PT. Media Apero Fublic

PT. Media Apero Fublic merupakan perusahaan swasta yang bergerak pada bidang usaha Publikasi dan Informasi dengan bidang usaha utama Jurnalistik.

Buletin Apero Fublic

Buletin Apero Fublic adalah buletin yang mengetengahkan tentang muslimah, mulai dari aktivitas, karir, pendidikan, provesi, pendidikan dan lainnya.

Penerbit Buku

Ayo terbitkan buku kamu di penerbit PT. Media Apero Fublic. Menerbitkan Buku Komik, Novel, Dongeng, Umum, Ajar, Penelitian, Ensiklopedia, Buku Instansi, Puisi, Majalah, Koran, Buletin, Tabloid, Jurnal, dan hasil penelitian ilmiah.

Jurnal Apero Fublic

Jurnal Apero Fublic merupakan jurnal yang membahas tentang semua keilmuan Humaniora. Mulai dari budaya, sejarah, filsafat, filologi, arkeologi, antropologi, pisikologi, teologi, seni, kesusastraan, hukum, dan antropologi.

Majalah Kaghas

Majalah Kaghas, meneruskan tradisi tulis tradisional asli Sumatera Selatan.

Apero Fublic

Apero Fublic, merupakan merek dagang PT. Media Apero Fublic bidang Pers (Jurnalistik).

Apero Book

Apero Book merupakan toko buku yang menjual semua jenis buku (baca dan tulis) dan menyediakan semua jenis ATK.

Buletin

Buletin Apero Fublic merupakan buletin yang memuat ide-ide baru dan pemikiran baru yang asli dari penulis.

9/13/2019

Aktivis-Cendekiawan Muda Dari Bumi Lumpatan: Izin Mengabdi Untuk Desa

Apero Fublic.- Bukan Hanya Mimpi, Tapi Perjuangan, adalah ungkapan tepat untuk seorang pejuang. Sepanjang perjalanan kepemimpinan di negeri tercinta ini. Aku banyak menemukan beragam persoalan yang begitu pelik. Entah apa yang salah dengan negeri ini. Penduduk yang banyak, sumber daya alam melimpah, adat istiadat dan agama sangat beragam.

Namun kondisi kehidupan sosial masyarakat masih memprihatinkan, dan begitu tergerus oleh kebudayaan asing. Kehidupan yang religius tampak disepelehkan. Akibat dari semua itu, sifat hedonisme individu-individu meningkat. Mimpi untuk terus memajukan bangsa dan negara tercinta ini. Adalah mimpi yang hadir di dalam jiwa-jiwa anak bangsa. Namun mimpi tanpa perjuangan tidak akan memberikan dampak nyata.

Perjuangan itu bukan dalam bentuk perkembangan material, atau adu argumentasi antar masyarakat. Sebab perjuangan di abad moderen ini adalah perjuangan dengan akidah, penerapan ilmu pengetahuan, dan disertai tanggung jawab sosial yang tinggi. Ketika kita melihat kondisi pembangunan dan mereka sedikit-sedikit korupsi. Semua itu disebabkan faham hedonisme, materialisme, dan neofeodalisme.

Apakah aku sendiri dalam menanggapi kekhawatiran terhadap bangsa ini, di masa depan. Beberapa waktu lalu aku berjumpa dengan seorang sarjanah muda. Bukan hanya kenal biasa tapi dia juga adik tingkat semasa kulia di Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang. Sehingga aku mengenali beliau sama seperti mengenali sahabat dekat sendiri.

Namanya Endang Saputra, S.Sos. Lahir di Desa Lumpatan 6 Juni 1997 dari pasangan Bapak Jon Kenedi Rozali dan Ibu Nurjanah Baihaki. Riwayat pendidikan sangat baik. Pendidikan Sekolah Dasar di Madrasah Ibtidahiyah Negeri  Lumpatan, Musi Banyuasin. SMP, masuk ke MTS Negeri Lumpatan, kemudian melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri Sekayu (MAN Model), di Kota Sekayu. Setelah lulus dari MAN pada tahun 2014 silam. Endang Saputra, melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Negeri, UIN Raden Fatah Palembang, pada Fakultas Adab dan Humaniorah, dengan bidang studi "Politik Islam. Lulus pada tahun 2019.

Endang Saputra, S.Sos adalah pemuda yang aktif. Dia sudah dekat dengan masyarakat dan banyak pengalaman dalam berorganisasi. Organisasi reguler atau non reguler. Basis pendidikan yang baik dan menguasai Ilmu Politik. Maka dia akan mampu terjun ke masyarakat dengan baik, memahami dan mengerti. Insyaa Allah amanah.

Endang Saputra pemuda yang berdisiplin tinggi dan bertanggung jawab, sudah menjadi karakter pribadinya. Kedisiplinan tersebut terbukti dengan selalu aktif mengikuti kegiatan sekolah atau berorganisasi saat menjadi mahasiswa. Diantara keorganisasian yang dia ikuti, diantaranya Menjadi anggota Purna Paskibraka Indonesia (PPI) Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2013.

Anggota Departemen Kajian dan Partisipasi Majelis Sinergi Kalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (Masika-ICMI) Orda Palembang Periode 2017-2019. Terpilih menjadi Ketua Umum Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah (IMM) Fakultas Adab UIN Raden Fatah Palembang periode 2015-2016. Kemudian terpilih menjadi Pimpinan Lembaga Pengembangan Sosial Politik Ekonomi dan Lingkungan (POSPEL) Wilayah Kabupaten Musi Banyuasin. Sekarang sebagai seorang Jurnalis Media Berita Musi.

Endang Saputra, S.Sos, dengan banyaknya pengalaman berorganisasi, membuat dia cukup mumpuni dalam dunia kepemimpinan. Sebab tanda adanya jiwa kepemimpinan bukan dari slogan kampanye, bukan dari reklame kampanye, bukan dari baju kaos, bukan dari kalender partai, atau brosur-brosur.

Tapi untuk memimpin diperlukan orang-orang yang terdidik, memiliki kemampuan kerjasama tim atau kerja mandiri. Pengorganisasian orang banyak tidak dapat dihandle oleh emosi dan praduga-praduga. Maka, sosok Endang Saputra adalah tepat menjadi seorang pemimpin atau wakil rakyat dimana dia tinggal.

Terjun kedunia kepemimpinan budan untuk mencari kelebihan dunia. Tapi untuk beribadah dan berbakti pada negara tercinta terkhusu tanah kelahirannya. Sebagai bentuk dari pengabdian dirinya pada masyarakat. Sebagai bentuk tanggung jawab akademisi dibidang keilmuannya. Sekaligus sebagai putra daerah yang mencintai tanah kelahirnyan.

Dengan demikian Endang Saputra, S.Sos, Mencalonkan diri sebagai Anggota BPD (Badan Perwakilan Desa), Desa Lumpatan II dengan nomor urut satu (I). Mewakili Daerah Pemilihan II, Dusun II. Untuk periode Tahun 2019-2024. Waktu pemilihan tanggal 5 Oktober 2019. Dukungan dan doa menjadi motor perubahan dan kemajuan bersama.


