Kampus
Mahasiswa
Opini
Pendidikan
Dampak Keluarga Broken Home Terhadap Perkembangan Peserta Didik
APERO FUBLIC I KAMPUS.- Dampak Keluarga Broken Home Terhadap Perkembangan Peserta Didik Pendidikan adalah pondasi utama dalam perkembangan anak, dan lingkungan keluarga memiliki peran penting dalam membentuk sikap dan prestasi belajar siswa. Lingkungan pertama yang memiliki peran penting adalah keluarga, tempat di mana anak dilahirkan, dirawat, dan dibesarkan. Di sinilah proses pendidikan dimulai, dengan orang tua sebagai guru pertama dan utama bagi anak (Lubis et al., 2021).
Fenomena terkini menunjukkan bahwa banyak siswa yang mengalami masalah perilaku di sekolah akibat minimnya peran keluarga serta kondisi kelurga yang tidak stabil. Siswa dari keluarga yang harmonis cenderung lebih disiplin, aktif, dan berprestasi, sedangkan siswa dari keluarga dengan masalah internal menunjukkan sikap yang kurang terarah, kurang motivasi, atau kesulitan dalam memahami pelajaran. Keluarga dapat berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang mendukung perkembangan anak menuju kondisi yang lebih baik. Namun, di sisi lain, keluarga juga bisa menjadi sumber krisis bagi anak (Rambe, 2019).
Kondisi keluarga yang harmonis dan penuh kehangatan dapat mendorong anak untuk lebih disiplin dalam belajar. Sebaliknya, ketika keluarga tidak harmonis, kurang memberikan kenyamanan, orang tua terlalu sibuk dengan urusan pribadi, dan kebutuhan belajar anak tidak terpenuhi, dapat menyebabkan anak menjadi malas belajar, yang mengakibatkan pencapaian hasil belajar menjadi tidak optimal (Fadhilah & Mukhlis, 2021).
Dari beberapa data yang penulis temukan bahwasannya banyak anak yang mengalami keputusasaan dalam hidupnya dikarenakan menjadi korban atas keluarga yang broken home. Bahkan ada beberapa anak dari broken home yang merasa putus asa dengan hidupnya sehingga ia melakukan hal- hal negatif seperti mulai merokok, narkoba dan minuman keras dan hal- hal negatif yang didapatkan dari lingkungan pergaulannya. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan generasi di Indonesia jika banyak anak yang terlahir menjadi broken home.
Argumentasi:
Angka broken home di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang luar biasa, tercatat pada tahun 2015, angka perceraian terdapat sekitar 350 ribu pasangan keluarga yang bercerai. Namun pada tahun 2021, perceraian di Indonesia meningkat menjadi sebanyak 580 ribu. Kata Broken home berasal dari dua kata yaitu broken dan home. Broken berasal dari kata break yang berarti keretakan, sedangkan home mempunyai arti rumah atau rumah tangga.
Broken home dapat dikatakan sebagai kekacauan dalam sebuah keluarga. (Mistiani, 2020). Kekacauan dalam keluarga merupakan bahan pengujian umum karena semua orang mungkin saja terkena salah satu dari berbagai jenisnya, dan karena pengalaman itu biasanya dramatis, menyangkut pilihan moral dan penyesuaian - penyesuaian pribadi yang dramatis. Sehingga ada 580 ribu (keluarga) broken home.
Mungkin juga ada anak-anak dari keluarga yang akhirnya kurang mendapatkan perhatian karena orang tuanya harus berpisah.. Mungkin juga ada anak-anak dari keluarga yang akhirnya kurang mendapatkan perhatian karena orang tuanya harus berpisah. Anak-anak dari keluarga broken home rentan mengalami berbagai masalah seperti gangguan emosional dan perilaku, kesulitan sosial, serta gangguan kesehatan mental lainnya. (Konaldi, DKK. 2024).
Namun, dalam proses pembelajaran kurangnya peran keluarga yang mendukung menjadi salah satu kendala utama dalam pembelajaran siswa. Siswa dari keluarga yang mengalami konflik atau kurang mendapatkan perhatian sering kali merasa tidak siap menghadapi tantangan akademik. Hal ini tercermin pada kesulitan mereka dalam mata pelajaran yang memerlukan konsentrasi tinggi, seperti matematika. Sebagian siswa merasa kurang termotivasi untuk menyelesaikan tugas sekolah, terutama karena minimnya bimbingan dari orang tua.
