari pasukan perwakilan dari setiap talang.

Setiap talang juga diwajibkan mengirim dua orang untuk menjadi Dewan Marga. Sepuluh orang pemuda untuk menjadi Pasukan Marga. Talang dipimpin oleh Keria, dibantu Punggawa, juga orang tua-tua, tokoh adat, dan seorang ketib dan modin. Ketib pemimpin keagamaan di talang-talang. Ketib mengurus pernikahan serta menjadi imam masjid. Ketib (khatib) bertanggung jawab pada penghulu. Penghulu bertanggung jawab pada Pati di Palembang yang mengurusi masalah kehakiman dan pemerintahan.

*****

Perahu dan rakit tertambat di tepian-tepian mandi. Satu keluarga memiliki beberapa perahu. Tepian mandi mengapung terbuat dari kayu apung dan berlantai papan. Sesekali di Sungai Keruh melintas penduduk marga dari hulu sungai menggunakan perahu atau rakit bambu. Ada yang dari Palembang, dari berdagang, atau pulang dari ladang. Melalui sungai juga warga saling mengunjungi. Sungai Keruh menjadi jalur transportasi waktu itu.

Komoditas dagang seperti getah damar, kemenyan, kayu ulin, padi kering, rotan, madu, gaharu, rempah-rempah, bambu, atap serdang, atap sirap, gerabah, jenis senjata, tenunan, garam, hasil hutan, kapas, getah ubo dan lainnya. Mereka berdagang ke Marga Sekayu dan ke Palembang. Di kawasan negeri Batanghari Sembilan pedagang yang terkenal adalah Orang Kayu Agung. Ciri khas mereka selalu menggunakan perahu kajang yang beratap saat berdagang.

*****

Suatu hari, sebuah perahu kajang merapat bersandar di tepian mandi di tengah Talang Gajah Mati. Seorang lelaki berumur empat pulu lima tahun keluar dari balik atap perahu kajang. Memakai baju teluk belanga, celana panjang dan kain songket terikat di pinggang. Rambutnya yang agak panjang dan sudah ada ubannya diikat dengan tanjak songket. Tanjak nama ikat kepala khas orang Melayu di Sumatera Selatan.

Seorang pemuda sebagai pekerja si pedagang menambatkan perahu. Sementara seorang pemuda lagi masih duduk diperahu sambil mendayung pelan mengatur letak perahu. Belum usai mereka mengangkut barang dagangan ke atas. Sebuah perahu kajang besar dengan dua pendayung datang dari arah hilir. Seorang pedagang berdiri di haluan perahu.

“Mahmud, lah sampai di Gajah Mati. Pedagang yang sudah berada di atas tebing menoleh kearah perahu yang juga mendekat merapat ketepian. Dia meletakkan keranjang berisi banyak gerabah.

“Iya, Aku tidak mampir ke talang Rantau Sialang. Langsung ke Gajah Mati.” Jawabnya sambil tersenyum. Mereka tampak berbincang akrab. Rupanya mereka sama-sama dari Marga Kayu Agung. Sebuah perahu warga melintas dan melambaikan tangan sambil mengucap salam. Mereka menjawab bersamaan.

*****

Dua orang laki-laki berumur empat puluhan tahun berlalu di sisi tebing. Mereka menggendong keranjang dan membawa bedil kecepek.

“Beli kecepek baru, Koyong.” Teriak pedagang yang baru sampai sudah berdiri di atas tepian menawarkan dagangannya. 

“Lain kali Dindo, kami nak ke Ume.” Jawab warga itu terus melangkah.

Kedua pedagang itu sama-sama membawa barang dagangan ke atas. Dibantu para awak perahu mereka masing-masing. Beberapa kali mereka naik turun mengangkut dagangan ke atas. Pedagang yang baru tiba dia menjual jenis senjata. Seperti, senjata api tradisional jenis kecepek, mata tombak, pedang, pisau, parang, cangkul, linggis dan lainnya. Mereka menggelar dagangan di lapangan berumput yang di teduhi sebatang pohon embacang. Banyak anak-anak melihat dua pedagang itu datang, mereka berteriak-teriak.

“Orang Kayu Agung, Orang Kayu Agung.” teriak mereka. Dengan cepat tersebar berita ada pedagang datang. Penduduk tahu kalau orang Kayu Agung datang pasti berjualan gerabah atau senjata. Maka ramailah datang untuk membeli atau sekedar melihat-lihat.

