APERO FUBLIC.- Dikisahkan
pada zaman dahulu ada sebuah Talang terletak di sisi Sungai Keruh. Talang
tersebut bernama Talang Gajah Mati, dipimpin seorang Datu, bernama Puyang
Dapunta Lang Panarap. Pada masa itu, penduduk belum begitu banyak, kehidupan
masih sangat sederhana, rumah-rumah di Talang mereka berupa pondok sederhana
yang beratap daun rumbiah, berdinding kulit pohon, berlantai bilah bambu.
Perahu dan rakit tertambat di tepian, di belakang rumah penduduk ditanami
buah-buahan seperti kelapa, pisang, duku, padare, durian, dan bermacam pohon
buah lainnya. Untuk mengharumkan makanan dan minuman, penduduk menanam pandan
di sekitar rumah.
Alkisah pada suatu
masa, penduduk Talang Gajah Mati diganggu oleh mahluk aneh yang tinggal di
dalam sungai. Makhluk tersebut bercirikan; berambut sangat panjang dan berwajah
mengerikan, bertaring, mata berwarna merah, kuku tangan dan kuku kaki panjang,
tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Rambut panjang makhluk itu digunakan untuk
menangkap anak-anak yang sedang mandi di sungai. Dengan rambutnya membelit
tubuh manusia, lalu menarik ke dalam Sungai Keruh. Kemudian menghilang dan
korban tidak ditemukan lagi. Penduduk menamakan makhluk itu dengan Duguk atau
Hantu Air. Sudah puluhan anak-anak yang hilang menjadi korban makhluk itu,
dalam satu tahun.
Belum pulah dapat
diatasi masalah dan musibah yang disebabkan oleh hantu air atau Duguk. Penduduk
Talang Gajah Mati dan seluruh kawasan Dataran Negeri Bukit Pendape atau Marga
Sungai Keruh dilanda wabah penyakit yang ditularkan oleh nyamuk (malaria). Satu
demi satu penduduk sakit dan meninggal sebab wabah tersebut. Hampir setiap
minggu ada penduduk yang sakit dan meninggal dunia sebab penyakit itu. Untuk
mencari solusi masalah tersebut, bermusyawarahlah Datu Talang Gajah Mati dan
warganya.
Siang itu,
berkumpulah warga di halaman rumah Datu, Puyang Dapunta Lang Panarap. Banyak
ide-ide dan saran-sarang bagaimana menangkap hantu air dan mengatasi wabah
penyakit karena gigitan nyamuk. Nyamuk sangat banyak, untuk mengatasi nyamuk
tersebut warga menyalakan api siang dan malam. Ada juga yang mengoleskan minyak
kelapa. Namun tetap saja nyamuk tidak dapat diatasi. Dalam musyawarah itu,
berkatalah seorang lelaki tua pada Datu.
“Datu, bagaimana
kiranya kita mengatasi musibah melanda kita ini?. Ada baiknya datu memberikan
keputusan agar musyawarah kita ini ada maknanya.” Dari tadi kita berkata dan
berucap, dengan segalah saran. Ujar si orang tua pertama kalinya dia bersuara.
“Uwa, tentu memiliki
pengetahuan yang lebih dari saya dan kami semua. Pengalaman hidup yang jauh
lebih banyak dari kami?.” Kata Datu.
“Betullah Uwa
Malinau, berilah nasihat pada kami semua?.” Seorang lelaki berumur empat
puluhan tahun berkata. Uwa Malinau tampak diam beberapa saat. Dia sepertinya
berpikir keras dan berusaha mengingat sesuatu. Menarik napas dalam-dalam lalu
menghembuskan nafasnya perlahan-lahan.
“Dulu pernah ada
bencana serangan harimau, yang banyak memakan korban di kawasan kita ini. Lalu
datu kita waktu itu menemui Puyang Burung Jauh. Untuk meminta nasihat bagaimana
cara mengatasi serangan harimau.” Kata Uwa Malinau.
