PT. Media Apero Fublic

PT. Media Apero Fublic merupakan perusahaan swasta yang bergerak pada bidang usaha Publikasi dan Informasi dengan bidang usaha utama Jurnalistik.

Buletin Apero Fublic

Buletin Apero Fublic adalah buletin yang mengetengahkan tentang muslimah, mulai dari aktivitas, karir, pendidikan, provesi, pendidikan dan lainnya.

Penerbit Buku

Ayo terbitkan buku kamu di penerbit PT. Media Apero Fublic. Menerbitkan Buku Komik, Novel, Dongeng, Umum, Ajar, Penelitian, Ensiklopedia, Buku Instansi, Puisi, Majalah, Koran, Buletin, Tabloid, Jurnal, dan hasil penelitian ilmiah.

Jurnal Apero Fublic

Jurnal Apero Fublic merupakan jurnal yang membahas tentang semua keilmuan Humaniora. Mulai dari budaya, sejarah, filsafat, filologi, arkeologi, antropologi, pisikologi, teologi, seni, kesusastraan, hukum, dan antropologi.

Majalah Kaghas

Majalah Kaghas, meneruskan tradisi tulis tradisional asli Sumatera Selatan.

Apero Fublic

Apero Fublic, merupakan merek dagang PT. Media Apero Fublic bidang Pers (Jurnalistik).

Apero Book

Apero Book merupakan toko buku yang menjual semua jenis buku (baca dan tulis) dan menyediakan semua jenis ATK.

Buletin

Buletin Apero Fublic merupakan buletin yang memuat ide-ide baru dan pemikiran baru yang asli dari penulis.

8/28/2021

MUBA: Update COVID-19 Nihil Kasus Positif, Bertambah 10 Kasus Sembuh.

APERO FUBLIC.- MUBA-SEKAYU. Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Muba, Minggu (29/8/2021) mengkonfirmasi nihil penambahan kasus positif dan bertambah 10 kasus sembuh.

"Nihil penambahan kasus positif dan bertambah 10 kasus sembuh per 29 Agustus 2021," ungkap Jubir Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Muba, Herryandi Sinulingga AP.

Kadin Kominfo Muba ini merinci, hingga 29 Agustus 2021 ada sebanyak 2856 kasus, diantaranya 2628 kasus sembuh. "Lalu, 83 masih dirawat, dan 145 kasus meninggal dunia," urainya.

Sementara itu, berdasarkan data update Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Muba 29 Agustus 2021 tercatat ada sebanyak 429 ODP 429 selesai pemantauan 0 masih dipantau, 1.199 kontak erat 1.199 kontak selesai pemantauan 0 kontak erat yang masih dipantau, 191 PDP 0 proses pengawasan 191 selesai pengawasan. (HS).

Editor. Selita, S.Pd.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 29 Agustus 2021.

Sy. Apero Fublic

INFO VAKSIN: 96 Ribu Lebih Warga Musi Banyuasin Sudah Vaksin.

Serapan Nakes dan Petugas Publik Lampaui Target.

APERO FUBLIC.- MUBA-SEKAYU. Dinas Kesehatan Kabupaten Musi Banyuasin, hingga Minggu (29/8/2021) mencatat sebanyak 96.903 warga Muba telah melaksanakan vaksin, bahkan serapan vaksin dinilai merata dan telah menyisir hingga kawasan pelosok.

"Sesuai arahan pak Bupati Dodi Reza warga Muba harus di fasilitasi suntik vaksin secara merata, berdasarkan data sudah 96.903 warga Muba yang sudah disuntik vaksin," ungkap Kadinkes Muba, dr Azmi Dariusmansyah Mars, Minggu (29/8/2021).

Azmi merinci, adapun sasaran dan jumlah yang sudah suntik vaksin diantaranya SDM Kesehatan 3.137 sasaran, untuk yang sudah vaksin pertama 3.364, vaksin kedua 3.046, vaksin ketiga 1.671 orang. Lalu, Lansia 38.695 sasaran, vaksin pertama 6.822, vaksin kedua 3.908 orang.

"Kemudian, petugas publik 32.671 sasaran, vaksin pertama 51.290, vaksin kedua 26.650 orang, masyarakat rentan dan umum 312.978 sasaran, vaksin pertama 33.066, vaksin kedua 11.419 orang, remaja 63.350 sasaran, vaksin pertama 1.447, vaksin kedua 191, dan gotong royong 914 sasaran," urainya.

Lanjutnya, untuk golongan tenaga kesehatan (nakes) atau SDM kesehatan dan petugas publik serapan nya melampaui target. "Jumlah sasaran nakes dan petugas publik sangat baik bahkan melampaui target," ujarnya.

Bupati Dr Dodi Reza Alex Noerdin Lic Econ MBA mengajak warga masyarakat Muba yang belum mengikuti vaksin untuk segera melaksanakan suntik vaksin. "Ayo kita semua harus ikuti rangkaian suntik vaksin, demi menjaga diri sendiri dan orang terdekat dari bahaya virus COVID-19," ajaknya.

Kepala Daerah Inovatif Indonesia ini menyebutkan, Pemkab Muba bersama stakeholder akan terus memfasilitasi kebutuhan vaksin kepada seluruh elemen dan masyarakat di Muba yang benar-benar memenuhi syarat untuk disuntik vaksin.

"Dalam upaya percepatan serapan pelaksanaan vaksin ini akan terus kita gencarkan, demi masyarakat Muba akan kita sisir hingga daerah pelosok yang ada di Muba," tandasnya. (HS).

Editor. Desti, S.Sos.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 29 Agustus 2021.

Sy. Apero Fublic

Andai-Andai: Lubuk Lesung dan Raksasa Ompong

APERO FUBLIC.- Dikisahkan pada suatu masa yang lampau, terdapat sebuah Talang orang Melayu di pedalam Sumatera Selatan. Masa itu, manusia masih sedikit dan kehidupan sangat tradisional sekali. Belum ada kerajaan-kerajaan, masyarakat masih hidup dalam kelompok-kelompok yang dipimpin orang yang dituakan. Pemimpin dipilih dan mereka menggelari pemimpin dengan, Datu. Talang tersebut bernama Talang Gajah Mati. Nama diberikan karena kelompok pendiri Talang menemukan seekor gajah yang sudah mati di dalam sebuah sungai kecil di sisi Talang.

