Dampak Disinformasi dan Hoaks Terhadap Perilaku Pemilih dan Kualitas Demokrasi di Indonesia
DAMPAK DISINFORMASI DAN HOAKS TERHADAP PERILAKU PEMILIH DAN KUALITAS DEMOKRASI DI INDONESIA
Oleh
1 Helpi Puspita Sari, 2 Indah Media Yulyanti, 3 Siska Marantika, 4 Tiara Lestari,
5 Xanesya Jhovilia
Perpustakaan dan Sains Informasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Bengkulu
Pendahuluan
Demokrasi modern bergantung pada kualitas informasi yang beredar di ruang publik. Informasi yang akurat memungkinkan warga negara membentuk opini politik secara rasional, mendiskusikan isu-isu publik secara produktif, serta membuat keputusan elektoral yang tepat. Namun, perkembangan teknologi digital dan media sosial justru melahirkan paradoks baru: keterbukaan informasi ternyata dibarengi dengan meningkatnya penyebaran disinformasi dan hoaks. Di Indonesia, fenomena ini semakin mengemuka dalam setiap kontestasi politik, terutama pada masa pemilu. Informasi palsu yang disebarkan melalui media sosial, platform berbagi video, dan aplikasi pesan instan menjangkau jutaan warga dalam waktu singkat, sering kali tanpa proses verifikasi.
Disinformasi dan hoaks tidak dapat disepelekan karena keduanya menyentuh aspek fundamental demokrasi: rasionalitas pemilih, kepercayaan terhadap institusi negara, dan kualitas proses deliberatif. Pemilih yang terpapar informasi palsu cenderung mengambil keputusan politik berdasarkan persepsi keliru, bukan atas dasar evaluasi objektif. Bahkan, dalam kasus tertentu, disinformasi dapat memicu polarisasi tajam, menguatkan sentimen identitas, dan menurunkan legitimasi pemilu. Oleh karena itu, memahami bagaimana disinformasi bekerja dan memengaruhi perilaku pemilih menjadi sangat penting bagi penguatan demokrasi Indonesia.
Pembahasan
Bentuk, Pola, dan Mekanisme Penyebaran Disinformasi dan Hoaks dalam Politik Indonesia
Disinformasi politik di Indonesia mengalami peningkatan signifikan seiring dengan meningkatnya penggunaan media sosial sebagai sumber informasi utama masyarakat. Data empiris menunjukkan bahwa mayoritas pengguna internet Indonesia menerima informasi politik melalui platform digital yang tidak memiliki mekanisme penyaringan editorial seketat media konvensional (Lim, 2017). Hal ini membuat disinformasi mudah masuk dan menyebar luas tanpa verifikasi. Bentuk disinformasi yang dominan dalam kontestasi politik Indonesia mencakup manipulasi visual, rekayasa narasi, tuduhan tidak berdasar, dan penyebaran isu identitas yang berpotensi memecah belah masyarakat. Sebagai contoh, selama Pemilu 2019 dan 2024, banyak hoaks yang menyerang integritas penyelenggara pemilu, termasuk klaim bahwa KPU telah melakukan kecurangan secara terorganisir. Konten seperti ini biasanya dikemas dalam format sederhana, emosional, dan mudah dibagikan, sehingga memicu viralitas tinggi.
Pola penyebaran disinformasi bersifat berlapis. Pada lapisan pertama, produksi konten palsu sering dilakukan secara terorganisir oleh kelompok politik tertentu, buzzer, atau troll farms. Mereka menciptakan narasi palsu dan menyebarkannya melalui akun anonim atau situs berita palsu. Lapisan kedua melibatkan media sosial, di mana algoritma platform mendorong konten yang menarik emosi pengguna. Konten berisi kemarahan, ketakutan, atau sensasi cenderung lebih cepat menyebar daripada konten faktual, sebagaimana diungkapkan Allcott dan Gentzkow (2017). Lapisan ketiga adalah penyebaran interpersonal melalui grup keluarga, komunitas sosial, dan kelompok keagamaan yang memegang kepercayaan kuat. Di sinilah hoaks memperoleh legitimasi sosial, karena dianggap “dipercaya” oleh lingkungan terdekat. Mekanisme penyebaran ini menunjukkan bagaimana disinformasi bekerja secara sistematis. Tidak hanya diproduksi oleh aktor tertentu, tetapi juga diperkuat oleh faktor algoritmik dan budaya komunikasi masyarakat Indonesia. Konsep information disorder dari Wardle dan Derakhshan (2017) sangat relevan untuk menjelaskan fenomena ini, karena disinformasi politik di Indonesia tidak hanya salah secara faktual, tetapi juga diproduksi secara sengaja untuk memanipulasi persepsi politik masyarakat.
