Artikel
Kampus
Mahasiswa
Opini
Pendidikan
Pendidikan Untuk Semua: Sekolah Rakyat Sebagai Wujud Pemerataan dan Keadilan Sosial
PENDIDIKAN UNTUK SEMUA: SEKOLAH RAKYAT SEBAGAI WUJUD PEMERATAAN DAN KEADILAN SOSIAL
Oleh: Dwi Salsabila Putri
Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
APERO FUBLIC I ARTIKEL.- Pendidikan merupakan hak fundamental setiap warga negara dan merupakan pilar utama dalam pembentukan keadilan sosial. Dalam konteks Indonesia, di mana kesenjangan sosial-ekonomi masih tinggi, wacana pendirian Sekolah Rakyat menjadi langkah strategis untuk mengatasi ketidaksetaraan akses pendidikan.
Melalui konsep sekolah gratis dengan fasilitas lengkap, pemerintah berupaya memastikan bahwa anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem tidak lagi terhambat oleh hambatan ekonomi dalam mengakses pendidikan berkualitas. Program ini bukan hanya menyediakan biaya sekolah, tetapi juga mencakup pembiayaan kebutuhan pendidikan secara menyeluruh seperti makanan, seragam, peralatan belajar, bahkan asrama.
Gagasan Sekolah Rakyat hadir sebagai respons terhadap masalah nyata, yakni masih banyak anak Indonesia yang tidak melanjutkan pendidikan karena biaya, lokasi sekolah yang jauh, serta kondisi keluarga yang tidak mendukung. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahuntahun sebelumnya, tingkat putus sekolah tertinggi terjadi pada kelompok keluarga menengahbawah, terutama ketika memasuki jenjang SMP dan SMA.
Dengan memusatkan fasilitas lengkap dalam satu institusi pendidikan gratis, Sekolah Rakyat diharapkan menjadi jaring pengaman sosial baru yang bertujuan memutus rantai kemiskinan antar generasi. Namun, seperti program pendidikan besar lainnya, implementasi Sekolah Rakyat tidak bisa terlepas dari berbagai tantangan struktural dan sosial yang harus diantisipasi sejak awal.
Tantangan Sekolah Rakyat Dalam Mewujudkan Pemerataan & Keadilan SOSIAL
Segregasi pendidikan berbasis kelas sosial menjadi isu yang sering mengemuka ketika konsep Sekolah Rakyat diperkenalkan. Sejumlah akademisi dari Kompas Pendidikan mengingatkan bahwa pemisahan siswa miskin dalam institusi pendidikan tersendiri dapat menciptakan stigma baru di tengah masyarakat.
Pemerhati pendidikan, Dr. Doni Koesoema, menegaskan bahwa “kualitas pendidikan tidak boleh dipisahkan berdasarkan status ekonomi karena akan membentuk kasta baru dalam sistem pendidikan.” Ia menambahkan bahwa upaya pemerataan seharusnya diwujudkan melalui integrasi antarlapisan sosial, bukan melalui pemisahan institusional yang dapat menimbulkan label sosial terhadap siswa dari keluarga miskin. Risiko ini perlu menjadi perhatian serius agar Sekolah Rakyat tidak dipersepsikan sebagai “sekolah khusus orang miskin.”
Kualitas guru dan tenaga pendidik yang belum merata menjadi persoalan lain yang berpotensi menghambat keberhasilan Sekolah Rakyat. Institusi ini membutuhkan pendidik dengan kompetensi pedagogis kuat serta kepekaan sosial, mengingat peserta didiknya berasal dari keluarga rentan yang membutuhkan pendekatan pembelajaran lebih adaptif. Namun, kajian DPR RI tahun 2025 menunjukkan bahwa banyak daerah di Indonesia masih kekurangan guru bersertifikat maupun pendidik dengan kemampuan pengajaran yang memadai.
Ketidakseimbangan distribusi tenaga pengajar ini dapat menyebabkan Sekolah Rakyat memiliki fasilitas lengkap, tetapi kualitas pembelajarannya tidak mencapai standar ideal yang diharapkan. Kesiapan pendanaan jangka panjang juga menjadi isu penting dalam implementasi Sekolah Rakyat. Menyelenggarakan pendidikan gratis dengan fasilitas penuh mulai dari makan, asrama, seragam, hingga layanan kesehatan membutuhkan biaya besar dan berkelanjutan.