Seorang gadis cantik berumur delapan belas tahun turun dari tangga rumah panggung basepat. Dia memakai kerudung dari kain songket, berbaju kurung panjang sampai mata kaki. Terompa kayu bertali kulit menghias kakinya yang indah dan putih. Dia mendatangi kerumunan warga di hadapan dagangan orang Kayu Agung itu.

“Siti Rohani, nak beli apa?.” Seorang ibu-ibu menyapanya. Mulutnya tampak merah mengunya pinang siri.

“Ini Bik, Umak minta Rohani membeli kendi dan guci.” Jawab Rohani sambil tersenyum.

“Untuk apa beli guci, Rohani. Untuk baba.” Seorang ibu-ibu menggoda Rohani. Rohani tersenyum dan sedikit kikuk menjawab. Baba adalah istilah penyebutan alat-alat rumah tangga yang di bawak pengantin wanita saat pindah kerumah mertua atau rumah baru.

“Ah, bukanlah Bik. Untuk mengganti guci yang pecah dan persiapan periuk saja. Kalau periuk pecah, pedagang belum datang bagaimana memasak nasi.” Jawab Rohani.

*****

Seorang pemuda tampak melirik Siti Rohani. Entah kebutulan atau tidak. Siti Rohani juga melirik si pemuda tampan itu. Mata keduanya beradu dan terasa ada gemuruh di dada keduanya. Siti Rohani merunduk malu namun ada bahagia di hatinya. Si pemuda tampan kembali memilih-milih jenis senjata dihadapannya.

“Berapa kecepek ini mamak.” Tanya si pemuda pada pedagang.

“Dua puluh keping tembaga, bujang.” Jawabnya seraya tersenyum. Seorang lelaki datang menyeruak dari kerumunan orang dan memilah-milah tumpukan parang dan pedang bergantian.

“Berapa parang dan pedang.” Tanyanya.

“Parang sepuluh keping timah dan dua keping tembaga. Pedang limabelas keping tembaga dan sepuluh keping timah.” Jawabnya.

“Mahal nian, tak kurang lagi saudagar. Tanyan lagi.

“Kualitas besinya bagus, dari Syam. Membeli dari orang Arab di Palembang.” Jelas pedagang.

“Belilah Ababil. Seorang bujang harus memiliki senjata hebat. Senjata andalan.” Kata seorang laki-laki berumur 30-an tahun. Dia duduk menimang-nimang senjata juga. Beberapa orang penduduk tampak melihat dan menimang-nimang senjata api tradisional, kecepek. Mereka tampaknya tertarik dengan senjata api itu.

Ababil dan beberapa warga membeli parang dan senjata api kecepek. Sedangkan Siti Rohani dan beberapa orang ibu-ibu membeli gerabah kebutuhan mereka. Setelah pembeli sepi, kedua pedagang itu mengemasi barang-barang mereka. Mereka pamit dan berperahu menuju ke hulu menuju Talang Tebing Bulang dan seterusnya.

*****

Hari-hari berlalu, Ababil dan Siti Rohani terus bersahabat. Ababil pun akhirnya menyatakan cintanya dan berniat meminang Siti Rohani. Keduanya memang sepadan. Si cantik yang salehah dan si tampan yang shaleh. Suatu hari Ababil mengirim surat cintanya pada Siti Rohani. Ababil menulis dengan aksara Arab Melayu. Melalui seorang anak perempuan dia menyampaikan surat pada Siti Rohani di suatu sore. Suratnya diawali dengan pantun yang indah.

 

Assalamualaikum, wahai gadis cantik yang telah merampas hatiku.
Merpati terbang kepakkan bulu.
Bulu mendera jatu satu persatu.
Hati di dalam menyimpan rindu.
Rindukan adinda kekasih hatiku.
Adinda Rohani, kalau seumpama kita tak berjodoh. Baiklah kita mati bersama. Sebab cinta ini tiadalah dapat dipisah lagi. Seperti daging dan tulang. Kakanda takkan sanggup berpisah atau pun jauh dari adinda. Kalau adinda sedang berjalan di tengah padang rumput. Tengoklah langit yang biru. Seperti itulah cinta Kanda pada Adinda. Apabila hari sedang hujan. Adik tengok teratak atap. Begitulah kiranya deras air mata kakanda. Apa bila kita jauh dan berpisah. Tapi, besar harapan kakanda kalau hidup bahagia bersama Adinda..
Ababil
5 Zulhijah, 1103 Hijriyah.

