6/19/2019

Sebuah Kebanggaan

Apero Fublic.- Pernah anda mendengar orang-orang tua menceritakan tentang anak-anak mereka, begitu bangga, membangga-banggakan anaknya. Padahal kita tahu bagaimana nakalnya, anak mereka di luar sana sehingga hati kita merasa prihatin. Itulah orang tua, selalu membanggakan anak mereka. Bagi yang belum menjadi orang tua tentu belum mengerti dengan kebanggaan itu. Hanya mereka para orang tua yang mengerti. Maka hargailah perasaan mereka.

Sebelum membaca cerita sederhana ini anda harus tahu dahulu, Cerita ini mengangkat kisah di tahun Sembilan puluhan, zaman-zamannya Dilan lah kira-kira. Jalan cerita di sesuaikan dengan pola-pikir masyarakat pedesaan masa itu. Masyarakat pedesaan yang hidup dengan penuh hal-hal sederhana.

Di kecamatan ku, selain sebagai petani karet, masyarakat juga bertani ladang berpindah. Pada masa itu, di Kecamatan Sungai Keruh belum maju seperti sekarang. Pada masa Orde Baru ada suatu perlombaan olah raga antar sekolah, sehingga setiap tahun sekolah-sekolah akan mengirim murid-muridnya untuk mewakili mengikuti kompetisi olah raga antar sekolah se-kecamatan.

Porseni atau Pekan Olahraga dan Seni, yang di selenggarakan di seluru Indonesia. Pada Masa itu, teknologi belum begitu maju, seperti internet yang belum begitu menyentuh pedesaan, begitu pun media hiburan seperti televisi, radio, Koran yang belum menjangkau pedesaan.

Sehingga kurangnya media hiburan. Dengan demikian, pesta olahraga anak-anak itu menjadi buah bibir masyarakat, hal yang dinanti-nantikan untuk di saksikan. Sebagai hiburan rakyat. Memang pesta-pesta rakyat (bukan resepsi pernikahan) pada masa Orde Baru dilarang, seperti pesta panen.

Suatu senja di sebuah ladang milik seorang petani. Matahari bersinar lembut keemasan. Angin sore tiada henti berhembus menggoyangkan dedaunan yang di dilewati angin. Suara ayam jantan berkokok bersahutan, merdu bagai nyanyian alam yang permai.

Burung layang-layang terbang bersilewaran di tengah Ladang itu, menari-nari bagai raja di udara. Beberapa burung puyuh terbang memburu serangga. Sebuah pondok berbentuk panggung berdiri, beratap daun rumbia, berdinding terbuat dari kulit kayu, berlantai bila-bila bambu. Di sekeliling pondok tumbuh subur beberapa rumpun pohon pisang, tebu, umbi-umbian, dan beragam jenis sayur-sayuran.

Di bawa pondok ada bilik Padi yang penuh oleh bulir-bulir padi. Memang beberapa bulan yang lalu baru selesai panen padi. Pada umumnya, petani ladang berpindah menetap di ladangnya. Agar bisa merawat, dan menjaganya agar tidak diganggu oleh hama, terutama hama babi.

Di sore yang cerah itu, seorang anak laki-laki berseragam sekolah dasar berlari-lari kecil menyusuri pematang ladang yang subur sepulang dari sekolah. Sebuah kantong plastik hitam, berisi alat-alat tulis, dan beberapa buku modul sekolah. Anak laki-laki berumur delapan tahun, siswa kelas tiga sekolah dasar. Seekor belalang dia kejar-kejar dengan bersemangat sambil melompat-lompat pada batang pohon yang tergeletak di tengah ladang.

Pohon di tebang saat membuka Ladang. kemudian, setelah ranting pohon yang ditebang kering, lalu dibakar sehingga tonggak, dan batang pohon yang tersisa berwarna hitam arang. Karena asik-nya menangkap belalang, panas dan berkeringat. Tangannya sering menyapu wajahnya untuk mengusap keringat sehingga wajahnya bercoreng kehitaman. Setelah lelah, haus si anak pulang ke pondok-nya. Seorang wanita sedang sibuk memasak di dapur.

Dua anak kecil bermain dengan riang di sekeliling pondok. Seorang lelaki berumur tiga puluhan tahun sibuk dengan kerajinan tangannya, menganyam bubu. Bubu adalah alat penangkap ikan tradisional yang terbuat dari anyaman bila bambu.