Walaupun anggaran pendidikan Indonesia telah mencapai 20% dari APBN, laporan Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa porsi anggaran tersebut masih banyak terserap oleh belanja pegawai dan program rutin. Ekonom pendidikan Dr. Fahmi Radhi mengingatkan bahwa “program pendidikan gratis akan berumur pendek jika tidak disokong manajemen pembiayaan jangka panjang dan sumber dana alternatif.” Tanpa strategi pendanaan yang stabil, keberlanjutan Sekolah Rakyat dapat terancam.
Kesiapan infrastruktur menjadi tantangan lain yang harus dihadapi, terutama dalam pembangunan 53 Sekolah Rakyat yang ditargetkan beroperasi pada tahun 2025. Berbagai kajian menunjukkan bahwa lahan, bangunan, dan akses transportasi masih menjadi kendala serius, terutama di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Padahal, tujuan utama Sekolah Rakyat adalah menjangkau daerah-daerah yang paling sulit mengakses pendidikan formal.
Jika lokasi sekolah berada jauh dari permukiman dan ditunjang transportasi terbatas, maka upaya pemerataan pendidikan sulit tercapai sepenuhnya, meskipun biaya pendidikan telah digratiskan. Dampak psikologis dan sosial terhadap peserta didik juga perlu diperhitungkan. Anakanak dari keluarga miskin dapat mengalami rasa terisolasi atau mengembangkan identitas inferior ketika menempuh pendidikan dalam sistem yang secara implisit menandai mereka sebagai kelompok kurang mampu.
Psikolog pendidikan, Dra. Yulita Suherman, M. Psi, menjelaskan bahwa “penempatan anak berdasarkan status ekonomi dapat menimbulkan identitas inferior yang berdampak jangka panjang terhadap rasa percaya diri dan motivasi belajar.” Pengalaman negara seperti Amerika Serikat sebelum reformasi pendidikan publik menunjukkan bahwa segregasi ekonomi di sekolah dapat memperlebar jurang ketimpangan prestasi dan kesejahteraan psikologis siswa.
Pengawasan dan akuntabilitas dalam pengelolaan Sekolah Rakyat juga menjadi perhatian khusus. Model sekolah berasrama dengan kebutuhan logistik besar sangat rentan terhadap penyalahgunaan anggaran jika tidak diawasi dengan mekanisme yang ketat. Laporan Ombudsman RI mencatat bahwa berbagai program bantuan pendidikan sebelumnya sering menghadapi masalah transparansi pada aspek pengadaan barang, distribusi bantuan, serta manajemen internal. Tanpa audit dan monitoring berkelanjutan, Sekolah Rakyat dapat menghadapi risiko serupa, sehingga tujuan pemerataan sosial dan keadilan pendidikan sulit diwujudkan secara optimal.
Solusi Inovatif: Implementasi & Dampak Sekolah Rakyat
Solusi inovatif yang perlu diterapkan adalah membangun ekosistem pembelajaran yang inklusif agar Sekolah Rakyat tidak berkembang menjadi institusi “khusus keluarga miskin”. Model integrasi kegiatan antara Sekolah Rakyat dan sekolah reguler seperti proyek kolaboratif, kompetisi gabungan, serta kegiatan lintas sekolah dapat mengurangi stigma sosial.
Negaranegara Skandinavia telah lama menerapkan metode integrasi semacam ini untuk mencegah segregasi ekonomi dalam pendidikan. Penelitian dari Finlandia menunjukkan bahwa interaksi lintas kelas sosial mampu meningkatkan rasa percaya diri siswa dari latar ekonomi rendah dan memperkuat solidaritas sosial. Pendekatan ini membuat Sekolah Rakyat tidak menjadi simbol kemiskinan, melainkan bagian dari jaringan pendidikan berkeadilan.
Peningkatan kualitas guru harus dilakukan melalui program pelatihan berkelanjutan yang memberikan keterampilan pedagogis, literasi digital, serta kompetensi penguatan karakter sosial-emosional. Guru di Sekolah Rakyat menghadapi siswa dengan kerentanan sosial lebih tinggi sehingga pendekatan yang humanis sangat penting.
