6/30/2019

Hilangnya Arsitektur Asli Atap Masjid Sumatera Selatan.


Apero Fublic.- Arsitektur Masjid Agung Palembang Adalah Induk Dari Atap Masjid-Masjid Ttradisional di Sumatra Selatan. Mengapa demikian, semua atap masjid dahulu semuanya sama mengikuti bentuk atap Masjid Agung Palembang. Yang tersebar di seluruh Sumatera Selatan dan Provinsi Bangka Belitung. Sehingga dinamakan atap masjid tipologi Mustaka Sumatera Selatan.

Kota Palembang lahir dari dua peradaban besar, yaitu Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam. Sudah lazim, apabila setiap peradaban selalu mewarisi peninggalan-peninggalan sejarah, baik peninggalan berbentuk material dan peninggalan berbentuk non material. Peninggalan Kerajaan Sriwijaya bentuk material, seperti prasasti-prasasti yang banyak ditemukan di dalam wilayah Kota Palembang, diantaranya Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Bukit Siguntang.

Kota Palembang dinobatkan sebagai Kota Tertua di Indonesia, dihitung dari 17 Juni 682 (683) Masehi, berdasarkan tahun yang tertera pada prasasti Kedukan Bukit. Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam juga meninggalkan jejak, seperti peninggalan sejarah berupa material bangunan, seperti Benteng Kuto Besak, Kompleks Makam Kawah Tekurep, dan Masjid Agung Palembang.

Peninggalan yang paling fenomenal adalah Masjid Agung Palembang. Sebelumnya Masjid Agung Palembang bernama Masjid Sulton, kemudian pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda (Keresidenan Palembang), dirubah penyebutan-nya, menjadi Masjid Agung. Kemudian dalam perkembangannya bahasa penyebutan, menjadi Masjid Agung Palembang.

Masjid Agung Palembang dibangun pada masa Pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I, tepatnya pada tahun 1738 Masehi. Sedangkan peresmiannya pada hari Senin 28 Jumadil Awal 1151 Hijriyah, atau 26 Mei 1748 Masehi. Pada zamannya, Masjid Agung Palembang menjadi masjid terindah dan terbesar di Nusantara.

Sketsa Masjid Agung Palembang pernah menjadi sampul sebuah majalah di Eropa, Le Moniteur des Indes-Orientales (Djohan Hanafia: 1988:9). Arsitektur Masjid Agung Palembang adalah bentuk perpaduan budaya, Melayu, Jawa, Cina, dan Eropa. Tetapi khusus untuk arsitektur atap, Masjid Agung Palembang memiliki corak tersendiri, yaitu perpaduan budaya Melayu dan budaya Cina.

Menurut bapak Prof. Dr. H. Baderel Munir, M.A, dalam pembangunan Masjid Agung Palembang, yaitu kepala tukang atau arsiteknya adalah seorang Cina Muslim yang mengabdi pada Sultan Mahmud Badaruddin I. Sehingga, terjadinya bentuk perpaduan antara arsitektur Melayu dan Cina tidak dapat dihindari.


Sesungguhnya arsitektur masjid tradisional, bukan hanya tipologi arsitektur Masjid Agung Palembang yang ada di Indonesia.  Di Indonesia terdapat tiga tipologi umum atap masjid tradisional, yaitu tipologi atap mustakaatap tajuk, dan atap undak (tumpang). Kata mustaka berarti kepala dalam bahasa Indonesia. Sedangkan tipologi atap mustaka berciri, bidang miring atap sedang, dengan kemiringan sampai 40 atau 50 derajat.

Kemudian pada tingkatan kedua berleher dan atap ketiga membentuk ruang bujur sangkar. Sehingga atap masjid ter-atas seolah-olah terpisah oleh leher dan membahu. Kedua, tipologi atap Tajuk, dalam bahasa Indonesia tajuk berarti tinggi atau tampak tinggi. Atap tajuk berciri, bidang miring mencapai 70 sampai 80 derajat. Dengan sayap atap ter-struktur, membentuk kerucut ke atas sehingga tampak bentuk segi tiga.

Pada atap ter-atas tidak tampak berleher. Atap tajuk banyak terdapat di wilayah bagian barat Pulau Sumatra, seperti Bengkulu, Jambi, Riau, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Ketiga, adalah tipologi atap undak, yang juga sering disebut atap tumpang. Undak berarti bersusun-susun, bertingkat-tingkat.