Masa itu, tersebutlah seorang datu yang baik hatinya. Dia memimpin dengan adil dan bijaksana, sehingga warganya menyayanginya. Nama beliau Tan Maranu, dan istrinya bernama Tan Manana.  Namun, telah lama dia hidup berumah tangga dengan istrinya, namun belum juga mendapatkan seorang anak pun. Suatu saat bedoalah datu itu pada yang maha kuasa dengan sungguh-sungguh. Agar dia mendapat seorang seorang anak. Datu Tan Maranu sangat sedih, sebab umur sudah mulai lanjut. Doa sang datu dikabulkan oleh yang kuasa, dan hamilah istrinya walau sudah berusia agak lanjut. Dimana manusia biasa apa bilah seumuran dengnya tentu tidak lagi bisa hamil.

“Kanda, sepertinya adinda hamil.” Istrinya menceritakan di suatu hari. Bukan kepalang bahagianya suami istri itu. Mereka akhirnya merayakan kehamilan itu, dengan mengundang banyak warganya. Mengadakan jamuan makan-makan enak. Semua bahagia, dan mengucapkan selamat.

Waktu berlalu cepat, sudah sembilan bulan umur kandungan. Namun belum juga ada tanda-tanda akan melahirkan. Datu dan Datuna sang istri sudah tidak sabar ingin menggendong anak mereka. Baru setelah sepuluh bulan umur kandungan, melahirlah istri Datu. Dengan sangat kesakitan, proses berhari-hari istri datu melahirkan seorang anak laki-laki. Datu menamakan anaknya dengan Punta Balarai. Arti dari namanya adalah seorang pemuda yang cepat dan gesit.

*****

Bertahun-tahun sudah terlewati penuh kebahagiaan. Sekarang besarlah anak Datu, Punta Balarai. Sudah lima belas tahun umur Punta Balarai. Dia banyak belajar ilmu alam dan ilmu beladiri. Sehingga dia menjadi pemuda yang tangkas dan gesit. Selain itu, Punta Balarai juga pintar dan banyak akalnya. Semua pemuda di Talang Gajah Mati menjadi sahabatnya. Banyak pula gadis tergila-gila padanya.

Suatu, hari Punta Balarai berkeliling Talang. Dia ditemani dua sahabatnya, Kadra Puju dan Kadra Pacung. Yang menjadi aneh bagi mereka bertiga. Sejak kecil mereka selalu menyaksikan aktivitas, dimana semua penduduk Talang Gajah Mati sering menumbuk buah padi bersama-sama beberapa kali dalam setahun. Ratusan keranjang tepung beras entah dibawa kemana. Suara alu beradu dengan lesung bertalu-talu bagai musik yang luas.

Perlu diketahu kalau masa itu buah padi masih besar-besar, sebesar buah kelapa. Belum kecil-kecil seperti zaman kita sekarang, bertangkai berbulir-bulir. Punta Balarai berhenti di depan rumah seorang warga, lalu bertanya. Dia sangat penasaran, sebab dari kecil memendam keingin tahuan itu. Namun jawaban orang-orang tidak ada yang meyakinkan Punta.

“Bibik, apa yang menyebabkan warga kita menumbuk padi beberapa kali dalam setahun, dan sebanyak ini.” Tanya Punta. Punta selalu bertanya pada orang yang berbeda-beda. Namun jawaban juga simpang-siur tanpa ada penjelasan.

“Sudah, ini pekerjaan orang-orang tua, nanti kalau kalian sudah dewasa, dan mulai menjadi orang tua, akan diberitahu yang sebenarnya.” Jawab bibik itu, kemudian dia mulai menumbuk padi lagi. Punta dan dua sahabatnya pergi dan bermain di sisi Talang mereka.

“Aku merasa aneh, mengapa warga kita menumbuk padi begitu banyak. Padahal warga talang kita masih kekurangan makanan.” Tanya Punta pada dua sahabatnya.

“Aku juga tidak mengerti, Punta. Mengapa orang-orang tua kita melakukan itu.” Jawab Kadra Puju.

“Ada baiknya kita selidiki saja, Aku juga penasaran. Aku sering meminta Umak untuk menanak nasi lebih banyak. Sebab di bilik banyak buah padi.” Kata Kadra Pacung.

“Setiap kali bertanya, Umak-Bak selalu bilang, "untuk sesuatu dan keselamatan Talang kita.” Ujar Kadra Puju.

“Betul katamu, Pacung. Kita selidiki saja, sebab ada yang aneh dan semua ini merugikan warga.” Kata Punta Balarai.

"Kasihan, orang-orang tua kita." Sahut Kadra Puju, menanggapi. Mereka kemudian bermain-main di sisi tebing sebuah lubuk yang tidak jauh dari Talang. Ada juga beberapa pemuda datang untuk bersantai di sana, bertambah seruhlah mereka bermain. Di Sungai Keruh sesekali lewatlah perahu atau rakit warga.

*****

Beberapa hari berlalu, penduduk selesai menumbuk buah padi.  Sekarang buah padi sudah sudah menjadi tepung beras. Sudah dikemas di dalam bunang (keranjang besar). Jumlahnya dua ratus bunang, dan telah siap diberangkatkan. Dua ratus sepuluh orang laki-laki berkumpul di halaman rumah datu. Mereka, dipimpinan datu mulai bergerak. Masing-masing laki-laki menggendong satu bunang. Lima orang laki-laki membawa getuk dari cangkang kura-kura sungai. Mereka berjalan beriringan menuju suatu tempat. Lima lagi membawa perbekalan mereka.

Sementara itu, Punta Balarai dan dua sahabatnya mengawasi dari jauh. Mereka bertiga mengikuti, kemana tujuan Datu dan warga membawa tepung beras itu. Perjalanan berlanjut, siang dan malam. Jalan semakin lama semakin menanjak dan berbukit-bukit. Terdengar dari percakapan mereka kalau mereka menuju Bukit Pendape. Tiga hari-tiga malam sampailah di tempat tujuan. Di kaki Bukit Pendape. Meletakkan dan mengumpulkan keranjang di tanah terbuka berumput hijau. Lima orang warga memukul getuk (kentongan). Suara getuk bertalu-talu memekakkan telinga.

