Apero
Fublic.-
Indonesia adalah negara beriklim tropis, memiliki dua musim (hujan dan
kemarau). Musim hujan apabila keadaan iklim normal dimulai dari Oktober sampai akhir bulan Juli. Kemudian
memasuki musim kemarau dimana hujan tidak turun dalam kurun waktu kurang lebih dua bulan. Terjadinya puncak musim kemarau dari bulan Agustus-September.
Kemudian
mulai beransur-ansur memasuki musim hujan. Musim hujan terjadi puncaknya dari
bulan Desember sampai bulan Mei. Masa ini hampir dalam waktu 24 jam terjadi hujan
sedang dan lebat dibeberapa tempat. Penjelasan musim tersebut berdasarkan iklim
normal. Namun hal pola hujan dapat kemarau dapat bergeser atau berubah sesuai iklim tahunan.
Pada zaman
sekarang musim hujan dan musim kemarau sudah tidak teratur lagi. Tetapi secara umum pola demikian yang paling sering terjadi sejak dahulu.
Dalam masa berjalannya siklus musim dan pergantian musim penghujan dan kemarau. Di perairan terjadi juga siklus kehidupan perikanan sungai dan danau.
Sungai, danau, lebung, paya-paya yang terdapat di
kawasan tropis pada saat musim kemarau kering hampir kering. Saat masuk
musim penghujan mulai kembali berisi air segar kembali. Seiring waktu intensitas hujan
semakin tinggi membuat debit air sungai dan danau kembali berlimpah. Sehingga
menggenangi semua tempat penampungan air alami.
Saat
itu, musim hujan telah memasuki masa normal. Induk-induk ikan di danau-danau,
sungai-sungai induk yang tidak kering. Mulai menetaskan telur-telur mereka.
Dalam waktu beberapa bulan terus tumbuh dan membesar. Mengikuti pola air yang
semakin melimpah memasuki puncak musim hujan.
Anak-anak ikan mulai melakukan
migrasi secara besar-besaran dari tempat mereka ditetaskan. Mereka mulai
mencari habitat baru untuk pertumbuhan mereka, dengan melakukan migrasi. Memasuki
seluruh tempat-tempat penampungan air alami yang ada. Menyebar melau masa banjir alami dan hujan.
Penduduk
di Sumatera Selatan menamakan migrasi anak-anak ikan tersebut dengan istilah Ikan
Mudik atau Ikan Modek. Mudik berarti suatu perjalanan yang menuju hulu sungai.
Gelombang migrasi dimulai dari bulan Desember. Jenis ikan gelombang pertama adalah jenis ikan kecil bentuk memanjang. Terdapat puluhan
jenis ikan ini. Untuk nama lokal diantaranya, ikan mukus, ikan julung-julung, akar pisang, dan
sejenisnya.
Ikan mukus adalah ikan teri sungai. Ikan jenis ini migrasi dalam jumlah yang sangat banyak. Penduduk menangkap ikan mukus
yang melakukan migrasi ini dengan tudung nasi (tangguk). Saat migrasi bergerombol disepanjang tebing sungai, lalu menyebar ke seluruh sungai-sungai. Kalau dijumlahkan mencapai ribuan ton.
Migrasi selanjutnya terus berlangsung sepanjang bulan-bulan musim hujan. Semua jenis ikan sungai melakukan migrasi. Migrasi jenis ikan
tidak bersisik tidak diketahui oleh penduduk secara tepat.
Karena jenis ikan bersisik jenis ikan dasar. Hanya saat penduduk mengangkat
bubu mereka di sungai-sungai yang mengetahui. Karena saat mereka mengangkat bubu terdapat ikan satu sejenis untuk beberapa waktu dalam jumlah banyak. Nama lokal ikan, ikan bernget, baung, Biran dan sejenisnya.
Sedangkan migrasi ikan-ikan bersisik. Diketahui oleh penduduk secara langsung. Karena anak-anak ikan bersisik berenang di permukaan air sungai. Menyusuri pinggiran tebing sungai-sungai dengan cara bergerombol mirip gerombolan ikan teri.
Milyaran jumlahnya anak-anak ikan bersisik berenang di sepanjang tebing sungai. Tampak
menghitam memanjang dengan lompatan-lompatan kecil, dengan air sungai berbuaih.
Migrasi ini terus terjadi sepanjang bulan Maret-Juni sampai anak-anak ikan di kawasan air
penetasan habis tersebar ke seluruh sungai-sungai.
Dari
siklus ikan mudik tersebut hadir budaya bubu. Bubu adalah alat tangkap ikan
tradisional yang luar biasa. Untuk itu, penduduk membuat tempat pemasangan bubu
di tengah sungai. Istilah dengan nama pepa bubu. Pepa bubu dibangun melintang
memotong sungai, dari tebing ke tebing. Di buat dari kayu-kayu yang dibenamkam
kedasar sungai.
Kemudian
ditutup dengan ranting dedaunan atau rumput. Penggunaan dedaunan untuk
mengimbangi aliran air. Walau badan sungai terpotong oleh bangunan pepa bubu
tetapi arus air tidak terhenti. Daya dorong arus air membuat dedaunan menempel
pada bangunan pepa bubu.