“Bagaimana cara
menemui dan dimana pula tempat Puyang Burung Jauh?.” Tanya Datu.
“Aku tidak yakin,
sebab Puyang Burung Jauh tidak menetap tinggalnya. Dia seorang manusia ndikat,
suka mengembara dan tinggal di tempat sepi. Tapi cobalah datu bertapa di bukit
Pendape. Niatkanlah bertemu dengan Puyang Burung Jauh.” Jelas Uwa Malinau. Datu
menyanggupi dan dia bersegerah bersiap untuk bertapa. Sebagai pemimpin dia
bertanggung jawab atas keselamatan rakyatnya. Keesokan harinya Datu Talang
Gajah Mati berangkat ke Bukit Pendape, dikawal oleh seorang hulubalang dan tiga
puluh prajurit. Perbekalan mereka untuk seminggu dibawa dengan keranjang.
Tibalah di Bukit
Pendape, Datu Talang Gajah Mati bertapa di sebuah gua kecil.
Pengawalnya menjaga dan mengurusi keperluannya. Hari pertama, kedua, dan baru
hari ketiga datu di datangi Puyang Burung Jauh. Dia menyerupai burung Bud-Bud
yang hinggap di sisi Datu.
“Ada apa kau memanggilku, cucuku?.” Tanya Puyang
Burung Jauh.
Datu menceritakan
tentang musibah yang dia hadapi bersama rakyatnya. Puyang Burung Jauh mengerti
dan berjanji akan membantu mengatasi permasalahan mereka. Sebelum pergi dia
meminta Datu Lang Panarap untuk menghentikan pertapaanya, pulang. Kabarkan
berita gembira pada seluruh rakyat di Kawasan Dataran Negeri Bukit Pendape atau
Marga Sungai Keruh. Setelah itu, Puyang Burung Jauh pergi dan menghilang entah
kemana. Sementara itu, hulubalang dan pasukannya hanya melihat seeokor burung
Bud-bud yang hinggap di sisi Datu, dan terus berbunyi-bunyi.
“Buddd...Buddd.”
“Aiiiii, bud-bud
Itu!!. Mengganggulah dia, biar Aku usir.” Kata seorang prajurit yang sangar,
dan berbadan kekar lagi tinggi.
“Janganlah, biarlah.
Hanya burung bud-bud tidak berbahaya.” Kata teman di sisinya. Burung bud-bud
terbang jauh, datu kemudian membuka matanya, lalu berdiri. Dia melangkah ke tempat
peristirahatan yang terbuat dari kayu-kayu menyerupai kursi dan duduk. Lalu
beberapa prajurit dan hulubalang datang menghampiri Datu.
“Bagaimana Datu?.”
“Sekarang kita bersiap untuk pulang, sudah
selesai.” Jawab Datu.
“Apakah Puyang Burung
Jauh sudah menemui Datu?.” Tanya Hulubalang.
“Sudah.” Jawab Datu
singkat, kemudian dia mengambil bumbung bambu yang berisi air minum, lalu
menegakkannya, terdengar suara regukan air, tampaknya dia begitu haus.
“Apa yang dikabarkannya?.” Tanya seorang Prajurit.
“Tidak ada, yang dia
katakan agar kita segerah pulang.” Jawab Datu, semua menjadi penuh tanda tanya.
Ada yang berpikir untuk apa mereka bersusah payah ke Bukit Pendape yang memakan
waktu tiga hari-tiga malam naik turun bukit, kalau hanya diminta pulang. Namun
semua tidak berani membangkang dan menuruti semua perintah Puyang Lang Panarap
sebagai Datu Talang Gajah Mati. Semua mulai bersiap, ibat, air minum, dan obor kutingdinyalahkan. Sebab mereka akan membutuhkan tujuh hari baru
sampai di Talang.