Dari kejauhan terdengar suara bergemuruh makhluk besar berjalan. Pohon besar bergoyang-goyang dan burung-burung berterbangan. Sosok besar itu semakin dekat, warga mulai berlarian bersembunyi di balik pepohonan disekitar lapangan berumput itu. Hanya datu yang masih berdiri di sekitar keranjang berisi beras yang sudah di tumbuk. Tidak lama kemudian muncul raksasa yang sudah tua. Rambut putih, wajah keriput. Ada tongkat besar, dan bercawat terbuat dari kulit hewan. Tampak berjalan mendekati lapangan itu. Tanah bergetar saat kakinya melangkah.

“Kalian sudah mengantar upeti kalian, wahai manusia?” Kata raksasa. Saat dia berkata, terlihat kalau dia tidak lagi memiliki gigi dan taring, ompong.

“Benar Puyang Raksasa Pendape, ini semua tepung beras sebagaimana permintaanmu setelah panen.” Kata Datu. Raksasa menghitung dan jumlahnya seperti yang dia syaratkan, 200 bunang.

“Baiklah, sekarang kalian boleh pulang. Ingat, 200 hari lagi kalian datang mengantarkan tepung beras lagi, kalau tidak kalian yang akan Aku makan dan Talang kalian Aku hancurkan.” Kata Raksasa itu mengancam. Sebagai gertakan dia memukulkan tongkat kayu ulinnya ke tanah lapang itu. Terdengar suara seperti pohon besar yang roboh. Datu mengiakan, kemudian dia pulang bersama rakyatnya. Sementara itu, Punta dan kedua sahabatnya menyaksikan semua yang terjadi dari tempat persembunyian mereka.

"Grubakkkkk. Grubakkkk. Grubakkk." Bunyi langkah kaki raksasa itu membawa bunang ke puncak Bukit Pendape.

*****

Waktu berlalu, sudah mendekati dua ratus hari lagi. Sekarang warga Talang Gajah Mati bersiap menumbuk buah padi lagi. Punta Balarai dan dua sahabatnya Kadra Puju dan Kadra Pacung mulai menyusun rencana. Mereka ingin mengalahkan raksasa ompong yang selalu makan bubur nasi hasil memeras warga. Menindas warta Talang Gajah Mati untuk memenuhi kebutuhan makannya.

“Pantasnlah raksasa itu meminta tepung beras karena dia sudah ompong.” Kata Kadra Puju.

“Betul, lalu bagaimana kita menghadapi raksasa itu.” Tanya Kadra Pacung.

“Aku sudah berpikir sejak lama, sepertinya Aku memiliki ide untuk mengalahkan raksasa ompong itu.” Ujar Punta.

“Baiklah, apa rencanamu Punta. Kami akan membantumu.” Kata Kadra Puju.

“Tapi, jangan sampai warga talang dan ayahku tahu tentang ini.” Kata Punta. Lalu punta memberi tahu rencananya dan mereka diminta mulai membantu untuk membuat jebakan raksasa tua yang sudah ompong itu, agar tidak menindas masyarakat mereka lagi. Pagi-pagi keesokan harinya mereka berangkat ke hutan, membawa parang masing-masing.

“Mau kemana kalian, koyong-koyong.” Tanya seorang wanita agak tua yang sedang menumbuk padi di sisi jalan.

“Kehutan, mencari onak rotan, Uwa.” Jawab Punta.

“Kenapa buah padi semakin mengecil Aku perhatikan, Uwa.” Tanya Kadra Pacung basa-basi.

“Ya, beginilah tak sebesar dahulu, Bujang. Kata orang tua buah padi sebesar keranjang pada mulanya. Namun karena sering di tumbuk manusia di setiap tahun, membuat buah padi mengecil." Jelas ibu-ibu itu.

"Mengapa bisa demikian, Uwa." Tanya Punta.

"Karena padi punya jiwanya. Dia mengecil sebab manusia selalu mengecilkan buahnya." Jelas nenek itu. Punta dan kedua sahabatnya baru mengerti mengapa buah padi terus mengecil. Bisa-bisa natinya sebesar buah embacang, atau lebih kecil lagi pikir mereka. Sebab di tumbuk warga setiap tahun untuk diberikan pada raksasa Bukit Pendape. Ketiganya juga kesal sekali, sebab buah padi menjadi kecil karena ulah raksasa itu.

*****

Punta Balarai dan dua sahabatnya mengambil onak berduri sebanyak-banyaknya. Kemudian mereka menjalin seperti susunan jaring. Ada bagian yang mereka buat seperti tali dan melingkar seperti jerat tali. Ada juga onak yang mereka rangkai seperti tali-tali melintang. Kemudian mereka juga menjalin onak berduri seperti jala-jala. Banyak onak mereka ikatkan pada batang dan dahan-dahan pohon di sekitar sebuah lubuk dimana mereka sering bermain. Lubuk tidak bernama itu, kemudian mereka penuhi dengan onak berduri. Sekarang, jebakan onak berduri mereka sudah siap. Rencana mulai dilaksanakan.

Pekerjaan menumbuk padi mulai dilaksanakan. Pada malam harinya, Punta Balarai, dan dua sahabatnya mencuri semua lesung-lesung milik warga. Lalu mereka lemparkan semua lesung-lesung itu di dalam lubuk tidak bernama dimana mereka sering bermain. Lesung tersangkut dijalinan onak-onak berduri, sehingga tampak mengambang tapi tidak hanyut. Dua ratusan lesung berserakan di lubuk itu.

Setelah itu, mereka juga mencuri bunang-bunang yang baru saja selesai dianyam untuk wadah tepung beras, Kemudian mereka menghancurkannya. Keesokan harinya, ibu-ibu dan warga semuanya menjadi ribut dan bertanya-tanya kemana kiranya lesung dan keranjang besar (bunang) mereka. Semua warga menjadi, panik, takut dan khawatir akan kemarahan raksasa yang tinggal di Bukit Pendape.

“Datu, bagaimana ini. Sepertinya lesung kita telah dicuri. Begitu juga dengan bunang-bunang yang kita anyam. Waktu kita tinggal satu hari lagi, tentu raksasa itu marah sekali. Kita akan menjadi makanannya, dan talang kita akan dia hancurkan.” Kata seorang warga, dan yang lainnya menjadi takut.

