6/29/2019

Serat Piwulang Ngawula. Sastra Klasik Nusantara

Apero Fublic.- Khazana sastra Jawa sangat kaya akan karya sastra yang mengandung unsur –unsur moral maupun pendidikan. Dalam tradisi sastra Jawa, batas antara berbagai bidang pengetahuan sering diabaikan.

Bahkan pembaharuan dari berbagai bidang pengetahuan itu merupakan salah satu sifat dari sastra Jawa. Ajaran moral, unsur-unsur kepercayaan atau agama, uraian yang bersifat mistis, semuanya sering terjalin dalam satu gubahan. Akan tetapi yang paling tampak menonjol dari hasil karya sastra Jawa pada umumnya adalah unsur didaktisnya.

Banyak kitab-kitab yang khusus memuat ajaran-ajaran tanpa dijalin dalam ceritera, seperti misalnya kitab Wulang RehWedhatamaWulang SunuWulangdalemWulang PutriSurit PiwulangSerat DarmasaranaSerat NitisrutiPaniti SastraSerat NitiprajaSerat SewakaSerat Wicara KerasSerat Sasanasunu, dan sebagainya.

Dalam jenis sastra Jawa ada sastra yang digolongkan dengan sastra niti. Sastra niti adalah hasil sastra yang mengandung ajaran atau tuntunan dalam bidang pemerintahan. Tradisi penggubahan sastra niti dalam kesusastraan Jawa telah berlangsung sejak masa perkembangan sastra Jawa Kuno. Sebagai contoh sastra niti seperti, Serat Aji Pamasa.

Dalam serat Aji Pamasa disisipkan ajaran bagi raja. Maka seperti Astabrata (delapan inti seorang pemimpin dalam tradisi Jawa), Niti PrajaNiti Raja Sasana. Ajaran-ajaran dalam serat yang mengandung ajaran untuk putra raja, bangsawan, pejabat kerajaan, memuat tata pemerintahan, dan tata masyarakat. Semua jenis teks-teks yang bercerita tentang ajaran kenegaraan di golongkan dengan sastra niti.

Sastra niti ada yang dibedakan dalam khazana sastra Jawa disebut sebagai sastra wulang. Adapun yang dimaksud dengan sastra wulang adalah sastra yang memuat ajaran dan nasihat. Sastra wulang memuat ajaran bidang pemerintahan dalam bidang agama (sastra suluk, tasawuf), serta budi pekerti.

Dalam kesempatan ini, yang akan dibahas adalah Serat Piwulang Ngawula. Serat Piwulang Ngawula adalah sebuah naskah Surakarta yang tersimpan di Bagian Naskah Perpustakaan FSUI dengan ciri nomor NR.Th. P. 234. Pada halaman awalnya terdapat keterangan asalnya yaitu dibeli Jogyakarta 24 Februari 1933, dibuatkan ringkasannya oleh Mandrasastra pada bulan Agustus 1933, judul dengan keterangan berbunyi:

Piwulang Ngawula, Anyariyosaken lalampahanipun Jaka Sasana arsa ngawula Prabu Aji Pamasa, nerendra ing kadhiri. Jaka Sasana kasasar dumugi ing kahyanganing brekasakan, nanging anjalari ing kamulyanipun (Piwulang Ngawula, Ajaran Mengabdi, menceritakan kisah perjalanan Jaka Sasana hendak mengabdi di kayangan para lelembut, akan tetapi hal ini menyebabkan ia kelak menjadi mulia).

Cuplikan dalam Serat Piwulang Ngawula dalam alih aksara ke latin
Hin padhepokkan wukir Gora, kacariyos wonten satungillin wiku, karan wiku warabasaTa, gadhah hanak 4, jaler sadaya, onka 1 pambajen remen dhaten kawruh kaPandhitan/ onka 2 remen tatanen/ onka 3 remen ayudagar, makaten hugi sami kasembadan/ namun hinkan onka 4 warugil pikajengipun geseh piyambak/ wujuddipun bagus/ pasemon sumeh, polattan tajem/boten memper sutannin PaNdhiTa, nama jaka SaSana, saben-saben katantun bapakkipun supados nyambutdanel kados kakanngipun salah sutinggil/ mansulli boten purun/ malah lajen pamit nedya kesah ngupados margi hangennipun badhe nener.[1]
..............................................

Berikut contoh terjemahan dari Serat Piwulang Ngawula.
Di Padepokan gunung Gora, diceritakan ada seorang wiku, bernama wiku Wirabasata, mempunyai anak emapt orang, laki-laki semua, nomor satu, anak yang pertama senang pada pengetahuan kependetaan, yang nomor dua, senang pada bertani, nomor tiga, senang bekerja sebagai saudagar, begitu itu keinginannya semua kesampaian juga.

Hanya yang nomor empat, anak yang bungsu keinginannya lain, rupanya tampan, air mukanya menandakan bersahabat, raut wajanya serius, tidak seperti anak seorang pendeta, nama (Nya) jaka SaSana, setiap kali disarankan oleh ayahnya supaya bekerja seperti salah seorang kakak-kakaknya, menjawab tidak mau, bahkan kemudian minta ijin akan berusaha mencari cara supaya dapat mengabdi.[2]

...............................................

Hampir sebagian besar kalimat dalam Serat Piwulang Ngaula kosakatanya diambil dari kosakata di dalam Serat Aji Pamasa yang berbentuk puisi. Hanya ada yang ditambah sedikit-sedikit agar bentuk puisi itu kelihatan menjadi prosa. Dalam penelitian secara filologis oleh Dr. Parwatri Wahyono dan rekan tim, bahwa isi dalam naskah Serat Piwulang Ngawula berasal dari Naska Serat Aji Pamasa.

Gubahan bentuk prosa ini ditulis oleh  R. Ng. Ranggawarsita yang telah diterbitkan pada tahun 1896, yang terdapat di Perpustakaan Nasional Pusat dengan nomor buku XXXIII.421. Dengan kata lain, Serat Aji Pamasa merupakan naskah Babon atau naskah induk dari Serat Piwulang Ngawula.

Pada bab pertama Serat Piwulang Ngawula disebutkan pendeta yang bernama Warabasata mempunyai anak laki-laki, yang sulung gemar berolah kapanditaan sebagaimana ayahnya, yang kedua gemar bertani, yang ketiga gemar berdagang, dan yang bungsu bernama Jaka Sasana, ingin mengabdi.

Narasi ini terdapat di dalam Serat Aji Pamasa jilid III, pada pupuh I bait 18 sampai 23. Pada bait 21 disebutkan nama-nama anak sang wiku, yaitu yang sulung Sarama, yang kedua Sarana (bait 22), yang ketiga Sarata, dan yang bungsu Sasana. Sedangkan dalam Serat Piwulang Ngawula hanya nama anak bungsu saja yang disebutkan, yaitu Jaka Sasana.

Oleh: Joni Apero.
Editor. Desti. S. Sos.
Fotografer. Dadadang Saputra.
Palembang, 29 Juni 2019.
Sumber dan Hak Cipta: Parwati Wahyono, Dina Nawangingrum, dan Supriyanto Widodo. Serat Piwulang Ngawula. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994/1995.


[1]Parwati Wahyono, dkk., Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Serat Piwulang Ngawula, 1994/1995, h. 15.
[2]Ibid., h. 39.

Sy. Apero Fublic

0 komentar:

Post a Comment