*****
Sementara itu, burung
bud-bud yang tadi menemui Datu Puyang Lang Panarap terus terbang tinggi dan
jauh, berminggu-minggu. Dia melewati hutan-hutan, menyemberangi sungai, danau,
lautan dan melintasi pegunungan. Kadang pula dia terbang melintasi gurun yang
panas tanpa pepohonan. Kini burung bud-bud sampai di sebuah negeri yang makmur
sekali. Rakyatnya sejahtera dan damai, kota yang indah yang dijaga
prajurit-prajurit bersenjata lengkap. Burung bud-bud hingga di atas sebuah
menara istana. Dia memperhatikan taman istana kerajaan yang sangat megah dan
indah. Kemudian burung bud-bud berbunyi lantang dan keras.
“Buddddd. Buddddd.
Buddddd.” Suara keras dan berulang-ulang mengusik penghuni istana. Beberapa
prajurit berusaha mengusir burung, namun tidak berhasil. Sehingga mereka
terpaksa melaporkan pada raja pemilik istana.
“Ampun Baginda
Sulaiman, seekor burung tersesat sepertinya datang ke istana dan membuat
bising, sehingga menggangu semua orang.” Kata prajurit pada Baginda Sulaiman.
“Burung tersesat atau dia sengaja datang
menghadap?.” Tanya Raja negeri itu.
“Tidak pasti Baginda,
burung itu kalau saya amati bukan dari kawasan kita. Tapi dari negeri yang jauh
sekali.” Jawab Prajurit.
“Begitu, baiklah aku
akan menemuinya.” Kata Baginda Sulaiman dan dia bangkit dari singgasananya,
lalu berjalan keluar. Prajurit mengikuti dari belakang, mengantar. Tibalah
baginda Sulaiman dimana keberadaan burung bud-bud. Prajurit menunjuk menara
istana, tampak seekor burung bertengger dengan santainya.
“Wahai tamu dari
jauh, ada apa kiranya kau datang ke istanaku?.” Tanya Baginda Sulaiman. Burung
bud-bud tentu mengerti apa yang diucapkan baginda Sulaiman. Sebab
salah satu mujizat dari Baginda Sulaiman adalah mengerti bahasa-bahasa hewan.
Mendengar itu, burung bud-bud terbang merendah dan mendekat baginda Sulaiman.
Dia mengucap salam dan memberi penghormatan. Tentu saja para prajurit hanya
mendengar suara bud-bud saja dan tidak mengerti. Sedangkan baginda Sulaiman
sangat mengerti dan menilai burung bud-bud sangat sopan.
“Maaf baginda
Sulaiman, Khalifah di bumi. Aku membawa kabar dari Negeri Melayu yang jauh.
Rakyatnya dalam masalah besar, sebab serangan wabah yang dibawah oleh nyamuk
dan musibah yang disebabkan oleh jin penunggu sungai yang dinamakan mereka
dengan Duguk. Oleh sebab itulah, saya datang menghadap baginda yang muliah.”
Kata burung Bud-bud.
“Oh, begitu kiranya.
Baiklah aku akan datang membantu mengatasi masalah mereka.” Ujar Baginda
Sulaiman. Para prajurit hanya diam saja, tapi mereka tidak merasa aneh, sebab
memang mereka sudah tahu mujizat baginda Sulaiman yang mengerti bahasa
hewan-hewan.
“Angin, datanglah
kita akan berpergian jauh.” Kata baginda Sulaiman memerintahkan angin. Mujizat
baginda Sulaiman juga dapat memerintahkan dan mengendarai angin. Angin datang
menerbangkan sebuah karpet merah. Baginda Sulaiman mengambil tongkatnya, dan
meminta burung bud-bud untuk terbang bersamanya. Burung bud-bud melompat ke
atas karpet yang mengambang di udara. Setelah itu karpet dibawa angin terbang
dengan cepat sekali. Di sepanjang perjalanan burung bud-bud bercerita tentang
negeri Melayu yang berpulau-pulau dan subur. Sekarang perjalanan mereka sudah
memasuki kawasan negeri melayu, hutan yang lebat dan banyak sungai, danau, lebung, benca dan bencani.