Atap undak wilayah pesebarannya meliputi wilayah Indonesia Timur, seperti Jawa Timur, Lombok, Maluku. Tipologi undak menyebar ke Kalimantan, seperti atap Masjid Sultan Adurrahman, Pontianak. Ciri-ciri atap undak atau tumpang bidang miring atapnya landai, dengan 30 sampai 40 derajat. Tingkatan atap seimbang, sayap atap ter-struktur memanjangnya, sehingga tampak bersusun, atau berundak-undak. Pada atap ketiga tidak tampak berleher. Berikut sketsa tipologi atap masjid tradisional Indonesia.
Gambar A.
Tipologi Atap Tradisional Masjid Indonesia. 1. Atap Tipe Mustaka. 2. Atap Tipe Undak atau Tumpang. 3. Atap Tipe Tajuk. Diolah Dari Berbagai Sumber. Sketsa: Joni Apero.

Gambar. B.
Sketsa Tipelogi Atap Mustaka: 1. Atap Mustaka Sumatra Selatan. 2. Atap Mustaka Kalimantan. 3. Atap Mustaka Jawa. Sumber: Diolah Dari Berbagai Sumbe. Sketsa: Medikal Rohim.


Keterangan: gambar A adalah sketsa bentuk-bentuk umum dari tipologi atap Tradisional Indonesia, . Gambar sketsa No. 1 dari gambar A adalah bentuk tipologi atap Mustaka. Sketsa No. 2 Gambar A, adalah bentuk tipologi atap Undak atau Tumpang. Sketsa No. 3 dari gambar A adalah bentuk tipologi atap Tajuk.

Dari ketiga jenis tipologi umum atap masjid tradisional Indonesia tersebut, yang memiliki jenis kedaerahan adalah atap mustaka. Ada tiga corak aliran pada tipologi atap mustaka. Tiga aliran tipologi atap mustaka tersebut, yaitu tipologi atap mustaka Sumatra Selatan, tipologi atap mustaka Pulau Jawa, dan Tipologi atap mustaka Kalimantan.

Perhatikan sketsa pada gambar B. Sketsa no. 1 dari gambar B, adalah tipologi atap mustaka asli Sumatra Selatan. Sketsa No. 2, dari gambar B, adalah tipologi atap mustaka Kalimantan. Sketsa No. 3 dari gambar B, adalah tipologi atap mustaka Pulau Jawa.

Tipologi atap Mustaka Sumatra Selatan, bercirikan pada leher atap terdapat ukiran-ukiran, dan penutup kolong atap Berbidang miring. Di atas atap mustakanya, terdapat banyak hiasan duri-duri (tanduk kambing), sedangkan bentuk limas atap teratas tidak terlalu rendah atau tegak. Untuk ciri-ciri atap mustaka Pulau Jawa pada bagian leher atap lurus, dan lebih pendek.

Kadang leher atap tidak tampak, atau berhimpit. Seandainya leher atap tampak, tetapi leher atapnya lurus atau tegak, dan tidak diukir. Sedangkan atap mustaka Kalimantan bercirikan atap tegak tinggi meruncing ke atas. Leher atap lebih panjang dari leher atap mustaka Sumatra Selatan dan atap leher mustaka Pulau Jawa.

Semua masjid-masjid tradisional Indonesia tersebut adalah bentuk peninggalan kerajaan Islam di Nusantara, yang tersebar dari Aceh, dan keseluruhan Nusantara. Masjid tradisional atap limas bertingkat-tingkat tertua di Indonesia adalah Masjid Baiturrahman lama di Aceh.

Tidak mengherankan, karena memang Aceh lebih dahulu masuk Islam dibanding wilayah lain di Nusantara. Pada zaman sekarang, arsitektur masjid tradisional mulai punah. Disebabkan beberapa faktor, seperti habisnya sumber daya alam, berkembangnya teknologi, kuatnya pengaruh kebudayaan lain, seperti penggunaan kubah pada desain baru masjid-masjid di Indonesia.

Sehingga terjadilah pergeseran dalam arsitektur masjid tradisional Indonesia. Ada anggapan bahwa kubah sebagai simbol masjid juga menggerus nilai-nilai budaya pada bangunan masjid di Indonesia, begitu pun di Sumatra Selatan. Sekarang di tengah masyarakat Sumatra Selatan (Indonesia) sedang terjadi transformasi dalam pembangunan arsitektur masjid, dari tradisionalitas ke modernitas.