Negara seperti Jepang menggunakan sistem lesson study untuk memastikan guru terus berkembang melalui kolaborasi dan evaluasi teman sejawat. Jika pola ini diterapkan di Sekolah Rakyat, guru tidak akan bekerja sendiri, melainkan mendapatkan dukungan profesional yang kuat. Dengan guru yang kompeten dan empatik, atmosfer belajar akan lebih aman, nyaman, dan mendorong anak untuk mencapai potensinya.
Untuk memastikan keberlanjutan Sekolah Rakyat, dibutuhkan strategi pendanaan inovatif yang tidak sepenuhnya bergantung pada APBN/APBD. Pemerintah dapat menggandeng CSR perusahaan, lembaga filantropi, BUMN, dan organisasi non-profit seperti yang dilakukan oleh Korea Selatan dalam membiayai sekolah inklusif mereka.
Model publicprivate partnership ini terbukti mampu menjaga stabilitas pendanaan jangka panjang, terutama untuk fasilitas asrama, gizi, layanan kesehatan, serta pengembangan kurikulum. Dengan diversifikasi sumber dana, Sekolah Rakyat dapat tetap beroperasi tanpa mengurangi kualitas layanan pendidikan, bahkan dapat mengembangkan program unggulan berbasis vokasi, teknologi, atau pemberdayaan masyarakat.
Pemanfaatan teknologi menjadi solusi yang sangat relevan bagi Sekolah Rakyat. Platform digital dapat digunakan untuk real-time monitoring anggaran, sistem pembelajaran adaptif, dan pelatihan guru berbasis daring. Estonia negara dengan sistem pendidikan digital paling maju di dunia berhasil meningkatkan kualitas pendidikan pedesaan melalui teknologi murah seperti cloud learning dan digital audit tools.
Jika diadaptasi di Indonesia, teknologi dapat membantu memastikan keterbukaan pengelolaan sekolah, memperluas akses belajar, serta memudahkan supervisi dari pusat. Dampaknya, kualitas Sekolah Rakyat di daerah terpencil tetap dapat disetarakan dengan sekolah di kota besar, sehingga pemerataan pendidikan semakin realistis.
SIMPULAN & HARAPAN
Dari berbagai tantangan dan solusi yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa Sekolah Rakyat merupakan salah satu instrumen strategis dalam mewujudkan pemerataan dan keadilan sosial di Indonesia. Konsep ini menawarkan model pendidikan yang tidak hanya menyediakan sekolah gratis, tetapi juga menghadirkan lingkungan belajar yang holistik melalui asrama, gizi yang baik, bimbingan sosial, dan fasilitas kesehatan.
Dengan pendekatan yang lebih komprehensif, Sekolah Rakyat berupaya mengurangi ketimpangan akses pendidikan yang selama ini menjadi masalah kronis, terutama bagi anak-anak dari keluarga miskin, daerah 3T, serta kelompok rentan lainnya.
Meskipun dirancang untuk membantu siswa dari kelompok ekonomi bawah, Sekolah Rakyat tidak boleh hanya menjadi sekolah gratis. Mutu pembelajaran, kualitas guru, pengelolaan yang profesional, dan fasilitas yang memadai harus menjadi pilar utamanya. Pengalaman negara seperti Finlandia, Jepang, dan Korea Selatan menunjukkan bahwa kualitas adalah faktor penentu keberhasilan program pemerataan pendidikan. Tanpa standar mutu tinggi, Sekolah Rakyat berisiko menjadi sekolah kelas dua yang justru memperkuat stigma sosial.
Kesimpulan penting lainnya adalah bahwa keberhasilan Sekolah Rakyat tidak hanya ditentukan oleh aspek teknis, tetapi juga oleh kesiapan sistemik. Masalah distribusi guru, budaya sekolah, sistem pengawasan, pendanaan berkelanjutan, serta infrastruktur daerah harus dipandang sebagai tantangan struktural yang memerlukan intervensi dari pemerintah pusat hingga daerah. Tanpa pembenahan sistemik, program Sekolah Rakyat dapat terjebak dalam masalah klasik yang selama ini menghambat transformasi pendidikan nasional.
