8/28/2021

ANDAI-ANDAI: Baginda Sulaiman: Asal Usul Ikan Tempale dan Belut

APERO FUBLIC.- Dikisahkan pada zaman dahulu ada sebuah Talang terletak di sisi Sungai Keruh. Talang tersebut bernama Talang Gajah Mati. Dipimpin seorang Datu bernama, Puyang Dapunta Lang Panarap. Pada masa itu, manusi belum begitu banyak, kehidupan masih sangat sederhana. Rumah-rumah di Talang mereka berupa pondok sederhana yang beratap daun seredang, berdinding kulit pohon, berlantai bilah bambu. Perahu dan rakit tertambat di tepian, di belakang rumah penduduk ditanami buah-buahan seperti kelapa, pisang, duku, padare, durian, dan bermacam pohon buah lainnya. Untuk mengharumkan makanan dan minuman, penduduk menanam pandan di sekitar rumah.

Alkisah pada suatu masa, penduduk Talang Gajah Mati diganggu oleh mahluk aneh yang tinggal di dalam sungai. Makhluk tersebut bercirikan; berambut sangat panjang dan berwajah mengerikan, bertaring, mata berwarna merah, kuku tangan dan kuku kaki panjang hitam. Tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Rambut panjang makhluk itu digunakan untuk menangkap anak-anak atau orang dewasa yang sedang mandi di sungai. Dengan rambutnya dia membelit tubuh korban, lalu menarik ke dalam Sungai Keruh. Kemudian menghilang dan korban tidak pernah ditemukan lagi. Penduduk menamakan makhluk itu dengan Duguk atau Hantu Air. Sudah puluhan anak-anak dan beberapa orang dewasa yang hilang menjadi korban makhluk itu, dalam satu tahun ini.

Belum pulah dapat diatasi masalah dan musibah yang disebabkan oleh hantu air atau Duguk. Penduduk Talang Gajah Mati dan seluruh kawasan Dataran Negeri Bukit Pendape atau Marga Sungai Keruh dilanda wabah penyakit yang ditularkan oleh nyamuk (malaria). Satu demi satu penduduk sakit dan meninggal sebab wabah tersebut. Hampir setiap minggu ada penduduk yang sakit dan meninggal dunia. Untuk mencari pemecahan masalah tersebut, bermusyawarahlah Datu Talang Gajah Mati dan warganya.

Siang itu, berkumpulah warga di halaman rumah Datu, Puyang Dapunta Lang Panarap. Banyak ide-ide dan saran-sarang bagaimana menangkap hantu air dan mengatasi wabah penyakit karena gigitan nyamuk. Nyamuk sangat banyak, untuk mengusir nyamuk tersebut warga menyalakan api siang dan malam. Ada juga yang mengoleskan minyak kelapa. Namun tetap saja nyamuk tidak dapat diatasi. Dalam musyawarah itu, berkatalah seorang lelaki tua pada Datu.

“Datu, bagaimana kiranya kita mengatasi musibah melanda kita ini?. Ada baiknya datu memberikan keputusan agar musyawarah kita ini ada maknanya.” Dari tadi kita berkata dan berucap, dengan segalah saran. Ujar si orang tua pertama kalinya dia bersuara.

“Uwa, tentu memiliki pengetahuan yang lebih dari saya dan kami semua. Pengalaman hidup yang jauh lebih banyak dari kami.” Kata Datu.

“Betullah Uwa Malinau, berilah nasihat pada kami semua?.” Seorang lelaki berumur empat puluhan tahun berkata. Uwa Malinau tampak diam beberapa saat. Dia sepertinya berpikir keras dan berusaha mengingat sesuatu. Menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan nafasnya perlahan-lahan.

“Dulu pernah ada bencana serangan harimau, yang banyak memakan korban di kawasan kita ini. Lalu Datu kita waktu itu menemui Puyang Burung Jauh. Untuk meminta nasihat bagaimana cara mengatasi serangan harimau.” Kata Uwa Malinau.

