Budaya
Kampus
Mahasiswa
Opini
Pendidikan
Jejak Budaya Lama di Tengah Gempuran Teknologi: Mampukah Kita Bertahan di Era Globalisasi?
APERO FUBLIC I OPINI.- Perubahan besar dalam pola hidup masyarakat Indonesia dapat terasa jelas dari cara kita berhubungan dan bekerja hingga memahami budaya. Laju teknologi komunikasi yang begitu cepat membuat batas ruang dan waktu seperti runtuh. Apa yang sebelumnya menjadi bagian akrab dari keseharian kini perlahan bergeser ke pinggir. Di tengah perubahan tersebut budaya masa lampau berjuang mempertahankan posisinya sebagai identitas kolektif sementara globalisasi menawarkan berbagai bentuk kebudayaan baru yang begitu mudah diserap oleh generasi muda.
Perubahan ini terlihat jelas pada kehidupan keluarga di banyak daerah. Seorang guru di Lombok Timur pernah menceritakan bagaimana murid-muridnya kini lebih kerap membicarakan tren Korea Selatan daripada cerita rakyat setempat seperti Legenda Batu Golog atau Putri Mandalika. Ketika ia mengajak murid-murid untuk mementaskan drama tradisional, sebagian besar lebih memilih meniru gaya idol K-pop yang mereka lihat setiap hari melalui gawai. Guru itu mengaku tidak menyalahkan mereka budaya yang muncul di layar memang tampak lebih menarik dan praktis diakses kapan saja. Namun ia merasakan ada ruang yang hilang: ruang di mana nilai budaya lokal seharusnya tumbuh.
Fenomena tersebut tidak hanya terjadi di Lombok. Di Jawa Barat seorang pengrajin angklung di daerah Cibiru (Bandung) menuturkan bahwa pesanan angklung dari sekolah-sekolah terus menurun selama lima tahun terakhir. Banyak sekolah lebih memilih kegiatan seni berbasis digital atau kompetisi modern dance yang dianggap lebih relevan dengan anak sekarang. Padahal angklung pernah menjadi kebanggaan bersama yang bahkan diakui UNESCO. Pengrajin itu menyimpan harapan agar teknologi bisa menjadi bagian dari solusi. Ia kemudian mencoba membuat video tutorial angklung di media sosial dan dari situlah pesanan mulai datang kembali, meski tidak sebanyak dulu.
Teknologi memang membawa dua sisi: ancaman dan peluang. Arus globalisasi memudahkan budaya asing mengalir masuk. Namun teknologi juga memberi kesempatan bagi budaya lokal untuk bangkit jika dimanfaatkan dengan kreatif. Tantangan utamanya adalah bagaimana masyarakat memaknai budaya di tengah gempuran kemajuan digital.
Dalam satu pertemuan komunitas budaya di Yogyakarta, seorang praktisi seni pernah menyampaikan kegelisahannya. Ia bercerita bahwa kesenian ketoprak yang dulu rutin dipentaskan, kini hanya digelar beberapa kali setahun. Tempat duduk yang dulu penuh sesak kini hanya terisi setengah. Ketika ditanya mengapa, warga mengaku lebih memilih menonton serial daring karena lebih praktis dan bisa ditonton kapan saja. Namun yang paling menyentuh adalah cerita seorang pemain ketoprak berusia 68 tahun. Ia mengatakan sudah siap jika kelak panggung ketoprak sepi, tetapi belum siap jika suatu hari cucunya tidak mengenal apa itu ketoprak. Kalimat itu menggambarkan betapa perubahan zaman memunculkan kekhawatiran akan hilangnya warisan budaya yang membentuk identitas bangsa.