 

Mereka berdua selalu berkomunikasi dengan surat. Sebab Undang-Undang Simbur Cahaya dari Kesultanan Palembang diterapkan di Seluruh Negeri Batang Hari Sembilan (Kesultanan Palembang). Hukum Islam melarang wanita dan laki-laki berdua-duaan apalagi di tempat sepi. Adat Melayu yang kuat dalam menjaga norma susilah telah menjaga moral masyarakat.

*****

Siti Rohani yang sangat cantik telah banyak menawan hati para bujang-bujang di Talang Gajah Mati. Sehingga mereka berusaha mendapatkan Siti Rohani dengan cara masing-masing. Ada yang datang memberikan hadia-hadia, seperti kain songket, baju kurung, atau tekuluk songket bersulam emas. Namun hati Siti Rohani telah terpaut pada Ababil. Sehingga apa pun usaha mereka tidak ada artinya. Salah satu pemuda yang menyukai Siti Rohani adalah anak Saudagar Hasan, bernama Zainudin.

Cinta Zainudin sangat tidak wajar sebab dibalut rasa sombong karena dia anak saudagar kaya. Zainudin merasa tidak terimah dan merasa kalah bersaing dengan Ababil. Seorang pemuda sederhana dan pendiam pula.

Sementara Ababil sendiri tidak merasa bersaing. Suatu hari, Zainudin berkunjung ke rumah Siti Rohani. Dia membawa kain songket bersulam emas. Zainudin membeli kain songket saat dia pergi ke Palembang. Membeli pada seorang pedagang dari Marga Meranjat. Memang daerah Marga Meranjat banyak penenun songket yang bagus dan baik kualitasnya.

“Adinda, Rohani. Maukah adinda menjadi istri kakanda?.” tanya Zainudin.

“Maafkan adinda, kakanda Zainudin. Bukan adinda menolak atau tidak menerimah. Tapi sebab yang lain. Hati adinda telah dimiliki seseorang. Saya berharap, kanda Zainudin sudi memamaafkan Rohani.” Itulah jawaban Siti Rohani. Waktu berlalu dan jawaban tetap sama. Hanya Ababil yang dapat memiliki hati Siti Rohani.

*****

Banyak bujang-bujang yang iri pada Ababil. Tapi mereka dewasa dan tidak mempermasalhkan. Cinta tidak dapat dipaksakan. Berbeda dengan Zainudin yang sombong atau berpaham feodal kolot. Sifat asli orang-orang zaman dahulu. Dimana kedudukan dan kekayaan menjadi simbol kehebatan. Dia tidak terima, merasa kalah dari Ababil yang sederhana. Suatu hari, Zainudin dan lima temannya menghadang Ababil di sisi talang saat Ababil pulang dari berburu rusa. Lalu mereka mengolok-olok Ababil. Zainudin ingin melampiaskan kekesalan hatinya pada Ababil.

“Berhenti orang buruk, kau begitu menjengkal sepertinya. Lewat tak bertatakrama, apalagi menegur.” Kata Zainudin. Zainudin terus disanjung dan diolok-olok lima temannya. Ababil hanya diam saja, tidak menanggapi. Lama kelamaan terjadi perang kata-kata.

Karena Zainudian dan kelima temannya telah kelewatan. Terjadilah perkelahian antara mereka. Ababil dikeroyok oleh enam orang sekaligus. Awalnya mereka hanya tangan kosong. Kemudian amarah memuncak dan mencabut senjata mereka. Pibang kidau dan Pibang kanan dicabut dari sarungnya.

Maka perkelahian pun terdengar bagaikan sebuah peperangan. Ababil adalah seorang pemuda tangkas dan cermat. Ilmu kuntaunya sangat baik dan hebat. Dia dapat mengalahkan Zainudin dan kelima temannya tanpa melukai mereka.

“Zainudin, cukup sampai disini. Aku tidak mau mencari musuh dan tidak mau membunuh. Sebab dosa besar dan bukan perbuatan seorang Muslim. Kita masih satu marga dan satu Talang. Masih ada pertalian darah satu sama lain keluarga kita. Kenapa begini, ada apa dengan kalian.” Ujar Ababil. Lalu dia perlahan menarik ujung pibangnya dari leher Zainudin, melangkah mundur.

Zainudin tampak pucat dan matanya menatap tajam pada Ababil. Ababil tidak banyak bicara lagi kemudian dia berbalik meninggal Zainudin dan lima kawannya. Ababil pergi, Zainudin mengambil pibang kanan terjatu. Kelima teman Zainudin yang masih meringis kesakitan mendekati Zainudin. Lalu mereka berbincang-bincang dengan pelan.

