Bencana
Kampus
Kupang
Mahasiswa
Opini
Pendidikan
Bencana, Keterbatasan Manusia, dan Panggilan Transendensi: Refleksi Eksistensial atas Sumatera
APERO FUBLIC I MAHASISWA.- Bencana alam yang berulang kali melanda Sumatera—gempa bumi yang mengguncang tanpa peringatan, banjir bandang yang menyapu pemukiman, longsor yang merenggut nyawa, hingga kebakaran hutan yang mengaburkan langit dan harapan—terus-menerus menegaskan bahwa manusia hidup dalam batas-batas yang tak dapat dihapuskan.
Di hadapan daya alam, keyakinan akan kemajuan, teknologi, dan perencanaan rasional sering kali tampak rapuh. Berbagai upaya pengukuran, pemetaan, dan prediksi memang memperluas pengetahuan, namun realitas selalu menyisakan ruang ketakterjangkauan.
Paradoks Archimedes menjadi relevan di sini: sekuat apa pun usaha manusia untuk merangkum dunia secara menyeluruh, selalu ada sisa kenyataan yang melampaui representasi pengetahuan. Bencana di Sumatera dengan jelas menunjukkan bahwa alam tidak pernah sepenuhnya tunduk pada logika dan kalkulasi manusia.
Kesadaran akan keterbatasan tersebut kerap mengguncang rasa aman dan kepastian hidup. Namun justru dari keguncangan inilah nilai reflektif muncul. Dalam horizon filsafat eksistensial, khususnya pemikiran Kierkegaard dan Karl Jaspers, keterbatasan tidak dipahami sebagai jalan buntu, melainkan sebagai titik tolak pencarian makna yang lebih mendalam.
Ketika bencana terjadi, manusia dipaksa keluar dari rutinitas dan ilusi kontrol yang selama ini menopang kehidupan sehari-hari. Rumah, pekerjaan, dan rencana masa depan dapat runtuh dalam sekejap, membuka kesadaran akan kerapuhan eksistensi.
Pengalaman ini sejalan dengan konsep situasi batas (Grenzsituationen) dalam pemikiran Jaspers, yakni momen ekstrem yang menyingkapkan ketidakberdayaan manusia sekaligus membuka kemungkinan refleksi eksistensial tentang arti hidup.
Di Sumatera, situasi batas tersebut tidak dialami secara individual semata, melainkan secara kolektif. Tangisan para korban, kerja sunyi para relawan, serta solidaritas spontan yang tumbuh di tengah keterbatasan memperlihatkan bahwa bencana tidak hanya menghancurkan, tetapi juga menyingkapkan dimensi terdalam kemanusiaan.
Pada titik ini, bencana tidak lagi dapat dipahami semata sebagai peristiwa alam, melainkan sebagai pengalaman eksistensial bersama. Setiap individu dan komunitas dihadapkan pada pilihan mendasar: tenggelam dalam keputusasaan atau bangkit dalam tanggung jawab dan kepedulian. Pilihan inilah yang menyingkap makna kebebasan manusia sebagaimana dipahami Jaspers—kebebasan yang tidak absolut, tetapi selalu terikat pada konsekuensi dan tanggung jawab moral.
Lebih jauh, bencana dapat dibaca sebagai chiffer, yakni simbol atau bahasa transendensi yang hadir melalui peristiwa-peristiwa duniawi. Kebakaran hutan di Sumatera, misalnya, bukan sekadar tragedi ekologis, tetapi juga tanda yang menegur relasi manusia dengan alam. Demikian pula banjir dan longsor yang kerap berkaitan dengan pembukaan lahan yang serampangan, ketimpangan sosial, serta kebijakan pembangunan yang mengabaikan keberlanjutan.
Dalam konteks ini, alam tampil seolah menjadi cermin yang memantulkan kembali pilihan-pilihan manusia sendiri. Transendensi, sebagaimana dipahami Jaspers, tidak hadir sebagai jawaban instan atas penderitaan, melainkan sebagai panggilan untuk membaca makna di balik peristiwa dan mengambil sikap yang lebih bertanggung jawab terhadap dunia.
Oleh karena itu, respons terhadap bencana di Sumatera tidak semestinya berhenti pada empati sesaat dan bantuan darurat, meskipun keduanya tetap penting dan tak tergantikan. Yang lebih mendasar adalah perubahan kesadaran kolektif: kesadaran akan keterbatasan pengetahuan manusia, kerendahan hati di hadapan alam, serta keberanian untuk menata ulang relasi sosial dan ekologis yang timpang. Di sinilah kebebasan manusia sungguh diuji—apakah ada keberanian untuk memilih jalan yang lebih adil, berkelanjutan, dan manusiawi, meskipun menuntut pengorbanan kepentingan jangka pendek.
Pada akhirnya, bencana mengajarkan bahwa menjadi manusia berarti hidup di antara keterbatasan dan harapan. Realitas tidak pernah sepenuhnya berada dalam kendali, namun selalu terbuka ruang untuk memberi makna dan arah atas pengalaman tersebut. Dalam dunia yang rapuh ini, bencana di Sumatera tampil sebagai panggilan etis dan eksistensial: panggilan untuk menjadi manusia yang lebih otentik, yang tidak menyingkirkan keterbatasannya, tetapi menjadikannya dasar untuk membangun solidaritas, tanggung jawab, dan keterbukaan terhadap Yang Melampaui.
Referensi.
https://mongabay.co.id/2025/12/12/opini-mendesak-status-bencana-nasional-untuk-sumatera/
https://nasional.kompas.com/read/2025/12/09/11283011/andil-kebijakan-politik-di-balik-bencana-di-sumatera
Oleh. Laurensius, Dkk.
Editor. Tim Redaksi
Sy. Apero Fublic
Via
Bencana


Post a Comment