“Bagaimana cara menemui, dan dimana pula tempat Puyang Burung Jauh?.” Tanya Datu.

“Aku tidak yakin, sebab Puyang Burung Jauh tidak menetap tinggalnya. Dia seorang manusia ndikat, suka mengembara dan tinggal di tempat sepi. Tapi cobalah datu bertapa di bukit Pendape. Niatkanlah bertemu dengan Puyang Burung Jauh.” Jelas Uwa Malinau. Datu menyanggupi dan dia bersegerah bersiap untuk bertapa. Sebagai pemimpin dia bertanggung jawab atas keselamatan rakyatnya. Keesokan harinya Datu Talang Gajah Mati berangkat ke Bukit Pendape, dikawal oleh seorang hulubalang dan tiga puluh prajurit. Perbekalan mereka untuk seminggu dibawa dengan keranjang.

*****

 

Tibalah di Bukit Pendape, Datu Talang Gajah Mati  bertapa di sebuah gua kecil. Pengawalnya menjaga dan mengurusi keperluannya. Hari pertama, kedua, dan baru hari ketiga datu di datangi Puyang Burung Jauh. Dia menyerupai burung Bud-Bud yang hinggap di sisi Datu.

“Ada apa kau memanggilku, cucuku?.” Tanya Puyang Burung Jauh.

Datu menceritakan tentang musibah yang dia hadapi bersama rakyatnya. Puyang Burung Jauh mengerti dan berjanji akan membantu mengatasi permasalahan mereka. Sebelum pergi dia meminta Datu Lang Panarap untuk menghentikan pertapaanya, pulang. Kabarkan berita gembira pada seluruh rakyat di Kawasan Dataran Negeri Bukit Pendape atau Marga Sungai Keruh. Setelah itu, Puyang Burung Jauh pergi dan menghilang entah kemana. Sementara itu, hulubalang dan pasukannya hanya melihat seeokor burung Bud-bud yang hinggap di sisi Datu, dan terus berbunyi-bunyi.

“Buddd...Buddd.”

“Aiiiii, bud-bud Itu!!. Mengganggulah dia, biar Aku usir.” Kata seorang prajurit yang sangar, dan berbadan kekar lagi tinggi.

“Janganlah, biarlah. Hanya burung bud-bud tidak berbahaya.” Kata teman di sisinya. Burung bud-bud melompat dan terbang jauh, datu kemudian membuka matanya, lalu berdiri. Dia melangkah ke tempat peristirahatan yang terbuat dari kayu-kayu menyerupai kursi, dia duduk. Lalu beberapa prajurit dan hulubalang datang menghampiri Datu.

“Bagaimana Datu?.”

“Sekarang kita bersiap untuk pulang, sudah selesai.” Jawab Datu.

“Apakah Puyang Burung Jauh sudah menemui Datu?.” Tanya Hulubalang.

“Sudah.” Jawab Datu singkat, kemudian dia mengambil bumbung bambu yang berisi air minum, lalu menegakkannya. Terdengar suara regukan air, tampaknya dia begitu haus.

“Apa yang dikabarkannya, puyangku?.” Tanya seorang Prajurit.

“Tidak ada, yang dia katakan agar kita segerah pulang.” Jawab Datu, semua menjadi penuh tanda tanya juga keheranan. Ada yang berpikir untuk apa mereka bersusah payah ke Bukit Pendape yang memakan waktu tujuh hari dan berada di sana selama tiga hari-tiga malam, kalau hanya diminta pulang. Namun semua tidak berani membangkang dan menuruti semua perintah Datu Puyang Lang Panarap sebagai Pemimpin di Talang Gajah Mati. Semua mulai bersiap, ibat, air minum, dan obor kuting dinyalahkan. Mereka akan membutuhkan waktu tujuh hari enam malam baru sampai di talang mereka.