Program ini juga perlu memastikan bahwa siswa tidak distigmatisasi sebagai “kelompok kurang mampu.” Pendidikan inklusif harus menjadi prinsip dasar agar Sekolah Rakyat justru menjadi contoh integrasi sosial. Pembelajaran lintas sekolah, kegiatan kolaboratif, dan program pertukaran dapat mencegah segregasi ekonomi dalam pendidikan. Ini sejalan dengan rekomendasi UNICEF dan UNESCO yang menekankan pentingnya integrasi sosial sebagai indikator keadilan pendidikan. Peran teknologi digital menjadi simpulan penting yang harus digaris bawahi.
Teknologi memungkinkan pengawasan transparan, pelatihan guru jarak jauh, penggunaan platform pembelajaran adaptif, hingga pemerataan akses materi berkualitas tinggi. Jika dimanfaatkan dengan tepat, teknologi dapat mengurangi kesenjangan mutu antara Sekolah Rakyat di kota dan di daerah terpencil. Indonesia dapat mencontoh Estonia dan Singapura yang berhasil memanfaatkan teknologi untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih merata.
Pada akhirnya, Sekolah Rakyat bukan sekadar solusi pendidikan jangka pendek, tetapi investasi jangka panjang yang dapat mengubah struktur sosial masyarakat. Anak-anak dari keluarga miskin yang mendapatkan pendidikan berkualitas berpeluang besar memutus rantai kemiskinan antargenerasi. Karena itu, program ini merupakan strategi pembangunan inklusif yang harus dijalankan secara konsisten, berkelanjutan, dan berbasis data.
Harapannya, Sekolah Rakyat dapat menjadi model nasional yang merevolusi cara Indonesia memandang pendidikan. Bukan lagi sekadar layanan dasar, tetapi sebagai fondasi kesetaraan sosial. Ketika sekolah menjadi ruang bagi semua anak untuk berkembang, perbedaan latar belakang sosial tidak lagi menjadi penghalang untuk bermimpi besar.
Pemerintah diharapkan tidak hanya fokus pada pembangunan fisik, tetapi juga menjamin keberlanjutan anggaran, peningkatan kualitas guru, serta pengawasan yang ketat. Program ini harus didukung oleh kebijakan yang berbasis data, evaluasi berkala, dan mekanisme audit yang transparan. Dengan pengelolaan yang baik, Sekolah Rakyat dapat menjadi bukti nyata bahwa negara hadir untuk rakyat yang paling membutuhkan.
Guru-guru yang bertugas di Sekolah Rakyat diharapkan memiliki semangat pengabdian yang tinggi. Mereka tidak hanya mengajar, tetapi juga membimbing, memotivasi, dan menjadi teladan bagi siswa yang mungkin mengalami tekanan sosial, ekonomi, atau psikologis. Dengan dukungan pelatihan yang memadai, guru dapat menjadi aktor utama dalam menciptakan lingkungan belajar yang menyembuhkan dan memberdayakan. Masyarakat diharapkan turut berperan dalam mendukung keberlanjutan program ini melalui budaya gotong royong, keterlibatan komunitas, serta kepedulian sosial.
Orang tua perlu memahami bahwa Sekolah Rakyat bukan tempat “mengirimkan anak karena keterpaksaan,” tetapi peluang emas untuk mengubah masa depan. Kolaborasi masyarakat dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih sehat dan lebih stabil. Harapan terbesar tentu tertuju kepada para siswa.
Melalui Sekolah Rakyat, mereka diharapkan tumbuh menjadi generasi yang mandiri, percaya diri, serta mampu bersaing secara nasional maupun global. Dengan pendidikan berkualitas, karakter kuat, dan dukungan lingkungan yang positif, siswa dapat mematahkan stigma sosial yang selama ini melekat pada kelompok miskin.
Akhirnya, Sekolah Rakyat diharapkan menjadi simbol optimisme Indonesia menuju masa depan yang lebih adil dan setara. Jika dijalankan dengan konsisten, program ini dapat menjadi tonggak sejarah baru dalam pembangunan manusia Indonesia. Harapannya, 10–20 tahun mendatang, lulusan Sekolah Rakyat tumbuh menjadi pemimpin, inovator, profesional, dan warga negara yang berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Dengan pendidikan yang inklusif, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
Editor. Tim Redaksi
Source dan gambar : Penulis
Sy. Apero Fublic
Via
Artikel

Post a Comment