“Aku tidak habis pikir, bagaimana ada orang mencuri lesung dan keranjang-keranjang itu. Ini adalah perbuatan yang sangat membahayakan. Kalau dia perlu makanan atau harta, tentu dia dapat memintanya daripada dia mencuri lesung-lesung itu.” Kata Datu dengan rasa kesal dipenuhi rasa khawatir.

“Lalu bagaimana, kita sekarang. Apakah kita perlu membuat lesung dan keranjang kembali. Mungkin kita bisa bermusyawara dengan raksasa itu.” Kata seorang ibu-ibu memberi saran.

“Iya, kita akan membuat lesung dan keranjang kembali. Tapi untuk berjaga-jaga ada baiknya, wanita, anak-anak dan orang tua kita sembunyikan terlebih dahulu. Kalau musyawara gagal tentu akan aman bagi mereka. Sementara yang lain mulailah membuat lesung dan menganyam keranjang. Aku da hulubalang juga lima orang prajurit akan menemui raksasa itu, untuk musyawara.” Kata Datu.

Lalu dia memerintahkan lima orang prajurit untuk mengambil lima getuk dari cangkang kura-kura untuk memanggil raksasa. Dia naik ke rumah, mengambil pibang kidau dan pibang kanan, lalu dia selipkan di pinggangnya.

“Ampun Datu, tiga buah getuk juga hilang.” Lapor seorang prajurit, sementara dua lainnya membawa dua getuk yang tersisa.

“Kurang ajar, siapa yang melakukan ini. Sepertinya mereka ingin kita semua mati oleh raksasa itu. Akan Aku hukum berat mereka kalau ketahuan." Kata Datu sangat marah sambil menggenggam telapak tangannya. Dia memerintahkan prajurit untuk menyelidiki dan menggeledah seluruh Talang. Namun mereka tidak menemukan, kemudian semua warga juga dikumpulkan. Tapi sia-sia, semua memang tidak tahu menahu. Hanya ada yang aneh, Punta Balarai, Kadra Puju dan Kadra Pacung tidak ada. Saat dicari juga tidak ada, dan timbul tuduhan kalau mereka bertigalah yang berbuat. Tapi belum ada bukti, jadi mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

"Kalau anakku, Punta Balarai adalah pelakunya, dia akan tetap di hukum." Kata Datu Tan Maranu tegas, dia tidak pilih kasih. Walau anaknya dia tetap dihukum. Menandakan dia pemimpin sejati yang bijaksana.

“Sudah dari nenek moyang kita dahulu tidak pernah kejadian seperti ini. Kita selalu tepat waktu menghantarkan tepung beras pada Raksasa Bukit Pendape.” Ujar seorang Jurai Tue.

*****

Sementara itu, Punta Balarai, Kadra Puju, dan Kadra Pacung sudah sampai di kaki Bukit Pendape. Mereka berdiri di padang rumput luas dimana biasanya warga memberikan persembahan dua ratus keranjang besar tepung beras. Raksasa ompong itu tidak bisa menungu lagi. Karena dia memakan bubur yang terbuat dari tepung beras satu keranjang dalam satu hari. Karena raksasa itu tidak bisa bertani dan tidak mau berusaha. Maka dia memaksa masyarakat Talang Gajah Mati memberikan hasil panen padi padanya. Sudah ribuan tahun pemerasan dan kejahatan raksasa itu. Bahkan bua padi terus mengecil gara-gara ditumbuk terus menerus. Saatnya kita menghentikan raksasa itu. Kata Punta geram dan jiwa mudanya yang memberontak berapi-api.

“Tungggg. Tuuungggg. Tuuunggg.” Begitulah bunyi getuk yang dipukul berulang-ulang. Mereka memanggil raksasa itu agar datang ke padang rumput. Sementara raksasa di atas bukit mendengar suara getuk itu. Dia tersenyum, manusia telah datang mengantar makanan untuknya. Maka dia bergegas bangkit dan berjalan menuju Padang Rumput.

“Wahai manusia, di mana keranjang tepung beras untukku.” Tanya Raksasa dengan marah.

“Maaf raksasa, kami datang mengadu padamu. Bahwa lesung-lesung penumbuk padi di Talang kami telah dicuri oleh raksasa lainnya. Ayah dan banyak warga ditangkap olehnya. Kalau kau ingin kami memberikan tepung beras lagi padamu, tolong ambilkan lesung yang diambil Raksasa itu. Kami tidak bisa melawannya, hanya dirimu yang sama besar dan sama kuat.” Kata Punta Balarai.

“Kalian ingin menipuku, tidak ada raksasa lagi di dunia ini selain Aku.” Jawab Raksasa itu.

“Apakah kau takut, pada raksasa itu sehingga kau begitu marah dan tidak mau melawannya.” Ujar Kadra Pacung, sengaja memancing amarah raksasa.

“Kurang ajar, Aku tidak pernah takut. Awas kalian berbohong akan Aku hancurkan Talang kalian dan Aku makan kalian bertiga. Tunjukkan padaku raksasa lain kata kalian itu, dan dimana lesung-lesung itu dia buang, Aku akan mengambilnya.” Kata Raksasa ompong itu.

Raksasa itu, berjalan menju Talang Gajah Mati diikuti Punta dan dua sahabatnya. Setibanya di Talang mereka, Punta terus menunjukkan dimana lesung-lesung berada. Sementara penduduk talang menjadi takut dan mereka mulai berlarian bersembunyi. Mereka berpikir kalau raksasa itu mulai marah, sebab mereka terlambat memberikan upeti tepung beras dua ratus keranjang besar seperti biasa. Tibalah di dekat Sungai Keruh, Raksasa itu melihat lesung berserakan di dalam sebuah lubuk di Sungai Keruh.

