Kampus
Kupang
Mahasiswa
NTT
Opini
Pendidikan
Demokrasi yang Terkurung: Menyoal Politik Dinasti Dalam Sistem Pemilihan Rakyat
APERO FUBLIC I MAHASISWA.- Demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas dan adil. Dalam demokrasi, rakyat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, baik melalui pemilihan umum, referendum atau bentuk partisipasi lainnya Pemilu, sebagai instrumen utama demokrasi, seharusnya menjadi momen sakral bagi rakyat untuk menentukan arah masa depan bangsa. Sayangnya, dalam praktiknya, pemilu sering kali tidak mencerminkan kemurnian aspirasi rakyat.
Proses demokratis ini kerap terdistorsi oleh berbagai persoalan serius seperti politik uang, politik identitas, keterbatasan akses informasi yang objektif, dan minimnya ruang debat publik yang sehat. Kandidat yang seharusnya tampil membawa gagasan dan integritas, malah lebih banyak dikemas layaknya produk dalam pasar bebas, dipoles oleh konsultan politik dan didorong oleh kekuatan modal. Dalam kondisi demikian, rakyat bukannya menjadi penentu utama, melainkan hanya objek yang dibujuk, diarahkan, bahkan dimanipulasi untuk memilih sesuai dengan skenario elite.
Demokrasi sering digambarkan sebagai sistem pemerintahan paling ideal dalam peradaban modern. Konsep "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" telah menjadi narasi dominan yang diperjuangkan di berbagai belahan dunia. Namun, setelah lebih dari dua abad praktik demokrasi modern, kita perlu bertanya: apakah demokrasi benar-benar telah mewujudkan janjinya, ataukah kita terlalu romantis dalam memandang sistem ini?.
Politik dinasti bukanlah fenomena baru dalam sejarah Indonesia. Bahkan sejak era Orde Baru, jejak-jejak nepotisme dan familisme politik telah terlihat jelas. Namun, yang mengkhawatirkan adalah bagaimana fenomena ini justru semakin menguat di era demokrasi. Kekayaan yang terakumulasi selama berkuasa digunakan untuk membeli loyalitas, baik dari partai politik maupun dari masyarakat pemilih.
Lebih jauh lagi, demokrasi Indonesia kini menghadapi tantangan serius dari konsolidasi kekuasaan oleh segelintir kelompok politik dan ekonomi yang mendominasi ruang publik serta proses pengambilan keputusan struktur partai politik yang tertutup dan transaksional mempersempit kesempatan bagi rakyat biasa umtuk turut berpartisipasi secara bermakna.
Akibatnya, pemilihan umum tidak lagi merefleksikan aspirasi akar rumput, tetapi justru menjadi ajang pertarungan elite yang sarat kepentingan pragmatis dalam situasi ini demokrasi bukan lagi wadah penyaluran kehendak rakyat, melainkan panggung oligarki yang hanya melayani kepentingan kelompok tertentu.proses demokratis ini kerap terdistorsi oleh berbagai persoalan serius seperti politik uang, politik identitas, keterbatasan akses informasi yang objektif, dan minimnya ruang debat publik yang sehat.
Dampak paling nyata adalah terjadinya penyempitan ruang kompetisi politik. Ketika jabatan-jabatan publik dikuasai oleh keluarga-keluarga tertentu, maka kesempatan bagi individu atau kelompok lain untuk berkompetisi menjadi sangat terbatas. Ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi yang menjamin equal opportunity bagi semua warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. Dan juga keadilan tidak dirasakan oleh masyarakat kecil sementara salah satu prinsip dari demokrasi adalah keadilan sosial dimana negara harus berusaha menciptakan kesetaraan dan kesejahteraan yang merata untuk semua warga.
Dampak kedua adalah terjadinya degradasi kualitas kepemimpinan. Ketika seseorang naik ke posisi puncak bukan karena kapasitas dan integritas, melainkan karena faktor keturunan, maka kualitas kepemimpinan akan menurun. Hal ini pada akhirnya akan berdampak pada kualitas pelayanan publik dan pembangunan daerah. Meskipun ada beberapa kasus dimana dinasti politik berhasil membawa kemajuan bagi daerahnya, namun secara umum, sistem meritokrasi akan menghasilkan pemimpin yang lebih berkualitas dibandingkan sistem dinasti.
Dampak ketiga adalah terjadinya konsolidasi kekuasaan yang berlebihan. Dinasti politik cenderung memonopoli berbagai sumber daya politik, ekonomi, dan sosial. Mereka tidak hanya menguasai jabatan-jabatan publik, tetapi juga berbagai sektor ekonomi strategis di daerah. Konsentrasi kekuasaan yang berlebihan ini sangat berbahaya bagi demokrasi karena dapat mengarah pada otoritarianisme lokal. Untuk mengatasi masalah politik dinasti, diperlukan berbagai upaya perbaikan sistem yang komprehensif. Perlu ada penguatan sistem partai politik sehingga mereka dapat berfungsi sebagai wahana demokratisasi yang sejati. Partai politik harus dipaksa untuk lebih terbuka, demokratis, dan akuntabel dalam proses kaderisasi dan rekrutmen politiknya.
Reformasi sistem politik, penguatan institusi demokrasi, dan peningkatan literasi politik masyarakat menjadi kunci dalam mengatasi masalah politik dinasti. Tanpa upaya yang serius dan konsisten, demokrasi Indonesia akan tetap terkungkung dalam cengkeraman dinasti politik, dan cita-cita untuk mewujudkan demokrasi yang berkualitas akan sulit tercapai. sPenting untuk diingat bahwa demokrasi bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat.
Jika demokrasi dikuasai oleh segelintir keluarga, maka esensi demokrasi itu sendiri akan hilang. Oleh karena itu, perjuangan untuk mengatasi politik dinasti adalah perjuangan untuk mempertahankan esensi demokrasi itu sendiri.
Oleh: Julio Yordan Silab
Mahasiswa dari Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang dalam Mata Kuliah Filsafat Politik
Editor. Tim Redaksi
Sy. Apero Fublic
Via
Kampus


Post a Comment