Setidaknya itulah yang saya tangkap, dari sosok Endang Saputra. S.Sos. Sebagai seorang penulis dan Analisis Sosial Masyarakat dan Pengembangan Sejarah dan Peradaban Islam. Salam perubahan
Foto Endang Saputra bersama Bapak Hafiz Thohir Anggota DPR RI. Dalam acara Temu Pelantikan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Idonesia), di Kota Palembang.
Endang Saputra dalam suatu forum diskusi.
Foto bersama rekan-rekan mahasiswa pada puncak acara Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Foto dokumentasi saat penyerahan bantuan secara simbolis mewakili Lembaga Pengembangan Sosial Politik Ekonomi dan Lingkungan (POSPEL). Bekerjasama dengan Bank Mandiri dan Bank BNI dalam pemberian bantuan kotak sampa di Desa Lumpatan II. Diterimah langsung oleh Bapak Kepala Desa Lumpatan II, yang didampingi jajarannya. Bantuan disalurkan ke beberapa tempat umum, seperti masjid dan lainnya.

Oleh. Arip Muhtiar. S.Hum.
Editor. Selita. S.Sos.
Palembang, 14 September 2019.
Sumber foto. Endang Saputra, S.Sos.

Sy. Apero Fublic

9/12/2019

Pengertian Paham Dak Ilok dan Misteri Kata Orang Tua


Apero Fublic.- Masyarakat pada zaman dahulu memiliki pola pengendalian sosial yang berkaitan dengn mitos atau ketahayulan. Dalam pembahasan ini merujuk pada masyarakat Melayu di Sumatera Selatan. Sebelum masuknya Islam orang Melayu Sumatera Selatan hidup dalam lingkaran animisme, dinamisme, Hinduisme atau Budhisme.

Sehingga pemikiran yang rasional tidak ada sediktitpun. Islam yang sudah berkembang di Kota Palembang sejak zaman Kedatuan Sriwijaya. Perlahan masuk ke pedalaman dan menyebar rata sehingga 99% masyarakat Sumatera Selatan menjadi Muslim. Para ulama Islam harus berperang dengan paham pemikiran non rasionalisme tersebut (tahayul).


Sehingga Islam masuk beradaptasi dengan budaya lokal orang Melayu terutama dalam paham pemikiran dikenal dengan istilah Dak Ilok. Bangsa Melayu (Indonesia) suatu suku bangsa yang memiliki tingkat ketahayulan yang sangat tinggi. Aliran dari kepercayaan purba nenek moyang orang Melayu melekat dan mendara daging.

Sampai sekarang kepercayaan terhadap mitos-mitos belum hilang. Bagaimana para ulama masuk dalam kebudayan dan mengambil hati orang Melayu. Kemudian menanamkan nilai-nilai keislaman di tengah kehidupan masyarakat Melayu sampai sekarang. Pola didikan sosial digunakan istilah-istilah yang menyesuaikan dengan paham tahayul tersebut.


Pertama yang dilakukan adalah memasukkan nilai-nilai Islam dalam sistem adat istiadat dan pemikiran orang Melayu. Dalam hal ini, dapat ditinjau dari kebiasaan orang-orang tua dari dahulu sampai sekarang. Apabilah menasihatai perbuatan yang tidak baik dengan berkata “dak ilok, kata orang tua. (dialek menyesuaikan A,e,U,E,O). Diartikan secara bahasa kata dak sama dengan tidak.

Kata ilok sama dengan elok. Maka makna dak ilok diartikan tidak baik dalam bahasa Indonesia. Atau pamali yang lebih dikenal luas.  Di sini yang menjadi pertanyaan adalah siapa “orang tua” yang menjadi rujukan bagi masyarakat turun-temurun. Kata orang tua begitu populer di tengah masyarakat Melayu. Di bagian wilayah lain terdapat dialek berbeda seperti jeme tu’e.


Penyelidikan, siapa orang tua dalam paham pemikiran masyarakat selama ini ?. Dari mana mereka mendapatkan ajaran yang dirujukkan dengan kata orang tua. Dalam melakukan nasihat atau teguran pada seseorang. Karena orang Melayu 99% adalah Muslim. Kemudian penelitian tentang kehidupan masa sebelum Islam yang belum memiliki pola pendidikan secara luas dan merata kedalam masyarakat. Maka pelacakan pemahaman itu ditelusuri ke dalam ajaran agama Islam.


Di waktu kecil aku sering minum dengan cara mengangkat cerek secara langsung, tanpa memakai cangkir. Hal ini kemudian diteguri kakek bahwa minum seperti itu dak ilok kata orang tua. Karena seperti meminum air kencing setan akan sakit kembung dan sering kecing.

Pernah juga waktu aku ikut ayah bertandang kerumah paman. Tapi paman tidak dirumah, maka ayah tidak jadi bertandang. Padahal aku sudah sangat ingin bermain dengan adik sepupuku. Aku bertanya pada ayah mengapa tidak jadi bertandang. Ayah bilang dak ilok kata orang tua, sebab pamanku sedang tidak di rumah. Karena akan mendapat balak bencana.


Berikut ini contoh hadis yang dirujukkan dengan kata orang tua: Dari Abu Hurairah, Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Rasulullah melarang  minum langsung dari mulut qirbah (qirbah adalah wadah minum dari kulit atau wadah minum lainnya). H.R. Bukhari No. 5627. Dari sini perujukan orang tua yang dikiaskan oleh para Ulama adalah Imam Bukhari dan para periwayatan hadis dan tersambung ke Rasulullah SAW. Dalam pelarangan minum secara langsung dari mulut cerek atau teko air minum.


Berbagai ungkapan dak ilok kata orang tua, seperti ditujukan pada wanita yang berpakaian tidak sesuai atau terlalu terbuka. Tidak boleh memberi asi pada anak di pinggir jalan atau di ruang terbuka, karena dak ilok kata orang tua. Pakaian harus tertutup baik laki-laki atau perempuan.

Sehingga berkembang busana kain sepinggang yang menutup sampai mata kaki, mengingat dulu kain adalah busana utama Nusantara. Kemudian celana panjang dan baju kurung di dalam masyarakat Melayu.

Nilai-nilai Islam dapat dilihat saat adanya kegiatan masyarakat seperti acara pernikahan, lelaki dan wanita duduk tidak boleh bercampur, wanita di dapur lelaki bagian depan. Wanita bersuami tidak boleh tersenyum pada lelaki selain suaminya. Wanita bersuami tidak boleh memperlihatkan keramahan pada lelaki lain selain suaminya dan keluarganya. Saat seorang gadis tidur tidak boleh ngangkang, nanti diperkosa siluman.


Wanita dan laki-laki  Tidak bole berjalan berdua dengan lelaki bukan mahramnya. Tidak boleh berdua-dua ditempat sepi, sebab “Dak ilok kata orang tua, nanti di omongkan orang.” Sehingga menjadi acuan wanita dan laki-laki dalam bersosialisasi. Yang dimaksud dengan diomongkan orang adalah terjadinya fitnah. Baik fitnah dari mulut masyarakat yang melihat juga fitnah atau cobaan syawat.