Si anak mengucapkan salam, kemudian bercengkrama sambil menggoda adik bungsunya yang baru berumur tiga tahun. Si ibu memanggil, dan mengingatkan agar segera mengganti seragam-nya. Tidak lama, si anak turun dari pondok membawa sebilah golok, lalu menebang sebatang pohon tebu yang ditanam di samping pondok. Dengan duduk menjelepok di tanah, tak jauh dari sang ayah, yang sedang menganyam bubu.

Sambil duduk si anak mengupas tebu tanpa menghiraukan sang ayah, dan adik-adiknya. Lelaki itu melirik si anak memandang beberapa saat. Sang anak sepertinya kehausan sekali. Lalu sang ayah kemudian memulai berbicara, sebagai bentuk perhatian pada anak sulungnya.

“Mahmud, bagaimana lomba Porseni, apakah kau dapat juara. Tanya sang ayah. Lama si anak terdiam, sang ayah pun lama menunggu jawab-nya sambil terus sibuk menganyam bubu.

“Alhamdulillah ayah, tapi aku hanya juara empat, lomba puisi-nya. Jawab si anak, singkat dan lesu sambil menolekan wajahnya ke tempat lain. Sang ayah tersenyum lalu berkat.

“Alhamdulillah, syukur, bapak senang sekali ternyata anak bapak hebat juga, makanya sering-sering latihan, kamu.”Puji sang ayah. Ibunya yang di dapur ternyata mendengar juga percakapan suaminya, dan anak sulungnya. Si ibu keluar dan tersenyum bangga serta memberi pujian, dukungan, dan motivasi.

Sore itu, sampai malamnya sang ayah dan ibu Mahmud terus membicarakan soal lomba itu. mereka terus memuji dan merasa bangga, salah satunya adalah motivasi agar latihan, apa bilah tahun depan dia terpilih kembali menjadi perwakilan sekolah mungkin Mahmud dapat meraih juara juga. Si ibu juga berkata kepada dua adik kecilnya.

”Lihatlah, kakak kalian juara empat, nanti suatu saat juara satu. nanti kalau kalian suda besar ikut lomba juga. Celoteh sang ibu. Entah mengapa Mahmud tidak bersemangat, dia hanya diam saja. Dia lebih banyak melamun sedangkan ayah ibunya gembira sekali. Mahmud tidak bisa membayangkan kalau dia juara pertama, alangkah senang kedua orang tuanya. Ada rasa bangga pada orang tuanya, namun Mahmud tidak mengerti juga kenapa orang tua seperti. Dia diam dan terus diam seperti memendam sesuatu. Itu hal yang sepele dalam benaknya.

Ke esokan harinya sang ayah pergi ke desa untuk menggiling padi karena persediaan beras sudah sedikit. Sebuah keranjang besar penuh dengan biji padi di gendong di punggung. Keranjang terbuat dari anyaman bambu yang di perkeras dengan getah pohon. Perjalanan sang ayah satu jam baru sampai ke desa. Bilah capek ayah Mahmud berhenti untuk istirahat di pinggir jalan setapak, penduduk menamainya jalan agung.

Jalan setapak selalu ramai karena menjadi jalan perlintasan warga menuju ke ladang-ladang mereka. Penduduk pedesaan ramah dan memiliki hubungan erat satu sama lain. Bila bertemu di jalan seperti itu mereka berhenti satu sama lain, berbasa-basi. Ayah Mahmud selalu bercerita tentang Porsni, dan menceritakan bahwa anaknya Mahmud juara empat ikut lomba baca puisi.

Begitulah, setiap kali bertemu, dan berbincang-bincangl dengan warga desanya. Begitu juga saat di penggilingan padi. Ayah Mahmud sambil berbincang-bincang menunggu antrian juga bercerita tentang Porsni dan Maahmud juara empat lomba puisi dalam porseni itu. Porsni memang obrolan menarik bagi warga, karena waktu itu berita korupsi, kriminal, politik, entertainmen, belum sampai ke masyarakat seperti sekarang ini.

Porseni, Pekan Olah Raga dan Seni di ikuti seluruh Sekolah Dasar yang ada di kecamatan. Sehingga, sebuah kebanggaan bagi para orang tua waktu itu, apabila anak ikut dan juara. Kebanggaan luar biasa apalagi sang ayah hanya seorang petani kecil yang miskin. Saat berbincang-bincang, datanglah seorang lelaki yang seumur dengan dengan ayah Mahmud.

