1/14/2020

Legenda Kisah Cinta I Jayaprana dan Ni Layonsari dari Bali

Apero Fublic.- Berawal dari sepasang suami istri yang tinggal di Desa Kalianget. Mereka memiliki dua naka laki-laki, dan satu anak perempuan. Desa Kalianget diserang wabah mematikan. Sepasang suami istri tersebut beserta dengan dua orang anaknya meninggal dunia. Tinggal yang masih hidup anak bungsu mereka, namanya I Jayaprana.

Karena sudah yatim piatu kemudian I Jayaprana menghadap raja untuk menjadi abdi istina. Seiring waktu I Jayaprana tumbuh besar. Dia rajin, patuh, jujur dan bertanggung jawab. Sekarang umur I Jayaprana berumur dua belas tahun. Dia tampak akan menjadi pemuda yang tampan dan gagah. Senyuman yang menarik dan pribadi yang baik.


Beberapa tahun kemudian berlalu. I Jayaprana sudah cukup dewasa ukuran umur masa itu. Raja memerintahkan I Jayaprana untuk menikah. Dia dipersilahkan memilih salah seorang dayang-dayang istana atau gadis-gadis di luar istana. Pada awalnya Jayaprana menolak, dengan alasan dia belum begitu dewasa.

Tapi apa kata raja tidak akan mudah berubah. Maka Jayaprana akhirnya menuruti perintah raja untuk menikah. Jayaprana pergi keluar istana dan dan mengamati kehidupan masyarakat. Banyak masyarakat yang berlalu lalang di jalanan kotaraja.

Jayaprana banyak mengamati gadis-gadis yang dia temui. Kemudian dia menjumpai seorang gadis yang sangat cantik dan memikat hatinya. Gadis cantik itu bernama, Ni Layonsari. Putri dari Jero Bendesa yang berasal dari Banjar Sekar.

Ni Layonsari merasa malu dan salah tingkah diperhatikan dan diamati oleh seorang pemuda tampan dari istina. Setelah mengetahui nama dan ciri-ciri si gadis Jayaprana kembali ke istana dan mengahdap Sri Baginda Raja. Setelah mendengar penjelasan Jayaprana, raja menulis surat.

Jayaprana kemudian pergi menemui orang tua gadis yang dia cari tahu tadi, dan menyerahkan surat dari raja. Setelah membaca, Jero Bandeso berkata setuju. Maka kembali Jayaprana menghadap raja dan melaporkan kalau pernikahan direstui.


Baginda Raja mengumumkan tentang pernikahan Jayaprana dengan Ni Layonsari, putri dari Jero Bandeso. Diumukan pada seisi istana bahwa: Pada hari Selasa Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara pernikahan antara I Jayaprana dengan Ni Layonsari.

Dari itu, kemudian raja memerintahkan Perbekel istana menyiapkan keperluan acara pernikahan, bansal-bansal tenda untuk merayakan pernikanan I Jayaprana. Jayaprana diiringi tetua dan masyarakat desa menghadap Jero Bendesa untuk memohon restu menyunting  Ni Layonsari. Di hari pernikahan itu semua melihat betapa cantiknya Ni Layonsari.

Lelaki manapun pasti akan menyukai Ni Layonsari saat melihatnya. Saat melakukan sembah setelah upacara pernikahan. Raja begitu terkesima memperhatikan kecantikan Ni Layonsari. Sampai-sampai sang raja menjadi gugup dan lupa bersabda. Setelah upacara selesai I Jayaprana dan Ni Layonsari meninggalkan paseban agung ke rumah Ni Layonsari.


Setelah menyaksikan kecantikan Ni Layonsari. Baginda Raja berubah pikiran dan timbul pikiran iri dan jahat di hatinya. Dia berkata pada para perbekel semuanya, meminta saran bagaimana memperdaya untuk menyingkirkan I Jayaprana. Raja ingin Ni Layonsari masuk istana dan dijadikan permaisurinya. Raja berkata, apabila dia tidak memperistri Ni Layonsari maka dia akan mangkat karena kesedihan.


Beberapa saat kemudian seorang perbekel bernama Saunggaling maju memberikan saran. Baginda Raja memerintahkan I Jayaprana pergi dengan para prajurit dan rombongan untuk pergi ke Celuk Terima. Untuk menyelidiki perahu orang Bajo yang kandas di pantai. Orang-orang Bajo juga memburu hewan di Kawasan Pengulon. Baru tujuh hari pernikahan Jayaprana dan Ni Layonsari. Mereka hidup berbahagia dalam suasana bulan madu. Datang utusan raja memerontahkan Jayaprana menghadap.