Memasuki hutan tropis, angin membawa mereka terbang dengan cepat, tanpa sengaja
tangan baginda Sulaiman terkena onak rotan.
“Auuuuuu.” Baginda
Sulaiman terkejut dan terpekik. Tangannya berdarah sebab terkait onak berduri
yang tajam.
“Angin, pelan-pelan
sebab disini hutannya lebat dan banyak onaknya.” Ujar burung bud-bud, dia
menjadi penujuk jalan. Angin menurunkan kecepatan terbangnya, dan mulai terbang
rendah. Mereka menemukan Sungai Musi, lalu terbang ke hulu menuju Sungai Keruh
anak Sungai Musi. Lalu tibahlah burung bud-bud dan baginda Sulaiman di sisi
Talang Gajah Mati. Mereka berhenti, baginda Sulaiman turun diikuti burung
bud-bud. Mereka memperhatikan pemukiman sepi, tapi banyak asap mengepul
pengusir nyamuk. Ternak berkeliaran, kerbau, sapi, kambing, ayam dan itik.
Sedangkan penduduk mulai dari anak-anak dan dewasa mengurung diri di dalam
rumah.
*****
Dua orang lelaki tua
berjalan perlahan-lahan memasuki Talang Gajah Mati. Mereka mampir di sebuah
rumah warga, lalu meminta air minum serta menumpang istirahat. Kedua orang tua
bertongkat itu, disambut pemiliki rumah dengan ramah.
“Mari masuk,
beginilah keadaan rumah kita.” Ujar orang tua itu dengan ramah, dialah Uwa
Malinau. Kedua tamu dan Uwa Malinau tampaknya seumuran.
“Terimakasih, sudah
menerimah kami.” Ujar salah satu orang tua itu, lalu duduk bersilah berhadapan
dengan Uwa Malinau beralas tikar daun pandan hutan. Mereka saling berkenalan,
Uwa Malianu menyebut namanya. Tamu pertama memperkenalkan kalau namanya Rajo
Bumi dan satunya bernama Uwa Kidir. Uwa Malinau meminta seorang cucu laki-lakinya
mengantarkan air dan pisang masak. Kedua tamu tampak makan buah pisang cepat
dan minum banyak. Jelas sekali kalau keduanya dari perjalanan jauh.
Sementara istri,
anak-anak Uwa Malinau mengintip kedua tamu itu dari balik dinding. Mereka tidak
mengenalinya dan tidak juga menganggap aneh. Pakaian kedua tamu tampak lapuk
dan sudah bertambal disana-sini.
Mereka pun
berbincang-bincang, Uwa Malinau menceritakaan keadaan di Talang Gajah Mati
panjang lebar, sehingga kedua tamunya mengerti situasinya. Itulah sebabnya
Talang menjadi sepi dan penduduknya mengurung diri. Dari luar terdengar orang
banyak datang di halaman rumah Uwa Malinau. Ternyata mereka adalah rombongan
Datu Puyang Lang Panarap baru tiba dari Bukit Pendape.
Datu dan Hulubalang
hendak memberi tahu pada Uwa Malinau kalau mereka sudah menjalankan pertapaan.
“Masuk saja, Datu.”
Ujar Uwa Malinau. Datu dan Hulubalang masuk lalu ikut bergabung dengan tamu Uwa
Malinau. Dalam pada itu, Datu menceritakan peristiwa dia bertapa di
Bukit Pendape. Dia menceritakan ditemui oleh seekor burung bud-bud yang
memintanya pulang dan tidak ada petunjuk lain. Uwa Malinau mengangguk-angguk
saja.