Ternyata lelaki itu penduduk desa tetangga yang sedang menggiling padi mertuanya di desa Mahmud. Beberapa karung padi dia bawak menggunakan sepeda angin. Ayah Mahmud dan lelaki ini pun ngobrol menunggu antrian gilirannya. Waktu itu, di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua kaya atau miskin semua menggiling padi. Oleh sebab itulah zaman Orde Baru negara dapat swasembada beras, karena masyarakat pedesaan menanam padi sendiri.

Sehingga negara tidak membutuhkan infor beras. Sehingga beras sawah hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali. Memang di desa Mahmud hanya terdapat satu pabrik penggilingan padi. Jadi warga harus sabar mengantri. Dalam obrolan itu, di mana ayah Mahmud bercerita bahwa dia juara Empat lomba baca puisi.

Namun tanpa di sangka-nya sebuah kata-kata yang membuat dia malu. “ah, anak aku yang juara empat. Jawab laki-laki itu. Ayah Mahmud tersentak juga mendengar jawaban itu. Dia berusaha tidak percaya, dan membelah Anak-nya. Ayah Mahmud tetap yakin kalau anaknyalah yang juara empat itu. Namun lelaki itu juga tidak menyerah dia mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tas-nya yang lapuk.

“Kalau kau, tidak percaya ini lihat piagam-nya (sertifikat), baru diberikan oleh gurunya kemarin.”Jawab lelaki itu. Ayah Mahmud tersentak sekali wajahnya langsung merah padam bercampur malu. Dia terdiam beberapa saat, dan tersenyum menutup malu. Semua orang di sana mengolok-olok-nya, begitu pun menyebutkan bahwa anaknya sudah pandai berbohong walau masih kecil. Bukan main kecewanya ayah Mahmud saat dibohongi anak.

Ayah Mahmud mengakui bahwa anaknya telah berbohong, walau ada rasa kesal namun sebagai ayah yang bijak dia tetap sabar dan tidak menyebut-nyebut itu lagi. Rasa malu ayah Mahmud sangat besar karena ceritanya sudah tersebar di tengah masyarakat di desanya. Ayah Mahmud dan ibunya tidak marah, tetapi memberikan teguran agar dia tidak boleh berbohong lagi.

Mahmud menyadari kesalahannya, dia sudah berbohong. Menjadi gelisah sekali dan takut kalau ayahnya bertanya-tanya dan marah. Jau di lubuk hati Mahmud memendam rasa penyesalan yang sangat mendalam. Maka untuk itu Mahmud cepat-cepat tidur malam itu. Walau matanya belum mau terpejam dia tetap pura-pura tidur. Hatinya terus gelisah dan resah, pikirannya melayang tak tentu arah.

Mahmud merasa bersalah sekali hari ini. Rasa berdosa dan malu menjadi satu di dalam hatinya. Sudah agak malam suasana ladang Mahmud semakin sunyi. Tinggallah suara jangkrik dan burung malam yang bernyanyi. Ayah Mahmud belum juga tidur seperti biasa masih sibuk menganyam bubu.

Ibu Mahmud juga belum tidur dia membuatkan sang suaminya secangkir kopi, beserta sepiring ubi jalar rebus. Sambil sibuk menganyam ayah Mahmud bercakap-cakap. Di tanya Mahmud sudah tidur apa belum. Nampaknya sudah tidur jawab istrinya. Sesungguhnya Mahmud belum tidur, mendengarkan percakapan anaknya. Mungkin karena perasaan bersalah, dan menyesali perbuatannya berbohong kepada orang tuanya.

Ayah Mahmud bercerita kejadian tadi siang. Tentang pernyataan Mahmud kalau dia juara empat itu adalah bohong. Sang ayah berkata kalau dia merasa malu sekali. Dia juga melarang sang istri agar tidak lagi bercerita tentang Mahmud. Di malam itu, akhir dari sebuah kebanggaan seorang ayah, yang juga larut dalam malam yang gelap. Serta menghilang di terbangkan angin malam yang berlalu.

Hari demi hari berlalu. Waktu berjalan terasa begitu singkat. Semua cerita tentang kebohongan Mahmud pun telah di lupakan. Ayah dan ibu Mahmud juga telah lupa, begitu pun warga desa. Mahmud sekarang naik kelas empat. Sebagaimana biasanya, di tahun ini kegiatan Porsni kembali digelar.