Pelacakan dari perujukan  “kata orang tua” tersebut ditemukan dalam hadis-hadis, atau fatwah para ulama. Sehingga dapat disimpulkan kata orang tua dalam makna kiasan yang dimaksud adalah Rasullah. SAW, para sahabatnya, kemudian para ulama.

Sebab hampir semua kata dak ilok selalu sesuai dengan hadis-hadis dan patwah ulama. Sehingga walaupun orang Melayu terlihat tidak terlihat begitu Islami, misalnya jarang berhijab, jarang berzikir. Tapi secarasosial budaya dan adat-istiadat orang Melayu sesuai dengan ajaran Islam.

Karena aturan-aturan hukum Islam dijadikan dasar beradat-istiadat. Masa awal kedatangan Islam, orang-orang Melayu belum mengenal keilmuan Al-quran dan Hadis. Maka hukum Islam diterjemahkan para ulama terdahulu dengan paham dak ilok kata orang tua atau membumikan hukum Islam.


Paham dak ilok kata orang tua lama kelamaan menjadi sastra lisan. Tidak tertulis hanya disampaikan secara turun temurun. Sehingga dalam perkembangannya kata-kata dak ilok kata orang tua semakin lama semakin berkembang. Sudah biasa paham masyarakat yang kurang pengetahuan sering memunculkan paham sendiri sehingga ungkapan Dak Ilok kata orang tua sering menyimpang pada masa-masa berikutnya.

Mereka menjual ungkapan sesuai kepentiangan atau menduga-duga saja. Maka muncullah ketahayulan, dan kesyirikan. Namun hukum adat istiadat berlandaskan Islam tetap tertanam secara naluri di kehidupan sosial. Hanya saja timbul paham mengarang sendiri dari kata dak ilok kata orang tua.


Masyarakat masa selanjutnya yang tidak tahu menahu kalau ulama menciptakan ungkapan dak ilok kata orang tua merujuk hadis, fatwah ulama, atau Al-Quran. Banyak masyarakat biasa memunculkan sesuai nafsu mereka. Masyarakat tidak menguasai ilmu keislaman, apalagi periwayatan.

Kemudian membuat kata-kata sendiri yang tidak logis dan masuk akal. Maka ketahayulan menjadi lebih dominan dari pada akal sehat. Kepercayaan terhadap dukun dan kata-kata sembarangan telah membawa orang Melayu dalam kebodohan akidah. Berikut ini kata dak ilok kata orang tua ciptaan masyarakat yang tidak berilmu dan dipengeruhi pemikiran tahayul.

Misalnya dak ilok kata orang tua rumah “menghadap pengkolan sungai sering sakit-sakitan penghuninya.” Dak ilok kata orang tua bujang alim karena masa tua nanti berubah tidak alim lagi atau menjadi juaro (penjudi). Dak ilok kata orang tua berladang diapit dua sungai, akan mati anak atau istri. Dan banyak lagi lainnya tersebar di masarakat dimana mereka menduga-duga dan mengarang sesuai nafsunya.


Oleh. Joni Apero

Editor. Desti. S.Sos.
Palembang, 13 September 2019.


By. Apero Fublic

Identifikasi Identitas Wilayah Secara Tradisional: Studi Sumatera Selatan


Apero Fublic.- Dalam pengidentitasan kehidupan masyarakat, sering kali penulis membuat penyebutan salah kapra. Begitupun masyarakat secara awam, mereka akan mengidentitaskan diri berdasarkan pemahaman singkat saja. Masyarakat tidak memiliki pemahaman akademisi yang baik. Mereka masyarakat dan sebagian besar penulis.

Tidak dapat membedakan antara suku bangsa dengan pengidentitasan wilayah secara tradisional. Dapat dikatakan suatu suku bangsa ketika masyarakat tersebut telah memiliki perbedaan secara kebudayaan dan antropologis. Misalnya bahasa tidak lagi serumpun serta tidak lagi memiliki akar kebudayaan yang sama.

Sebagai contoh seumpama Suku Bangsa Melayu Indonesia dengan Suku Bangsa Han di Cina. Suku Arab di Timur Tengah dengan Suku bangsa Viking di Eropa, dan sebagainya. Dari sini dibandingkan dimana bahasa sudah tidak lagi serumpun, kebudayaan yang jauh berbeda, wilayah dan geografis berbeda, adat istiadat jauh berbeda. Baru dapat disebut dengan suatu Suku Bangsa.

Kasus di Indonesia yang memiliki keadaan geografis wilayah berbeda-beda. Membuat identikasi diri juga berbeda-beda. Di Indonesia orang tinggal di setiap pinggiran sungai menjadi suku sungai itu. Yang tinggal di pegunungan menjadi suku gunung. Yang tinggal di dekat danau jadi suku danau. Yang tinggal di pulau tertentu jadi suku pulau tersebut. Padahal mereka satu suku bangsa, yaitu Melayu.


Pada zaman dahulu jalur transportasi melalui perairan, sungai, laut, dan danau. Jalur transportasi sungai menyebabkan masyarakat pada zaman dahulu tinggal di pinggir sungai, danau, atau pantai. Mereka juga menetap di dekat sungai atau sumber air untuk memenuhi kebutuhan air, seperti mandi, mencuci, memasak, menangkap ikan, dan untuk transportasi.

Maka hampir semua pemukiman penduduk terletak di pinggir-pinggir sumber air. Setiap sungai ini kemudian mereka berikan nama. Lama semakin lama, mengembangkan kebudayaan setempat dan memiliki kebiasaan berbeda. Lalu melalui interaksi keluar daerah mereka dikenal dengan suku dari wilayah dimana mereka tinggal. Seandainya menereka tinggal di pinggiran sungai tertentu, mereka di kenal dan mengidentitaskan diri dengan nama sungai tersebut.


Misalnya suatu masyarakat itu tinggal di daerah pinggiran sepanjang Sungai Keruh. Maka kemudian mereka di sebut Suku Sungai Keruh. Orang Sungai Keruh menyebut orang yang tinggal di pinggir Sungai Musi disebut Suku Musi (Sekayu).

Sekarang perlahan masyarakat menamakan dengan suku Sekayu atau Orang Sekayu. Kemudian ketika masyarakat itu tinggal di daerah Sungai Rawas. Maka mereka mengatakan kalau mereka Orang Rawas atau Suku Rawas.

Kemudian masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran Sungai Komering, dinamakan Suku Komering. Kemudian masyarakat tinggal di daerah Danau Ranau dinamakan Suku Ranau. Misalnya Suku Lematang karena tinggal di sepanjang Sungai Lematang. Orang yang tinggal di Palembang di sebut Suku Palembang.

Nama Palembang itu baru muncul berabad-abad setelah Kedatuan Sriwijaya runtuh. Padahal mereka semua adalah orang Melayu tulen. Hendaknya, pengidentifikasian suku bangsa bukan dari tempat tinggal. Harus melalui dari kajian mendalam.


Penyebutan nama-nama tersebut misalnya Suku Musi tidak tepat. Para penulis baik cetak atau elektronik terlalu buru-buru menafsirkan suku masyarakat suatu tempat tersebut. Tanpa menguasai ilmu kebudayaan, ilmu antropologi dan sejarah dengan baik.