*****

 

Sementara itu, burung bud-bud yang tadi menemui Datu Puyang Lang Panarap terus terbang tinggi dan jauh, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Dia melewati hutan-hutan, menyemberangi sungai, danau, lautan dan melintasi pegunungan. Kadang pula dia terbang melintasi gurun yang panas tanpa pepohonan. Kini burung bud-bud sampai di sebuah negeri yang makmur sekali. Rakyatnya sejahtera dan damai, kota yang indah dijaga prajurit-prajurit bersenjata lengkap. Burung bud-bud hinggap di atas sebuah menara istana. Dia memperhatikan taman istana kerajaan yang sangat megah dan indah. Kemudian burung bud-bud berbunyi lantang dan keras tiada henti.

“Buddddd. Buddddd. Buddddd.” Suara keras dan berulang-ulang mengusik penghuni istana. Beberapa prajurit berusaha mengusir burung, namun tidak berhasil. Sehingga mereka terpaksa melaporkan pada raja pemilik istana.

“Ampun Baginda Sulaiman, seekor burung tersesat sepertinya datang ke istana dan membuat bising, sehingga menggangu semua orang.” Kata prajurit pada Baginda Sulaiman.

“Burung tersesat atau dia sengaja datang menghadap?.” Tanya Raja negeri itu meminta kepastian.

“Tidak pasti Baginda, burung itu kalau saya amati bukan dari negeri kita. Tapi dari negeri yang jauh sekali. Baru sekali ini Aku melihat burung seperti itu.” Jawab Prajurit.

“Begitu, baiklah Aku akan menemuinya.” Kata Baginda Sulaiman dan dia bangkit dari singgasananya, lalu berjalan keluar. Prajurit mengikuti dari belakang, mengantar. Tibalah baginda Sulaiman di mana keberadaan burung bud-bud. Prajurit menunjuk menara istana, tampak seekor burung bertengger dengan santainya.

“Budddd. Buddddd.”

“Wahai tamu dari jauh, ada apa kiranya kau datang ke istanaku?.” Tanya Baginda Sulaiman. Burung bud-bud tentu mengerti apa yang diucapkan  baginda Sulaiman. Sebab salah satu mukjizat dari Baginda Sulaiman adalah mengerti bahasa-bahasa hewan. Mendengar itu, burung bud-bud terbang merendah dan mendekat baginda Sulaiman. Dia mengucap salam dan memberi penghormatan. Tentu saja para prajurit hanya mendengar suara bud-bud saja dan tidak mengerti. Sedangkan baginda Sulaiman sangat mengerti dan menilai burung bud-bud sangat sopan.

“Maaf baginda Sulaiman, Khalifah di bumi. Aku membawa kabar dari Negeri Melayu yang jauh. Rakyatnya dalam masalah besar, diserangan wabah yang disebarkan oleh nyamuk dan musibah yang disebabkan oleh jin penunggu sungai yang dinamakan mereka, Duguk. Oleh sebab itulah, saya datang menghadap baginda yang muliah.” Kata burung Bud-bud.

“Oh, begitu kiranya. Baiklah Aku akan datang membantu mengatasi masalah mereka.” Ujar Baginda Sulaiman. Para prajurit hanya diam saja, tapi mereka tidak merasa aneh, sebab memang mereka sudah tahu mukjizat baginda Sulaiman yang mengerti bahasa hewan-hewan.

“Angin, datanglah kita akan berpergian jauh.” Kata baginda Sulaiman memerintahkan angin. Mukjizat baginda Sulaiman lainnya dapat memerintahkan dan mengendarai angin. Angin datang menerbangkan sebuah karpet merah. Baginda Sulaiman mengambil tongkatnya, dan meminta burung bud-bud untuk terbang bersamanya. Burung bud-bud melompat ke atas karpet yang mengambang di udara. Setelah itu karpet dibawa angin terbang dengan cepat sekali. Disepanjang perjalanan burung bud-bud bercerita tentang negeri Melayu yang berpulau-pulau, indah dan subur. Sekarang perjalanan mereka sudah memasuki kawasan negeri melayu, hutan yang lebat dan banyak sungai, danau, lebung, benca dan bencani. Memasuki hutan tropis, angin membawa mereka terbang dengan cepat, tanpa sengaja tangan baginda Sulaiman terkena onak rotan.

