Pasal 90 dan 93 KUHAP Baru: Menguatkan Aparat, Melemahkan Hak Warga
APERO FUBLIC I HUKUM.- Revisi KUHAP adalah momentum penting dalam pembaruan sistem peradilan pidana Indonesia. Namun dua ketentuan, yaitu Pasal 90 dan Pasal 93 mengenai upaya paksa, terutama penangkapan menjadi sorotan karena dinilai mengendurkan prinsip checks and balances pada tahap paling rawan terjadi pelanggaran hak asasi manusia: penangkapan dan penahanan.
Ruang Penangkapan yang Diperluas
Pasal 90 KUHAP mengatur penangkapan untuk kepentingan penyelidikan, termasuk masa penangkapan yang dapat diperpanjang. Di atas kertas, norma ini mungkin dimaksudkan untuk memberikan kelonggaran bagi aparat dalam menangani kasus yang memerlukan waktu lebih panjang. Namun bagi banyak pemerhati HAM, perluasan ruang ini justru menempatkan warga sipil pada posisi yang lebih rentan.
Komnas HAM selama bertahun-tahun mencatat bahwa aduan terkait penyalahgunaan kewenangan penangkapan selalu menempati posisi tinggi dalam laporan tahunan mereka. Mayoritas keluhan berasal dari dugaan penangkapan tanpa dasar yang cukup, tindakan intimidatif, hingga minimnya akses terhadap bantuan hukum. Pola ini menunjukkan bahwa tahap paling awal dalam proses pidana merupakan titik paling rawan.
Dengan latar seperti itu, penambahan ruang diskresioner bagi penyidik dalam Pasal 90 dapat berpotensi memperlebar celah praktik sewenang-wenang, terutama bila tidak diimbangi dengan pengawasan yudisial yang kuat.
Minimnya Kontrol Hakim: Masalah Lama yang Terulang
Pasal 93 mengatur pemberitahuan penangkapan kepada pihak keluarga dan lembaga terkait, namun tidak memberikan mekanisme kontrol hakim secara langsung (judicial oversight) sebelum atau sesaat setelah penangkapan dilakukan. Dalam KUHAP lama, mekanisme kontrol hakim lewat habeas corpus dan praperadilan menjadi alat penting mengawasi upaya paksa. Namun Pasal 93 KUHAP baru membuka ruang perpanjangan masa penangkapan tanpa pengawasan hakim yang tegas, cukup dengan alasan “keadaan tertentu”. Frasa ini kembali muncul tanpa batasan dan parameter.
Padahal, standar internasional melalui International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 menegaskan bahwa setiap orang yang ditangkap harus segera dibawa ke hadapan hakim. Komite HAM PBB menafsirkan “segera” sebagai tidak lebih dari beberapa hari, bahkan dalam banyak yurisdiksi hanya 24 jam.
Ahli hukum pidana Prof. Muladi dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa judicial control adalah prinsip paling penting untuk mencegah penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi. Menurut pakar hukum acara pidana Prof. Mudzakkir, yang menyatakan bahwa “penangkapan tanpa pengawasan hakim adalah pintu masuk pelanggaran HAM paling dasar dalam proses peradilan.”
Dalam sebuah diskusi publik, Guru besar Hukum Pidana UGM, Prof. Eddy Hiariej, menegaskan bahwa kewenangan penangkapan harus berada di bawah kontrol hakim karena berkaitan langsung dengan hak konstitusional warga. Ia menyebut, “Penangkapan adalah tindakan paling intrusif. Sekali kewenangan itu tidak diawasi, pelanggaran HAM hanya menunggu waktu.”
Sementara itu, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengingatkan bahwa istilah “dugaan keras” terlalu fleksibel. “Dalam teori HAM, pembatasan kebebasan mensyaratkan definisi hukum yang ketat. Rumusan longgar memberi ruang tafsir berbahaya.”