Tanpa ragu raksasa itu melangkah masuk ke lubuk itu, dimana kedalam air Sungai Keruh sedang naik. Sungai sedalam itu, hanya sebatas pinggangnya. Saat dia mulai memunguti lesung-lesung itu. Tiba-tiba kakinya dibelit sesutau yang tajam dan banyak. Semakin lama semakin banyak dan terus berbelit belit. Aneh juga, semakin dia bergerak semakin rapat juga pada kaki dan pinggangnya. Rupanya, Punta dan kedua temannya membuka ikatan onak berduri yang sudah mereka siapkan di hulu lubuk. Lalu hanyut terbawa arus air yang deras. Semakin lama semakin banyak. Raksasa sulit bergerak sebab kaki sudah terpilin onak berduri. Saat dia ingin menarik terasa sangat sakit menggores kulitnya. Selain itu, duri onak yang melekuk juga saling mengait membuat onak tidak bisa dilepaskan.

Semakin lama semakin berat dan rapat, membuat tubuh raksasa roboh kedalam air sungai. Kemudian dari sisi tebing seberang melesat onak berduri seperti jala ikan. Tubuh raksasa itu sekarang dibaluti onak berduri dengan kuat. Sehingga dia tidak bisa bergerak sedikit pun. Lesung-lesung mulai hanyut ke hilir. Begitu juga raksasa mulai tenggelam kedalam sungai.

Dalam waktu cukup lama raksasa itu tidak dapat bernafas di dalam air. Lalu mati dan jasadnya menghilang di dalam aliran sungai entah kemana. Mungkin hanyut terbawa arus air. Kejadian tersebut disaksikan Datu ayah Punta beserta warga Talang Gajah Mati. Punta dan kedua sahabatnya merasa gembira, begitu juga semua masyarakat Talang Gajah Mati menjadi bahagia. Sekarang mereka terbebas dari raksasa yang kejam itu. Semua memuji atas keberanian dan kecerdasan Punta dan dua sahabatnya.

Setelah semua berlalu dan suasana tenang kembali. Barulah Punta Balarai menceritakan semuanya pada ayah dan warganya. Mereka meminta maaf karena telah mencuri lesung dan tiga getuk. Datu dan warga memaafkan mereka bertiga. Mereka juga bersyukur sebab memiliki calon pemimpin di masa depan. Kelak Punta Balarai akan menjadi seorang Datu yang hebat. Kadra Puju dan Kadra Pacung menjadi hulubalang yang luarbiasa.

Lubuk dimana Punta Balarai dan dua sahabatnya Kadra Puju dan Kadra Pacung meletakkan lesung-lesung untuk menjebak raksasa kemudian dinamakan dengan, Lubuk Lesung. Sampai sekarang Lubuk Lesung masih ada, yang terletak di Sungai Keruh, di Desa Gajah Mati, Kecamatan Sungai Keruh, Kabupaten Musi Banyuasin. Karena seringnya warga menumbuk buah padi. Akhirnya buah padi semakin kecil seperti sekarang. Orang tidak lagi menyebut buah padi, tapi biji padi atau bulir padi.

Oleh. Joni Apero.
Editor. Desti, S.Sos.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 26 Agustus 201.
Sumber Andai-andai: Sastra lisan masyarakat di Kecamatan Sungai Keruh, Musi Banyuasin.

Arti Kata: Datu: Gelar pemimpin tradisonal Melayu. Puyang: Gelar Bangsawan/orang yang dihormati/tokoh agama/ketua adat. Lubuk: Bagian badan sungai yang terletak di pengkolan/tikungan aliran sungai, dimana kedalaman dan luas badan sungai lebih lebar dan dalam. Talang: Nama pemukiman tradisional zaman dahulu. Umak: Ibu. Bak: Ayah. Bilik: Tempat menyimpan hasil panen, terutama padi. Embacang: Nama buah-buahan sejenis buah mangga. Bunang: Keranjang besar yang dibuat dari anyaman bambu. Keranjang ini khusus untuk mengangkut padi karena rapat dan besar. Getuk: Kentongan, biasanya dibuat dari cangkang kura-kura atau labi-labi sungai.

Sy. Apero Fublic.

ANDAI-ANDAI: Baginda Sulaiman: Asal Usul Ikan Tempale dan Belut

APERO FUBLIC.- Dikisahkan pada zaman dahulu ada sebuah Talang terletak di sisi Sungai Keruh. Talang tersebut bernama Talang Gajah Mati. Dipimpin seorang Datu bernama, Puyang Dapunta Lang Panarap. Pada masa itu, manusi belum begitu banyak, kehidupan masih sangat sederhana. Rumah-rumah di Talang mereka berupa pondok sederhana yang beratap daun seredang, berdinding kulit pohon, berlantai bilah bambu. Perahu dan rakit tertambat di tepian, di belakang rumah penduduk ditanami buah-buahan seperti kelapa, pisang, duku, padare, durian, dan bermacam pohon buah lainnya. Untuk mengharumkan makanan dan minuman, penduduk menanam pandan di sekitar rumah.

Alkisah pada suatu masa, penduduk Talang Gajah Mati diganggu oleh mahluk aneh yang tinggal di dalam sungai. Makhluk tersebut bercirikan; berambut sangat panjang dan berwajah mengerikan, bertaring, mata berwarna merah, kuku tangan dan kuku kaki panjang hitam. Tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Rambut panjang makhluk itu digunakan untuk menangkap anak-anak atau orang dewasa yang sedang mandi di sungai. Dengan rambutnya dia membelit tubuh korban, lalu menarik ke dalam Sungai Keruh. Kemudian menghilang dan korban tidak pernah ditemukan lagi. Penduduk menamakan makhluk itu dengan Duguk atau Hantu Air. Sudah puluhan anak-anak dan beberapa orang dewasa yang hilang menjadi korban makhluk itu, dalam satu tahun ini.

Belum pulah dapat diatasi masalah dan musibah yang disebabkan oleh hantu air atau Duguk. Penduduk Talang Gajah Mati dan seluruh kawasan Dataran Negeri Bukit Pendape atau Marga Sungai Keruh dilanda wabah penyakit yang ditularkan oleh nyamuk (malaria). Satu demi satu penduduk sakit dan meninggal sebab wabah tersebut. Hampir setiap minggu ada penduduk yang sakit dan meninggal dunia. Untuk mencari pemecahan masalah tersebut, bermusyawarahlah Datu Talang Gajah Mati dan warganya.