“Auuuuuu.” Baginda Sulaiman terkejut dan terpekik. Tangannya berdarah sebab terkait onak berduri yang tajam.

“Angin, pelan-pelan sebab di sini hutannya lebat dan banyak onaknya. Tidak seperti hutan di negeri baginda, yang jarang dan banyak gurun.” Ujar burung bud-bud. Dia menjadi penujuk arah. Angin membawa mereka terbang di antara pepohonan besar. Angin menurunkan kecepatan hembusnya, dan mulai bertiup rendah menerbangkan karpet merah baginda Sulaiman di atas permukaan Sungai Musi. Tiba di muara Sungai Keruh, berbelok menyusuri permukaan Sungai Keruh.

“Ini sungai apa, Bud-Bud.” Tanya Baginda Sulaiman.

“Ini Sungai Keruh, baginda. Airnya kuning mirip keruh, itulah dinamakan orang Sungai Keruh.” Jawab burung Bud-Bud. Mendekati Talang Gajah Mati, mereka berhenti di sebuah hutan. Karpet turun dan berlabuh di atas permukaan tanah.

Mereka memperhatikan pemukiman sepi, tapi banyak asap mengepul pengusir nyamuk. Ternak berkeliaran, kerbau, sapi, kambing, ayam dan itik. Sedangkan penduduk mulai dari anak-anak sampai dewasa mengurung diri di dalam rumah.

*****

 

Dua orang lelaki tua berjalan perlahan-lahan memasuki Talang Gajah Mati. Mereka mampir di sebuah rumah warga, lalu meminta air minum serta menumpang istirahat. Kedua orang tua bertongkat itu, disambut pemiliki rumah dengan ramah.

“Mari masuk, beginilah keadaan rumah kita.” Ujar orang tua itu dengan ramah, dialah Uwa Malinau. Kedua tamu dan Uwa Malinau tampaknya seumuran.

“Terimakasih, sudah menerimah kami.” Ujar salah satu orang tua itu, lalu duduk bersilah berhadapan dengan Uwa Malinau beralas tikar daun pandan hutan. Mereka saling berkenalan, Uwa Malianu menyebut namanya. Tamu pertama memperkenalkan kalau namanya Rajo Bumi dan satunya bernama Uwa Kidir. Uwa Malinau meminta seorang cucu laki-lakinya mengantarkan kendi air minum dan dua sisir pisang masak. Kedua tamu tampak makan buah pisang cepat dan minum banyak. Jelas sekali kalau keduanya dari perjalanan jauh.

Sementara istri, anak-anak Uwa Malinau mengintip kedua tamu itu dari balik dinding. Mereka tidak mengenalinya dan tidak juga menganggap aneh. Pakaian kedua tamu tampak lapuk dan sudah bertambal disana-sini. Pastilah kedua orang tua itu, pengemis yang tersesat.

“Mengapa talang kalian begitu banyak asap, dimana-mana menyalahkan api.” Tanya Rajo Bumi.

Uwa Malinau menceritakaan keadaan di Talang Gajah Mati panjang lebar, sehingga kedua tamunya mengerti situasinya. Itulah sebabnya talang menjadi sepi dan penduduknya mengurung diri. Dari luar terdengar orang banyak datang di halaman rumah Uwa Malinau. Ternyata mereka adalah rombongan Datu Puyang Lang Panarap baru tiba dari Bukit Pendape.

Datu dan Hulubalang hendak memberi tahu pada Uwa Malinau kalau mereka sudah menjalankan pertapaan.