Nama-nama itu, Suku Maranjat, Suku Ogan, Suku Musi, dan sebagainya. Nama-nama tersebut sesunggunya adalah nama tempat tinggal atau nama wilayah masyarakat secara tradisional, bukan nama suku. Suku bangsa masyarakat Sumatera Selatan adalah Melayu.

Keberadaan orang Melayu Sumatera Selatan memiliki bukti sejarah. Dari berupa data arkeologi dari zaman purba, zaman kebudayaan batu (megalitikum), dan bukti tertulis seperti prasasti peninggalan Kedatuan Sriwijaya dan prasasti berupa tulisan aksara Kaganga, beserta artepak, mantifak, dan keserumpunan bahasa.


Dalam penulisan atau pernyataan dan sebagai penjelas kewilayahan ada baikanya di gabungkan kata Melayu. Seperti Melayu Meranjat yang berarti orang Melayu di daerah Maranjat, Ogan Ilir.

Melayu Basemah yang berarti orang Melayu yang tinggal di Basema atau Pagaralam. Begitupun yang lain misalkan, Malayu Musi, Melayu Ogan, Melayu Ranau, dan sebagainya. Sehingga masyarakat tidak terjadi terkotak-kotak.

Dengan pemahaman yang salah. Jangan kita terjebak terus oleh taktik pecah belah peninggalan Belanda.Atau menjadi penulis atau paham neoblandaisme atau orang-orang Indonesia yang terus menjadi kepanjangan tangan orientalis Belanda dalam melakukan pecah belah di tengah masyarakat Indonesia.

Secara nasional juga terjadi begitu, misalnya masyarakat mengidentitaskan dengan suatu kelompok masyarakat orang laut atau Suku Laut. Padahal mereka Orang Melayu yang tinggal di perairan pantai atau bermukim di atas permukaan laut. Kemudian mereka dinamakan orang Laut atau Suku Laut.


Bagaimana mengidentipikasi suatu suku bangsa. Dalam hal ini mengidentipikasi suku bangsa Melayu. Yaitu melalui identifikasi kebudayaan dan identifikasi antropologis, semisalnya bentuk kerajinan, pola hidup, bentuk tempat tinggal, adat-istiadat, dari seni sastra baik itu lisan atau tertulis, seni musik (seruling dan gendang), dan keserumpunan bahasa.

Keterkaitan rumpun bahasa, bentuk bahasa Austronesia (rumpun Melayu). Sistem kepercayaan: seperti ketahayulan dan upacara-upacara adat tradisional. Bentuk fisik secara umum, misalnya bentuk hidung dan bentuk mata.

Pola hidup beradat terutama penjagaan terhadap norma adat dalam melindungi wanita. Masyarakat Papua merasa berbeda dengan masyarakat Indonesia di bagian barat. Karena tidak hidup dalam kesukuan seperti mereka. Padahal orang Indonesia di bagian Barat sebelum tersentuh kebudayaan Hindhu-Budha dan Islam juga hidup berpola seperti mereka.

Orang Melayu juga menjadi kanibal masa-masa lampau. Begitupun pola pakaian, senjata, dan bersistem kepala suku. Di Sumatera Selatan sistem kesukuan bertranspormasi menjadi Marga. Marga adalah sistem pemerintahan di suatu wilayah dimana masyarakatnya masih keterkaitan satu keturunan.


Identifikasi secara kebiasaan dan kewilayahan tidak dapat menjadi pembeda suku bangsa. Karena pola kebiasaan atau tradisi tergantung dari pengaruh kebudayaan di daerahnya. Untuk kewilayahan manusia hidup menyebar dalam perjalanan sejarah mereka.

Contoh dari kedua itu, seperti suku Anak Dalam atau Suku Kubu di hutan-hutan Sumatera Selatan, Jambi, Riau. Mereka adalah orang Melayu dimana pengaruh kebudayaan belum menyentuh mereka sehingga mereka menjadi berbeda dari orang Melayu lainnya. Pada zaman sebelum berbudaya orang Melayu juga suku bangsa primitif pemburu kepala.

Di zaman sekarang pengidentitasan diri sudah mulai bergeser menggunakan administrasi wilayah. Pengidentitasan kedaerahan menggunakan nama kecamatan. Identatas secara derah provinsi menggunakan nama kabupaten. Untuk identitas secara nasional menggunakan nama provinsi. Nama negara menjadi identitas internasional. Maka sistem identitas kesukuan dan kewilayahan perlahan menghilang.


Oleh. Joni Apero

Editor. Selita. S.Pd.
Palembang, 13 September 2019.

Sy. Apero Fublic

Belada Cinta Putri Pertama: Orang Tua dan Keluarganya

Apero Fublic.- Beteng Kuto Besak berdiri kokoh menjadi saksi sejarah di tengah Kota Palembang. Jembatan Ampera melintang menyatukan kedua sisi tebing Sungai Musi. Di atas jembatan laju kendaraan bermotor bagaikan aliran air yang deras. Ombak dan angin berpadu di tebing sungai yang sudah diperkeras dengan beton.

Kapal-kapal berlalu memeca gelombang. Tugu Ikan Belidah seakan menjadi penjaga benteng Kuto Besak yang perkasa. Warung empek-empek terapung terombang-ambing di tepian sungai, dipermainkan ombak. Azan berkumandang dari Masjid Agung Palembang tanda waktu shalat ashar datang.

Tempat wisata Benteng Kuto Besak adalah tempat bersantai masyarakat Kota Palembang. Di bibir tebing Sungai Musi berdiri dua orang insan manusia. Seorang pemuda berpenampilan rapi. Memakai kemeja lengan panjang berwarna putih polos, celana dasar kain berwarna coklat, berkopiah, namanya Khalid.  Si gadis memakai gamis hitam dan berhijab syairah warna merah panta, namanya Haifah.  Berdiri menghadap Sungai Musi.

Keduanya berkenalan sebagai sahabat beberapa bulan lalu, tidak pacaran. Berjarak sekitar sepuluh meter dari keduanya, tiga orang gadis juga berbusana islami menemani perbincangan mereka. Banyak juga pengujung datang berlalu lalang, ada pengamen. Khalid dan Haifah, keduanya berkomitmen untuk menikah. Di akhir perbincangan itu, Khalid berjanji pada Haifah.

“Syarat itu Kakak sanggupi. Kakak berjanji, “insyaa Allah akan mendukung adik berbakti kepada kedua orang tua adik. Kakak mengerti tugas adik sebagai anak sulung. Kedua orang tua kakak masih kuat, dan ada Kakak Hasim yang menjaga dan mengurus mereka. Jadi Kakak tidak terlalu terbebani dalam mengurus kedua orang tua kakak. Mungkin kita sekali-sekali datang berkunjung mengantar belanja.” Setelah perbincangan selesai maka mereka berlima menuju Masjid Agung Palembang untuk shalat ashar.