Siang itu, berkumpulah warga di halaman rumah Datu, Puyang Dapunta Lang Panarap. Banyak ide-ide dan saran-sarang bagaimana menangkap hantu air dan mengatasi wabah penyakit karena gigitan nyamuk. Nyamuk sangat banyak, untuk mengusir nyamuk tersebut warga menyalakan api siang dan malam. Ada juga yang mengoleskan minyak kelapa. Namun tetap saja nyamuk tidak dapat diatasi. Dalam musyawarah itu, berkatalah seorang lelaki tua pada Datu.

“Datu, bagaimana kiranya kita mengatasi musibah melanda kita ini?. Ada baiknya datu memberikan keputusan agar musyawarah kita ini ada maknanya.” Dari tadi kita berkata dan berucap, dengan segalah saran. Ujar si orang tua pertama kalinya dia bersuara.

“Uwa, tentu memiliki pengetahuan yang lebih dari saya dan kami semua. Pengalaman hidup yang jauh lebih banyak dari kami.” Kata Datu.

“Betullah Uwa Malinau, berilah nasihat pada kami semua?.” Seorang lelaki berumur empat puluhan tahun berkata. Uwa Malinau tampak diam beberapa saat. Dia sepertinya berpikir keras dan berusaha mengingat sesuatu. Menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan nafasnya perlahan-lahan.

“Dulu pernah ada bencana serangan harimau, yang banyak memakan korban di kawasan kita ini. Lalu Datu kita waktu itu menemui Puyang Burung Jauh. Untuk meminta nasihat bagaimana cara mengatasi serangan harimau.” Kata Uwa Malinau.

“Bagaimana cara menemui, dan dimana pula tempat Puyang Burung Jauh?.” Tanya Datu.

“Aku tidak yakin, sebab Puyang Burung Jauh tidak menetap tinggalnya. Dia seorang manusia ndikat, suka mengembara dan tinggal di tempat sepi. Tapi cobalah datu bertapa di bukit Pendape. Niatkanlah bertemu dengan Puyang Burung Jauh.” Jelas Uwa Malinau. Datu menyanggupi dan dia bersegerah bersiap untuk bertapa. Sebagai pemimpin dia bertanggung jawab atas keselamatan rakyatnya. Keesokan harinya Datu Talang Gajah Mati berangkat ke Bukit Pendape, dikawal oleh seorang hulubalang dan tiga puluh prajurit. Perbekalan mereka untuk seminggu dibawa dengan keranjang.

*****

 

Tibalah di Bukit Pendape, Datu Talang Gajah Mati  bertapa di sebuah gua kecil. Pengawalnya menjaga dan mengurusi keperluannya. Hari pertama, kedua, dan baru hari ketiga datu di datangi Puyang Burung Jauh. Dia menyerupai burung Bud-Bud yang hinggap di sisi Datu.

“Ada apa kau memanggilku, cucuku?.” Tanya Puyang Burung Jauh.

Datu menceritakan tentang musibah yang dia hadapi bersama rakyatnya. Puyang Burung Jauh mengerti dan berjanji akan membantu mengatasi permasalahan mereka. Sebelum pergi dia meminta Datu Lang Panarap untuk menghentikan pertapaanya, pulang. Kabarkan berita gembira pada seluruh rakyat di Kawasan Dataran Negeri Bukit Pendape atau Marga Sungai Keruh. Setelah itu, Puyang Burung Jauh pergi dan menghilang entah kemana. Sementara itu, hulubalang dan pasukannya hanya melihat seeokor burung Bud-bud yang hinggap di sisi Datu, dan terus berbunyi-bunyi.

“Buddd...Buddd.”

“Aiiiii, bud-bud Itu!!. Mengganggulah dia, biar Aku usir.” Kata seorang prajurit yang sangar, dan berbadan kekar lagi tinggi.

“Janganlah, biarlah. Hanya burung bud-bud tidak berbahaya.” Kata teman di sisinya. Burung bud-bud melompat dan terbang jauh, datu kemudian membuka matanya, lalu berdiri. Dia melangkah ke tempat peristirahatan yang terbuat dari kayu-kayu menyerupai kursi, dia duduk. Lalu beberapa prajurit dan hulubalang datang menghampiri Datu.

“Bagaimana Datu?.”

“Sekarang kita bersiap untuk pulang, sudah selesai.” Jawab Datu.

“Apakah Puyang Burung Jauh sudah menemui Datu?.” Tanya Hulubalang.

“Sudah.” Jawab Datu singkat, kemudian dia mengambil bumbung bambu yang berisi air minum, lalu menegakkannya. Terdengar suara regukan air, tampaknya dia begitu haus.

“Apa yang dikabarkannya, puyangku?.” Tanya seorang Prajurit.

“Tidak ada, yang dia katakan agar kita segerah pulang.” Jawab Datu, semua menjadi penuh tanda tanya juga keheranan. Ada yang berpikir untuk apa mereka bersusah payah ke Bukit Pendape yang memakan waktu tujuh hari dan berada di sana selama tiga hari-tiga malam, kalau hanya diminta pulang. Namun semua tidak berani membangkang dan menuruti semua perintah Datu Puyang Lang Panarap sebagai Pemimpin di Talang Gajah Mati. Semua mulai bersiap, ibat, air minum, dan obor kuting dinyalahkan. Mereka akan membutuhkan waktu tujuh hari enam malam baru sampai di talang mereka.

*****

 

Sementara itu, burung bud-bud yang tadi menemui Datu Puyang Lang Panarap terus terbang tinggi dan jauh, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Dia melewati hutan-hutan, menyemberangi sungai, danau, lautan dan melintasi pegunungan. Kadang pula dia terbang melintasi gurun yang panas tanpa pepohonan. Kini burung bud-bud sampai di sebuah negeri yang makmur sekali. Rakyatnya sejahtera dan damai, kota yang indah dijaga prajurit-prajurit bersenjata lengkap. Burung bud-bud hinggap di atas sebuah menara istana. Dia memperhatikan taman istana kerajaan yang sangat megah dan indah. Kemudian burung bud-bud berbunyi lantang dan keras tiada henti.

“Buddddd. Buddddd. Buddddd.” Suara keras dan berulang-ulang mengusik penghuni istana. Beberapa prajurit berusaha mengusir burung, namun tidak berhasil. Sehingga mereka terpaksa melaporkan pada raja pemilik istana.

“Ampun Baginda Sulaiman, seekor burung tersesat sepertinya datang ke istana dan membuat bising, sehingga menggangu semua orang.” Kata prajurit pada Baginda Sulaiman.