Tiba waktunya, dan sekolah-sekolah mulai kembali menyeleksi perwakilan untuk mewakili sekolah mereka. Kali ini seleksi wakil sekolah mulai di cari kembali. Dari umur dan kecakapan, keterampilan, di seleksi dengan ketat. Seleksi di adakan semacam pertandingan di sekolah. Yang memiliki kemampuan lebih baik akan menjadi wakil untuk pertandingan nantinya.

Karena semua murid harus ikut seleksi, maka Mahmud juga ikut. Mahmud tidak begitu semangat dalam Porsni tahun ini. Setelah melewati tahap seleksi peserta, Mahmud terpilih menjadi pemain cadangan pada cabang lomba baca puisi. Teman sekelas, Angga Putra menjadi wakil pada cabang lomba baca puisi.

Mahmud tidak menceritakannya kepada kedua orang tuanya seperti tahun lalu. Sekarang dia hanyalah wakil cadangan pada cabang lomba baca puisi. Puisi yang di bawakan harus karya sendiri dan tidak boleh menjiplak puisi orang lain. Walau begitu, diam-diam Mahmud berlatih sungguh-sungguh. Walau wakil cadangan kata pak guru dia harus tetap berlatih untuk bersiap-siap.

Di dalam hatinya dia ingin sekali menebus kesalahannya pada sang ayah, ibunya. Dia ingin sekali membuat ayahnya bangga. Setiap pulang sekolah, diam-diam Mahmud pergi ke tepian sungai yang tak jauh dari ladangnya. Dia berlatih berpuisi seorang diri dengan sungguh-sungguh. Di sekolah Mahmud juga ikut latihan, dan belajar tanpa malu-malu. Mengikuti semua yang diajarkan guru-guru dan trik berpuisi yang baik.

Anak kecil ini merasa sedih dan sering menyendiri sejak peristiwa setahun lalu. Kadang dia di perolok oleh teman-temannya. Juara palsu, anak ladang, tukang bohong, itulah olokan teman-temannya. Ramai di sekolahnya terasa sepi di hati anak lugu dan pendiam itu. Mahmud tidak banyak teman seperti yang lainya. Pada hari terahir latihan di sekolahnya, sepulangnya mereka kehujanan di jalan.

Basa kuyup Mahmud dan teman-teman Tem Puisi sekolahnya. Semuah teman Mahmud punya rumah di desanya, sedangkan Mahmud harus pulang ke ladang yang cukup jauh dari desanya. Sekitar satu jam perjalanan. Waktu berlalu, tibalah waktu di hari pertandingan Porseni itu. Tuan rumah Porsni tahun ini adalah Sekolah Dasar Nomor I  di kecamatan.

Hari itu, Mahmud ikut ke kecamatan dengan bus yang disewa Sekolah Dasarnya. Saat ibu dan ayahnya bertanya apakah dia ikut kembali menjadi wakil sekolahnya, Mahmud menjawab tidak. Entah apa yang di pikirkan-nya. Dia hanya bilang kalau semua murid harus menonton untuk menyemangati teman-teman yang ikut bertanding.

Sang ayah pecaya saja. Ayah Mahmud memiliki sepeda ontel warisan kakek-nya. Mahmud pergi lebih pagi karena butuh waktu hampir satu jam baru sampai ke desanya. Sang ayah berkata, sambil memompa ban sepedanya. Hati-hati di jalan, nanti ayah, ibu, dan adik mu akan ke kecamatan. Adik mu sakit panas, jadi akan kepuskesmas berobat ke dokter.

Nanti ayah dan ibu akan menonton juga acara pertandingan kalian. Mahmud hanya mengiyakan saja, setelah pamitan berangkatlah Mahmud. Mahmud melangkah dengan tergesa-gesa, sepatunya nampak sudah bolong di bagian ujung kakinya, sehingga kaos kakinya terlihat. Sedangkan kaos atasnya dia ikat dengan karet gelang di pergelangan betisnya.

Suasana Pekan Olah Raga Nasional (PORSENI) tingkat sekolah dasar mulai berlangsung hari itu. Meriah dan ramainya warga menyaksikan berbagai perlombaan dan permainan yang diselenggarakan. Berbagai jenis pemainan seperti, Tarik tambang, Lompat jauh, Bulu tangkis, Volly, Bolah kaki, Puisi, Melukis, lompat karung, lompat jauh, bola kaki, dan banyak lagi.