Waktu berlalu. Khalid dan keluarga datang melamar ke rumah Haifah di Kelurahan Talang Betutu. Akad nikah dilaksanakan di Masjid Al-Hijrah di Kelurahan Talang Betutu, Kota Palembang tidak jauh dari rumah Haifah. Pernikahan yang sederhana namun istimewa. Keluarga dan undangan datang memberi selamat. Keduanya sah menjadi suami istri. Sebagaimana janji Khalid sebelumnya, maka mereka tinggal di rumah orang tua Haifah. Haifah tiga bersaudara, dia anak sulung. Dua adiknya, Kahani dan Sammah sudah lebih dulu menikah di tahun lalu.

Waktu berjalan terasa cepat sekali. Tahun demi tahun, sekarang Haifah memiliki tiga orang anak. Anak tertua laki-laki bernama Amir. Dua lagi perempuan Zulaihak dan Kinanti. Khalid bekerja di sebuah pabrik roti, gajinya hanya dua juta lima ratus ribu rupiah sebulan. Sehingga Haifah harus hemat dalam mengatur keuangan keluarga. Ongkos kerja Khalid, biaya makan keluarga, bayar listrik, air, biaya sekolah anak-anak, dan lain-lainnya. Sehingga Haifah sangat mengatur keuangan dengan cermat.

Karena memang uang gaji suaminya pas-pasan. Haifah sangat sibuk sekarang, semua pekerjaan rumah dia yang menyelesaikan. Dari membersihkan halaman, membersihkan rumah, mencuci pakaian keluaraga, pakaian anak, suami, dan kedua orang tuanya. Memasak, mencuci piring, menghidangkan makanan, belanja. Bertambah sibuk kalau di bulan puasa, sebab dia akan mengurus sahur dan berbuka sedangkan dia juga berpuasa. Sepanjang waktu, pekerjaan itu dilakoni Haifah dengan sabar. Berbakti pada suami dan berbakti pada kedua orang tua.

Satu minggu sebelum idul fitri di tahun 1435 Hijriyah. Kahani, suami dan tiga anaknya pulang kampung. Suami Kahani seorang PNS di Kota Bandung, darah Aceh. Kahani pulang, dia memberikan banyak hadiah pada ayah dan ibunya. Saat itu mereka juga begitu perhatian dengan orang tua mereka.

Ketika mau kembali ke Kota Bandung mereka memberikan uang satu juta rupiah pada sang ibu. Betapa gembiranya ayah dan Ibu Haifah. Mereka bangga dan membanggakan Kahani pada semua orang di Kampung mereka, Talang Betutu. Haifah mendengar itu, dia pun merasa bahagia juga. Karena rumah mereka di Talang Betutu dekat dengan Bandara SMB II. Maka kedua orang tua Haifah menjemput saat datang dan mengantar saat kembali.

Dua bulan bulan kemudian, Lebaran Idul Adha juga tiba. Kali ini Sammah, suami dan dua anaknya juga pulang. Perlakuan Sammah seperti Kahani. Banyak memberikan hadiah, jalan-jalan di Kota Palembang. pada saat mau kembali ke Jakarta mereka juga memberikan uang satu juta rupiah. Ayah dan Ibu Haifah merasa bangga dan menceritakan semua itu pada tetangga dan masyarakat di kampung mereka. Ibu Haifah membandingkan Kahani, Sammah dengan Haifah dan suaminya. Haifah, tidak pernah membelikan mereka hadiah dan uang jutaan seperti kedua anak mereka itu.

Tahun berlalu, kembali seperti semulah. Kali ini Sammah dan keluarganya yang pulang kampung saat lebaran idul fitri, 1436 Hijriyah. Keluarga Kahani juga yang pulang di lebaran idul adha, bergantian. Sama seperti pulang kampung sebelumnya. Mereka memberikan hadiah, dan memberikan uang saat akan kembali. Namun dibalik semua itu, Haifah juga pontang panting menanggung biayah semua keluarga saat menjelang lebaran. Tetapi alhamdulillah Haifah dapat menutupinya. Ayah dan Ibu Haifah tida menyadari itu.

Sekarang Ibu Haifah merasa tidak suka dengan Haifah. Dia menganggap Haifah pelit dan tidak sebaik kedua anaknya. Menurut pemikiran ayah dan ibu Haifah. Kedua anaknya Kahani dan Sammah begitu baik. Memanjakan mereka dan perhatian sekali. Termakan pemikiran itu, perlahan-lahan Ibu dan Ayah Haifah mulai tidak suka dengan Haifah, dan keluarganya. Mereka ingin salah seorang dari Kahani atau Sammah tinggal dengan mereka. Sebab mereka baik, perhatian dan melayani mereka dengan sangat lembut. Sangat berbeda dengan cara Haifah, yang pendiam dan selalu bekerja.

Tibalah batas kesabaran ibu Haifah, sehingga sedikit cekcok dengan Haifah. Waktu itu, sore hari sekitar pukul tiga sore. Permasalahannya sepelah sekali, karena Haifah memarahi anak sulungya yang selalu bermain lupa waktu.

Suara keras Haifah membuat ibu Haifah marah. Waktu itu emosi Haifah sedang naik. Ibu dan Ayah Haifah merasa terganggu dan tidak tenang. Waktu itu, tekanan pekerjaan dan rasa capek membuat emosi Haifah labil. Akhir dari kata-kata Ibu Haifah waktu itu kurang baik, entah apakah salah pengertian.

“Sudah, cukup !!!, aku tidak tahan lagi bersama kalian.” Kata ibu Haifah marah dalam pembicaraan sore itu. Pernyataan itu membuat hati Haifah hancur. Secara halus kalau ibunya meminta Haifah untuk pindah. Haifah merasa kalau ibunya mengusir mereka secara halus. Air mata Haifah mengucur deras. Saat Haifah melihat ayahnya hanya diam.

Penilaian Haifah kalau ayahnya juga menyetujui. Yang paling sedih lagi, ketika Haifah melihat suaminya yang tertunduk diam. Namun suaminya tidak berkata apa-apa. Ada wajah malu dan sedih yang Haifah tangkap dari raut wajah yang mulai tidak terawat lagi itu. Kulit tubuh suaminya sudah agak gelap sekarang. Pulang dari pabrik sore hari, setelah magrib dia juga menjadi Driver Gojek.

Haifah terdiam, semua diam, kemudian Ibu Haifah pergi keluar rumah entah kemana. Haifah bangkit perlahan kekamarnya dan berbaring. Air matanya berlinang menetes tidak mau berhenti. Ayah Haifah keluar rumah, lelaki pensiunan PNS ini mengambil sapu dan menyapu halaman rumah. Tinggal suami Haifah yang duduk tenang sambil minum kopi. Tak berapa lama kemudian dia masuk kamar menghampiri Haifah.

“Sudah, jangan bersedih hati. Mungkin ibu sedang emosi dan marah saja. Jangan diambil hati. Jangan pulah salah mengartikan, mereka orang tua Adik.” Hibur Khalid.

