Pasukan Marga terdiri
dari pasukan perwakilan dari setiap talang. Setiap dusun juga diwajibkan
mengirim dua orang untuk menjadi Dewan Marga. Sepuluh orang pemuda untuk
menjadi Pasukan Marga.
Talang dipimpin oleh
Keria, dibantu Kepala Kampung yaitu Punggawa. Pemerintahan Dusun dibantu oleh
orang tua-tua, tokoh adat, dan seorang ketib dan modin. Ketib pemimpin
keagamaan dusun. Mengurus pernikahan serta menjadi imam masjid. Ketib (khatib)
mereka bertanggung jawab pada penghulu. Penghulu bertanggung jawab pada Pati di
Palembang yang mengurusi masalah kehakiman dan pemerintahan.
****
Perahu dan rakit
tertambat di tepian-tepian mandi. Satu keluarga memiliki beberapa perahu.
Tepian mandi mengapung terbuat dari kayu apung dan berlantai papan. Sesekali di
Sungai Keruh melintas penduduk marga dari hulu sungai menggunakan perahu atau
rakit bambu. Ada yang dari kota, berdagang, pulang dari ladang, atau saling
mengunjungi. Sungai Keruh menjadi jalur transportasi waktu itu.
Komoditas dagang
seperti getah damar, kemenyan, kayu ulin, padi kering, rotan, madu, gaharu,
rempah-rempah, bambu, atap rumbiah, atap sirap, gerabah, jenis senjata,
tenunan, garam, hasil hutan, kapas, getah ubo dan lainnya.
Mereka berdagang ke Marga Sekayu. Kadang mereka juga langsung ke Palembang. Di
Batanghari Sembilan pedagang yang terkenal adalah Orang Kayu Agung. Ciri khas
mereka selalu menggunakan perahu kajang yang beratap saat berdagang.
*****
Suatu hari, sebuah
perahu kajang merapat bersandar di tepian mandi di tengah Dusun Gajah Mati.
Seorang lelaki berumur empat pulu lima tahun keluar dari balik atap perahu
kajang. Memakai baju teluk belanga, celana panjang dan kain songket terikat di
pinggang. Rambutnya yang agak panjang dan sudah ada ubannya diikat dengan
tanjak songket. Tanjak nama ikat kepala khas orang Palembang.
Seorang pemuda
sebagai pekerja si pedagang menambatkan perahu. Sementara seorang pemuda lagi
masih duduk diperahu sambil mendayung pelan mengatur letak perahu.
Belum usai mereka
mengangkut barang dagangan ke atas. Sebuah perahu kajang besar dengan dua
pendayung datang dari arah hilir. Seorang pedagang berdiri di haluan perahu.
“Mahmud, lah sampai
Gajah Mati?. Pedagang yang sudah berada di atas tebing menoleh kearah perahu
yang juga mendekat merapat ketepian. Dia meletakkan keranjang berisi banyak
gerabah.
“Iya, aku tidak
mampir ke talang Rantau Sialang. Langsung ke Gajah Mati.” jawabnya sambil
tersenyum. Mereka tampak berbincang akrab. Rupanya mereka sama-sama dari Kayu
Agung. Sebuah perahu warga melintas dan melambaikan tangan sambil mengucap salam.
Mereka menjawab bersamaan.
“Beli senjata, dak?.”
Teriak pedagang yang baru sampai sudah berdiri di atas tepian.
“Lain kali mamak,
kami nak ke Ume.” Jawab warga itu sambil mendayung ringan. Istrinya duduk
tenang memegang keranjang. Sedangkan anaknya memainkan air sungai dari sisi
perahu.
Kedua pedagang itu
sama-sama membawa barang dagangan ke atas. Dibantu para awak perahu mereka
masing-masing. Beberapa kali mereka mengangkut dengan kanjang (keranjang).
Pedagang yang baru datang khusus menjual senjata. Seperti, senjata api
tradisional jenis kecepek, mata tombak, pedang, pisau, parang, cangkul, linggis
dan lainnya.
Mereka menggelar
dagangan di lapangan berumput yang diteduhi pohon embacang. Banyak anak-anak
melihat dua pedagang itu datang, mereka berteriak-teriak.