“Masuk saja, Datu.” Ujar Uwa Malinau. Datu dan Hulubalang masuk lalu ikut bergabung dengan tamu Uwa Malinau.  Dalam pada itu, Datu menceritakan peristiwa dia bertapa di Bukit Pendape. Dia menceritakan ditemui oleh seekor burung bud-bud yang memintanya pulang dan tidak ada petunjuk lain. Uwa Malinau mengangguk-angguk saja.

“Sudahlah, Datu jangan dipikirkan. Yang penting kita sudah berusaha.” Kata Uwa Malinau. Datu dan Hulubalang memberi hormat pada dua orang tua yang terus makan pisang dari tadi. Pengemis dari mana pikir Datu dan Hulubalangnya.

“Ini tamu dari jauh, Datu, Hulubalang. Ini Rajo Bumi, ini Uwa Kidir.” Uwa Malinau memperkenalkan kedua tamunya itu pada Datu dan Hulubalang.

*****

 

Beberapa saat kemudian, berkatalah orang yang mengaku Rajo Bumi.

“Kalau kiranya permasalahan sudah begitu berat, izinkan kami membantu atau memberi petunjuk.” Kata lelaki tua yang misterius itu.

“Baiklah kalau begitu, Uwa Rajo Bumi. Tidak ada salahnya mencoba, dan kami pun sangat bahagia kalau ada yang mau membantu. Sebab sudah mulai putus asa menghadapi semua ini.” Kata Uwa Malinau dengan penuh harap.

“Antarkan kami ke dekat Sungai Keruh yang kalian maksudkan.” Ujar Rajo Bumi. Semuanya setuju dan mulai turun bersama dari rumah Uwa Malinau. Lalu menuju ke tepian warga yang terletak di sisi pemukiman, tampak air sungai mengalir dengan deras, berwarna kuning seperti keruh. Mereka tiba di bibir tebing Sungai Keruh, Rajo Bumi tampak memanggil-manggil nama jin. Tiba-tiba angin datang, dan banyak jin yang menghadap Rajo Bumi. Rajo Bumi memerintahkan satu pasukan jin untuk menangkap hantu air atau Duguk. Tentu saja sumua itu tidak diketahui dan terlihat oleh Datu, Uwa Malinau, Hulubalang dan para prajuritnya. Mereka hanya merasakan hembusan angin kencang di sekitar itu.

*****

 

Baginda Sulaiman kemudian meminta diantarkan ke sisi sumber air yang jernih. Mereka berjalan cukup jauh. Lalu menemukan sebuah benca yang diteduhi pepohonan rindang. Lelaki tua yang mengaku bernama Rajo Bumi mengambil air jernih itu dengan kedua tangannya. Lalu dia membaca-baca sesuatu. Setelah itu, air ditangannya dia sebar ke dalam air benca itu. Dia meminta agar warga yang terkenah wabah diberi air minum dari air benca itu. Beberapa prajurit diperintahkan Datu untuk mengambil air dan memberikan pada warga yang sakit.

*****

 

Di bawah pohon dan di sisi benca Rajo Bumi memanggil semua nyamuk-nyamuk. Tiba-tiba angin berhembus deras, lalu awan menjadi hitam. Ternyata bukan awan hitam, melainkan gumpalan nyamuk menutupi langit dan membuat sekitar itu menjadi gelap. Hanya Uwa Kidir yang tidak terkejut dan tidak merasa aneh. Sementara Datu dan yang lainnya terkejut dan heran sekali. Baru kali ini melihat kumpulan nyamuk yang tidak terhitung banyaknya. Rajo Bumi berkata pada nyamuk-nyamuk banyak itu.

“Nyamuk mengapa kalian menularkan penyakit pada manusia?.” Tanya Baginda Sulaiman.

“Kami sangat banyak baginda, sehingga terpaksa menggigit manusia. Seandainya kami sedikit tentu tidak akan kekuarangan gigitan. Sebab itulah yang ditakdirkan Tuhan.” Jawab Nyamuk.

“Betul baginda, saat kami bertelur dan menjadi jentik akan segerah menjadi nyamuk lainnya, sehingga kami sangat banyak begini.” Kata salah satu nyamuk.