“Tidak Kak, adik sudah mengerti sekarang. Maafkan aku yang telah membuat kakak kecewa. Aku beruntung mendapat suami yang sesabar Kakak. Aku tahu kakak berkata begitu karena Kakak ingin menepati janji kakak dahulu. Aku menyesal mengajukan syarat itu.
Dimana meminta kakak membantu aku menjaga ayah dan ibu sampai mereka dipanggil Allah. Aku menyayangi mereka dan ingin berbakti. Jerih payah Kakak tidak dihargai mereka.”

Kata Haifah sambil menangis, kemudian suaminya memeluk Haifah. Khalid sesungguhnya sangat tersinggung. Sebagai laki-laki dia memiliki harga diri. Tapi dia tidak mempersoalkan itu.

Tanpa mereka sadari ayah Haifah mendengar percakapan mereka. Waktu itu sedang memungut sampah di samping kamar Haifah. Ayah Haifah tahu alasannya mengapa suami Haifah tidak membawa Haifah dan anak-anaknya pindah rumah. Biasanya adat orang Melayu pantang tinggal di tempat mertua.

Orang bilang anak yang sudah menikah akan mudah tersinggung. Berbeda ketika mereka belum menikah. Benar, begitulah Haifah juga sangat tersinggung sekali. Haifah dihantui rasa bersalah karena tinggal di rumah orang tuanya. Haifah merasa malu, sedih. Dia juga kecewa dengan jerih panyahnya selama ini.

Keluarganya terasa memberatkan atau mengganggu ketenangan kedua orang tuanya. Apalagi sekarang dia sedang hamil anak keempat mereka. Satu minggu kemudian, Haifah, suami dan tiga anaknya pindah kesebuah kontrakan berjarak puluhan kilometer dari rumah ibunya, Talang Jambi. Sebelum pergi Haifah membersikan halaman dan bagian dalam rumah. Mencucikan pakaian ayah dan ibunya. Haifah juga memasak untuk yang terakhir kalinya.

Sebagai anak sulung dia merasa bertanggung jawab pada kedua orang tuanya, apa hendak dikata pikirnya. Waktu berjalan cepat, bulan dan tahun berlalu. Suami Haifah dipindah tugaskan ke Kota Sekayu. Sebuah kota kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan.

Tiga tahun berlalu, menjelang bulan ramadhan 1440 Hijriyah. Ibu Haifah menelpon anak keduanya, Kahani. Bertanya apakah mereka pulang dilebaran tahun ini. Kahani bilang karena sudah tiga kali lebaran pulang ke Palembang maka lebaran ini mereka pulang ke rumah mertua, di Aceh.

Kemudia menelpon anak bungsunya, Sammah. Sammah juga tidak pulang ke Palembang. Alasannya sama dengan Kahani, giliran pulang ke tempat mertua. Sudah tiga kali ramadhan dan lebaran terasa sepi bagi ayah dan ibu Haifah. Pernah diawal ramadhan Khalid datang mengantar belanja. Di sepuluh lebaran juga datang mengantar belanja. Keadaan sepi berlanjut di rumah Ibu Haifah, sampai idul fitri dan idul Adhah.

Suatu malam, Kahani menelpon kalau mereka sekarang telah pindah permanen di Provinsi Aceh. Karena pengajuan pindah suaminya di setujui pemerintah. Aceh tanah kelahiran suaminya. Suatu ketika Sammah juga menelpon. Suami Sammah juga pindah ke Sumatera Utara dan menetap di daerah tanah kelahiran suaminya, Kabupaten Deli Serdang. Sebagai guru PNS di sebuah Sekolah Menenga Atas. Maka mereka akan sulit pulang ke Palembang lagi, karena jauh.

Sore itu, suasana mendung, hujan ringan turun membasahi bumi. Suara air hujan jatuh di teratak atap terdengar riuh. Ibu Haifah duduk merenung di teras rumah. Lamunannya tenggelam ke puluhan tahun lalu. Dia melihat halaman kotor oleh sampa dedaunan. Sekarang Ibu Haifah tidak dapat menyapu halaman rumah tiga kali seminggu sebagaimana Haifah.

Terasa sakit pinggangnya. Daun jambu, daun sawo, dan daun bunga-bunga yang jatuh tiap hari. Haifah dari umur lima tahun sudah pandai menyapu halaman rumah. Haifah kecil selalu berhijab sedari Sekolah TK. Haifah tidak ingin ayah dan ibunya masuk neraka karena dia tidak menutup aurat. Itulah yang diajarkan ustazah di sekolah. Beranjak remaja Haifah sudah pandai mengurus rumah. Membersihkan perabotan, mencuci pakaian, dan memasak. Haifah begitu sayang pada ayah dan ibunya.

Dia tumbuh menjadi wanita mandiri. Air mata Ibu Haifah menetes perlahan di kedua belah pipinya yang keriput itu. Ayah Haifah datang membawa dua cangkir teh, dan duduk di samping Ibu Haifah. Melihat istrinya meneteskan air mata.

Ayah Haifah mengerti tentang perasaan dan pikiran istrinya. Bukan menangis karena halaman yang kotor dan berserakan itu. Tapi karena pada sosok anak kecil yang suka menyapu halaman itu, Haifah. Putri sulung yang bertanggung jawab seperti anak lelaki. Ayah Haifah menarik nafas dalam dan matanya juga berkaca-kaca.

Ayah Haifah menceritakan dengan istrinya mengapa Haifah dan suaminya tetap tinggal dirumah mereka setelah menikah. Tidak pindah rumah sebagaimana pernikahan anak-anak perempuan lainnya. Karena salah satu syarat diterimanya lamaran Khalid oleh Haifah. Khalid harus mendukung Haifah berbakti pada kedua orang tuanya.

Ibu Haifah bertambah terharu mendengar cerita suaminya. Kakek Nenek yang sudah berumur enampuluhan tahun itu sekarang hidup kesepian. Satu minggu kemudian Ibu Haifah jatuh sakit. Sudah lebih satu minggu tidak bangun dari pembaringan. Ayah Haifah menelpon putri bungsunya Sammah.

Sammah bilang kalau dia tidak dapat pulang sebab suaminya sedang bertugas studi banding pendidikan dari DIKNAS. Begitupun saat menelpon Kahani, dia tidak dapat pulang karena sudah menetap di Aceh. Ongkos ke Palembang dengan pesawat terbang  hampir sama dengan gaji satu bulan suaminya. Kalau naik bus akan memakan waktu tiga hari tiga malam.

Maka tidak mungkin pulang sekarang kalau belum penting sekali. Ingin Ayah Haifah menelpon Haifah. Tapi dia merasa tidak enak dan merasa malu pada anak sulung mereka itu. Dalam minggu itu, Ayah Haifah sendiri merawat ibu Haifah. Sekarang seisi rumah tambah terbengkalai. Semua sudah tambah tidak terurus lagi.

Khalid datang menengok keadaan mertuanya bulan ini. Membawa oleh-oleh dari Kota Sekayu, ikan keringpedetempoyak, buah duku, durian. Saat sampai di rumah mertuanya, Khalid melihat halaman sangat kotor, sampah berserakan dimana-mana.  Rumah nampak redup dan tidak terawat. Khalid mengetuk pintu, dan mengucap salam. Tidak lama kemudian ayah mertuanya membuka pintu. Melihat Khalid yang datang matanya langsung berkaca-kaca. Dia melihat-lihat keluar, berharap kalau Haifah juga ikut.

