Artikel
Kampus
Mahasiswa
Opini
Pendidikan
Sistem Penjurusan SMA Diutak-atik Lagi, Siswa Kembali Jadi “Kelinci Percobaan"
APERO FUBLIC I ARTIKEL.- Perubahan dalam kurikulum di Indonesia telah menjadi hal yang biasa di masyarakat. Namun, biasa bukan berarti menyenangkan. Rencana terbaru dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah yang dipimpin oleh Menteri Abdul Mu’ti tentang pemulihan sistem penjurusan SMA kembali menimbulkan keresahan. Setelah sebelumnya dihapus melalui peraturan pada era menteri sebelumnya, kini penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa akan dihidupkan kembali dalam sistem baru yang mulai diperkenalkan.
Saat masyarakat baru berusaha memahami fleksibilitas Kurikulum Merdeka, perubahan ini muncul kembali. Banyak yang meragukan konsistensi dalam kebijakan pendidikan dan khawatir siswa kembali menjadi subjek uji coba dari berbagai eksperimen kurikulum yang berubah dengan sangat cepat. Banyak sekolah bahkan masih berupaya beradaptasi dengan sistem yang lalu, sehingga rencana perubahan yang tiba-tiba ini terasa seperti membongkar pekerjaan yang telah dilakukan.
Dalam konteks ini, artikel ini berusaha untuk menganalisis perjalanan kebijakan tersebut, alasan di baliknya, serta kritik dari para ahli terhadap arah pendidikan di Indonesia yang dinilai tidak konsisten dan terlalu sering mengalami perubahan seiring dengan pergantian jabatan.
Wacana Pengembalian Penjurusan: Mengulang Pola Lama?
Dalam rencana Kementerian, siswa sekolah menengah atas akan menjalani Ujian Kemampuan Akademis sebagai dasar dalam pemilihan jurusan. Dua mata pelajaran yang harus diujikan adalah Bahasa Indonesia dan Matematika, diikuti dengan pilihan mata pelajaran berdasarkan minat. Untuk kelompok sains, siswa akan menentukan pilihan di antara Fisika, Kimia, atau Biologi; sedangkan untuk kelompok sosial, pilihan termasuk Ekonomi, Sejarah, dan pelajaran sosial lainnya. Jurusan Bahasa juga akan mendapatkan tempat kembali seperti sebelum diberlakukannya Kurikulum Merdeka.
Menteri Abdul Mu’ti menekankan bahwa penjurusan sangat penting untuk memperkuat dasar akademik siswa dan menghindari ketidakcocokan dalam pilihan studi ketika masuk perguruan tinggi. Salah satu contoh menarik yang sering disebut adalah siswa yang berasal dari latar belakang sosial yang kesulitan saat mengikuti kuliah di Fakultas Kedokteran. Dari sudut pandang akademis, penjurusan memang menawarkan keuntungan dalam mempersiapkan siswa dengan lebih terarah dan terfokus sesuai dengan bidang yang mereka pilih sejak awal.
Namun, yang menjadi masalah bukan hanya relevansi, melainkan bagaimana kebijakan ini muncul begitu tiba-tiba setelah sebelumnya sistem penjurusan dihapuskan. Masyarakat menyaksikan pola yang sama: setiap kali ada perubahan menteri, berarti terjadi juga perubahan arah dalam sistem pendidikan. Para guru, kepala sekolah, dan siswa harus mampu beradaptasi kembali, menyusun dokumen baru, dan menyesuaikan metode pembelajaran di tengah ketidakpastian peta jalan pendidikan nasional.
Data nyata mendukung kekhawatiran ini: sejak memperoleh kemerdekaan, sistem kurikulum di Indonesia telah mengalami banyak perubahan. Mengingat sejarahnya, kurikulum telah diperbaharui setidaknya sebanyak 11 kali hingga saat ini. Perubahan tersebut mencakup periode "Rentjana Pelajaran 1947", sejumlah revisi, hingga penerapan Kurikulum Merdeka.
Dengan seringnya perubahan dalam pendidikan seperti ini, muncul risiko bahwa sekolah, pengajar, dan siswa tidak memiliki waktu yang cukup untuk benar-benar menyesuaikan diri dan mengevaluasi efek dari tiap kebijakan sebelum muncul perubahan baru. Hal ini mengakibatkan kestabilan dan kontinuitas dalam proses belajar menjadi sulit dijaga.