“Orang Kayu Agung,
Orang Kayu Agung.” teriak mereka. Dengan cepat tersebar berita ada pedagang
datang. Penduduk tahu kalau orang Kayu Agung datang pasti berjualan gerabah
atau senjata. Maka ramailah datang untuk membeli atau sekedar melihat-lihat.
Seorang gadis cantik
berumur delapan belas tahun turun dari tangga rumah panggung basepat.
Dia memakai kerudung dari kain songket, berbaju kurung panjang sampai mata kaki.
Terompa kayu bertali kulit menghias kakinya yang indah dan putih. Dia
mendatangi kerumunan warga di hadapan dagangan orang Kayu Agung itu.
“Siti Rohani, nak
beli apa?.” Seorang ibu-ibu menyapanya. Mulutnya tampak merah mengunya pinang
siri.
“Ini Bik, Umak minta
Rohani membeli kendi dan guci.” Jawab Rohani sambil tersenyum.
“Untuk apa beli guci,
Rohani. Untuk baba?.” Seorang ibu-ibu menggoda Rohani. Rohani
tersenyum dan sedikit kikuk menjawab.
Baba adalah
istilah penyebutan alat-alat rumah tangga yang di bawak pengantin wanita saat
pindah kerumah mertua atau rumah baru. Rohani menjawab untuk mengganti sebuah
guci yang pecah.
*****
Seorang pemuda tampak
melirik Siti Rohani. Entah kebutulan atau tidak. Siti Rohani juga melirik si
pemuda tampan. Mata keduanya beradu dan terasa ada gemuruh di dada keduanya.
Siti Rohani merunduk malu namun ada bahagia di hatinya. Si pemuda tampan
kembali memilih-milih jenis senjata dihadapannya.
“Berapa kecepek
ini mamak?.” Mamak bahasa Melayu Sumatera Selatan berarti Paman.
“Dua puluh keping
tembaga, bujang.” Jawabnya seraya tersenyum. Seorang lelaki datang dan
memilah-milah tumpukan parang dan pedang bergantian.
“Berapa parang dan
pedang.” Tanyanya.
“Parang sepuluh
keping timah dan dua tembaga. Pedang limabelas keping tembaga dan sepuluh
keping timah.” Jawabnya.
“Mahal nian, tak
kurang lagi?. Tanyan lagi.
“Kualitas besinya
bagus, dari Syam. Membeli dari orang Arab di Palembang.” Jelas pedagang.
“Belilah Ababil.
Seorang bujang harus memiliki senjata hebat. Senjata andalan.” Kata seorang
laki-laki berumur 30-an tahun. Dia duduk menimang-nimang senjata juga. Beberapa
orang penduduk tampak melihat dan menimang-nimang senjata api tradisional, kecepek.
Mereka tampaknya tertarik dengan senjata api itu.
Ababil dan beberapa
warga membeli pibang dan senjata api tradisional, kecepek. Sedangkan Siti
Rohani dan beberapa orang ibu-ibu membeli gerabah kebutuhan mereka. Setelah
pembeli sepi, kedua pedagang dari Marga Kayu Agung itu mengemasi barang-barang
mereka. Mereka pamit dan berperahu menuju ke hulu menuju Dusun Tebing Bulang
dan seterusnya.
****
Hari-hari berlalu,
Ababil dan Siti Rohani terus bersahabat. Ababil pun akhirnya menyatakan
cintanya dan berniat meminang Siti Rohani. Keduanya memang sepadan. Si cantik
yang salehah dan si tampan yang shaleh. Suatu hari Ababil mengirim surat
cintanya pada Siti Rohani. Ababil menulis dengan aksara Arab Melayu. Melalui
seorang anak perempuan dia menyampaikan surat pada Siti Rohani di suatu sore. Suratnya
diawali dengan pantun yang indah.
Assalamualaikum,
wahai gadis cantik yang telah merampas hatiku.
Merpati
terbang kepakkan bulu.
Bulu
mendera jatu satu persatu.
Hati
didalam menyimpan rindu.
Rindukan
adinda kekasih hatiku.