Jayaprana kemudian menghadap raja bersama para perbekel. Raja kemudian bersabda agar mereka segerah pergi ke Celuk Terima untuk tugas penyelidikan tersebut. Jayaprana pulang dan menceritakan semua titah sang raja. Maka dia berpamitan dengan istri tercintanya.


Hari telah malam sekarang setelah selesai cerita Jayaprana. I Layonsari tertidur dan bermimpi kalau rumah mereka dihanyuti banjir yang dalam. Dai meminta keberangkatan Jayaprana agar dibatal besok sebab dia khawatir dengan mimpinya. Jayaprana tidak mau menolak perintah raja yang sudah membesarkannya. Dia juga beralasan kalau kematian adalah kehendak tuhan Yang Maha Esa. Keesokan harinya I Jayaprana berangkat bersama rombongan perbekel kerajaan.


Sepanjang jalan Jayaprana selalu mendapat pirasat buruk. Sampailah rombongan Jayaprana di hutan Celuk Terima. Sesampai di hutan Celuk Terima I Saunggaling memberikan sepucuk sutar dari baginda raja, dan membacanya.


“Hai kau Jayaprana, manusia tiada berguna. Berjalan, berjalanlah engkau. Akulah yang memerintahkan membunuh kau. Dosamu sangat besar. Kau melampaui tingkah raja. Istrimu sungguh milik orang besar. Kuambil kujadikan istri raja. Serahkan jiwamu sekarang. Jangan engkau melawan. Layonsari jangan kau kenang. Ku peristri hingga akhir zaman.”


Begitulah isi surat dari sang raja. “Yah, oleh karena titah dari raja, aku tidak menolak. Sunggu semula baginda menanam dan memelihara hamba, tetapi kini baginda ingin mencabutnya, yah silahkan. Hambah relah dibunuh demi kepentingan baginda, meskipun aku tidak berdosa.” Begitulah ratapan Jayaprana dan air mata melele di pipinya. Terkenang akan istri yang dia cintai. Lalu memberi isyarat agar Saunggaling untuk menikamnya.


I Saunggaling memaklukan dirinya pada I Jayaprana. Dia melakukan ini atas perintah raja dan bukan kehendak dirinya. Dengan rasa sedih dan berat I Saunggaling menusukkan kerisnya ke perut Jayaprana. Dara dari luka Jayaprana mengalir deras dan tidak lama kemudian meninggal dunia. Bau harum semerbak meliputi jasad dan seantero tempat itu. Bersamaan dengan kejadian itu, gempa, petir, angin topan berhembus, banyak bunga berhamburan bersama angin.


Setelah jenazah I Jayaprana di kebumikan. Semuanya kembali pulang ke Kotaraja. Di tengah perjalanan pulang banyak kejadian aneh. Banyak perbekel yang mati, seperti diserang harimau, di patuk ular berbisa, dan lainnya. Berita kematian Jayaprana sampai ke I Layonsari. Tentu saja kematian Jayaprana bukan dibunuh oleh perbekel raja. Mendengar dan yakin kalau suaminya telah tiada. Maka I Layon sari menyusul suaminya. Dia menikamkam kerisnya di perutnya dan dia pun meninggal dunia.


Demikianlah kisah cinta dari dua orang insan yang sedang berbulan madu atas nama cinta. Kesetiaan yang benar-benar luar biasa. Namun cinta mereka terhalang oleh nafsu dan kebusukan sang raja. Dengan demikian keduanya akhirnya pergi bersama-sama untuk selamanya meninggalkan dunia yang penuh kekejaman dan keserakahan manusia.

*****

Sebuah kuburan yang terletak terpencil di tengah hutan sepi. Tampak terawat rapi dan dikeramatkan masyarakat sekitar. Di sekitar kuburan selalu ada taburan bunga-bunga berwarna-warni. Begitupun dengan lidi-lidi bekas dupa harum yang masih terpancang di atas sesajen.


Keadaan alam sekeliling sepi, hanya suara burung-burung yang menyambut para peziarah. Nisan yang berbentuk sederhana adalah kuburan I Jayaprana. Sebelumnya hanya kuburan biasa. Kemudian oleh penduduk kuburan Jayaprana dibangunkan sebuah bangunan makam. Cerita yang sungguh-sungguh terjadi di Bali Utara. Merupakan sebuah cerita “duka-carita” sebagai bentuk protes terhadap kesewenang-wenangan raja yang memerintah pada masa itu.

Rewrite. Joni Apero.
Editor. Selita. S.Pd.
Palembang, 14 Januari 2020.Sumber: Ketut Ginarsa. Geguritan Jayaprana. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.

Sy. Apero Fublic

0 komentar:

Post a Comment