Khalid menyalimi tangan mertuanya, dan bertanya kabar keduanya. Mertua Khalid tidak berkata-kata, dia menyembunyikan rasa terharunya. Kemudian menunjuk ke kamar, dan melangkah masuk kamar. Khalid melihat mertua perempuanya terbaring berselimut tebal. Badannya sudah kurus dan matanya tertutup. Khalid menjadi khawatir dan dia duduk di pinggir pembaringan.
“Ibu, kenapa? Apa ibu sakit? Mengapa tidak memberi kabar!!!.

Mata berkeriput itu membuka. Menatap Khalid beberapa saat, kemudian mata rabun itu mengeluarkan air mata. Khalid menjadi sedih dan terharu. Kembali Khalid bertanya apakah ibu mertuanya sakit. Jawaban lembut dari mertuanya. “Tidak apa-apa, hanya demam.” Khalid ingin membawa ke bidan, tapi mertuanya menolak. Kemudian dia bertanya bagaimaan kabar Haifah dan anak-anak Khalid.

Khalid menceritakan bahwa keadaan mereka baik dan sekarang Haifah sudah mengajar di salah satu sekolah PAUD di Kota Sekayu. Kemudian dengan berlinang air mata, dia berpesan pada Khalid agar menyampaikan pesan permintaan maaf pada Haifah. Menjelang sore Khalid pulang ke Kota Sekayu dan tiba pukul delapan malam. Khalid menceritakan keadaan ibu dan ayahnya membuat hati Haifah terpukul dan sedih sekali. Air matanya tidak terbendung dan dia menangis meraung. Keesokan harinya, Haifah dan empat anaknya berangkat ke Kota Palembang.

Sesampai di rumah Haifah memeluk ayah dan ibunya. Mereka semua menangis haru dan bahagia. Anak Haifah, dan tiga adiknya bermain dan menyapu halaman rumah. Lalu membakar sampah dan halaman menjadi bersih. Haifah juga membersihkan rumah dan mencuci semua pakaian dan perabotan rumah. Rumah yang beberapa tahun sepi dan beku tiba-tiba menyalah.

Suara ramai anak-anak Haifah bermain seperti irama yang merdu di telinga kedua orang tua Khaifah. Begitupun saat suara orang sibuk memasak dengan suara-suara alat dapur beradu. Ayah dan Ibu Khaifah baru sadar sekarang. Di usia senja mereka bukan harta, bukan uang, bukan sanjungan semu. Tapi kasih sayang yang hangat yang ikhlas dari anak dan cucu-cucunya. Kebaikan bukan berupa hadiah, bukan beberapa lembar uang.

“Haifah, seandainya ibu telah menyakiti hatimu. Ibu memohon padamu agar maafkan ibu. Agar ibu tenang seandainya Allah memanggil ibu.” Kata Ibu Haifah memohon.

Haifah berkata dia tidak pernah merasa marah dan benci dengan ayah dan ibunya. Dia hanya menghormati dan menghargai jerih paya suaminya. Suaminya sudah bekerja keras dan relah mengurus ayah dan ibunya. Jarang ada menantu yang baik dan shaleh seperti Khalid.

Ayah dan Ibu Haifah mengerti betapa sulitnya Khalid, bekerja seharian kemudian menarik Gojek di malam hari untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Wajar saja kalau Haifah tidak pernah memberi uang jutaan sekali waktu, sebab semua kebutuhan hidup mereka yang menanggung. Haifah selalu memuliakan ibunya. Kemudian Haifah berkata.
“Ibu mau makan apa? gado-gado? atau kue bolu kesukaan ibu? Nanti Haifah bikinkan.” Tanya Haifah. Lama Ibu Haifah terdiam, kemudian dia berkata.
“Ibu meminta, pulanglah, hantarkan masa tua kami dengan damai. Ibu beruntung sekali, memiliki putri yang berhati mulia sepertimu, dan menantu yang baik, ibu telah salah menilai.” Jawab Ibu Haifah dengan haru. Haifah memandang ke ayahnya yang duduk di sisi kanan ibunya. Wajah tua yang dulu kencang sekarang sudah keriput. Rambut yang putih dan sudah tumbuh menipis.

Terkenang puluhan tahun lalu bagaimana sang ayah sering menggendongnya dengan kasih sayang. Haifah juga melihat mata ayahnya berkaca-kaca pertanda dia juga terharu. Haifah tidak tega menolak permintaan kedua orang yang sangat dia cintai itu, tangisnya pecah. Haifah mengiyahkan tapi dia ingin bermusyawara pada Khalid terlebih dahulu.

Khalid yang shaleh dan baik itu menyetujui. Betapa bahagianya Haifah memiliki suami yang sangat baik dan pengertian itu. Dua minggu kemudian Haifah dan anak-anaknya datang pulang, kembali kerumah orang tuanya. Khalid untuk sementara sendiri tetap di Kota Sekayu sampai perpindahannya di setujui perusahaan tempat dia bekerja. Sejak saat itu, Keluarga Khaifah kembali hidup bersama berbahagia.

Oleh. Joni Apero.
Editor. Desti. S.Sos.
Palembang, 27 Agustus 2019.

Sy. Apero Fublic

9/11/2019

Manipulasi Isu dan Paradigma Swasembada Beras Zaman Orde Baru


Apero Fublic.- Banyak orang berkata kalau pada masa Pemerintahan Otoriter Orde Baru Indonesia pernah mencapai swasembada beras. Sehingga Indonesia dianggap sangat makmur. Pemerintahan Orde Baru dianggap berhasil membangun ekonomi negara. Kesalahan persepsi dari orang asing, dan kesalahan anggapan dari orang Indonesia sendiri.

Orang-orang tersebut tidak memiliki pengetahuan tentang negara Indonesia secara mendalam. Mereka orang-orang asing membaca dari luar, dan melihat kulit yang diperlihatkan Orde Baru. Sedangkan orang Indonesia masa itu dilingkupi kebutaan dan tidak mengenal bangsa sendiri. Banyaknya beras atau gabah kering hasil petani di Pulau Jawa di anggap bentuk keberhasilan Pemerintahan Otoriter Orde Baru dalam membangun ekonomi.

Pada kenyataanya semua itu adalah berupa omong kosong mereka semua. Orang-orang yang tidak berpengetahuan berbicara tanpa mengerti apa-apa. Mereka berpikir pendek melihat gudang bulog yang penuh oleh beras yang tidak laku di tengah masyarakat Indonesia.

Dunia juga yang tertipu dengan keadaan tersebut, ketika sumbangan beras di PBB untuk Afrika. Sehingga Soeharto mendapat kesempatan berpidato pada peringatan FAO (Food and Agriculture Organization, di Italia 14 November 1985. Berikut ini, tiga faktor yang menyebabkan paradigma swasembada beras muncul dari orang-orang tidak bijak.