Kritik lain datang dari mantan komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, yang menyebut KUHAP baru harus diuji kembali karena “kewenangan penangkapan tidak boleh dipusatkan sepenuhnya pada aparat yang berada dalam struktur eksekutif’ tanpa pengawasan lembaga yudisial yang independen.
Dengan tidak memperkuat mekanisme kontrol hakim dalam Pasal 93, revisi KUHAP ini berisiko mengulang problem lama: dominasi aparat penegak hukum tanpa kontrol efektif dari lembaga yudisial.
Risiko Penyalahgunaan dan Dampaknya bagi Warga Rentan
Penangkapan yang longgar dapat berdampak besar pada kelompok rentan seperti anak, perempuan, penyandang disabilitas, masyarakat miskin, serta mereka yang tinggal jauh dari akses bantuan hukum. Dalam laporan tahunan Komnas Perempuan, misalnya, ditemukan bahwa perempuan sering mengalami kekerasan atau intimidasi saat proses penangkapan dan pemeriksaan awal. Demikian pula, LBH Jakarta kerap menyoroti kasus penangkapan yang tidak disertai surat resmi dan dilakukan secara mendadak tanpa keterlibatan penasihat hukum.
Karena itu, kebijakan hukum acara harus mempertimbangkan perlindungan ekstra bagi kelompok rentan. Sayangnya, Pasal 90 dan Pasal 93 belum mencerminkan kebutuhan tersebut.
Presumption of Innocence yang Semakin Melemah
Prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence) hanya dapat ditegakkan jika negara membatasi secara ketat upaya paksa. Semakin besar kewenangan penangkapan tanpa prasyarat ketat dan pengawasan hakim, semakin lemah posisi warga di hadapan negara. Inilah yang dikhawatirkan para akademisi, termasuk Dr. Erasmus Napitupulu, yang menilai bahwa revisi KUHAP seharusnya “memperkuat tahanan terhadap penyalahgunaan kewenangan, bukan memperluas ruang represif negara.”
UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) juga menegaskan bahwa tahapan awal pemeriksaan adalah titik paling rawan penyiksaan, sehingga negara wajib membatasi kewenangan penangkapan dan memastikan keterlibatan pengadilan sejak awal.
Jika Pasal 90 dan 93 tidak diperketat, maka asas tersebut tidak hanya tereduksi, tetapi juga membuka ruang pembenaran atas tindakan yang mengabaikan prosedur.
Mengapa Negara Harus Peduli?
Sejumlah survei opini publik menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum bergantung pada transparansi dan keadilan proses. Ketika penangkapan dilakukan tanpa prosedur jelas, masyarakat cenderung melihat negara sebagai aktor represif, bukan pelindung hak.
Indonesia membutuhkan sistem peradilan pidana yang tidak hanya efektif, tetapi juga humanis dan akuntabel. Revisi KUHAP sebagai fondasi hukum acara pidana harusnya menjadi momentum untuk meninggalkan praktik represif era sebelumnya, bukan justru memperluasnya.
Penutup: Revisi Perlu Koreksi Serius
Pasal 90 dan 93 KUHAP baru menyimpan potensi besar untuk menimbulkan penyalahgunaan kewenangan. Tanpa pengawasan hakim yang kuat, tanpa batasan ketat terhadap masa penangkapan, dan tanpa jaminan akses cepat kepada penasihat hukum, maka revisi KUHAP ini justru mundur dari prinsip perlindungan HAM yang selama ini diperjuangkan.
Indonesia membutuhkan KUHAP yang selaras dengan konstitusi, standar HAM internasional, serta aspirasi publik. Harapannya, kritik akademik dan suara masyarakat sipil dapat menjadi dorongan perbaikan, sehingga hukum acara pidana kita tidak hanya berpihak pada efektivitas penegakan hukum, tetapi juga pada martabat dan hak setiap warga negara.


Post a Comment