“Ini tamu dari jauh,
Datu, Hulubalang. Ini Rajo Bumi, ini Uwa Kidir.” Uwa Malinau memperkenalkan
kedua tamunya itu pada Datu dan Hulubalang.
*****
Dalam pada itu,
berkatalah orang yang mengaku Rajo Bumi. “Kalau kiranya permasalahan sudah
begitu berat, izinkan kami membantu atau memberi petunjuk.” Kata lelaki tua
yang misterius itu.
“Baiklah kalau
begitu, Uwa Rajo Bumi. Tidak ada salahnya mencoba, dan kami pun sangat bahagia
kalau ada yang mau membantu. Sebab sudah mulai putus asa menghadapi semua ini.”
Kata Hulubalang dengan penuh harap.
“Antarkan kami ke
dekat Sungai Keruh yang kalian maksudkan.” Ujar Rajo Bumi. Semuanya setuju dan mulai
turun bersama dari rumah Uwa Malinau. Lalu menuju ke tepian warga, tampak air
sungai mengalir dengan deras, berwarna kuning seperti keruh. Mereka tiba di
sisi tebing Sungai Keruh, Rajo Bumi tampak memanggil-manggil nama jin.
Tiba-tiba angin datang, dan banyak jin yang menghadap Rajo Bumi atau Baginda
Sulaiman. Baginda Sulaiman memerintahkan satu pasukan jin untuk menangkap hantu
air atau Duguk. Tentu saja sumua itu tidak diketahui dan terlihat oleh Datu,
Uwa Malinau, Hulubalang dan para prajuritnya. Mereka hanya merasakan hembusan
kencang angin saja.
*****
Baginda Sulaiman
kemudian meminta diantarkan ke sisi sumber air yang jernih. Mereka berjalan
cukup jauh. Lalu menemukan sebuah benca yang diteduhi
pepohonan rindang. Lelaki tua yang mengaku bernama Rajo Bumi mengambil air
jernih itu dengan kedua tangannya. Lalu dia membaca-baca sesuatu. Setelah itu,
air ditangannya dia sebar ke dalam air benca itu. Dia meminta agar warga yang
terkenah wabah diberi air minum dari air benca itu. Beberapa prajurit diperintahkan
Datu untuk mengambil air dan memberikan pada warga yang sakit.
*****
Di bawah pohon dan di
sisi benca Baginda Sulaiman yang mengaku Rajo Bumi memanggil semua
nyamuk-nyamuk. Tiba-tiba angin berhembus deras, lalu awan menjadi hitam.
Ternyata gumpalan nyamuk menutupi awan dan membuat sekitar itu menjadi gelap.
Hanya Uwa Kidir yang tidak terkejut dan tidak merasa aneh. Sementara Datu dan
yang lainnya terkejut dan heran. Baru kali ini melihat kumpulan nyamuk yang
tidak terhitung banyaknya. Lalu orang yang mengaku bernama Rajo Bumi berkata
pada nyamuk-nyamuk banyak itu.
“Nyamuk mengapa
kalian menularkan penyakit pada manusia?.” Tanya Baginda Sulaiman.
“Kami sangat banyak
baginda, sehingga terpaksa menggigit manusia. Seandainya kami sedikit tentu
tidak akan kekuarangan gigitan. Sebab itulah yang ditakdirkan Tuhan.” Jawab
Nyamuk.
“Betul baginda, saat
kami bertelur dan menjadi jentik akan segerah menjadi nyamuk lainnya, sehingga
kami sangat banyak sekali.” Kata salah satu nyamuk.