Bentuk transformasi bangunan atap masjid tentu menggerus arsitektur asli masjid Sumatra Selatan. Tidak mengherankan, karena material masjid yang terbuat dari kayu, tentu memiliki ketahanan yang terbatas. Dengan demikian, saat material tersebut tidak layak pakai terpaksa diganti.

Kemudian pengetahuan masyarakat yang sangat minim tentang kebudayaan lokal Sumatra Selatan, membuat masyarakat tidak peduli dengan warisan budaya sendiri. Atap mustaka Sumatra Selatan berinduk pada Masjid Agung Palembang. Kemudian diikuti oleh masjid-masjid lainnya, seperti Masjid Jami Sungai Lumpur, Masjid Kiai Muara Ogan, Masjid Mahmudiyah, Masjid Lawang Kidul.

Berlanjut kemudian berkembang ke seluruh Sumatra Selatan dan Bangka Belitung. Karena memang sebelumnya Provinsi Bangka Belitung bagian dari Kesultanan Palembang Darussalam, dan bagian dari Provinsi Sumatra Selatan. Itu dibuktikan dengan adanya Masjid Jami Muntok (1883 M), Bangka Belitung. Di lihat dari sisa-sisa arsitektur atap masjidnya.

Hal yang disayangkan adalah ketika masyarakat merenovasi atau membangun ulang tidak mengikuti bentuk asli dari masjid tradisional, sehingga hilang nilai-nilai budaya, seperti seni arsitektur, budaya yang terkandung di dalamnya.

Kejadian seperti itu, bukan hanya pada Masjid Jami Muntok, tetapi beberapa masjid-masjid tradisional di Sumatra Selatan sendiri. Seperti, Masjid Sulaimaniyah Pangkalan Balai, Banyuasin. Karena terbakar pada tanggal 7 Agustus 2009, pembangunan ulang masjid tidak mengikuti rekonstruksi arsitektur asli masjid, yaitu atap mustaka Sumatra Selatan. Nasib sama dialami oleh Masjid Arahman Petaling, Musi Banyuasin.

Masjid peninggalan Kemas. H. Abdurrahman atau Kiai Delamat ini, sekarang sudah berganti bentuk masjid atap tradisi (Yudhy Syarifie: 2011: 63:64). Istilah atap tradisi adalah jenis atap masjid yang hanya berbentuk limas bertingkat-tingkat tetapi tidak ada nilai-nilai budaya, hanya mentradisi pada bentuk saja. Diistilahkan dengan, meniru tanpa seni.


Sekarang arsitektur asli atap masjid Sumatra Selatan hampir hilang atau punah. Masjid-masjid dengan arsitektur atap mustaka Sumatra Selatan yang masih berdiri mulai terbarukan oleh renovasi. Sebut saja Masjid Masjid Al-Khoiriah terletak di RT. I. Desa Gunung Raja, Kecamatan Lubai, Kabupaten Muara Enim.

Masjid yang kemungkinan dibangun tahun 1938 Masehi, karena pada leher atap masjid terdapat angka tahun 1938. Masjid ini sekarang sudah mengalami renovasi, dan sudah kehilangan setengah bangunan aslinya. Selain itu Masjid Jami Sira Pulau Padang, Kecamatan Kayu Agung, Ogan Komering Ilir, juga sebagai arsip visual dari arsitektur asli atap masjid mustaka Sumatra Selatan.

Di Kota Palembang sendiri masih terdapat beberapa masjid atap mustaka Sumatra Selatan yang belum terekspos, seperti masjid Jami 3-4 Ulu, atau Masjid Jami Darussalam, di Kelurahan 3-4 Ulu, Seberang Ulu I, Kota Palembang, yang dibangun tahun 1909 M. Masjid atap mustaka Sumatra Selatan yang baru ditemukan adalah Masjid Al-Akhyar di Kelurahan Talang Betutu, Kecamatan Sukarami, Kota Palembang, yang dibangun di tahun 1953 M. Sehingga tahun-tahun mendatang kemungkinan juga akan diperbaharui dan dikhawatirkan akan merubah arsitektur aslinya.