Beberapa siswa bahkan cenderung bergantung pada teman-temannya untuk menyelesaikan tugas."Anak-anak dari keluarga yang kurang perhatian cenderung kesulitan memahami pelajaran. Mereka membutuhkan lebih banyak arahan dari guru di kelas," (Wali Kelas IV SDN Belitung Selatan 7) tulis penulis pada jurnal. (Fauzah, DKK. 2024).
Salah satu dampak yang muncul akibat keluarga yang broken home yaitu perikembangan sosial peserta didik. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan maka diketahui ada beberapa permasalahan tentang Dampak Keluarga Broken hometerhadap Perilaku Sosial Anak di Desa Limbatihu Kecamatan Paguyaman Pantaiyaitu, 2)Membenci Kedua orang tuanya3)Mudah Mendapat Pengaruh Buruk Dari Lingkungannya4)Memandang Jika Hidup Adalah Sia Sia5)Tidak mudah bergaul6)Permasalahan Pada Moral. Berikut beberapa pembahasannya:
1. Membenci Kedua Orang Tua
Berdasarkan hasil temuan penelitian melalui wawancara bahwa anak Broken homecenderung menyalahkan orangtua bahkan membenci orang tuanya karena anak kurang mendapat kasih sayang dari orang tuanya sendiri. Perhatian yang diperlukan anak dari orang tuanya adalah disayangi dengan sepenuh hati dalam bentuk komunikasi verbal secara langsung dengan anak, meski hanya menanyakan aktivitas sehari-harinya. Karena anak sangat membutuhkan sentuhan dari orang tuanya, dalam bentuk sentuhan hati yang berupa empati dan simpati untuk membuat anak menjadi peka terhadap lingkungannya. Akan tetapi perhatian dan sentuhan tersebut tidak pernah dirasakan oleh anak Broken homeyang ada di Desa Limbatihu sejak ketidakutuhan keluarganya.
2. Mudah Mendapat Pengaruh Buruk Dari Lingkungan
Berdasarkan hasil temuan dilapangan bahwa beberapa anak Broken homedi Desa Limbatihu Kecamatan Paguyaman Pantai Kabupaten Boalemo cenderung mudah dipengaruhi oleh lingkukan karena tempat satu-satunya yang menjadi pelarian anak adalah lingkungan teman-temannya, karena lingkungan inilah yang merupakan tempat satu-satunya bagi anak untuk mencari hiburan dan bersosialisasi. Sehingga ini akan berpengaruh terhadap prilaku anak ketika dia akan bergaul dalam lingkungan yang buruk maka sudah tentu itu akan berpengaruh terhadap perilaku anak.
Hal ini terjadi ketika kondisi rumah dan keluarga menjadi tidak nyaman, maka anak akan berusaha untuk mencari tempat lainnya yang dijadikan sebagai tempat saling berbagi dan menghibur dirinya. Saat kondisi seperti ini, maka teman-teman sepermainannya akan menjadi tujuan sebagai pengganti keluarga. Jika lingkungan pertemanannya kurang baik, maka tentu saja anak akan sangat mudah terpengaruh untuk melakukan perilaku menyimpang sebagai pelarian untuk mendapatkan kebahagiaan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh anak dari keluarga Broken homedi Desa Limbatihu kecamatan Paguyaman pantai Kabupaten Boalemo sebagai informan yang diwawancarai oleh peneliti.
3. Tidak Mudah Bergaul
Berdasarkan hasil temuan dilapangan bahwa beberapa anak Broken homecenderung menarik diri dari lingkungan sosial karena dia merasa malu dengan kondisi keluarganya dan iapun merasa iri dengan teman-temannya yang selalu mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya. Pada dasarnya anak-anak Broken homememiliki sifat pendiam, menarik diri dan menyendiri. Hal ini sesuai dengan fakta dilapangan yang ditemukan oleh peneliti bahwa anak-anak broken homedi Desa Limbatihu sangat sulit untuk bergaul. Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya dorongan social tehadap anak tersebut.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Alfred Adler bahwa pada dasarnya manusia adalah mahluk social. Dorongan social merupakan dorongan yang bersifat herediter atau bawaan genetis, yang kemudian mendapat stimulus-stimulus untuk pertumbuhan perkembangannya dari lingkungan sosialnya. Ia pun menjelaskan bahwa dorongan social sangat penting bagi anak broken home. Dengan adanya dukungan social dari lingkungan sosialnya maka pengalaman dalam hal Problem Solving masalah keluarga yang dihapainya akan didapatkannya.