Kegiatan Porsni ini rutin di laksanakan setiap tahun semasa Orde  Baru. Teriak dan sorakan riuh reda di setiap arena pertandingan. Di sebuah panggung papan yang khusus untuk perlombaan seni, seperti puisi, tarik suara, dan menari tarian tradisional Indonesia.

Semuanya selesai, Kini saatnya perlombaan membaca puisi karya sendiri. Mahmud yang menjadi wakil cadangan, dengan seksama memperhatikan jalan Perlombaan baca puisi. Satu demi satu perwakilan antar desa maju menampilkan puisi masing-masing. Waktu berlalu,  saatnya giliran Penampilan dari sekolah Mahmud.

Kemudian panitia memanggil nama peserta, Angga Putra. Mahmud dan kawan-kawannya berharap kalau sekolahnya akan menang. Mahmud nampak bergeser mendekat menerobos kerumunan orang yang menonton agar tegak paling depan. Banyak penduduk yang menonton berbaur dengan siswa siswi sekolah. Lama, nama peserta yang di panggil tidak naik ke panggung arena perlombaan.

Mahmud pun menjadi gelisah. Kepalanya nampak celingak-celinguk memperhatikan sekeliling mencari-cari temannya yang menjadi peserta lomba. Lama di tunggu tidak muncul juga sehingga panitia mulai menghitung. Atas kesepakatan juri bahwa sekolah Mahmud di tunda dahulu, sehingga memanggil nama peserta sekolah lain dahulu. Seorang guru sekolah Mahmud naik ke panggung, dan nampak berbisik-bisik.

Panitia dan para dewan juri itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu dia mencoret sebuah nama dan mengganti dengan nama lain. Setelah sekolah lain selesai, tinggal sekolah Mahmud yang dipanggil. Ternyata nama yang di panggil adalah nama Mahmud, peserta cadangan. Mahmud kaget dia merasa gugup, dadanya berdebar, tidak menduga sama sekali. Sebuah tanda tanya  menggelayut di benaknya.

Timbul rasa khawatir dengan temannya. Tiga kali nama Mahmud di panggil. Dengan langka bergetar Mahmud melangka ke panggung pertunjukan. Wajah Mahmud merah padam, dan jantungnya berdegub kencang. Dia pandangi sekelilingnya, bertambah besar rasa gugup. Melihat itu, seorang guru Mahmud mulai memberi semangat.

Sadar kalau sang murid terkejut, serta butuh dukungan. Di awali tepuk tangan, diikuti semua teman-temannya, dan mereka berteriak-teriak menyemangati Mahmud.”Ayo, Mahmud…kamu bisa.” Mahmud kamu hebat…ayo. Pekik semua teman-temannya. Mahmud yang sudah kehilangan percaya diri merasa kalau dia akan kalah.

Tetapi Mahmud tetap konsentrasi, menarik napas dalam, dan menghembuskan perlahan-lahan. Dia pejamkan matanya sejenak. Terbayang saat-saat dia latihan di tepian sungai. Kehujanan saat pulang sekolah, olokan-olokan teman-temannya, terbayang saat kekecewaan sang ayah waktu dia berbohong setahun lalu. Akibatnya Sang ayah di olok-olok orang.

Semua ini membuat hati Mahmud bersedih, matanya berkaca-kaca, lalu emosi-nya naik terbawa dalam nada syair puisi-nya. Membuat semua orang terdiam, dan bergetar bahkan ada di antara nya meneteskan air mata. Rasa bersalah, rasa penyesalan menghantui anak kecil itu. Jiwanya ikut menghayati, dengan diikuti gerak tangan terkepal, kaki dan suara yang terkombinasi. “Sebuah Kebanggaan,” itulah judul puisi yang terucap bersamaan diamnya semua orang.

Sebuah Kebanggaan

Emas atau berlian, sangat bernilai.
Namun laut tetap berdebur, kata malam.
Walau sepanjang hari di hempas ke pantai.
Tidak dan tidak, membanggakan mereka.
Aku tak mengerti kebanggaan mu.
Hanya merekalah yang tau.
Kau jua harapan, Kata Langit.
Merekalah orang tua, yang berbangga.
Berbangga di balik kenakalan ku.