Adinda
Rohani, kalau seumpama kita tak berjodoh. Baiklah kita mati bersama. Sebab
cinta ini tiadalah dapat dipisah lagi. Seperti daging dan tulang. Kakanda
takkan sanggup berpisah ataupun jauh dari adinda. Kalau adinda sedang berjalan
ditengah padang rumput. Tengoklah langit yang biru. Seperti itulah cinta Kanda
pada Adinda. Apabila hari sedang hujan. Adik tengok turunan atap. Begitulah
kiranya deras air mata kakanda. Apa bila kita jauh dan berpisah.Tapi, kakanda
akan bahagia hidup bersama adinda, Dunia da akhirat.
Ababil
5
Zulhijah, 1103 Hijriyah.
Mereka berdua selalu
berkomunikasi dengan surat. Sebab Undang-Undang Simbur Cahaya dari Kesultanan
Palembang diterapkan di Seluruh Negeri Batang Hari Sembilan (Kesultanan
Palembang). Hukum Islam melarang wanita dan laki-laki berdua-duaan apalagi
ditempat sepi. Adat Melayu yang kuat dalam menjaga norma susilah telah menjaga
moral masyarakat.
*****
Siti Rohani yang
sangat cantik telah banyak menawan hati para bujang-bujang di Talang Gajah
Mati. Sehingga mereka berusaha mendapatkan Siti Rohani dengan cara
masing-masing. Ada yang datang memberikan hadia-hadia, seperti kain songket,
baju kurung, atau tekuluk songket bersulam emas. Namun hati Siti Rohani telah
terpaut pada Ababil. Sehingga apa pun usaha mereka tidak ada artinya. Salah
satu pemuda yang menyukai Siti Rohani adalah anak Saudagar Hasan, bernama Zainudin.
Cinta Zainudin sangat
tidak wajar sebab dibalut rasa sombong karena dia anak saudagar kaya. Zainudin
merasa tidak terimah dan merasa kalah bersaing dengan Ababil. Seorang pemuda
sederhana dan pendiam pula.
Sementara Ababil
sendiri tidak merasa bersaing. Suatu hari, Zainudin berkunjung kerumah Siti
Rohani. Dia membawa kain songket bersulam emas. Zainudin membeli kain songket
saat dia pergi ke Palembang. Membeli pada seorang pedagang dari Marga Meranjat.
Memang daerah Marga Meranjat banyak penenun songket yang bagus dan baik
kualitasnya.
“Adinda, Rohani.
Maukah adinda menjadi istri kakanda?.” tanya Zainudin.
“Maafkan adinda, kanda
Zainudin. Bukan adinda menolak atau tidak menerimah. Tapi sebab yang lain. Hati
adinda telah dimiliki seseorang. Saya berharap, kanda Zainudin sudi memamaafkan
Rohani.” Itulah jawaban Siti Rohani. Waktu berlalu dan jawaban tetap sama.
Hanya Ababil yang dapat memiliki hati Siti Rohani.
*****
Banyak bujang-bujang
yang iri pada Ababil. Tapi mereka dewasa dan tidak mempermasalhkan. Cinta tidak
dapat dipaksakan. Berbeda dengan Zainudin yang sombong atau berpaham feodal.
Sifat asli orang-orang zaman dahulu. Dimana kedudukan dan kekayaan menjadi
simbol kehebatan. Dia tidak terima, merasa kalah dari Ababil yang sederhana. Suatu
hari, Zainudin dan lima temannya menghadang Ababil di dekat Talang saat Ababil
pulang berburu rusa. Lalu mereka mengolok-olok Ababil. Zainudin ingin
melampiaskan kekesalan hatinya pada Ababil.
“Berhenti orang
buruk, kau begitu menjengkal sepertinya.” Kata Zainudin. Zainudin terus di
olok-olok temannya. Ababil hanya diam saja, tidak menanggapi. Lama kelamaan
terjadi perang kata-kata.
Karena Zainudian dan
kelima temannya mempropokasi. Terjadilah perkelahian antara mereka. Ababil
dikeroyok oleh enam orang sekaligus. Awalnya mereka hanya tangan kosong.
Kemudian amarah memuncak dan mencabut senjata mereka. Pibang kidau dan Pibang
kanan dicabut.
Maka perkelahian pun
terdengar seperti ada sebuah peperangan. Ababil adalah seorang pemuda tangkas
dan cermat. Ilmu kuntaunya sangat baik dan hebat. Dia dapat mengalahkan
Zainudin dan kelima temannya.