Baginda Sulaiman
mengerti, dia kemudian berjalan-jalan di sisi benca-beca itu, berpikir keras
untuk mengatasi masalah nyamuk. Tanpa sengaja tangan baginda Sulaiman yang
terlukan karena terkait onak terserempet ranting pohon kecil. Sehingga
terkelupas dan jatu ke air. Ajaibnya, kelupas luka tangan baginda Sulaiman
berubah menjadi beberapa ekor ikan kecil berwarna hitam. Kejadian itu
diperhatikan oleh Uwa Malinau, Datu, hulubalang dan para prajurit. Baginda
Sulaiman hanya mengcap syukur atas kehendak Allah. Ikan itu, berkata pada
Baginda Sulaiman.
“Aku ikan Tempale,
pemakan anak serangga termasuk jentik-jentik nyamuk, baginda.” Kata Ikan itu.
“Baiklah kalau
begitu, aku tugaskan agar kalian memakan jentik-jentik nyamuk, agar tidak
terlalu banyak. Tugas kalian ini sampai akhir zaman.” Perintah Baginda Sulaiman
atau Rajo Bumi. Sejak saat itulah, ikan tempale hadir di dunia dan menjadikan
jentik nyamuk makanan mereka.
Baginda Sulaiman atau
yang dikenal Warga Talang Gajah Mati dengan nama Rajo Bumi kembali berpikir
keras. Dia menunggu kabar dari tentara jin yang dia perintahkan untuk menangkap
hantu air atau Duguk belum kembali. Karena lelah menunggu, baginda Sulaiman
duduk di bawah pohon rengas yang besar bersama Puyang Burung Jauh (Uwa Kidir),
Uwa Malinau, Datu, Hulubalang dan beberapa prajurit.
Tiba-tiba pasukan jin
datang dalam wujud manusia. Tampak sesosok berbulu hitam memenuhi tubuhnya, dan
berambut panjang, terikat. Kemudian dihadapkan ke Baginda Sulaiman.
“Maafkan kami
baginda, sebab Jin ini licik dan sulit ditangkap.” Kata pimpinan pasukan Jin.
“Oh, kau ini yang
suka mengganggu manusia, bernama Duguk. Kau akan akau hukum mati karena sudah
sangat meresahkan.” Kata Baginda Sulaiman.
“Ampun baginda,
berilah kesempatan padaku, Aku akan berubah.” Kata Duguk atau hantu air.
Baginda Sulaiman lama mempertimbangkannya, dan dia memperhatikan kesungguhan
Duguk. Karena dia bijaksana dan hatinya lembut. Akhirnya dia membebaskan Duguk
atau hantu air asal tidak mengganggu manusia lagi.
“Kalau kau
mengingkari janji, kau akan dihukum mati?.” Kata Baginda Sulaiman. Duguk atau
hantu air dibebaskan dan dia kembali ke sungai-sungai. Baginda Sulaiman
berpikir bagaimana mengawasi Duguk apa bilah dia sudah kembali atau dia sudah
meninggal kelak. Tanpa sengaja Baginda Sulaiman menendang tongkatnya, dan jatuh
kedalam benca. Tongkat itu, dengan ajaib berubah menjadi seekor mahkluk yang
mirip ular. Lalu mahkluk itu berkata pada Baginda Sulaiman.
“Baginda Sulaiman,
Aku ikan belut siap untuk ditugaskan untuk mengawasi hantu air atau Duguk itu,
kalau dia mengingkar janji.” Ujar Belut.
“Baiklah, kalau
begitu Aku tugasi kau mengawasi Duguk dan hukum mati dia kalau mengingkari
janjinya.” Kata Baginda Sulaiman.
Kejadian ajaib itu
disaksikan oleh semuanya. Namun mereka tetap tidak mengerti bahasa hewan
sebagaimana baginda Sulaiman. Baginda Sulaiman berkata pada Uwa Malinau, Datu
Puyang Lang Panarap, Hulubalang, dan para prajurit kalau hantu air atau Duguk
tidak akan mengganggu mereka lagi. Oleh sebab itu, sudah aman kalau mereka akan
mandi, dan menangkap ikan di Sungai Keruh.
