Kampus
Mahasiswa
Opini
Pendidikan
Negara Tak Punya Ibu
APERO FUBLIC I OPINI.- Pernahkah kita bertanya, mengapa negara terasa begitu jauh ketika warganya sedang membutuhkan? Mengapa dalam situasi krisis seperi bencana alam, kenaikan harga kebutuhan pokok, atau kekerasan terhadap kelompok rentan negara hadir dengan pernyataan resmi yang rapi, tetapi miskin empati?
Negara sering digambarkan sebagai entitas besar yang kuat, berwibawa, dan rasional. Ia hadir melalui undang-undang, kebijakan, aparat, dan simbol-simbol kekuasaan. Namun di balik semua itu, ada satu hal yang kerap absen dalam cara negara berkomunikasi dengan warganya: rasa keibuan. Negara seolah tidak punya ibu, tidak mendengar dengan empati, tidak merangkul dengan hangat, dan tidak menenangkan saat masyarakat terluka.
Dalam banyak peristiwa krisis bencana alam, konflik sosial, kenaikan harga kebutuhan pokok, hingga kasus kekerasan terhadap kelompok rentan negara sering muncul terlambat, kaku, dan defensif. Pernyataan resmi lebih sibuk menjaga citra institusi daripada memahami rasa takut, marah, dan kecewa masyarakat. Bahasa yang digunakan dingin dan teknokratis, seakan penderitaan rakyat hanyalah angka statistik yang harus “dikelola”, bukan luka yang perlu disembuhkan.
Ketika banjir melanda, misalnya, masyarakat tidak hanya membutuhkan bantuan logistik, tetapi juga pengakuan: bahwa negara memahami penderitaan mereka. Namun yang sering terdengar justru saling lempar tanggung jawab, penjelasan normatif, atau klaim bahwa “semua sudah sesuai prosedur”.
Negara hadir sebagai ayah yang otoriter memberi perintah dan aturan tetapi absen sebagai ibu yang mendengar dan menenangkan. Negara tanpa ibu juga tercermin dalam cara kebijakan dibuat. Banyak kebijakan lahir dari ruang rapat ber AC, jauh dari pengalaman hidup warga. Perspektif kelompok rentan perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, masyarakat adat sering kali hanya menjadi catatan kaki. Padahal, perspektif keibuan dalam bernegara bukan soal jenis kelamin, melainkan soal cara pandang: mendahulukan kepedulian, perlindungan, dan keberpihakan pada yang lemah.
Dalam komunikasi publik, absennya “ibu” tampak dari minimnya empati. Saat kebijakan menuai penolakan, negara cenderung menyalahkan kurangnya literasi masyarakat atau maraknya disinformasi. Jarang ada refleksi bahwa mungkin pesan negara gagal menyentuh rasa keadilan publik. Negara lupa bahwa komunikasi bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi membangun hubungan dan kepercayaan.
Kepercayaan tidak lahir dari instruksi, melainkan dari perasaan didengar. Seorang ibu tahu kapan harus menasihati, kapan harus diam dan mendengarkan. Negara seharusnya belajar dari logika ini. Dalam situasi krisis, masyarakat tidak selalu membutuhkan jawaban cepat, tetapi membutuhkan kehadiran yang tulus. Satu kalimat empatik sering kali lebih bermakna daripada seribu data.
Negara yang “punya ibu” akan berani mengakui kesalahan. Ia tidak alergi pada kritik, karena kritik dipandang sebagai bentuk kepedulian. Ia tidak memosisikan warga sebagai objek yang harus diatur, tetapi sebagai subjek yang perlu dirangkul. Negara semacam ini memahami bahwa legitimasi bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal perasaan keadilan.
Sayangnya, praktik bernegara kita masih didominasi logika kekuasaan maskulin: tegas, keras, dan hierarkis. Empati dianggap kelemahan, padahal justru itulah kekuatan dalam membangun kohesi sosial. Tanpa empati, negara berisiko terputus dari realitas warganya. Jarak antara penguasa dan rakyat semakin lebar, dan kepercayaan publik terus terkikis.
“Negara tak punya ibu” bukan sekadar metafora, melainkan kritik atas hilangnya nilai pengasuhan dalam tata kelola publik. Negara terlalu sibuk menjadi pengatur, lupa menjadi pelindung. Terlalu sering bicara, jarang mendengar. Terlalu cepat membela diri, lambat memahami.
Sudah saatnya negara belajar menjadi orang tua yang utuhbukan hanya ayah yang berkuasa, tetapi juga ibu yang peduli. Karena negara yang besar bukan negara yang paling keras suaranya, melainkan yang paling peka telinganya. Negara yang kuat bukan yang paling ditakuti, tetapi yang paling dipercaya. Dan kepercayaan hanya tumbuh jika negara mau hadir dengan hati, bukan sekadar dengan kewenangan.
Oleh: Inatsa Thurfah Soerianda
Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Paramadina
Editor. Tim Redaksi
Sy. Apero Fublic
Via
Kampus

Post a Comment