Faktor Populasi Penduduk.
Penduduk Indonesia pada masa Orde Baru belum sebanyak sekarang (2019). Di tahun 1985 jumlah penduduk Indonesia berjumlah 165 juta jiwa. Dari total jumlah penduduk diperkirakan 50% ada di pulau Jawa, Bali, dan Madura. Sehingga penduduk di luar Pulau Jawa sangat jarang, terutama di Papua dan Kalimantan.

Jumlah penduduk yang sedikit tentu juga menyebabkan kebutuhan ekonomi juga sedikit. Hutan-hutan yang luas dan penduduk masih jarang. Alam yang kaya raya memberi makan manusia Indonesia di pedalaman. Mobilitas kehidupan juga tidak seperti zaman diatas tahun 2000.

Faktor Produksi Masyarakat Petani.
Pada masa itu, dibawah tahun 1995, masyarakat petani di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Papua dan pulau-pulau lainnya masih memiliki cukup lahan untuk bertani. Mereka menanam padi ladang, hasl panen biasanya cukup satu tahun dalam satu kali panen. Menanam umbi-umbian, singkong, keladi, ubi jalar dan lainnya. Di daerah Maluku dan Papua masyarakat mengkonsumsi sagu yang banyak tumbuh subur di sana.

Ada juga kelompok masyarakat yang mengkonsumsi ubi. Selain itu, lingkungan sungai, alam masih terjaga sehingga masyarakat dapat menangkap hewan buruan dan menangkap ikan yang berlimpah di laut, sungai dan danau. Kehidupan penduduk masih semi tradisional. Masyarakat juga masih memiliki banyak hewan peliharaan, seperti ayam, sapi, kambing, kerbau, sehingga penduduk memiliki cukup dalam memenuhi kebutuhan daging.

Aku masih ingat sewaktu aku masih umur lima tahunnan. Dimana kehidupan di desaku, penduduk berladang, menanam padi dan sayur mayur. Kemudian hampir setiap keluarga besar memiliki ternak sapi, kambing atau kerbau. Membuat gula dari tebu dan gula aren. Kopi memproduksi sendiri dari kebun-kebun di belakang rumah mereka.

Membuat minyak sayur dengan kelapa, dan sebaginya. Selain itu ada juga masyarakat di luar Pulau Jawa yang bersawa. Sehingga masyarakat di luar Pulau Jawa tidak bergantung dengan beras dari Pulau Jawa. Maka Orde Baru bilang kalau Indonesia swasembada beras. Bentuk keberhasilan pemerintah dalam bidang perekonomian. Padahal itu adalah kelebihan produksi di Pulau Jawa sendiri.

Kemudian seiring waktu, keadaan sosial masyarakat berubah. Ketika tanah-tanah warga berganti dengan kebun karet, kebun sawit atau sebagainya. Masyarakat tidak lagi memproduksi kebutuhan pokok mereka. Maka masyarakat menggantungkan pada hasil luar daerah, atau pembelian di tokoh atau pasar. Begitupun saat lahan penggembalaan ternak berkurang akibat perkebunan masyarakat. Menjadikan penduduk tidak lagi mau memelihara ternak sapi, kerbau dan kambing mereka.

Sering mereka mendapat masalah saat ternak-ternak tersebut masuk ke dalam kebun warga. Ayam kampung yang biasanya mudah berkembang. Namun kemudian secara masal diserang oleh sejenis penyakit, di kenal dengan flu burung. Saya berharap pemerintah menyelidiki tentang virus tersebut. Karena dikhawatirkan ada oknum yang bermain dalam menyebarkan penyakit tersebut.

Maka sejak virus itu menyerang di Indonesia ternak ayam kampung warga habis karena mati mendadak secara masal. Sehingga sekarang kebutuhan daging ayam di suplai dengan ayam ternak pedaging. Pada sektor perikanan di atas tahun 2000 terjadinya peracunan sungai, danau, sehingga ikan air tawar berkurang.

Faktor Sosial Ekonomi.
Sebagaimana diketahui makanan pokok orang Indonesia berbeda-beda. Terutama di Indonesia wilayah timur. Banyak penduduk Indonesia di berbagai wilayah belum menggantungkan makanan pokok pada beras. Seperti di Maluku, Papua, Madura, Sulawesi.

Penduduk-penduduk tersebut masih mengkonsumsi makanan pokok seperti jagung, ubi, sagu, dan jenis umbian lainnya. Memang sudah ada beberapa bagian yang mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok mereka. Sehingga ketergantungan dengan beras belum begitu tinggi. Sedangkan sentra beras dibangun secara luas di jawa. Tanpa mengukur jumlah konsumsi masyarakat kala itu.

Di pulau Jawa sebagai sentra penghasil beras tidak begitu berarti bagi wilayah di luar jawa. Masyarakat belum membeli dengan sepenuhnya beras dari Jawa. Sehingga membuat produksi beras hanya berkumpul di Pulau Jawa. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintahan  Otoriter Soeharto akhirnya membeli beras petani tersebut.

Maka beras dan gabah kering hasil petani di Jawa memenuhi gudang-gudang bulog pada masa itu. Sehingga Pemerintahan Otoriter Orde Baru pernah mengirimkan bantuan seratus ton beras ke Afrika (Ethiopia). Membuat anggapan dunia dan pengakuan Orde Baru bahwa Indonesia swasembada beras.

Untuk menghabiskan beras-beras tersebut juga memaksa Aparatur Negara mengkonsumsi beras berkualitas buruk itu, yang tertimbun dari gudang-gudang bulog dengan alasan, beras jatah dari negara. Baru pada masa revormasi jatah beras diganti dengan uang. Sehingga mereka dapat membeli sendiri beras yang berkualitas baik.

Dampak Kecerobohan Tersebut.
Di zaman sekarang ketika penduduk Pulau Jawa meningkat dua kali lipat lebih. Entah bagaimana itu dapat terjadi sebab apa yang di lakukan Orde Baru. Sawa banyak di timbun untuk pembangunan. Masyarakat di luar pulau Jawa tidak lagi memproduksi kebutuhan mereka sendiri. Sehingga kebutuhan beras akhirnya perlahan-lahan meledak dan terpaksa negara membeli keluar negeri (infor).

Penduduk di Indonesia Timur mulai mengkonsumsi beras. Meninggalkan makanan pokok mereka karena masa Orde Baru dirusak dengan beras. Seharusnya di dukung agar tidak membengkak keperluan beras dalam jangka panjang. Beras di Jawa perlahan hanya cukup memenuhi kebutuhan di Pulau Jawa tidak lagi seperti dulu sebab bertambahnya jumlah penduduk di Pulau Jawa.

Maka, bom waktu terjadi ekonomi Indonesia bergantung dari luar. Masihkan kita terjebak subjetivitas sejarah. Dengan bodoh percaya ada swasembada beras di zaman Pemerintahan Otoriter Orde Baru. Tidak, itu ketimpangan dan kecerobohan, arogansi dalam membangun ekonomi bangsa, dari paham sukuisme Soeharto. Kemudian menjadi bom waktu bagi perekonomian bangsa Indonesia.

Oleh. Joni Apero.
Editor. Selita. S.Pd.
Palembang, 12 September 2019.
Sumber foto. Anoname.

Sy. Apero Fublic