Untuk masalah nyamuk,
sudah selesai karena ikan Tempale akan memakan jentik-jentik nyamuk sehingga
jumlah nyamuk tidak terlalu banyak lagi kedepannya. Secara perlahan jumlah
nyamuk akan berkurang. Mereka dianjurkan untuk memelihara ikan tempale di sumber
air, sumur, wadah air, dan lainnya. Itulah mengapa, ikan tempale kemudian
menyebar disetiap ada mata air dan mereka memakan jentik nyamuk.
“Ingat pesan saya,
jangan merusak sumber air, terutama aliran air disekitar tempat tinggal, agar
ikan tempale dapat hidup. Kalau tempat tinggal di rusak kalian akan menghadapi
bencana gigitan nyamuk.” Pesan Rajo Bumi. Semua mengangguk dan paham.
“Uwa Rajo Bumi dan
Uwa Kidir, marilah tinggal di Talang kami. Terimah kasih sudah membantu musibah
kami. Kami takkan mampu membalas budi kalian.” Kata Datu.
“Kami akan pulang
terlebih dahulu dan akan memberi kabar nanti atas niat baik kalian.” Ujar
Baginda Sulaiman atau Rajo Bumi menolak dengan halus.
“Pakailah perahu
bidar kami, untuk kendaraan pulang.” Kata Hulubalang. Kedua orang tua itu hanya
mengucapkan terimakasih atas tawaran hulubalang. Kedua orang tua berjalan masuk
hutan, diikuti pasukan misterius itu. Uwa Malinau, Datu, Hulubalang, dan para
prajurit pun pulang. Warga yang sakit sudah sembuh keesokan harinya. Warga kembali
beraktivitas normal di Sungai Keruh, mandi, mencuci, menangkap ikan.
Dua orang tua yang
baru datang entah dari mana, dan pergi entah kemana. Pasukan penangkap Duguk
juga pergi entah kemana. Jalan-jalan hanyalah hutan-hutan yang lebat, tapi
mereka melalui jalan mana. Keanehan yang tidak bisa diuraikan oleh pikiran
mereka. Hanya Uwa Malinau yang dapat mengerti dengan baik hal itu. Tapi dia
tidak memberi tahu orang-orang.
Peristiwa yang
menyisakan cerita dan legenda dikemudian hari. Sejak saat itu, cerita Puyang
Burung Jauh dan Rajo Bumi terus berkembang di tengah masyarakat Melayu di
Talang Gajah Mati dan di Kawasan Dataran Negeri Bukit Pendape atau Marga Sungai
Keruh. Menjadi cerita rakyat yang terkenal pada masanya dan dituturkan terus
menerus.
Oleh.
Joni Apero.
Editor.
Selita, S.Pd.
Tatafoto.
Dadang Saputra.
Palembang,
29 Agustus 2021.
Sumber
andai-andai: Nenek penulis Ahiyah. Diceritakan pada penulis waktu umur enam
tahun.
Arti
Kata:
Tempale: Ikan Tempalo. Datu: Pemimpin. Puyang: Gelar Kehormatan. Duguk: Nama
sebutan hantu air. Benca: tempat penampungan air alami seperti sungai kecil.
Bencani: Penampungan air alami berbentuk danau kecil. Talang: Penyebutan tempat
pemukiman tradisional sederhana.
Andai-andai:
Andai-andai
adalah sastra lisan tradisional pada masyarakat Melayu di Kabupaten Musi
Banyuasin dan Provinsi Sumatera Selatan. Andai-andai sama halnya dengan hikayat
atau tradisi lisan tambo dari Sumatera Barat. Andai-andai bersifat cerita
rekaan atau dongeng, dengan tokoh manusia, hewan, tumbuhan dan komponen alam
semesta lainnya. Berfungsi sebagai hiburan dan nasihat. Di ceritakan turun
temurun oleh orang-orang tua (kakek-nenek) pada generasi yang lebih muda.
Sy.
Apero Fublic