Sehingga menutup aliran air badan sungai. Lalu bubu dipasang
dengan cara dibuat lobang untuk muara bubu. Bagi ikan-ikan kecil jebakan sangat
efektik. Sehingga pada saat musim ikan mudik satu bubu bisa penuh dalam waktu
beberapa jam saja.
Di
bawah tahun 2000, hampir setiap dua ratus meter di sepanjang Sungai Keruh
terdapat pepa bubu. Selain pepa bubu ada jenis tengkap ikan raksas,
seperti corong dan ambat. Corong berupa bangunan memanjang terbuat dari kayu
dan bila-bila bambu. Panjangnya tergantung besar sungai dan perkiraan arus.
Sedangkan ambat berupa bangunan seperti gapura yang dipasang jaring besar dan
kuat. Ketiga cara tangkap ikan tersebut sangat alami dan tidak merusak
ekosistem sungai.
Namun
di atas tahun 2000-an. Ekosistem Sungai Keruh mulai rusak karena masyarakat
mulai membabi buta menggunakan racun. Pada mulanya penduduk meracun ikan saat
musim kemarau saja. Kemudian mereka meracun sungai disetiap bulan pada saat
musim ikan migrasi.
Jauh di hulu sungai-sungai. Mereka menumpahkan racun dan mendorong semua ikan keluar sungai tersebut atau mati. Di tempat-tempat yang jauh dari pemukiman. Penduduk
saat air masih dalam menggunakan racun yang banyak. Untuk menangkap ikan tapa, toman yang besar. Mereka menggunakan kuintalan potas lalu memasang sejenis jaring
raksasa. Mereka menyebut aksinya berburu tapa atau induk ikan besar.
Jenis racun di hulu sungai
penduduk menggunakan potas dan pestisda seperti decis, akodan. Jenis
decis digunakan untuk meracuni udang. Tapi juga membunuh kepiting, keong, siput, jenis kerang sungai. Apabila penggunaan berkelanjutan akan punah.
Untuk pestisida jenis Akodan, tiodan, digunakan untuk meracuni ikan. Penggunaan pestisida tersebut sangat merusak karena membunuh ikan sampai ke dasar sungai. Ikan yang terkena racun itu tidak selamat lagi. Mati dan membusuk keesokan harinya. Racun ini sebaiknya dilarang beredar di tengah masyarakat karena sangat merusak ekosistem sungai.
Akibat
dari peracunan sungai yang membabibuta tersebut. Siklus Ikan mudik atau migrasi anak ikan terhenti dan tidak terjadi lagi dalam kurun waktu 20 tahun. Sejak
tahun 2000 sampai sekarang 2020. Dulu tebing sungai ramai saat musim ikan. Pepaya bubu dan sistem tangkap tradisional terdapat sepasang tebing sungai. Penduduk tidak mau lagi membuat bubu karena mubazir.
Kerugian yang sangat besar terjadi pada
masyarakat itu sendiri. Harga ikan menjadi mahal dan penduduk terutama anak-anak kekurangan
gizi ikan. Hal tersebut berdampak pada kecerdasan anak-anak, kurang gizi ikan. Sehingga anak-anak
sekarang lebih bodoh dari anak-anak dibawah tahun 2000. Nilai belajar dan
mental yang berkurang dan buruk.
Hal
demikian terus berlanjut, tidak ada tindakan pemerintah. Paling sekedar
himbauan dan ancaman kecil untuk beberapa waktu. Kemudian kendur lagi dan
terjadi lagi perbuatan bodoh masyarakat itu.
Seharusnya pemerintah memperhatikan
perikanan sungai. Sebab perikanan ini tidak memerlukan anggaran negara. Tidak
perlu pakan dan biaya apalagi karyawan budidaya ikan. Kita hanya menjaga agar
tidak diracun dengan bahan kimiah. Kita tidak perlu memberi makan ikan-ikan
tersebut. Kita tidak perlu merawat atau menabur pakan. Itu anugerah yang harus disyukuri dan kita jaga.
Salah
satu hal yang sangat perlu adalah; pertama, pemerintah membentuk satuan tugas
polisi sungai dan air. Dimana mereka melakukan patroli dan mengawasi perairan
sungai. Kedua, melakukan edukasi dan pendidikan pada masyarakat tentang
kebaikan menjaga perikanan sungai. Ketiga, mendorong UKM dan pasar ikan. Baik
pasar ikan sungai skala daerah, skala provinsi, skala nasional dan skala dunia.
Tulisan
ini diambil dari pengalaman hidup di Kecamatan Sungai keruh, Kabupaten Musi
Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Di kecamatan ini terdapat sungai cukup
besar anak dari Sungai Musi yaitu Sungai Keruh dan beberapa anak Sungai Keruh.
Semoga bermanfaat dan menjadi inspirasi kita semua di negara kita tercinta ini.
Mari selamatkan perikanan sungai dan danau. Mungkin hal demikian juga terjadi di daerah lain karena banyak sungai di negara Indonesia. Mari kita mengambil pelajaran.
Oleh.
Joni Apero
Palembang.
1 Juli 2020.
Editor.
Desti. S.Sos.
Fotografer.
Dadang Saputra.
Sy. Apero Fublic.
0 komentar:
Post a Comment