Artikel
Budaya
Kampus
Mahasiswa
Opini
Pendidikan
Lebih Merdeka di Rumah Gadang Atau di Bale?: Peran Perempuan Bali vs Perempuan Minang dalam Belenggu Tradisi
LEBIH MERDEKA DI RUMAH GADANG ATAU DI BALE?: PERAN PEREMPUAN BALI VS PEREMPUAN MINANG DALAM BELENGGU TRADISI
Rahmat Noferdy, Ray Rafiqin Qistan
Psikologi Universitas Udayana
APERO FUBLIC I ARTIKEL.- Pengantar: Dua Budaya, Dua Takdir Perempuan Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan budaya dan sistem nilai yang membentuk cara hidup jutaan orang. Dibalik kekayaan adat istiadat yang dijunjung tinggi, tersembunyi peran perempuan yang tumbuh dan dibentuk oleh sistem yang diwariskan secara turun temurun. Dua sistem yang kontras namun menarik untuk dikaji yaitu sistem patrilineal di Bali dan matrilineal di Minangkabau. Budaya Bali membentuk kerangka struktur sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pusat garis keturunan, pewarisan nama, dan hak atas warisan, sedangkan perempuan mengikuti pihak laki-laki dan kehilangan afiliasi dengan keluarga asal. Udytama & Dianti (2024) mencatat bahwa dalam sistem patrilineal Bali, perempuan kerap kehilangan hak waris dan identitas keluarga setelah menikah, yang berdampak pada relasi kuasa dalam rumah tangga dan komunitas adat. Sementara itu, ratusan kilometer di Sumatera Barat, perempuan dalam budaya Minangkabau tumbuh dibawah sistem matrilineal sebagai Bundo Kanduang, menempatkan perempuan sebagai pemilik tanah ulayat dan pewaris utama identitas keluarga. Akan tetapi, posisi perempuan Minang tidak serta merta menjamin kekuasaan penuh, sebab pengambilan keputusan adat tetap berada di tangan laki-laki, seperti penghulu dan ninik mamak. Silvianetri & Irman (2022) menyatakan bahwa meskipun perempuan Minang memegang warisan, mereka tetap menghadapi tekanan budaya untuk tunduk dalam ruang publik. Perbedaan ini mencerminkan bagaimana perempuan masih sering didefinisikan bukan berdasarkan kapasitasnya, tetapi oleh konstruksi sosial yang dibentuk budaya. Isu ini menjadi semakin penting ketika budaya yang dianggap “kearifan lokal” justru melanggengkan ketidaksetaraan peran perempuan. Sehingga, penting untuk memahami dinamika ini melalui kacamata psikologi wanita bukan hanya sebagai kajian teoritis, tetapi menjadi pintu masuk penting untuk mulai membicarakan kesetaraan gender yang benar-benar relevan dengan budaya saat ini.
Perempuan: Penentu Ritme Budaya atau Sekadar Simbol Warisan?
Perempuan dalam budaya Bali dan Minangkabau memikul peran besar dalam mempertahankan nilai-nilai adat, namun bentuk peran tersebut seringkali tidak disertai dengan kuasa yang sepadan. Budaya Bali menganut sistem patrilineal, dimana garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan hanya laki-laki (purusa) yang secara penuh berhak atas nama keluarga dan warisan. Anak perempuan yang menikah dianggap keluar dari keluarga asal dan menjadi bagian dari keluarga suami, dengan status sebagai pradana. Meskipun terdapat beberapa bentuk pengecualian adat seperti sistem nyentana atau pemberian warisan melalui hibah, praktik ini masih jarang terjadi dan sangat bergantung pada konteks keluarga masing-masing (Cahyani & Amelda, 2022). Perempuan Bali memegang peran sentral dalam kegiatan domestik dan spiritual, seperti penyelenggaraan upacara, pengelolaan sesajen, hingga urusan subak dan keuangan keluarga. Akan tetapi, meskipun mereka menjadi tulang punggung dalam kehidupan sehari-hari, pengambilan keputusan penting tetap berada di tangan laki-laki (Alaydarani & Kistiawandira, 2023). Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan struktural yang tersembunyi di balik peran sosial yang tampak aktif.
Di sisi lain, budaya Minangkabau yang terkenal dengan sistem matrilineal memberi posisi simbolik yang kuat bagi perempuan. Mereka disebut sebagai Bundo Kanduang, yang memegang peran sebagai pemilik Rumah Gadang, pewaris tanah ulayat, dan penjaga martabat keluarga. Namun, simbol ini tidak otomatis diiringi dengan kuasa dalam pengambilan keputusan. Berdasarkan struktur adat Minangkabau, posisi strategis seperti penghulu atau ninik mamak masih didominasi oleh laki-laki, yang secara formal memimpin musyawarah adat dan mengambil keputusan politik serta hukum adat (Sismarni, 2021). Perempuan memang berperan dalam pendidikan anak dan pelestarian nilai adat, namun peran tersebut cenderung berlangsung dalam ranah privat atau domestik. Bahkan, meskipun memiliki kepemilikan tanah, banyak perempuan Minang merasa tidak bebas menentukan penggunaannya tanpa persetujuan ninik mamak (Sari, dkk., 2025). Kontradiksi antara posisi simbolik dan realitas struktural ini memunculkan ketegangan psikologis, terutama ketika perempuan didorong untuk menjadi "penjaga nilai" tanpa ruang yang setara untuk bersuara di ranah publik.
