Esai
Kampus
Mahasiswa
Opini
Pendidikan
Remaja di Era Media Sosial: Aktivitas Fisik, Kecemasan, dan Kebugaran Tubuh
“Ketika jari terus bergerak di layar, tubuh perlahan berhenti bergerak di dunia nyata”
APERO FUBLIC I ESAI.- Kemudahan akses teknologi digital telah mengubah cara remaja menjalani kehidupan sehari-hari. Ponsel pintar hampir selalu berada dalam genggaman, menemani aktivitas sejak bangun tidur hingga menjelang waktu istirahat. Melalui media sosial, remaja terhubung dengan dunia yang bergerak cepat, penuh informasi, dan syarat perbandingan sosial.
Di balik kemudahan tersebut, muncul realitas yang kerap luput disadari: semakin lama waktu di depan layar, semakin besar pula tekanan psikologis yang dirasakan, sementara tubuh semakin jarang bergerak. Media sosial telah menjadi ruang utama bagi remaja untuk berinteraksi dan mengekspresikan diri. Platform seperti Instagram, Facebook, dan Twitter bukan hanya sarana komunikasi, tetapi juga arena pembentukan citra diri.
Data global mencatat bahwa pada Januari 2024 terdapat sekitar 5,04 miliar identitas pengguna media sosial di dunia, setara dengan 62,3 persen populasi global. Remaja menjadi kelompok paling aktif dalam arus ini, sekaligus kelompok yang paling rentan terhadap dampak psikologisnya.
Paparan media sosial yang tinggi sering kali mendorong remaja membandingkan diri dengan
standar ideal yang ditampilkan secara terus-menerus. Kehidupan yang tampak sempurna, tubuh yang dianggap ideal, serta pencapaian yang dipamerkan tanpa konteks, perlahan membentuk tekanan sosial yang tidak ringan. Kondisi ini dapat memicu kecemasan, rasa tidak aman, hingga penurunan kepercayaan diri. Ironisnya, upaya untuk terus terhubung justru membuat sebagian remaja merasa semakin terasing dan tertekan.
Di sisi lain, intensitas penggunaan media sosial yang tinggi berkontribusi pada menurunnya
aktivitas fisik remaja. Rata-rata pengguna internet di dunia menghabiskan sekitar 143 menit
per hari untuk mengakses media sosial. Waktu ini secara tidak langsung menggantikan kesempatan untuk bergerak, berolahraga, atau sekadar melakukan aktivitas fisik ringan. Padahal, aktivitas fisik memiliki peran penting tidak hanya bagi kebugaran tubuh, tetapi juga bagi kesehatan mental.
Aktivitas fisik terbukti membantu mengurangi stres, menurunkan tingkat kecemasan, serta memperbaiki suasana hati melalui pelepasan hormon endorfin. Namun, fakta menunjukkan bahwa sebagian besar remaja belum memenuhi rekomendasi aktivitas fisik yang dianjurkan. World Health Organization (WHO) dalam Global Status Report on Physical Activity 2022 menyebutkan bahwa sekitar 81 persen remaja di dunia tidak mencapai rekomendasi minimal 60 menit aktivitas fisik intensitas sedang hingga berat per hari.
Kondisi ini menunjukkan bahwa banyak remaja kehilangan salah satu mekanisme alami untuk menjaga kesehatan mentalnya. Remaja rata-rata menghabiskan sekitar 20 jam per minggu dalam aktivitas yang minim gerak. Pola hidup sedentari ini tidak hanya berdampak pada menurunnya kebugaran fisik, tetapi juga berpotensi memperburuk kondisi psikologis.
Kurangnya aktivitas fisik dapat membuat remaja lebih rentan mengalami kelelahan mental, gangguan suasana hati, serta peningkatan kecemasan. Ketika tubuh pasif dan pikiran terus dibanjiri stimulus digital, keseimbangan mental menjadi semakin sulit tercapai. Fenomena ini memperlihatkan bahwa persoalan media sosial pada remaja bukan semata-mata soal durasi penggunaan, melainkan tentang bagaimana teknologi memengaruhi kesehatan mental dan fisik secara bersamaan.
Media sosial yang tidak diimbangi dengan aktivitas fisik dapat menciptakan lingkaran masalah: kecemasan meningkat, motivasi untuk bergerak menurun, dan ketergantungan pada layar semakin kuat. Oleh karena itu, penting bagi remaja untuk mulai membangun kesadaran akan pentingnya keseimbangan hidup. Media sosial perlu ditempatkan sebagai sarana pendukung, bukan pusat kehidupan. Membatasi waktu layar dan meluangkan waktu untuk aktivitas fisik bukan hanya soal menjaga kebugaran tubuh, tetapi juga upaya menjaga kesehatan mental.
Bergerak, berolahraga, dan berinteraksi secara langsung dapat menjadi bentuk self-care yang sederhana namun berdampak besar. Pada akhirnya, remaja yang sehat bukan hanya mereka yang aktif dan terhubung secara digital, tetapi juga mereka yang mampu menjaga keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata.
Ketika tubuh diberi ruang untuk bergerak dan pikiran diberi jeda dari tekanan layar, kecemasan dapat ditekan dan kualitas hidup remaja pun meningkat. Keseimbangan inilah yang menjadi kunci agar generasi muda dapat tumbuh secara sehat, tangguh, dan berdaya ditengah arus digital yang terus berkembang.
Oleh : Tamara Adi Pradnya, I Gusti Agung Ayu Pradnya Paramita, I Gusti Agung Ayu
Pradnya Mahadewi.
Mahasiswa dari Universitas Udayana, Fakultas Kedokteran, Program Studi Sarjana Psikologi
Editor. Tim Redaksi
Sy. Apero Fublic
Via
Esai

Post a Comment