“Burung tersesat atau dia sengaja datang menghadap?.” Tanya Raja negeri itu meminta kepastian.

“Tidak pasti Baginda, burung itu kalau saya amati bukan dari negeri kita. Tapi dari negeri yang jauh sekali. Baru sekali ini Aku melihat burung seperti itu.” Jawab Prajurit.

“Begitu, baiklah Aku akan menemuinya.” Kata Baginda Sulaiman dan dia bangkit dari singgasananya, lalu berjalan keluar. Prajurit mengikuti dari belakang, mengantar. Tibalah baginda Sulaiman di mana keberadaan burung bud-bud. Prajurit menunjuk menara istana, tampak seekor burung bertengger dengan santainya.

“Budddd. Buddddd.”

“Wahai tamu dari jauh, ada apa kiranya kau datang ke istanaku?.” Tanya Baginda Sulaiman. Burung bud-bud tentu mengerti apa yang diucapkan  baginda Sulaiman. Sebab salah satu mukjizat dari Baginda Sulaiman adalah mengerti bahasa-bahasa hewan. Mendengar itu, burung bud-bud terbang merendah dan mendekat baginda Sulaiman. Dia mengucap salam dan memberi penghormatan. Tentu saja para prajurit hanya mendengar suara bud-bud saja dan tidak mengerti. Sedangkan baginda Sulaiman sangat mengerti dan menilai burung bud-bud sangat sopan.

“Maaf baginda Sulaiman, Khalifah di bumi. Aku membawa kabar dari Negeri Melayu yang jauh. Rakyatnya dalam masalah besar, diserangan wabah yang disebarkan oleh nyamuk dan musibah yang disebabkan oleh jin penunggu sungai yang dinamakan mereka, Duguk. Oleh sebab itulah, saya datang menghadap baginda yang muliah.” Kata burung Bud-bud.

“Oh, begitu kiranya. Baiklah Aku akan datang membantu mengatasi masalah mereka.” Ujar Baginda Sulaiman. Para prajurit hanya diam saja, tapi mereka tidak merasa aneh, sebab memang mereka sudah tahu mukjizat baginda Sulaiman yang mengerti bahasa hewan-hewan.

“Angin, datanglah kita akan berpergian jauh.” Kata baginda Sulaiman memerintahkan angin. Mukjizat baginda Sulaiman lainnya dapat memerintahkan dan mengendarai angin. Angin datang menerbangkan sebuah karpet merah. Baginda Sulaiman mengambil tongkatnya, dan meminta burung bud-bud untuk terbang bersamanya. Burung bud-bud melompat ke atas karpet yang mengambang di udara. Setelah itu karpet dibawa angin terbang dengan cepat sekali. Disepanjang perjalanan burung bud-bud bercerita tentang negeri Melayu yang berpulau-pulau, indah dan subur. Sekarang perjalanan mereka sudah memasuki kawasan negeri melayu, hutan yang lebat dan banyak sungai, danau, lebung, benca dan bencani. Memasuki hutan tropis, angin membawa mereka terbang dengan cepat, tanpa sengaja tangan baginda Sulaiman terkena onak rotan.

“Auuuuuu.” Baginda Sulaiman terkejut dan terpekik. Tangannya berdarah sebab terkait onak berduri yang tajam.

“Angin, pelan-pelan sebab di sini hutannya lebat dan banyak onaknya. Tidak seperti hutan di negeri baginda, yang jarang dan banyak gurun.” Ujar burung bud-bud. Dia menjadi penujuk arah. Angin membawa mereka terbang di antara pepohonan besar. Angin menurunkan kecepatan hembusnya, dan mulai bertiup rendah menerbangkan karpet merah baginda Sulaiman di atas permukaan Sungai Musi. Tiba di muara Sungai Keruh, berbelok menyusuri permukaan Sungai Keruh.

“Ini sungai apa, Bud-Bud.” Tanya Baginda Sulaiman.

“Ini Sungai Keruh, baginda. Airnya kuning mirip keruh, itulah dinamakan orang Sungai Keruh.” Jawab burung Bud-Bud. Mendekati Talang Gajah Mati, mereka berhenti di sebuah hutan. Karpet turun dan berlabuh di atas permukaan tanah.

Mereka memperhatikan pemukiman sepi, tapi banyak asap mengepul pengusir nyamuk. Ternak berkeliaran, kerbau, sapi, kambing, ayam dan itik. Sedangkan penduduk mulai dari anak-anak sampai dewasa mengurung diri di dalam rumah.

*****

 

Dua orang lelaki tua berjalan perlahan-lahan memasuki Talang Gajah Mati. Mereka mampir di sebuah rumah warga, lalu meminta air minum serta menumpang istirahat. Kedua orang tua bertongkat itu, disambut pemiliki rumah dengan ramah.

“Mari masuk, beginilah keadaan rumah kita.” Ujar orang tua itu dengan ramah, dialah Uwa Malinau. Kedua tamu dan Uwa Malinau tampaknya seumuran.

“Terimakasih, sudah menerimah kami.” Ujar salah satu orang tua itu, lalu duduk bersilah berhadapan dengan Uwa Malinau beralas tikar daun pandan hutan. Mereka saling berkenalan, Uwa Malianu menyebut namanya. Tamu pertama memperkenalkan kalau namanya Rajo Bumi dan satunya bernama Uwa Kidir. Uwa Malinau meminta seorang cucu laki-lakinya mengantarkan kendi air minum dan dua sisir pisang masak. Kedua tamu tampak makan buah pisang cepat dan minum banyak. Jelas sekali kalau keduanya dari perjalanan jauh.

Sementara istri, anak-anak Uwa Malinau mengintip kedua tamu itu dari balik dinding. Mereka tidak mengenalinya dan tidak juga menganggap aneh. Pakaian kedua tamu tampak lapuk dan sudah bertambal disana-sini. Pastilah kedua orang tua itu, pengemis yang tersesat.

“Mengapa talang kalian begitu banyak asap, dimana-mana menyalahkan api.” Tanya Rajo Bumi.