Tak usah membalas jasa Nak, Kata bulan.
Mereka impikan sebuah prestasi.
Untuk kalian yang merah mudah.
Bangga, bahagia, menjadi keberhasilan mereka.
Keringat, darah, dan dahaga itu kebahagiaan, mereka.
Semua terbayar oleh tepuk tangan orang-orang.

Ayah, ibu, maafkan anak mu.
Di antara jantung kalian, berhembus napas ku.
Maaf kan kesalahan dan kenakalan ku.
Maafkan aku tak bisa membanggakan mu.
Bukan salah kalian dalam mendidik ku
Sungguh, tak kan terbalas jasa kalian pada ku.
Ayah,  ibu, bapak-ibu guru ku, inilah anakmu.
Nakal dan selalu nakal.
Bukan salah kalian dalam mendidik aku.
Kata mentari, akulah yang nakal.
Akulah yang tidak mampu mempersembahkan sesuatu.
Maafkan aku, anak mu.
(syarce, 1996).

Puisi sederhana itu di bawakan dengan penuh perasaan oleh Mahmud, membuat semunya terbungkam, dan terharu mendengarnya. Mereka semua merasa hanyut dalam napas Mahmud yang setengah menangis, namun tetap pada alur kaidah berpuisi. Di akhir puisi tampak air mata Mahmud mengalir di kedua pipinya. Seorang  ibu guru juga mengusap air matanya. Dia memandangi Mahmud yang mulai turun dari panggung pertunjukan.

Sang guru merasakan ada sesuatu yang terjadi pada anak didikan-nya itu. Ternyata di antara kerumunan orang itu ayah dan ibu Mahmud serta dua adiknya menyaksikan juga. Tepat saat Mahmud mulai berpuisi ayah dan ibu Mahmud ikut menyaksikan, setelah selesai berobat di puskesmas kecamatan. Tidak heran, pada masa itu, Porsni menjadi tontonan warga yang menarik sekali.

Ayah dan ibunya bahagia dan terharu sekali melihat sang anak berdiri di panggung pertunjukan. Bukan hadiah atau juara pertama, hanya sebuah kebanggaan di dapat mereka melebihi materi. Lihatlah, itu anakku kata mereka dengan bangganya. Setelah turun Mahmud melangkah menjauh dari kerumunan orang-orang.

Dia berjalan menuju sebatang pohon yang tumbuh di pinggiran lapangan perlombaan. Sebatang pohon Ensana besar tumbuh di sudut lapangan sekolah dasar itu. Mahmud lalu duduk menjelepok, bersandar di batang pohon itu. Dia seka air matanya beberapa kali, matanya merah. Tiba-tiba sebuah suara lembut menyapanya. Menyebut namanya dan membelai rambutnya.

Anak kelas empat sekolah dasar ini melihat seorang ibu guru yang dia kenal. Ya guru itu wali kelas-nya namanya ibu Erni. Mata polos Mahmud menunduk saat dia melihat tatapan lembut gurunya. Sambil duduk di sisi Mahmud si ibu guru bertanya, setelah memuji sedikit puisi Mahmud tadi. “Mahmud, kamu kenapa nak, coba cerita sama ibu..!”.

Pada awalnya Mahmud tidak mau bercerita. Namun guru baik hati ini terus membujuknya agar mau bercerita. Mengapa Mahmud begitu bersedih sekali. Mahmud pun bercerita walau sepotong-sepotong, tetapi si ibu guru mengerti maksud ceritanya.

Wajar dia masih anak-anak, di mana pola pikirnya sangat polos sekali. Mahmud bercerita tentang kebohongan-nya kepada kedua orang tuanya setahun lalu. Membuat ayahnya di olok-olok orang-orang sehingga sang ayah merasa kecewa sekali.

Dia juga berbohong lagi, hari ini karena kepergian-nya dia berpamitan untuk menyaksikan saja sebagai penyemangat teman-teman dan bukan sebagai peserta cadangan. Mahmud tidak mau membuat ayah dan ibunya kecewa lagi. Sehingga rasa bersalah menghantui-nya sepanjang hari-harinya. Mahmud juga malu, dan merasa bersalah, selain itu dia merasa tidak akan juara puisi.