“Zainudin, cukup
sampai disini. Aku tidak mau mencari musuh dan tidak mau membunuh. Sebab dosa
besar dan bukan perbuatan seorang Muslim. Kita masih satu marga dan satu Talang.
Masih ada pertalian darah satu sama lain keluarga kita. Kenapa begini, ada apa
dengan kalian.” Ujar Ababil. Lalu dia perlahan menarik ujung pibangnya dari
leher Zainudin, melangkah mundur.
Zainudin tampak pucat
dan matanya menatap tajam pada Ababil. Ababil tidak banyak bicara kemudian dia
berbalik meninggal Zainudin dan lima kawannya. Ababil pergi, Zainudin mengambil
pibang kanan terjatu. Kelima teman Zainudin yang masih meringis kesakitan
mendekati Zainudin. Lalu mereka berbincang-bincang dengan pelan.
“Kita balas kekalahan
ini, dia menginjak hargadiri kita.” Ujar temannya menghasut. Lama mereka
berbincang tentang rencana jahatnya.
Sepertinya mereka
menyusun sebuah rencana. Mereka semua merasa dendam, iri, dan sakit hati
dikalahkan oleh Ababil seorang diri. Mereka tidak menerima atas kekalahan itu.
Perkelahian mereka ternyata dilihat dua orang laki-laki yang pulang dari
mencari rotan.
“Bujang-bujang,
pastilah masalah gadis perawan bergadu.” Ujar salah seorang dari mereka.
Keduanya pergi melihat karena tidak ada yang terluka. Sepulang ke rumah
keduanya juga bercerita pada keluarganya tetang perkelahian Ababil dengan
teman-teman Zainudin.
Satu bulan berlalu
keadaan baik-baik saja. Keadaan Talang Gajah Mati aman dan tentram. Waktu itu,
sore menjelang waktu asar. Ababil pulang dari ladangnya seorang diri. Keranjang
penuh dengan hasil ladang. Dalam perjalanan pulang itu, sampailah Ababil
memasuki hutan belukar yang lebat. Di kiri kanan jalan setapak semak-semak
lebat. Sulit untuk melihat susuatu di kedua sisi jalan. Sebua moncong senjata
api tradisional kecepek mengarah ke jalan. Sosok bertopeng hitam, membidik ke
arah jalan. Kelepe dan pibang menggantung di
punggung sosok bertopeng kain hitam itu.
“Duuaarrrrrr.” Sebuah
ledakan terdengar keras. Asap mesiu mengepul dari ujung kecepek milik orang
bertopeng. Kemudian sosok bertopeng kain hitam melangkah pergi menghilang
dilebatnya hutan belukar.
****
Waktu sudah lewat
magrib. Ibu Ababil tampak resa dan berulang-ulang memandang ke jalanan Talang. Tapi
Ababil tak kunjung pulang. Terdengar azan shalat isya di masjid. Ibu Ababil
bermusyawara dengan ayah Ababil dan anaknya Saleh. Perasaannya tidak enak
sekali, tdak dapat dijelaskan.
“Bagaima ini,
susullah ke ume, Saleh. Kenapa koyongmu belum pulang-pulang, hari sudah malam.”
Kata Ibu Ababil resah.
“Baiklah mak, Aku
dengan Bak menyusul koyong ke ume.” Ujar Saleh. Dia
mempersiapkan obor, menyelipkan pibang kidau dan pibang kanan dia genggam.
Bedil kecepek, kelepeh wadan peluru dia sandang di bahu. Ayah Ababil juga bersiap
dengan perlengkapan yang sama. Keduanya pergi menuju ladang mereka.
Beberapa waktu
kemudian TalangGajah Mati gempar. Saat keduanya membawa jasad Ababil. Ibu
Ababil pingsan dan keluarga lainnya menangis histeris. Masyarakat berkumpul,
keria, penggawa, ketib, Modin, dan tetua dusun datang, serta langsung
bermusyawarah di masjid. Agar tidak terjadi pertumpahan dara lanjutan, sebab
keluarga Ababil akan membalas apabila pelakunya diketahui. Bukan hanya pelaku,
tapi keluarga pelaku juga akan menjadi sasaran, maka semua berjaga-jaga. Segera
laporan dikirim ke Pesirah di Rumah Marga.