Pengaruh Disinformasi terhadap Perilaku Pemilih dalam Proses Politik
Perilaku pemilih secara teoretis dipengaruhi oleh informasi yang mereka terima, baik informasi mengenai kandidat, isu kebijakan, maupun situasi politik. Ketika informasi tersebut keliru, persepsi pemilih pun menjadi bias. Teori perilaku pemilih, sebagaimana dikembangkan dalam studi klasik The American Voter oleh Campbell et al. (1960), menjelaskan bahwa pemilih sering kali tidak melakukan penilaian rasional secara mendalam, tetapi mengandalkan informasi sederhana, emosional, dan shortcut kognitif. Disinformasi memanfaatkan karakteristik ini untuk memengaruhi keputusan elektoral. Di Indonesia, disinformasi sering berhasil memengaruhi pemilih karena dua faktor utama: rendahnya literasi digital dan kuatnya kepercayaan terhadap informasi yang berasal dari jaringan sosial terdekat. Lim (2017) menemukan bahwa masyarakat Indonesia cenderung mempercayai informasi pada grup keluarga, komunitas agama, atau lingkungan sehari-hari, sehingga hoaks mudah diterima tanpa proses verifikasi. Pemilih yang terpapar hoaks tentang kandidat tertentu, misalnya tuduhan antiagama atau isu moral fiktif, dapat mengembangkan persepsi negatif yang bertahan lama, bahkan setelah informasi tersebut dibantah secara resmi.
Disinformasi juga memicu emotional voting. Pemilih tidak lagi mengambil keputusan berdasarkan analisis program, visi, dan rekam jejak kandidat, tetapi berdasarkan rasa takut, kebencian, atau sentimen identitas. Hal ini sangat berbahaya bagi kualitas demokrasi karena pilihan politik tidak lagi mencerminkan preferensi rasional warga, tetapi hasil rekayasa informasi palsu. Selain itu, disinformasi dapat memperkuat confirmation bias, yaitu kecenderungan pemilih untuk mempercayai informasi yang sesuai dengan keyakinan politik mereka sebelumnya, sekalipun informasi tersebut tidak benar (Sunstein, 2018). Dengan demikian, disinformasi memiliki pengaruh langsung dan signifikan terhadap perilaku pemilih. Ia tidak hanya menyesatkan, tetapi juga menciptakan kondisi psikologis dan sosiologis yang membuat pemilih rentan dimanipulasi oleh aktor politik yang memanfaatkan teknologi digital.
Dampak Disinformasi terhadap Kualitas Demokrasi Indonesia
Dampak disinformasi tidak berhenti pada level perilaku pemilih. Lebih jauh, disinformasi mengancam kualitas demokrasi secara struktural. Demokrasi yang sehat membutuhkan ruang publik yang rasional, institusi yang dipercaya, dan proses pemilu yang legitimate. Ketiganya dapat terganggu oleh maraknya disinformasi dan hoaks. Pertama, disinformasi merusak ruang publik. Dalam pandangan Habermas (1996), ruang publik merupakan arena bagi warga negara untuk bertukar ide secara rasional dan berbasis fakta. Namun, ketika ruang publik dipenuhi informasi palsu, diskusi politik tidak lagi berdasar pada data dan argumentasi logis, melainkan pada narasi rekayasa yang memecah belah.
Ruang deliberatif berubah menjadi arena konflik identitas dan emosi, sehingga kualitas diskusi publik menurun drastis. Kedua, disinformasi menggerogoti kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Ketika hoaks yang menuduh KPU curang atau aparat negara tidak netral beredar luas, publik dapat kehilangan kepercayaan terhadap legitimasi proses pemilu. Benkler, Faris, dan Roberts (2018) menyebut fenomena ini sebagai hilangnya “shared epistemic foundation”—yaitu dasar pengetahuan bersama yang diperlukan agar masyarakat dapat menyepakati hasil politik. Ketiga, disinformasi memperkuat polarisasi politik. Pemilu tidak lagi menjadi arena kompetisi ide, tetapi menjadi pertarungan identitas yang dibentuk melalui propaganda digital. Polarisasi semacam ini membahayakan stabilitas politik karena dapat memicu konflik horizontal, memperlemah kohesi sosial, dan memecah masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang saling tidak percaya. Dengan demikian, disinformasi tidak hanya merupakan ancaman komunikasi, tetapi ancaman struktural bagi demokrasi Indonesia.