Padahal sekolahnya sudah lama tidak dapat juara dalam lomba berpuisi, apalagi juara umum. Mahmud yang menjadi peserta lomba merasa tidak yakin sekali. Kekalahan kedua kali. Ibu guru tersenyum haru, dan meneteskan air matanya.

Di perhatikannya Mahmud yang duduk sambil tertunduk sedih. Sambil tangannya mencoret-coret tanah. Lalu si ibu berkata menghibur. “menang kalah itu biasa, nak. Kamu jangan merasa bersalah, dan kekalahan itu bukan karena mu. Kau sudah berusaha semampumu. Kami juga tau anak-anak kami sudah semuanya berusaha sebaik-baiknya.

Kalau masalah kau berbohong tahun lalu. Sudah, lupakan saja, jangan diingat lagi. Yang penting jangan kau ulangi lagi. Kedua orang tua mu pasti sudah memaafkanmu. Mereka tau kau bermaksud menyenangkan hati mereka. Kau anak baik, dan bertanggung jawab. Kau masih anak-anak, tapi sepertinya kau akan cepat tumbuh dewasa.

Sekolah dan teman-temanmu tidak akan menyalakan mu. Hibur sang guru pada Mahmud. Ternyata ayah dan ibu Mahmud mendengar percakapan itu. Mereka juga menyusul saat Mahmud melangkah pergi. Bukan main haru ibu, dan ayah Mahmud mendengar pengakuan yang tulus dari anak sekecil itu.

Mahmud meminta maaf pada ibu dan ayahnya. Yah, Orang tua akan selalu memberi maaf pada setiap kesalahan anak-anak mereka. Ayah Mahmud berkata, menang dan kalah itu biasa di dalam suatu perlombaan. Yang terpenting kamu bisa menyikapinya secara bijaksana. Menang dan kalah bukan harapan, yang terpenting kau berusaha. Lupakan semua, kau masih anak-anak. Ayo bermainlah, lupakan semua yang membuat mu sedih, jangan hiraukan perkataan orang. Kata ayah Mahmud sambil menepuk bahunya.

Semua menjadi bahagia dan terharu. Kenapa tidak bilang kalau ikut lomba, ibu kan dapat memberikan uang jajan lebih. Sahut ibunya “Saya peserta cadangan ibu. Jawab Mahmud. Selembar uang lima ratus rupiah bergambar orang hutan diberikan ibunya. Mahmud mengambil uang dengan tersenyum, dan berlari mencari jajanan bersama kedua adiknya. Satu di gendongnya di punggung, satunya ikut berlari di tentunya.

Ibu guru Mahmud berkata. Bapak dan ibu punya anak yang baik. Di usia sekecil itu dia sudah mengerti sebuah kesalahan. Kelak dia akan menjadi pemuda yang kuat. Dia merasa bersalah pada bapak dan ibu karena kebohongan-nya. Dia takut kalau tidak juara, karena itu untuk dipersembahkan di sekolahnya.

Dia begitu serius. Dunia anak-anak, kita tidak boleh ikut larut dan terus mengawasi mereka. Celoteh ibu guru itu sambil tersenyum. Ibu guru, ayah, dan ibu Mahmud berbincang-bincang hangat sambil memperhatikan Mahmud bermain dengan adik-adiknya. Memulai untuk sebuah tanggung jawab.

Setelah selesai perlombaan di semua cabang pertandingan. Pada sore hari, pukul 15:00 WIB, para juri mengumumkan hasil perlombaan. Dari seluru rangkayan pertandingan yang di selenggarakan. Untuk menentukan juara umum Porseni dipilih sekolah yang paling banyak mendapat kemenangan.

Dalam pengumuman kemenangan itu, sekolah Mahmud selalu imbang dengan skor sekolah tuan rumah. Tiba saatnya imbang dan ditentukan dengan kemenangan satu perlombaan lagi. Hanya cabang baca puisi yang menjadi penentu dari skor imbang sekolah Mahmud dan sekolah tuan rumah. Pengumuman dimulai dari juara tiga, juara dua, dan juara satu. Dengan perasaan was-was penuh kecemasan semua menunggu dengan berdebar.

Memang dewan juri mengulur-ulur waktu untuk menyebutkan. Akhirnya diumumkan bahwa lomba baca puisi dimenangkan peserta dari Sekolah Dasar Negeri Satu Desa Meranti, yang di bawakan oleh Mahmud. Semua teman dan guru-guru Mahmud bersorak-sorak.