4. Permasalahan Pada Moral
Berdasarkan hasil penelitian bahwa anak yang lahir dari latar belakang keluarga broken homesaat anak dalam masa perkembangannya, maka tentu saja anak akan selalu berada di dalam kondisi pertengkaran pertengkaran dengan orang tua yang secara tidak langsung membentuk kepribadian anak menjadi kasar dan keras. Namun seiring dengan berjalannya waktu, anak juga akan terbiasa untuk melakukan tindakan tindakan seperti yang dilihat pada orang tuanya seperti bertengkar, berperilaku kasar, emosional, dan bertindak. (Massa, DKK. 2020).
Reiterasi
Kondisi keluarga broken home memiliki peran krusial dalam mempengaruhi perkembangan anak dan prestasi akademiknya. Sebagai lingkungan pertama yang mendidik, keluarga yang tidak stabil dapat menyebabkan berbagai masalah pada anak, seperti gangguan emosional, kesulitan sosial (sulit bergaul, mudah terpengaruh lingkungan buruk), penurunan motivasi belajar, dan masalah moral. Data menunjukkan bahwa jumlah keluarga broken home di Indonesia mencapai sekitar 580 ribu pada tahun 2021, yang menjadi perhatian karena potensi dampaknya terhadap generasi muda.
Meskipun demikian, keluarga broken home bukan akhir dari masa depan anak — dengan dukungan yang tepat dari orang tua (meskipun berpisah), sekolah (melalui pemantauan dan konseling), pemerintah dan lembaga sosial (layanan yang terjangkau), serta masyarakat (tanpa stigma dan penuh empati), dampak negatif tersebut dapat diminimalkan dan anak tetap dapat berkembang dengan baik. Keluarga broken home bukanlah akhir dari masa depan anak, namun dampaknya dapat sangat serius jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat. Gangguan emosi seperti kecemasan, rasa tidak aman, dan rendahnya kepercayaan diri sering muncul dan dapat berlanjut hingga dewasa. Masalah ini tidak hanya menjadi persoalan keluarga, tetapi juga masalah sosial yang memengaruhi generasi masa depan. Oleh karena itu, dukungan dari keluarga, sekolah, dan masyarakat sangat dibutuhkan.
Saran yang dapat penulis berikan yang pertama untuk orang tua yaitu menghindari pertengkaran di depan anak, tetap memberikan kasih sayang mekipun sudah berpisah, menjalin komunikasi yang jujur dan damai dengan anak, mengajak anak berdiskusi agar mereka tidak memendam perasaan, serta mengatur pengasuhan bersama secara jelas dan konsisten.
Selanjutnya,saran untuk sekolah seperti memantau perubahan perilaku anak, memberikan ruang konseling bagi anak yang membutuhkan, dan membangun lingkungan yang aman dan suportif bagi siswa, kemudian untuk Pemerintah dan Lembaga Sosial seperti menyediakan layanan konseling keluarga yang terjangkau, mengadakan pelatihan parenting untuk masyarakat, serta meningkatkan kampanye kesadaran tentang dampak broken home. Terakhir, saran untuk masyarakat yaitu menghindari stigma terhadap keluarga broken home, mendukung anak dengan perhatian dan empati, dan menciptakan lingkungan sosial yang peduli terhadap perkembangan anak.
Referensi:
Konaldi, H. Burbana, M. Sonia Dara, A. (2024). Dampak keluarga broken home terhadap prilaku sosial anak. Primary education journal. 4(2).
Fauzah, A. Suriansyah, A. DKK. (2024). Peran Keluarga Terhadap Perilaku dan Prestasi Siswa. Jurnal teknologi pendidikan dan pembelajaran.
Massa, N. Rahman, M. Napu, Y. (2020). Dampak Keluarga Broken Home Terhadap Perilaku Sosial Anak. Jembura Jurnal of Community Empowernment. 1(1), 1-12.
Oleh: Yeti Ramadhani dan Nova Melinda
Mahasiswi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Pamulang.
Editor. Tim Redaksi
Sy. Apero Fublic
Via
Kampus


Post a Comment