Namun tidak semua cerita bernuansa kehilangan. Ada pula pengalaman inspiratif yang menunjukkan bahwa budaya masa lampau mampu menemukan tempat baru dalam dunia digital. Di Nusa Tenggara Timur, misalnya didalam tarian tradisional Likurai sempat mulai jarang dipentaskan. Banyak anak muda merasa tarian itu tidak sesuai dengan gaya mereka. Namun keadaan berubah ketika seorang pemuda lokal mengunggah rekaman Likurai versi kolaborasi modern menggabungkan musik original dengan sentuhan kontemporer. Video itu mendadak viral di TikTok. Beberapa sekolah kemudian menjadikan Likurai sebagai bagian dari pertunjukan pada acara besar. Peristiwa ini menunjukkan bahwa budaya dapat bertahan ketika dikemas melalui pendekatan kreatif tanpa menghilangkan nilai dasarnya.
Globalisasi memang memiliki kekuatan besar untuk mengubah cara masyarakat memandang dunianya. Di Jakarta fenomena budaya populer global begitu mudah ditemukan. Mulai dari kuliner hingga gaya berpakaian, semuanya terasa bergerak cepat mengikuti tren internasional. Di satu sisi kondisi ini mencerminkan kreativitas masyarakat kota besar yang terbuka pada perubahan. Namun di sisi lain, budaya lokal justru sering kali kalah bersaing karena kurang mendapat ruang di media digital. Seorang pegiat kuliner Betawi bahkan mengakui bahwa banyak anak muda Jakarta lebih mengenal ramen atau makanan western daripada kerak telor dan selendang mayang. Ia pun memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan kuliner Betawi dengan pendekatan visual yang modern. Dalam waktu beberapa bulan, ia sukses membuat makanan tradisional itu kembali diperbincangkan generasi muda.
Hanya di sinilah teknologi komunikasi memainkan peran penting. Internet, media sosial, dan platform berbasis video bukan hanya sekadar alat hiburan, tetapi sarana untuk menghidupkan kembali budaya masa lampau. Banyak pengrajin batik kini mengunggah proses membatik ke platform digital, menampilkan filosofi di balik motif-motif lokal. Beberapa di antara mereka bahkan berhasil meningkatkan penjualan berkat minat baru dari generasi muda. Teknologi memberikan ruang untuk bercerita, dan cerita itulah yang membuat budaya kembali relevan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan gaya hidup digital membawa tantangan serius. Di daerah pedesaan Jawa Tengah, seorang perangkat desa mengaku khawatir karena remaja di desanya lebih sering berkumpul untuk bermain gim daring daripada mengikuti kegiatan karawitan yang sebelumnya rutin dilaksanakan. Tradisi gotong royong pun mulai berkurang karena anak muda merasa mereka tidak perlu keluar rumah untuk bersosialisasi. Ketika jejaring sosial bergeser ke ruang digital kegiatan budaya yang membutuhkan interaksi langsung pun ikut terpinggirkan.
Pengalaman serupa terjadi pada komunitas adat di Kalimantan Barat. Masyarakat Dayak Iban yang dulu rajin mengadakan ritual adat, kini mengeluh karena sebagian pemuda lebih memilih pergi ke kota dan bekerja di sektor digital. Mereka merasa upacara adat tidak lagi relevan dengan kebutuhan hidup modern. Namun tetua adat di sana menempuh jalan baru. Mereka memulai dokumentasi adat melalui foto, video, dan seminar daring yang mengundang akademisi dan masyarakat luar. Mereka sadar bahwa generasi muda harus diajak memahami budaya menggunakan bahasa zaman mereka sendiri.
Hilangnya perhatian generasi muda terhadap budaya lama bukan karena tidak peduli, tetapi karena budaya tersebut tidak hadir dalam ruang yang mereka kunjungi. Jika budaya hanya berada di panggung tradisional, sementara anak muda hidup di layar digital, maka jarak itu yang harus dijembatani. Platform komunikasi modern dapat menjadi jembatan bukan penghalang apabila digunakan dengan strategi yang tepat.