Setelah tahun 1953 M, tidak lagi ditemukan pembangunan masjid dengan atap mustaka Sumatra Selatan. Pembangunan masjid cenderung bebas dan mulai mengarah ke tipologi baru, yaitu masjid berkubah. Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan masjid tidak mengindahkan arsitektur masjid. Walau pembangunan dengan atap bertingkat-tingkat namun tidak merujuk jenis atap tradisional mana pun. Hanya bentuk atap saja yang bertingkat, namun dari fungsi, dan arsitektur tidak ada sama sekali mencerminkan atap masjid tradisional.


Sejak tahun 1953 M atap masjid tradisional tipologi Mustaka Sumatra Selatan tidak di bangun lagi oleh masyarakat Islam Sumatra Selatan. Berbagai pihak tidak peduli dengan nilai-nilai warisan budaya asli ini, baik kalangan seniman, budayawan atau pemerintah. Suatu hal yang menjadi pertanyaan kita bersama, mengapa kita tidak dapat merenovasi, menjaga, merawat, atau membangun prototipe disetiap kecamatan satu bentuk masjid dengan arsitektur asli Sumatra Selatan?.

Kenapa kita dapat menggali peninggalan zaman purbakala, peninggalan Hindu dan Buddha?. Tetapi kita tidak dapat menjaga warisan budaya yang sangat berharga (arsitektur asli masjid Sumatra Selatan), bahkan masih banyak berdiri? Walaupun material dari alam seperti kayu sudah tidak ada lagi, tetapi semua itu sudah dapat diganti dengan material dari industri.

Sesungguhnya pemerintah bertanggung jawab dengan nilai-nilai budaya tersebut, sedangkan para akademisi bertanggung jawab menjelaskannya. Hak masyarakat untuk tahu apa yang  mereka miliki, dan mereka berhak menerima, mewarisi kembali milik mereka. Kebudayaan adalah bentuk kekayaan intelektual masyarakat yang tentu harus dihargai setinggi-tingginya.

Selain menjaga warisan budaya, harus juga diiringi dengan pendidikan pada bidang kebudayaan, terutama pengenalan kebudayaan lokal. Dengan demikian, untuk merawat, menjaga, melestarikan, nilai-nilai budaya, baik kebudayaan material dan non material yang ada, sebaiknya Pemerintah Daerah Provinsi Sumatra Selatan mulai menyusun mata Pelajaran Kebudayaan Lokal Sumatra Selatan dari tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi yang ada di Sumatra Selatan.

Selama dalam penelitian skripsi saya ini, melalui pengamatan saya tidak menemukan masjid baru yang mengikuti bentuk utuh dari pola arsitektur masjid-masjid tua di seluru Sumatera Selatan. Pembangunan arsitektur atap masjid lebih pada sistem atap limas biasa atau atap limas bertingkat pengaruh masjid yayasan Pancasila.

Kemudian pergeseran dari atap tradisonal dan neo-tradisional menjadi bentuk atap kubah. Atap kuba menjadi tren baru dari sistem atap masjid di Sumatera Selatan. Masa pergeseran arsitektur asli menjadi arsitektur atap lengkung (Kubah). Yang didukung oleh teknologi, industri kuba, dan paham bahwa kubah sebagai simbol masjid.

Oleh: Joni Apero

Palembang, 2018.


Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Raden Fatah Palembang. Nim. 13420034.

Sumber: disarikan dari skripsi berjudul: Kajian Sosiologis pada Transformasi Atap Masjid di Kota Palembang (Studi atas Atap Tradisi dan Atap Kubah). Pembimbing I. Dr. Nor Huda Ali, M.Ag. M.A. Pembimbing.II. Dra. Retno Purwanti., M. Hum.

Foto Masjid Agung: Yudhy Syarofie.

Pierre-Yves Manguin, “Demografi dan Tata Perkotaan di Aceh Pada Abad 16 data Baru Menurut Sebuah Buku Pedoman Portugis Tahun 1584,” dalam, Hendri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambari, (ed.), Panggung Sejarah, Terj. Ida Sundari Husen & HCL, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 244.

Uka Candra Sasmita, Penelitian Arkeologi Islam di Indonesia dari Masa ke Masa, (Kudus: Menara Kudus, 2000), h. 36.

Muhlis PaEni, Sejarah Kebudayaan Indonesia; Arsitektur, h. 249. Masjid Baiturrahman dibangun pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Johan Mahmud Syah I (1267-1309 M). Uka Tjandrasasmita (ed.), Ziara Masjid dan Makam, (t.tp., Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, T.th). h. 27.

By. Apero Fublic

0 komentar:

Post a Comment