“Kita balas kekalahan ini, dia menginjak hargadiri kita.” Ujar temannya menghasut. Lama mereka berbincang tentang rencana jahatnya.

Sepertinya mereka menyusun sebuah rencana. Mereka semua merasa dendam, iri, dan sakit hati dikalahkan oleh Ababil seorang diri. Mereka tidak menerima atas kekalahan itu. Perkelahian mereka ternyata dilihat dua orang laki-laki yang pulang dari mencari rotan.

“Bujang-bujang itu, pastilah masalah gadis perawan, bergadu.” Ujar salah seorang dari mereka. Keduanya pergi saat melihat tidak ada yang terluka. Sepulang ke rumah keduanya juga bercerita pada keluarganya tetang perkelahian Ababil dengan teman-teman Zainudin.

Satu bulan berlalu keadaan baik-baik saja. Keadaan Talang Gajah Mati aman dan tentram. Waktu itu, sore menjelang waktu asar. Ababil pulang dari ladangnya seorang diri. Keranjang penuh dengan hasil ladang. Dalam perjalanan pulang itu, sampailah Ababil memasuki hutan belukar yang lebat. Di kiri kanan jalan setapak banyak semak-semak lebat. Sulit untuk melihat susuatu di kedua sisi jalan. Sebua moncong senjata api tradisional kecepek mengarah ke jalan. Sosok bertopeng hitam, membidik ke arah jalan. Kelepe dan pibang menggantung di punggung sosok bertopeng kain hitam itu.

“Duuaarrrrrr.” Sebuah ledakan terdengar keras. Asap mesiu mengepul dari ujung kecepek milik orang bertopeng. Kemudian sosok bertopeng kain hitam melangkah pergi menghilang dilebatnya hutan belukar.

*****

Waktu sudah lewat magrib. Ibu Ababil tampak resa dan berulang-ulang memandang ke jalanan Talang. Tapi Ababil tak kunjung pulang. Terdengar azan shalat isya di masjid. Ibu Ababil bermusyawara dengan ayah Ababil dan anaknya Saleh. Perasaannya tidak enak sekali, tdak dapat dijelaskan.

“Bagaima ini, susullah ke ume, Saleh. Kenapa koyongmu belum pulang-pulang, hari sudah malam.” Kata Ibu Ababil resah.

“Baiklah mak, Aku dengan Bak menyusul koyong ke ume.” Ujar Saleh. Dia mempersiapkan obor, menyelipkan pibang kidau dan pibang kanan dia genggam. Bedil kecepek, kelepeh wadan peluru dia sandang di bahu. Ayah Ababil juga bersiap dengan perlengkapan yang sama. Keduanya pergi menuju ladang mereka.

Beberapa waktu kemudian Talang Gajah Mati gempar. Saat keduanya membawa jasad Ababil. Ibu Ababil pingsan dan keluarga lainnya menangis histeris. Masyarakat berkumpul, keria, penggawa, ketib, Modin, dan jurai tue datang, serta langsung bermusyawarah di masjid. Agar tidak terjadi pertumpahan dara lanjutan. Sebab keluarga Ababil akan membalas apabila pelakunya diketahui. Bukan hanya pelaku, tapi keluarga pelaku juga akan menjadi sasaran, maka semua berjaga-jaga. Segera laporan dikirim ke Pesirah di Balai Marga di Tebing Bulang.

Siti Rohani tidak kalah terpukul jiwanya. Jatuh pingsan dan jatuh sakit beberapa hari kemudian. Siti Rohani datang ke kuburan Ababil. Lama dia tidak pulang menyendiri di sisi kuburan Ababil. Rasa cintanya yang sangat besar terhadap Ababil membuat dia tidak menerima kepergian Ababil. Siti Rohani akhirnya jatuh sakit keras.

“Maukah Adinda menjadi istri kakanda. Kalau mau, baiklah setelah mengetam padi tahun ini kita menikah. Agar banyak padi arang dan padi pulut untuk membuat kue.” Siti Rohani teringat surat dari Ababil. Air matanya mengalir dari kelopak matanya.

*****

Pesirah Marga Sungai Keruh, Depati Umar, Pembarap Ali, para Punggawa, juru tulis marga, dua belas anggota Dewan Marga, para tetua adat, penghulu pasirah, dua hulubalang, ayah Ababil, Keriya Talang Gajah Mati, Puyang Hasan. Mereka bermusyawarah di Rumah Marga. Rumah panggung besar panjang khusus tempat bermusyawarah. Ada ratusan masyarakat berkumpul dan pasukan siap siaga.