Globalisasi memberikan peluang besar untuk memperkenalkan budaya lokal ke dunia. Contoh paling nyata terlihat dalam perjalanan kebudayaan Bali. Tari Kecak, Barong, dan berbagai tradisi lainnya dikenal bukan hanya oleh wisatawan, tetapi juga oleh masyarakat global melalui dokumentasi digital. Wisatawan dari berbagai negara datang karena mereka menemukan informasi budaya Bali secara daring dan dari sana budaya itu hidup lebih lama dan lebih luas daripada sebelumnya. ketika budaya lokal mampu tampil dalam format modern, globalisasi dapat menjadi kekuatan pelestarian bukan perusak.
Namun tetap ada pekerjaan rumah besar yang harus dilakukan. Di beberapa daerah, budaya lama masih dijalankan hanya sebatas seremoni tanpa pemahaman mendalam. Banyak upacara adat berlangsung hanya karena tuntutan acara, bukan karena nilai yang benar-benar dihayati. Dalam situasi ini, teknologi tidak akan banyak membantu jika masyarakatnya sendiri tidak menempatkan budaya sebagai bagian dari identitas yang harus dirawat.
Tantangan budaya lokal di era teknologi bukan hanya terletak pada perubahan cara hidup, tetapi juga pada kemampuan masyarakat untuk menata ulang strategi pelestarian. Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu berperan lebih dalam memperkenalkan budaya melalui pendekatan yang sesuai generasi digital. Banyak sekolah yang berhasil mengintegrasikan budaya lokal ke dalam kurikulum dengan pendekatan kreatif, seperti membuat vlog bertema budaya, proyek dokumentasi tradisi, hingga karya seni digital. Cara ini lebih dekat dengan dunia anak muda sehingga nilai budaya lebih mudah diterima.
Beberapa kota besar seperti Bandung, Makassar, dan Surabaya, komunitas kreatif juga mulai memadukan teknologi dengan tradisi. Festival budaya dikemas dalam bentuk pertunjukan interaktif, memadukan seni tradisional dengan pencahayaan modern, animasi visual, dan narasi yang relevan dengan isu masa kini. Perpaduan ini membuktikan bahwa budaya lama dapat tampil modern tanpa kehilangan ruhnya. Yang diperlukan adalah keberanian untuk beradaptasi dan merancang ulang cara budaya disampaikan.
Dalam hal ini pengalaman masyarakat di berbagai daerah menunjukkan bahwa pelestarian budaya tidak mungkin dilakukan tanpa keterlibatan generasi muda. Anak-anak muda yang akrab dengan teknologi justru memiliki keahlian unik yang dapat menjadi modal penting. Mereka dapat membuat dokumentasi digital, mengelola media sosial, hingga merancang konten kreatif yang dapat menarik perhatian publik. Jika mereka diberi ruang untuk berkreasi di dalam dunia budaya, maka tradisi tidak akan tersingkir, melainkan menemukan bentuk baru yang lebih relevan.
Perubahan zaman memang tidak dapat dihentikan. Teknologi akan terus berkembang, globalisasi akan terus mengalir. Tetapi nilai budaya tidak harus hilang begitu saja. Ia bisa bertransformasi, menyesuaikan diri, dan mengambil posisi baru di tengah kehidupan modern. diperlukan hanyalah kemauan untuk memahami bahwa budaya bukan sekadar kenangan tetapi juga bagian dari jati diri yang memberikan arah dan makna.
Perjalanan panjang bangsa Indonesia, budaya selalu menjadi perekat yang menjaga keberagaman tetap utuh. Di tengah gempuran teknologi dan globalisasi, peran itu justru semakin penting. Ketika identitas global semakin seragam, budaya lokal menjadi penanda yang membuat kita berbeda sekaligus istimewa. Jika masyarakat mampu merawat tradisi dan memadukannya dengan inovasi, maka budaya tidak akan tenggelam justru akan hidup dalam bentuk yang lebih kuat, lebih luas, dan lebih dekat dengan generasi masa depan.
Oleh.
Mahasiswi
Editor. Tim Redaksi
Sy. Apero Fublic
Via
Budaya

Post a Comment