Siti Rohani tidak
kalah terpukul jiwanya. Jatuh pingsan dan jatuh sakit beberapa hari kemudian.
Siti Rohani datang ke kuburan Ababil. Lama dia tidak pulang menyendiri di sisi
kuburan Ababil. Rasa cintanya yang sangat besar terhadap Ababil membuat dia
tidak menerima kepergian Ababil. Siti Rohani akhirnya jatuh sakit keras.
****
Pesirah Marga Sungai
Keruh Depati Umar, Pembarap Ali, para Punggawa, juru tulis marga, dua belas
anggota Dewan Marga, para tetua adat, penghulu pasirah, dua hulubalang, ayah
Ababil, Keriya Talang Gajah Mati Puyang Hasan. Mereka bermusyawarah di Rumah
Marga. Rumah panggung besar panjang khusus tempat bermusyawarah. Ratusan
masyarakat berkumpul dan pasukan siap siaga.
Semua menuntut dan
meminta Depati Umar sebagai Pesirah menggerakkan pasukan dan masyarakat untuk
menyelidiki pembunuhan terhadap Ababil. Hasil musyawarah, pertama mengirim
surat pada penghulu dan Patih di Palembang. Melakukan penjagaan dimuara Sungai
Keruh. Akan menangkap siapa saja yang mencoba melarikan diri. Mengirim tim
dipimpin langsung oleh hulubalang menyelidiki kasus tersebut.
Penyelidikan berjalan
dengan lambat. Puluhan pemuda diintrogasi Hulubalang Usman. Banyak yang
berpikir kalau itu masala anak muda. Dugaan terkuat pada Zainudin karena air
mukanya menunjukkan ada yang dia sembunyikan. Zainudin diintrogasi dengan
ketat. Didukung informasi dari dua warga yang melihat saat Zainuddin mengeroyok
Ababil dengan kawan-kawannya. Sehingga dia pun mengakui perbuatannya. Didukung pengakuan
lima kawan Zainuddin. Zainuddin menjadi tersangka pembunuhan berencana.
Keputusan rapat besar
marga. Zainudin dihukum mati. Sementara lima teman Zainudin dikirim ke
Palembang dihukum penjara lima tahun. Setelah masa hukuman kurung habis mereka
bekerja di Pelabuhan tanpa digaji selama lima tahun juga.
Sementara itu,
kondisi Siti Rohani terus memprihatinkan. Tekanan jiwa terus mengguncang
dirinya. Sehingga membuat sakit fisik dan jiwanya. Tubuh semakin kurus dan
kurus. Tiga bulan setelah kematian Ababil. Siti Rohani juga menghembuskan nafas
terakhir. Dia di kubur di belakang rumahnya. Tidak jauh dari tebing Sungai
Keruh dan tepian mandinya.
*****
Empat abad berlalu
keadaan masyarakat berubah. Talang Gajah Mati awalnya terpisah oleh Sungai
Keruh sekarang menyatu keseberang. Rumah Siti Rohani atau Puyang Gadis telah
hancur dimakan waktu.Hanyak meninggalkan lapangan berumput cukup luas. Tidak
jauh dari makam Sungai Gelumbang mengalir. Pemilik tanah berpindah-pindah dari
waktu ke waku. Penduduk Talang Gajah Mati bertambah banyak.
Kisah Siti Rohani
terus diceritakan turun temurun, lama kelamaan cerita tidak lagi lengkap. Sehingga
hanya sedikit saja orang yang tahu. Penduduk menganggap Siti Rohani adalah
leluhur mereka. Maka masyarakat memberinya gelar puyang. Karena wanita yang
belum pernah menikah dinamakan gadis. Maka disebut oleh penduduk dengan, Puyang
Gadis. Makan dapat dijumpai, dan sudah dipugar oleh Pemerintah. Makam Puyang
Bujang (Ababil) terletak sekitar 200 meter dari makam Puyang Gadis, tapi hilang
sebab dibuldoser sekitar tahun 1960-an. Rangkaian cerita hanyalah rekaan
sebagai ilustrasi peristiwa. Sementara latar pemerintahan masa Kesultanan
Palembang Darussalam.
Foto. Dadang Saputra.
0 komentar:
Post a Comment