Sekolah Rakyat Bukan Solusi Tunggal: Mengapa Masih Banyak Warga yang Tidak Berpendidikan
Sekolah Rakyat Bukan Solusi Tunggal
APERO FUBLIC I OPINI.- Bayangkan saja, jutaan anak-anak di Indonesia yang seharusnya belajar di sekolah justru terpaksa bekerja di ladang atau jalanan, sehingga menyebabkan impian masa depan mereka pun hilang begitu saja. Kenyataan ini sangat menyedihkan, terutama saat pemerintah Indonesia sedang giat membangun sekolah rakyat atas perintah presiden. Siapa yang paling terpengaruh?. Di mana sebenarnya letak masalahnya? Kapan program ini dimulai, dan mengapa kebijakan presiden terhadap sekolah rakyat ini masih belum berhasil menjangkau semua orang?.
Meskipun sekolah rakyat sudah didirikan di beberapa wilayah tertentu, namun faktor ekonomi, geografis, dan sosial tetap membuat sekitar 3,9 juta anak tidak bersekolah pada tahun 2025. Data ini bersumber dari Kemendikdasmen dan BPS. Program sekolah rakyat ini diluncurkan pada tahun 2020 sebagai bagian dari visi pembangunan nasional, dengan tujuan membangun sekolah di daerah terpencil untuk memastikan setiap anak mendapat pendidikan dasar.
Namun, meskipun sudah ada kemajuan, seperti pembangunan di 63 titik awal, tantangan implementasi membuat program ini belum sepenuhnya efektif. Esai ini akan menguraikan masalah ini secara sistematis, mulai dari gambaran umum akses pendidikan, faktor penghambat, dampak jangka panjang, hingga upaya pemerintah dan saran untuk perbaikan. Dengan pendekatan ini, diharapkan pembaca dapat melihat bahwa pendidikan bukan sekadar akses fisik, melainkan fondasi untuk masa depan bangsa.
Penyediaan sekolah rakyat belum cukup untuk menutup celah akses pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat yang ada di Indonesia. Penyebab utamanya, menurut data Kemendikdasmen tahun 2025, ada 3,9 juta anak tidak sekolah (ATS), dengan wilayah Jawa Barat mencatat angka tertinggi sebanyak 616.080 anak, disusul Jawa Tengah dengan 333.152 anak. Angka ini termasuk 272.185 anak yang belum pernah sekolah sama sekali dan 174.650 anak yang putus sekolah tanpa melanjutkan. Hal ini, karena program sekolah rakyat yang sudah dibangun di 63 titik dan direncanakan mencapai 200 titik pada 2025 belum mampu mengatasi masalah putus sekolah yang disebabkan oleh biaya tidak langsung dan jarak yang jauh. Ketidakmerataan ini tidak hanya soal angka, tapi juga distribusi geografis.
Misalnya, di daerah perkotaan seperti Jakarta, akses sekolah relatif lebih baik berkat infrastruktur yang sudah mapan, sedangkan di pedesaan Jawa Barat atau Jawa Tengah, anak-anak sering kali harus berjalan berjam-jam untuk mencapai sekolah terdekat. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah program sekolah rakyat benar-benar menjangkau kelompok yang paling membutuhkan? Data menunjukkan bahwa meskipun sekolah dibangun, partisipasi siswa masih rendah karena kurangnya kesadaran atau dukungan dari orang tua. Kemiskinan serta hambatan geografis tetap menjadi rintangan besar, meskipun infrastruktur sekolah sudah tersedia. Bukti pendukungnya, sekitar 25% dari total 3,9 juta ATS disebabkan oleh ketiadaan biaya, keharusan bekerja, pernikahan dini, disabilitas, sekolah yang terlalu jauh, dan perundungan.
Khususnya, jenjang SD menunjukkan angka putus sekolah tertinggi, yakni 38.540 kasus. Hal yang menjadi penyebab nya adalah sekolah rakyat belum benar-benar menyentuh keluarga miskin di daerah padat penduduk seperti Jawa Barat, di mana populasi yang besar membuat angka ATS absolutnya semakin tinggi. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu, melainkan juga berdampak nasional. Dan faktor ekonomi sering kali berjalin dengan geografis. Keluarga miskin di daerah terpencil, seperti di pegunungan atau pulau-pulau kecil, tidak hanya menghadapi biaya transportasi yang tinggi, tapi juga kurangnya fasilitas pendukung seperti listrik atau internet untuk pembelajaran jarak jauh.
Misalnya, di Jawa Barat, banyak anak dari keluarga petani yang harus membantu orang tua di ladang, sehingga waktu sekolah terganggu. Selain itu, pernikahan dini yang masih marak di beberapa daerah pedesaan memperburuk situasi, karena anak perempuan sering kali diprioritaskan untuk peran domestik. Faktor sosial seperti perundungan juga tidak bisa diabaikan, terutama di sekolah yang kurang pengawasan. Dengan demikian, meskipun sekolah rakyat dibangun, tanpa mengatasi akar masalah ini, program tersebut hanya akan menjadi solusi parsial.