Kurikulum Merdeka: Ide yang Positif, Implementasi yang Kurang Lancar
Di sisi lain, pemerintah pernah memperkenalkan Kurikulum Merdeka: sebuah ide dengan visi pembelajaran di abad ke-21 yang menekankan inovasi, pemikiran kritis, kerja sama, dan proyek. Pandangan ini sejalan dengan tuntutan dunia yang terus berubah. Namun banyak laporan menunjukkan bahwa pelaksanaan di lapangan berjalan dengan sulit: banyak sekolah masih belum siap, guru tidak mendapatkan pelatihan yang memadai, serta fasilitas dan sumber daya yang tidak merata. Akibatnya: tugas proyek kadang-kadang hanya menjadi rutinitas, dengan siswa hanya menyalin dari internet, tanpa mendapatkan pemahaman yang mendalam.
Banyak pengajar mengakui bahwa mereka belum sepenuhnya memahami konsep dasar dari Kurikulum Merdeka, khususnya dalam menyusun modul, melakukan penilaian yang autentik, dan mendampingi siswa dalam proses pembelajaran aktif. Hal ini menunjukkan bahwa ide yang brilian dapat gagal jika para pelaksana tidak siap.
Masalah semacam ini bukan sekadar berkaitan dengan niat, melainkan terkait dengan kemampuan untuk menerapkan: kurangnya tenaga pengajar yang terlatih, minimnya program pelatihan, dan perbedaan fasilitas antar institusi pendidikan. Tanpa penanganan yang tulus terhadap elemen penunjang, diskursus mengenai penjurusan yang "dari yang sederhana" ini mungkin hanya akan menjadi solusi jangka pendek yang tidak menyentuh masalah mendasar.
Tradisi Perubahan Kurikulum: Masalah Lama yang Terabaikan
Sejak Indonesia meraih kemerdekaan hingga saat ini, kurikulum telah disesuaikan lebih dari sebelas kali. Setiap kali terjadi perubahan kepemimpinan menjabat, seringkali ada penyesuaian dalam struktur, isi, metode, dan tujuan pembelajaran.
Banyak akademisi mengecam pola “ganti menteri, ganti kurikulum”: mereka berpendapat bahwa seharusnya pemerintah memperbaiki sistem yang sudah ada, bukan terus-menerus memulainya dari awal.
Fenomena ini membawa dampak langsung: para guru harus terus-menerus mengikuti pelatihan yang bervariasi, sekolah harus menyesuaikan administrasi mereka, dan siswa pun dituntut untuk selalu beradaptasi dengan pendekatan belajar yang baru. Dalam jangka panjang, sulit untuk mengevaluasi sistem karena kurikulum sudah diubah sebelum hasil dari penerapan sebelumnya selesai dianalisis.
Sebagai akibatnya, tujuan pendidikan untuk menghasilkan generasi yang cerdas, kritis, kreatif, dan adaptif sulit untuk dicapai secara berkelanjutan. Alih-alih bergerak maju, sistem pendidikan kita terkadang terasa seolah “berada di tempat”, atau bahkan mundur ketika perubahan diterapkan sebelum siap.
Belajar dari Negara Tetangga dan Negara Maju: Stabilitas Jadi Kunci
Untuk menemukan alternatif yang lebih efektif, kita dapat meneliti negara-negara yang telah sukses dalam meningkatkan mutu pendidikan melalui kebijakan yang stabil dan berlanjut.
Sebagai contoh, dalam Programme for International Student Assessment (PISA) 2022, siswa dari Singapura meraih peringkat tertinggi di antara berbagai negara di dunia dalam hal membaca, matematika, dan sains. Keberhasilan ini bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari sistem pendidikan yang kokoh, kurikulum yang stabil, serta investasi yang terus-menerus dalam kualitas pengajaran dan sarana.
Finnlandia juga menunjukkan bahwa fokus pada kualitas pengajar, akses pendidikan yang merata, dan pendekatan yang mendukung pertumbuhan menyeluruh siswa lebih baik dibandingkan dengan seringnya pergantian kurikulum.
Dari situ, kita bisa menarik dua poin penting:
• Konsistensi dalam kurikulum dan kebijakan memungkinkan penilaian jangka panjang terhadap mutu pendidikan dan pengaruhnya terhadap siswa.