Kedua budaya ini menunjukkan bahwa perempuan seringkali dihadapkan pada ekspektasi peran yang kuat, namun dalam sistem yang tidak sepenuhnya memberikan mereka ruang untuk berekspresi. Kondisi ini dapat dikaitkan dengan konflik peran gender dalam kajian psikologi wanita, dimana perempuan merasa terjebak antara ideal budaya dan kebutuhan aktual diri (Lips, 2021). Meskipun secara kasat mata budaya Bali dan Minang menawarkan bentuk penghormatan kepada perempuan, keduanya menyimpan struktur patriarki yang terus mereproduksi ketimpangan melalui tafsir budaya dan hukum adat. Maka dari itu, pemaknaan terhadap peran perempuan harus melampaui simbol dan melihat realitas struktural yang membatasi mereka. Pemahaman ini menjadi penting agar upaya menuju kesetaraan gender tidak berhenti pada penghargaan simbolik, tetapi benar-benar mendorong redistribusi kuasa yang adil di semua lapisan masyarakat.
Di Balik Warisan: Ketika Budaya Menentukan Batas Perempuan
Dampak dari sistem kekerabatan ini tidak hanya terlihat dalam aspek sosial, tetapi juga menembus ranah psikologis perempuan. Dalam budaya Bali, struktur patrilineal membuat banyak perempuan merasa kehilangan identitas setelah menikah, karena mereka tidak lagi dianggap bagian dari keluarga asal dan harus menyesuaikan diri dengan struktur keluarga suami. Studi oleh Bija & Sukerti (2021) menemukan bahwa perempuan Bali yang kehilangan hak waris sering kali mengalami penurunan rasa memiliki terhadap keluarga besar dan bahkan terhadap harta benda yang pernah ia rawat sejak kecil. Perasaan tersisih ini diperkuat dengan kurangnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan keluarga atau desa adat. Jika ditinjau berdasarkan perspektif psikologi wanita, hal ini berpotensi menimbulkan konflik peran, rendahnya efikasi diri, dan pengabaian terhadap kebutuhan pribadi demi menyesuaikan dengan norma sosial yang dianggap ideal (Lips, 2021).
Perempuan Minangkabau, meskipun secara struktural ditempatkan sebagai pewaris harta dan identitas keluarga, juga menghadapi tekanan budaya yang. Seringkali mereka dibebani oleh ekspektasi ganda, yaitu harus menjadi penjaga adat dan moral keluarga, namun tetap tunduk pada keputusan ninik mamak dan struktur adat yang didominasi oleh peran laki-laki. Sismarni (2021) mencatat bahwa banyak perempuan Minang mengalami ambivalensi psikologis antara keinginan untuk mandiri dan dorongan budaya untuk tunduk. Beban simbolik sebagai Bundo Kanduang menuntut kesempurnaan dalam peran keibuan, pengasuhan, dan kepemimpinan moral, namun ruang aktual untuk menyuarakan aspirasi tetap terbatas. Hal ini mengakibatkan stres peran dan ketegangan dalam hubungan sosial, terutama ketika perempuan mencoba keluar dari kerangka budaya yang telah diatur (Sari, dkk., 2025). Baik dalam budaya Bali maupun Minangkabau, perempuan berada dalam pusaran sistem budaya yang memengaruhi cara mereka memandang diri sendiri, mengambil keputusan, dan membangun masa depan.
Mendobrak Tradisi: Perempuan Hari Ini dan Strategi Menuju Kesetaraan
Perempuan Bali dan Minangkabau kini berada dalam posisi yang semakin kompleks dalam dinamika masyarakat modern. Di satu sisi mereka mewarisi nilai budaya yang kuat dan identitas sosial yang khas. Namun di sisi lain, mereka juga dihadapkan pada tuntutan untuk setara di ruang pendidikan, ekonomi, dan pengambilan keputusan. Hal tersebut dapat ditinjau melalui penelitian Wira, dkk (2023) dimana perempuan Bali yang aktif di sektor pariwisata dan ekonomi digital masih harus menjalankan peran ritual domestik yang padat dan nyaris tak tergantikan. Sementara itu, perempuan Minangkabau yang memilih jalur profesional atau politik sering kali dipertanyakan kesetiaannya terhadap adat dan peran simboliknya sebagai Bundo Kanduang (Azahra, dkk., 2024). Ketegangan antara nilai tradisi dan kebutuhan kontemporer inilah yang menuntut strategi transformasi sosial yang inklusif dan menghormati budaya.