Bukan main terharu-nya sore itu, ibu Mahmud meneteskan airmata. Sudah lima tahun, tidak menjadi juara umum sekolah Mahmud, dan tahun ini kembali menjadi juara umum. Semua bilang Mahmud pahlawan sekolah mereka tahun ini. Senyum dan ucapan selamat berdatangan padanya.

Waktu berlalu, Mahmud tidak lupa menjenguk temannya yang sakit, si Angga Putra. Memberi kabar gembira bahwa sekolah mereka juara umum. Memang hari terakhir latihan mereka kehujanan di jalan, itulah penyebab Angga sakit, dan tidak bisa ikut pertandingan baca puisi sehingga terpaksa Mahmud sebagai peserta cadangan yang maju.

Ayah dan ibu Mahmud bangga sekali, di luar dugaan sama sekali. Sekarang merekah tidak merasa ragu lagi pada kemenangan sang anak. Karena mereka menyaksikan sendiri, Mahmud membaca puisi, menerima piala-nya. Sejak saat itu, Mahmud menjadi buah bibir di desanya.

Orang-orang bilang mungkin suatu saat anak itu menjadi seorang penulis, sastrawan, sejarawan yang hebat. Juara tingkat kecamatan baca puisi. sekarang semua penduduk desa Mahmud sudah mengetahui. Kalau dahulu ayah Mahmud selalu bercerita tentang anaknya. Tetapi sekarang orang-orang desanya yang menceritakan, dan bertanya.

Rasa malu setahun yang lalu kini berganti dengan kebanggaan tersendiri. Sebuah kebanggaan hadir di jiwa para orang tua apabila sang anak memiliki prestasi. Entah apa yang terpikirkan di benak para orang tua. Mengapa mereka begitu bangga akan anak-anaknya. Hanya para orang tua yang tahu dan mengerti. Begitu juga Mahmud kecil, tak pernah habis pikir di mana letak istimewanya. Dia menganggap semua itu hal biasa saja, namun semua itu sangat membanggakan kedua orang tuanya.

Yah, si Mahmud anak kecil dari ladang, yang setiap hari berlari diantara bayang-bayang siang. Menuntut ilmu dengan semua kekurangan. Namun tetap semangat menggapai masa depan. Bercita-cita tinggi dan tidak pernah menyerah.

Bermain dengan kecerian dalam sejuta kepolosan. Satu hal, jangan pernah membohongi kedua orang tua kita. Apalagi dibohongi dengan kenakalan kita. Membohongi dengan maksud menyenangi hati mereka saja tidak baik, apalagi dengan kenakalan-kenakalan. Ingat, satu kebohongan akan diikuti dengan kebohongan-kebohongan lainnya.

Orang tua, mereka tidak meminta banyak harta, uang, atau balas jasa dari sang anak. Mereka hanya ingin melihat kesuksesan anak-anaknya. Jerih payah, membanting tulang, memerah keringat, serta rasa letih tidak pernah hiraukan. Mereka para orang tua, hanya ingin melihat sang anak yang berprestasi, menjadi orang yang berguna, sukses, bermoral baik, dan berpendidikan. Mereka itu, hanya ingin berkata, “lihatlah, itu anakku.”

Oleh: Joni Apero
Fakultas Adab, Palembang, 2013.

Catatan: Yang mau belajar menulis: mari belajar bersama-sama: Bagi teman-teman yang ingin mengirim atau menyumbangkan karya tulis seperti puisi, pantun, cerpen, cerita pengalaman hidup seperti cerita cinta, catatan mantera, biografi diri sendiri, resep obat tradisional,  quote, artikel, kata-kata mutiara dan sebagainya.

Kirim saja ke Apero Fublic. Dengan syarat karya kirimannya hasil tulisan sendiri, dan belum di publikasi di media lain. Seandainya sudah dipublikasikan diharapkan menyebut sumber. Jangan khawatir hak cipta akan ditulis sesuai nama pengirim. Sertakan nama lengkap, tempat menulis, tanggal dan waktu penulisan, alamat penulis.

Jumlah karya tulis tidak terbatas, bebas. Kirimkan lewat email: joni_apero@yahoo.com. idline: Apero FublicwhatsApp: 081367739872. Messenger. Apero fublic. Karya kiriman tanggung jawab sepenuhnya dari pengirim.

By. Apero Fublic

0 komentar:

Post a Comment