• Penempatan dana untuk kualitas pengajaran, sarana, dan metode belajar yang terbaru jauh lebih penting daripada sekadar mengubah struktur.
Dengan mengadaptasi pendekatan ini, Indonesia memiliki peluang yang lebih besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara berkelanjutan.
Menuju Kebijakan Pendidikan yang Lebih Konsisten Dengan Solusi Inovatif
Membangun sistem pendidikan yang tangguh memerlukan konsistensi dalam kebijakan, kesiapan sumber daya, serta visi yang berjangka panjang. Berikut adalah beberapa rekomendasi konkret dan inovatif agar reformasi pendidikan tidak lagi menjadi percobaan bagi para siswa:
1. Studi dan Uji Coba Jangka Panjang: Sebelum menerapkan penjurusan secara luas, lakukan uji coba di beberapa sekolah yang representatif (baik di perkotaan maupun daerah terisolasi, negeri maupun swasta). Lakukan evaluasi secara mandiri dalam waktu 2-3 tahun; analisis dampak terhadap prestasi belajar, minat peserta didik, serta kesejahteraan mental, kemudian baru diperluas jika terbukti berhasil.
2. Penyempurnaan dan Profesionalisasi Pengajar: Tawarkan program pelatihan mendalam untuk pengajar agar mereka akrab dengan metode kurikulum modern, pendekatan pembelajaran aktif, penilaian autentik, dan pembelajaran yang beragam. Pemerintah juga dapat mendukung terbentuknya komunitas pengajar berbasis pengalaman untuk berbagi praktik terbaik.
3. Penyeleksian Infrastruktur dan Teknologi Pendidikan: Permudah akses internet, perangkat belajar digital, perpustakaan, serta ruang belajar yang nyaman khususnya di daerah terpencil. Ini akan membantu mengimplementasikan pembelajaran berbasis proyek, penelitian, dan literasi digital.
4. Kebijakan Berdasarkan Data dan Evaluasi Rutin: Setiap kebijakan baru harus dilengkapi dengan indikator keberhasilan, metodologi pemantauan dan evaluasi, serta laporan hasil yang jelas. Jika hasilnya tidak memuaskan, lakukan perbaikan berdasarkan bukti, bukan mengganti secara keseluruhan tanpa analisis.
5. Penglibatan Berbagai Pemangku Kepentingan: Libatkan guru, siswa, orang tua, akademisi, dan masyarakat dalam proses penciptaan kebijakan. Pendapat mereka sangat berharga agar kebijakan bisa bersifat kontekstual dan tidak hanya berpola dari atas ke bawah sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
6. Fokus pada Pembentukan Karakter dan Keterampilan Abad 21, Tidak Hanya Akademis: Selain penjurusan (IPA, IPS, Bahasa), sediakan jalur minat lain seperti seni, vokasi, teknologi, dan kewirausahaan. Ini memberikan kesempatan bagi siswa dengan berbagai potensi, bukan hanya yang berbasis akademis tradisional.
Dengan pendekatan semacam ini, pengelompokan bukan hanya sekadar pergantian administratif, melainkan merupakan komponen dari sistem pendidikan yang berkembang, inklusif, dan fokus pada masa depan.
Jangan Jadikan Siswa Sebagai Objek Percobaan
Pada akhirnya, siswa tidak boleh diperlakukan sebagai "kelinci percobaan" untuk kebijakan yang sering berubah. Mereka memerlukan arah pendidikan yang tetap, konsisten, dan terukur. Reformasi pendidikan seharusnya tidak hanya mengikuti perubahan kepemimpinan, tetapi harus dirancang sebagai strategi jangka panjang yang melibatkan semua pihak terkait, mulai dari para pengajar hingga keluarga dan masyarakat.
Konsistensi, kesiapan, dan kerja sama adalah elemen penting agar pendidikan di Indonesia tidak terjebak dalam siklus perubahan kebijakan yang tidak menentu, melainkan benar-benar melangkah ke arah sistem yang lebih baik dalam membentuk masa depan bangsa. Dengan demikian, generasi yang akan datang akan mendapatkan lebih dari sekadar pendidikan; mereka akan memiliki landasan untuk berkembang dengan baik di era global.
Oleh: Namira Alifia Izhar
Mahasiswi Prodi Manajemen Pendidikan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah.
Editor. Tim Redaksi
Sy. Apero Fublic
Via
Artikel

Post a Comment