Semua menuntut dan meminta Depati Umar sebagai Pesirah menggerakkan pasukan dan masyarakat untuk menyelidiki pembunuhan terhadap Ababil. Hasil musyawarah, pertama mengirim surat pada penghulu dan Patih di Palembang. Melakukan penjagaan dimuara Sungai Keruh. Akan menangkap siapa saja yang mencoba melarikan diri. Mengirim tim dipimpin langsung oleh hulubalang menyelidiki kasus tersebut.

Penyelidikan berjalan dengan lambat. Puluhan pemuda diintrogasi Hulubalang Usman. Banyak yang berpikir kalau itu masala anak muda. Dugaan terkuat pada Zainudin karena air mukanya menunjukkan ada yang dia sembunyikan. Zainudin diintrogasi dengan ketat. Didukung informasi dari dua warga yang melihat saat Zainuddin mengeroyok Ababil dengan kawan-kawannya. Sehingga dia pun mengakui perbuatannya. Didukung pengakuan lima kawan Zainuddin. Zainuddin menjadi tersangka pembunuhan berencana.

Keputusan rapat besar marga. Zainudin dihukum mati. Sementara lima teman Zainudin dikirim ke Palembang dihukum penjara lima tahun. Setelah masa hukuman kurung habis mereka bekerja di Pelabuhan Sultan tanpa digaji selama lima tahun juga.

Sementara itu, kondisi Siti Rohani terus memprihatinkan. Tekanan jiwa terus mengguncang dirinya. Sehingga membuat sakit fisik dan jiwanya. Tubuh semakin kurus dan kurus. Tiga bulan setelah kematian Ababil. Siti Rohani juga menghembuskan nafas terakhir. Dia di kubur di belakang rumahnya. Tidak jauh dari tebing Sungai Keruh dan tepian mandinya.

*****

Empat abad berlalu keadaan masyarakat berubah. Talang Gajah Mati awalnya terpisah oleh Sungai Keruh sekarang menyatu semuanya pinda keseberang. Rumah Siti Rohani atau Puyang Gadis telah hancur dimakan waktu. Hanyak meninggalkan lapangan berumput cukup luas. Tidak jauh dari makam Siti Rohani ada Sungai Gelumbang mengalir dengan air jernih. Pemilik tanah berpindah-pindah dari waktu ke waktu. Penduduk Talang Gajah Mati pun bertambah banyak.

Kisah Siti Rohani terus diceritakan turun temurun, lama kelamaan cerita tidak lagi lengkap. Sehingga hanya sedikit saja orang yang tahu. Penduduk menganggap Siti Rohani adalah leluhur mereka. Maka masyarakat memberinya gelar puyang. Karena wanita yang belum pernah menikah dinamakan gadis. Maka disebut oleh penduduk dengan, Puyang Gadis. Makam Puyang Gadis dapat dijumpai, dan sudah dipugar oleh Pemerintah. Makam Puyang Bujang (Ababil) terletak sekitar 200 meter dari makam Puyang Gadis, tapi hilang sebab dibuldoser sekitar tahun 1960-an. Rangkaian cerita hanyalah rekaan sebagai ilustrasi peristiwa. Karena kehidupan semasa Kesultanan Palembang maka latar pemerintahan juga masa Kesultanan Palembang Darussalam.

Foto makam Puyang Gadis atau Siti Rohani.

Oleh. Joni Apero
Editor. Desti, S. Sos.
Foto. Dadang Saputra.
Palembang, 19 Maret 2020.

Arti Kata:
Bak: Ayah. Umak: Ibu. Koyong: Kakak. Ume: Ladang. Bae: Saja, nanti (abstrak). Kelepe: Wadah tempat penyimpanan racikan mesiu senjata api kecepek. Basepat: istilah penyebutan nama jenis rumah panggung yang lantainya naik turun. Puyang:-ada empat pengertian: 1. Gelar Kehormatan Pemimpin. 2. Nenek moyang. 3. Orang sakti. 4. Orang tua dari nenek kita.

Daftar Baca:
Husni Rahim. Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi Tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang. Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1998.
K.H.O. Gadjahnata dan Sri Edi Swasono. Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan. Jakarta: UI-PRESS, 1986.
M. Arlan Ismail. Marga di Bumi Sriwijaya: Sistem Pemerintahan, Kesatuan Masyarakat Hukum Daerah Uluan Sumatera Selatan. Palembang: UNANTI PRESS, 2004.

Sy. Apero Fublic

0 komentar:

Post a Comment