Penutup
Kesimpulan
Disinformasi dan hoaks terbukti memberi dampak serius terhadap perilaku pemilih dan kualitas demokrasi Indonesia. Penyebaran informasi palsu yang masif melalui media sosial dan jaringan interpersonal membuat pemilih mudah terpengaruh secara emosional, sehingga keputusan politik tidak lagi didasarkan pada pertimbangan rasional. Fenomena ini memperkuat polarisasi, merusak ruang publik, serta melemahkan kepercayaan terhadap institusi demokrasi seperti KPU dan pemerintah.
Dalam kerangka teori demokrasi deliberatif, disinformasi menghambat terciptanya diskusi publik yang sehat. Teori perilaku pemilih menunjukkan bahwa informasi keliru dapat membentuk preferensi politik yang salah arah. Sementara konsep information disorder menjelaskan bagaimana produksi disinformasi berlangsung secara terorganisir dan sistematis.
Untuk menjaga ketahanan demokrasi, Indonesia membutuhkan peningkatan literasi digital, penguatan jurnalisme verifikasi, serta kolaborasi antara negara, masyarakat sipil, dan platform digital. Demokrasi hanya dapat berjalan dengan baik jika warga memiliki akses pada informasi yang benar dan dapat memisahkan fakta dari manipulasi.
Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, saran yang dapat diberikan adalah pentingnya membangun ketahanan demokrasi melalui penguatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi disinformasi. Literasi digital harus ditingkatkan secara merata, baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan komunitas, agar warga mampu mengenali, memverifikasi, dan menyaring informasi yang mereka temui. Di sisi lain, platform digital perlu didorong untuk lebih bertanggung jawab dalam moderasi konten dan bekerja sama dengan pemerintah serta lembaga independen untuk mengurangi peredaran informasi palsu tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi.
Selain itu, ekosistem media yang kredibel perlu diperkuat dengan mendukung jurnalisme verifikasi dan meningkatkan kualitas pemberitaan, sehingga masyarakat memiliki sumber informasi tepercaya yang dapat mengimbangi banjir hoaks. Regulasi yang jelas dan proporsional terhadap aktor penyebar disinformasi terorganisir juga diperlukan, dengan penegakan hukum yang tidak menyasar warga yang sekadar tidak sengaja membagikan informasi keliru.
Ruang publik harus diperbaiki melalui dialog lintas kelompok dan transparansi komunikasi dari institusi negara, sehingga kepercayaan publik dapat dipulihkan dan polarisasi dapat dikurangi. Peran masyarakat sipil juga sangat penting, terutama dalam edukasi publik, pemantauan hoaks, dan pembangunan jejaring kolaboratif untuk melawan disinformasi. Di dalam proses ini, pendekatan berbasis perilaku pemilih sebaiknya digunakan agar edukasi mengenai hoaks lebih efektif dan sesuai dengan cara warga memproses informasi dan membentuk preferensi politik. Dengan langkah-langkah tersebut, demokrasi dapat diperkuat melalui masyarakat yang lebih kritis, terinformasi, dan tahan terhadap manipulasi.
DAFTAR PUSTAKA
Allcott, H., & Gentzkow, M. (2017). Social media and fake news in the 2016 election. Journal of Economic Perspectives, 31(2), 211–236.
Benkler, Y., Faris, R., & Roberts, H. (2018). Network propaganda: Manipulation, disinformation, and radicalization in American politics. Oxford University Press.
Campbell, A., Converse, P. E., Miller, W. E., & Stokes, D. E. (1960). The American voter. University of Chicago Press.
Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy. MIT Press.
Lim, M. (2017). Freedom to hate: Social media, algorithmic enclaves, and the rise of tribal nationalism in Indonesia. Critical Asian Studies, 49(3), 411–427.
Sunstein, C. R. (2018). #Republic: Divided democracy in the age of social media. Princeton University Press.
Wardle, C., & Derakhshan, H. (2017). Information disorder: Toward an interdisciplinary framework for research and policy making. Council of Europe.


Post a Comment