Rajo Bumi mengerti, dia kemudian berjalan-jalan dibantu tongkatnya di sisi benca-beca itu. Berpikir keras untuk mengatasi masalah nyamuk. Tanpa sengaja tangan dia yang terlukan karena terkait onak, terserempet ranting pohon kecil. Sehingga kulit terkelupas dan jatu ke air. Ajaibnya, kelupas luka tangan Rajo Bumi berubah menjadi beberapa ekor ikan kecil berwarna hitam. Kejadian itu diperhatikan oleh Uwa Malinau, Datu, hulubalang dan para prajurit. Rajo Bumi hanya mengcap syukur atas kehendak Allah. Ikan itu, berkata pada Rajo Bumi.

“Aku ikan Tempale, pemakan anak serangga termasuk jentik-jentik nyamuk, baginda.” Kata Ikan itu.

“Baiklah kalau begitu, Aku tugaskan agar kalian memakan jentik-jentik nyamuk, agar tidak terlalu banyak. Tugas kalian ini sampai akhir zaman.” Perintah Rajo Bumi. Sejak saat itulah, ikan tempale hadir di dunia dan menjadikan jentik nyamuk makanan mereka.

Baginda Sulaiman atau yang dikenal Warga Talang Gajah Mati orang tua bernama Rajo Bumi kembali berpikir keras. Dia menunggu kabar dari tentara jin yang dia perintahkan untuk menangkap hantu air atau Duguk belum kembali. Karena lelah menunggu, Rajo Bumi mengajak semuanya istirahat di bawah pohon rengas.

Tiba-tiba pasukan jin datang dalam wujud manusia. Tampak sesosok berbulu hitam memenuhi tubuhnya, dan berambut panjang, terikat. Kemudian dihadapkan ke Baginda Sulaiman.

“Maafkan kami baginda, sebab Jin ini licik dan sulit ditangkap.” Kata pimpinan pasukan Jin.

“Oh, kau ini jin yang suka mengganggu penduduk di sini, bernama Duguk. Kau akan akau hukum mati karena sudah sangat meresahkan.” Kata Baginda Sulaiman.

“Ampun baginda, berilah kesempatan padaku, Aku akan berubah.” Kata Duguk atau hantu air. Baginda Sulaiman lama mempertimbangkannya, dan dia memperhatikan kesungguhan Duguk. Karena dia bijaksana dan hatinya lembut. Akhirnya dia membebaskan Duguk atau hantu air asal dia berjanji tidak mengganggu manusia lagi.

“Kalau kau mengingkari janji, kau akan dihukum mati?.” Kata Baginda Sulaiman. Duguk atau hantu air dibebaskan dan dia kembali ke Sungai Keruh. Rajo Bumi berpikir bagaimana mengawasi Duguk apa bilah dia sudah pulang atau dia sudah meninggal kelak. Tanpa sengaja Baginda Sulaiman menendang tongkatnya, dan jatuh kedalam benca. Tongkat itu, dengan ajaib berubah menjadi seekor mahkluk yang mirip ular. Lalu mahkluk itu berkata pada Baginda Sulaiman.

“Baginda Sulaiman, Aku ikan belut siap untuk ditugaskan untuk mengawasi hantu air atau Duguk itu, kalau dia mengingkar janji.” Ujar Belut.

“Baiklah, kalau begitu Aku tugaskan kau mengawasi Duguk dan hukum mati dia kalau mengingkari janjinya.” Kata Baginda Sulaiman.

Kejadian ajaib itu disaksikan oleh semuanya. Namun mereka tetap tidak mengerti bahasa hewan sebagaimana baginda Rajo Bumi. Baginda Sulaiman berkata pada Uwa Malinau, Datu Puyang Lang Panarap, Hulubalang, dan para prajurit kalau hantu air atau Duguk tidak akan mengganggu mereka lagi. Oleh sebab itu, sudah aman kalau mereka akan mandi, dan menangkap ikan di Sungai Keruh.