Strategi pertama yang dapat diterapkan adalah merekonstruksi tafsir adat agar lebih akomodatif terhadap peran aktif perempuan. Pada budaya Bali, perlu adanya dukungan kelembagaan agar perempuan dapat terlibat dalam struktur desa adat, tidak hanya sebagai pelaksana ritual, tetapi juga sebagai pengambil keputusan formal. Lembaga adat perlu membuka ruang bagi perempuan untuk duduk dalam banjar, menjadi pengurus kegiatan sosial, bahkan memiliki hak suara dalam pembahasan anggaran adat. Pada budaya Minangkabau, peran Bundo Kanduang seharusnya tidak berhenti pada simbolik moral semata, melainkan diberi ruang legal untuk berperan dalam lembaga KAN (Kerapatan Adat Nagari) dan musyawarah kampung. Hal ini memerlukan revisi terhadap regulasi adat yang selama ini terlalu didominasi oleh peran laki-laki dan melibatkan perempuan dalam perumusannya secara langsung (Setiawati, 2025).
Selain perubahan struktural, perlu juga pendekatan edukatif dan kultural yang berkelanjutan. Pendidikan kesetaraan gender yang berbasis lokal menjadi penting, tidak sekedar menyampaikan konsep secara global, tetapi menjadikan narasi perempuan lokal sebagai agen perubahan. Tokoh-tokoh perempuan adat yang berhasil menyelaraskan budaya dan kemajuan bisa diangkat sebagai teladan melalui media, forum diskusi, dan kegiatan kebudayaan. Pemanfaatan teknologi digital dan media sosial juga bisa menjadi jembatan antar generasi, dimana perempuan muda Bali dan Minang bisa mengekspresikan identitas budaya mereka sambil tetap menyuarakan kebutuhan untuk dihargai sebagai individu yang berdaya dan merdeka. Strategi ini tidak hanya menggeser cara pandang masyarakat terhadap perempuan, tetapi juga memperkuat kesejahteraan psikologis mereka, karena perempuan yang merasa dilibatkan dan diakui akan memiliki efikasi diri yang lebih tinggi serta konsep diri yang lebih positif (Silalahi, 2023).
Penutup
Kesadaran akan pentingnya peran perempuan dalam struktur budaya harus diiringi dengan komitmen nyata untuk menghadirkan ruang partisipasi yang setara. Bukan lagi saatnya perempuan hanya dijadikan pelengkap atau simbol kehormatan dalam adat, melainkan sebagai subjek aktif yang memiliki otoritas penuh atas keputusan yang memengaruhi hidup dan komunitasnya. Upaya ini tidak cukup hanya dengan mengandalkan perubahan individu, tetapi membutuhkan transformasi kolektif, baik dari lembaga adat, pendidikan, hingga kebijakan publik yang berpihak pada keadilan gender tanpa harus menanggalkan nilai-nilai lokal. Kesetaraan sejati baru bisa tercapai ketika perempuan tidak hanya diberi tempat untuk bicara, tetapi juga didengarkan dan dipercaya.
DAFTAR PUSTAKA
Alaydarani, A., & Kistiawandira, N. (2023). Hak perempuan dalam pewarisan adat Bali. Jurnal Gender dan Hukum Adat, 5(1), 45–60.
Azahra, Q. R., Sintowoko, D. A. W., & Wiguna, I. P. (2024). Visualisasi perempuan di budaya Minangkabau dalam film eksperimental dokumenter. eProceedings of Art & Design, 11(6), 10498–10515.
Bija, R., & Sukerti, N. (2021). Hak waris anak perempuan pada hukum adat Bali dalam perspektif gender. Jurnal Kertha Desa, 9(4), 42–52.
Cahyani, I., & Amelda, A. (2022). Kedudukan perempuan Hindu dalam sistem pewarisan adat Bali. Jurnal Hukum dan Kebudayaan, 4(2), 67–79.
Lips, H. M. (2021). A new psychology of women: Gender, culture, and ethnicity (4th ed.). Waveland Press.
Sari, F., Yuliani, D., & Rahmi, N. (2025). Minangkabau women balance the role of mother and entrepreneur. Jurnal Sosiologi dan Budaya, 8(1), 33–47.
Setiawati, H., Firmansyah, I., Salsabila, R. M., & Purwanto, E. (2025). Komunikasi pembangunan berbasis komunitas dalam upaya pemberdayaan perempuan. Interaction Communication Studies Journal, 1(4), 20–20.
Silalahi, R. (2023). Ketidaksetaraan Gender dalam Psikologi: Tantangan dan Solusi. WriteBox, 1(1).
Sismarni, E. (2021). Perubahan peranan Bundo Kanduang dalam masyarakat Minangkabau. Jurnal Antropologi Nusantara, 3(2), 102–118.
Udytama, I. W. W. W., & Dianti, I. A. I. S. (2024). Sistem pewarisan hukum adat Bali terhadap kedudukan perempuan pada masyarakat adat Bali. Jurnal Yustitia, 19(2), 1–7.
Wira, I. A. D., Septiari, D. M. A., & Dhammayanti, I. G. A. W. (2023). Eksistensi perempuan Bali dalam budaya patriarki. Pramana: Jurnal Hasil Penelitian, 3(2), 129–139.
Editor. Tim Redaksi
Sy. Apero Fublic
Via
Artikel

Post a Comment