Dengan ketidakmerataan pendidikan maka akan menghalangi pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk membuktikannya, BPS mencatat bahwa angka ATS turun pada Maret 2025, namun tetap tinggi di kelompok usia 16-18 tahun, yakni mencapai 3,82%. Hal ini memperlebar kesenjangan ekonomi dan daya saing di tingkat global, dengan rata-rata lama sekolah yang hanya 9,22 tahun. Dampak ini tidak berhenti pada individu, melainkan merembet ke tingkat nasional. Anak-anak yang tidak bersekolah cenderung terjebak dalam lingkaran kemiskinan, karena kurangnya pendidikan membuat mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang layak.
Pada skala global, Indonesia berisiko tertinggal dalam persaingan tenaga kerja, di mana negara-negara tetangga seperti Vietnam atau Thailand sudah lebih maju dalam indeks pendidikan. Misalnya, rata-rata lama sekolah 9,22 tahun berarti banyak orang dewasa yang tidak memiliki keterampilan dasar untuk beradaptasi dengan teknologi modern. Ini juga berdampak pada kesehatan masyarakat, karena pendidikan rendah sering kali terkait dengan tingkat kesadaran kesehatan yang rendah. Oleh karena itu, tanpa intervensi yang tepat, mimpi Indonesia Emas 2045 yang bergantung pada sumber daya manusia yang unggul akan sulit tercapai.
Inisiatif sekolah rakyat memang positif, tetapi terbatas oleh cara pelaksanaannya. Pemerintah telah meluncurkan PJJ, sekolah terbuka, dan bantuan biaya, namun ATS tetap mendominasi di wilayah timur seperti Papua, yang menurut BPS 2025 memiliki persentase tertinggi, akibat infrastruktur yang minim. Meskipun presiden mendorong pembangunan 200 titik sekolah rakyat, faktor budaya dan akses jarak jauhlah yang menyebabkan 975 ribu putus sekolah masih bertahan. Meskipun ada kemajuan, tantangan implementasi tetap besar. Program PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh), misalnya, bergantung pada akses internet yang belum merata di daerah terpencil, sehingga efektivitasnya berkurang.
Di Papua, di mana geografi yang sulit dan budaya lokal yang berbeda membuat anak-anak kurang tertarik dengan model pendidikan standar. Selain itu, bantuan biaya sering kali tidak tepat sasaran, karena birokrasi yang rumit membuat keluarga miskin enggan mengajukannya. Upaya seperti kampanye kesadaran juga perlu diperkuat, karena banyak orang tua masih menganggap pendidikan sebagai prioritas sekunder dibandingkan pekerjaan anak. Dengan demikian, meskipun ada inisiatif positif, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan swasta diperlukan untuk mengatasi hambatan ini.
Kesimpulan
Bahwa akses pendidikan di Indonesia masih belum merata, dengan 3,9 juta ATS pada 2025 yang dipicu oleh faktor ekonomi, geografis, dan sosial, meskipun sekolah rakyat sudah ada. Dampaknya buruk bagi pembangunan nasional, dan upaya pemerintah perlu diperkuat. Saran yang bisa saya berikan antara lain meskipun pemerintah sudah membangun sekolah rakyat yang tujuannya agar anak-anak yang tidak bisa bersekolah bisa tetap mendapatkan hak nya di dalam pendidikan, namun sekolah rakyat tersebut jangan dijadikan sebagai ide tunggal oleh presiden dan pemerintah Indonesia.
Oleh karena itu, presiden dan pemerintah Indonesia perlu memperluas bantuan langsung tunai untuk pendidikan, membangun lebih banyak sekolah terbuka terutama di wilayah timur dan Jawa Barat, serta kampanye kesadaran bagi orang tua melalui komunitas. Pada akhirnya, pendidikan bukanlah hak istimewa, melainkan fondasi bangsa, tanpa pemerataan, mimpi Indonesia Emas 2045 akan sirna, tetapi dengan tekad bersama, setiap anak berhak bermimpi besar. Saya menekankan bahwa masalah ketidakmerataan pendidikan bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan secara instan, melainkan memerlukan komitmen jangka panjang dari semua pihak.
Dengan data dan analisis yang telah dipaparkan, diharapkan pembaca dapat lebih memahami kompleksitas isu ini dan terdorong untuk berkontribusi, baik melalui kebijakan atau aksi sosial. Pendidikan yang merata bukan hanya tentang angka, tapi tentang membangun generasi yang mampu menghadapi tantangan di masa depan. Dengan demikian, mari kita bersama-sama wujudkan akses pendidikan yang adil untuk semua anak-anak Indonesia.


Post a Comment