Untuk masalah nyamuk, sudah selesai karena ikan Tempale akan memakan jentik-jentik nyamuk sehingga jumlah nyamuk tidak terlalu banyak lagi kedepannya. Secara perlahan jumlah nyamuk akan berkurang. Mereka dianjurkan untuk memelihara ikan tempale di sumber air, sumur, wadah air, dan lainnya. Itulah mengapa, ikan tempale kemudian menyebar disetiap ada mata air dan mereka memakan jentik nyamuk.

“Ingat pesan saya, jangan merusak sumber air, terutama aliran air disekitar tempat tinggal, agar ikan tempale dapat hidup. Kalau sumber air disekitar tempat tinggal di rusak kalian akan menghadapi bencana gigitan nyamuk.” Pesan Rajo Bumi. Semua mengangguk dan paham.

“Uwa Rajo Bumi dan Uwa Kidir, marilah tinggal di Talang kami. Terimah kasih sudah membantu musibah kami. Kami takkan mampu membalas budi kalian.” Kata Datu.

“Kami akan pulang terlebih dahulu dan akan memberi kabar nanti atas niat baik kalian.” Ujar Rajo Bumi menolak dengan halus.

“Pakailah perahu bidar kami, untuk kendaraan pulang.” Kata Hulubalang. Kedua orang tua itu hanya mengucapkan terimakasih atas tawaran hulubalang. Kedua orang tua berjalan masuk hutan, diikuti pasukan misterius itu. Uwa Malinau, Datu, Hulubalang, dan para prajurit pun pulang. Warga yang sakit sudah sembuh keesokan harinya. Warga kembali beraktivitas normal di Sungai Keruh, mandi, mencuci, menangkap ikan.

Dua orang tua yang baru datang entah dari mana, dan pergi entah kemana. Pasukan penangkap Duguk juga pergi entah kemana. Jalan-jalan hanyalah hutan-hutan yang lebat, tapi mereka melalui jalan mana. Keanehan yang tidak bisa diuraikan oleh pikiran mereka. Hanya Uwa Malinau yang dapat mengerti dengan baik hal itu. Tapi dia tidak memberi tahu orang-orang.

Peristiwa yang menyisakan cerita dan legenda dikemudian hari. Sejak saat itu, cerita Puyang Burung Jauh dan Puyang Rajo Bumi terus berkembang di tengah masyarakat Melayu di Talang Gajah Mati dan di Kawasan Dataran Negeri Bukit Pendape atau Marga Sungai Keruh. Menjadi cerita rakyat yang terkenal pada masanya dan dituturkan terus menerus, Andai-Andai Puyang Burung Jauh.

Oleh. Joni Apero.
Editor. Selita, S.Pd.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 29 Agustus 2021.
Sumber andai-andai: Nenek penulis Ahiyah. Diceritakan pada penulis waktu umur enam tahun.

Arti Kata: Tempale: Ikan Tempalo. Datu: Pemimpin. Puyang: Gelar Kehormatan. Duguk: Nama sebutan hantu air. Benca: tempat penampungan air alami seperti sungai kecil. Bencani: Penampungan air alami berbentuk danau kecil. Talang: Penyebutan tempat pemukiman tradisional sederhana.

Andai-andai:

Andai-andai adalah sastra lisan tradisional pada masyarakat Melayu di Kabupaten Musi Banyuasin dan Provinsi Sumatera Selatan. Andai-andai sama halnya dengan hikayat atau tradisi lisan tambo dari Sumatera Barat. Andai-andai bersifat cerita rekaan atau dongeng, dengan tokoh manusia, hewan, tumbuhan dan komponen alam semesta lainnya. Berfungsi sebagai hiburan dan nasihat. Di ceritakan turun temurun oleh orang-orang tua (kakek-nenek) pada generasi yang lebih muda.

Sy. Apero Fublic

0 komentar:

Post a Comment