Uwa Malinau menceritakaan keadaan di Talang Gajah Mati panjang lebar, sehingga kedua tamunya mengerti situasinya. Itulah sebabnya talang menjadi sepi dan penduduknya mengurung diri. Dari luar terdengar orang banyak datang di halaman rumah Uwa Malinau. Ternyata mereka adalah rombongan Datu Puyang Lang Panarap baru tiba dari Bukit Pendape.

Datu dan Hulubalang hendak memberi tahu pada Uwa Malinau kalau mereka sudah menjalankan pertapaan.

“Masuk saja, Datu.” Ujar Uwa Malinau. Datu dan Hulubalang masuk lalu ikut bergabung dengan tamu Uwa Malinau.  Dalam pada itu, Datu menceritakan peristiwa dia bertapa di Bukit Pendape. Dia menceritakan ditemui oleh seekor burung bud-bud yang memintanya pulang dan tidak ada petunjuk lain. Uwa Malinau mengangguk-angguk saja.

“Sudahlah, Datu jangan dipikirkan. Yang penting kita sudah berusaha.” Kata Uwa Malinau. Datu dan Hulubalang memberi hormat pada dua orang tua yang terus makan pisang dari tadi. Pengemis dari mana pikir Datu dan Hulubalangnya.

“Ini tamu dari jauh, Datu, Hulubalang. Ini Rajo Bumi, ini Uwa Kidir.” Uwa Malinau memperkenalkan kedua tamunya itu pada Datu dan Hulubalang.

*****

 

Beberapa saat kemudian, berkatalah orang yang mengaku Rajo Bumi.

“Kalau kiranya permasalahan sudah begitu berat, izinkan kami membantu atau memberi petunjuk.” Kata lelaki tua yang misterius itu.

“Baiklah kalau begitu, Uwa Rajo Bumi. Tidak ada salahnya mencoba, dan kami pun sangat bahagia kalau ada yang mau membantu. Sebab sudah mulai putus asa menghadapi semua ini.” Kata Uwa Malinau dengan penuh harap.

“Antarkan kami ke dekat Sungai Keruh yang kalian maksudkan.” Ujar Rajo Bumi. Semuanya setuju dan mulai turun bersama dari rumah Uwa Malinau. Lalu menuju ke tepian warga yang terletak di sisi pemukiman, tampak air sungai mengalir dengan deras, berwarna kuning seperti keruh. Mereka tiba di bibir tebing Sungai Keruh, Rajo Bumi tampak memanggil-manggil nama jin. Tiba-tiba angin datang, dan banyak jin yang menghadap Rajo Bumi. Rajo Bumi memerintahkan satu pasukan jin untuk menangkap hantu air atau Duguk. Tentu saja sumua itu tidak diketahui dan terlihat oleh Datu, Uwa Malinau, Hulubalang dan para prajuritnya. Mereka hanya merasakan hembusan angin kencang di sekitar itu.

*****

 

Baginda Sulaiman kemudian meminta diantarkan ke sisi sumber air yang jernih. Mereka berjalan cukup jauh. Lalu menemukan sebuah benca yang diteduhi pepohonan rindang. Lelaki tua yang mengaku bernama Rajo Bumi mengambil air jernih itu dengan kedua tangannya. Lalu dia membaca-baca sesuatu. Setelah itu, air ditangannya dia sebar ke dalam air benca itu. Dia meminta agar warga yang terkenah wabah diberi air minum dari air benca itu. Beberapa prajurit diperintahkan Datu untuk mengambil air dan memberikan pada warga yang sakit.

*****

 

Di bawah pohon dan di sisi benca Rajo Bumi memanggil semua nyamuk-nyamuk. Tiba-tiba angin berhembus deras, lalu awan menjadi hitam. Ternyata bukan awan hitam, melainkan gumpalan nyamuk menutupi langit dan membuat sekitar itu menjadi gelap. Hanya Uwa Kidir yang tidak terkejut dan tidak merasa aneh. Sementara Datu dan yang lainnya terkejut dan heran sekali. Baru kali ini melihat kumpulan nyamuk yang tidak terhitung banyaknya. Rajo Bumi berkata pada nyamuk-nyamuk banyak itu.

“Nyamuk mengapa kalian menularkan penyakit pada manusia?.” Tanya Baginda Sulaiman.

“Kami sangat banyak baginda, sehingga terpaksa menggigit manusia. Seandainya kami sedikit tentu tidak akan kekuarangan gigitan. Sebab itulah yang ditakdirkan Tuhan.” Jawab Nyamuk.

“Betul baginda, saat kami bertelur dan menjadi jentik akan segerah menjadi nyamuk lainnya, sehingga kami sangat banyak begini.” Kata salah satu nyamuk.

Rajo Bumi mengerti, dia kemudian berjalan-jalan dibantu tongkatnya di sisi benca-beca itu. Berpikir keras untuk mengatasi masalah nyamuk. Tanpa sengaja tangan dia yang terlukan karena terkait onak, terserempet ranting pohon kecil. Sehingga kulit terkelupas dan jatu ke air. Ajaibnya, kelupas luka tangan Rajo Bumi berubah menjadi beberapa ekor ikan kecil berwarna hitam. Kejadian itu diperhatikan oleh Uwa Malinau, Datu, hulubalang dan para prajurit. Rajo Bumi hanya mengcap syukur atas kehendak Allah. Ikan itu, berkata pada Rajo Bumi.

“Aku ikan Tempale, pemakan anak serangga termasuk jentik-jentik nyamuk, baginda.” Kata Ikan itu.

“Baiklah kalau begitu, Aku tugaskan agar kalian memakan jentik-jentik nyamuk, agar tidak terlalu banyak. Tugas kalian ini sampai akhir zaman.” Perintah Rajo Bumi. Sejak saat itulah, ikan tempale hadir di dunia dan menjadikan jentik nyamuk makanan mereka.

Baginda Sulaiman atau yang dikenal Warga Talang Gajah Mati orang tua bernama Rajo Bumi kembali berpikir keras. Dia menunggu kabar dari tentara jin yang dia perintahkan untuk menangkap hantu air atau Duguk belum kembali. Karena lelah menunggu, Rajo Bumi mengajak semuanya istirahat di bawah pohon rengas.

Tiba-tiba pasukan jin datang dalam wujud manusia. Tampak sesosok berbulu hitam memenuhi tubuhnya, dan berambut panjang, terikat. Kemudian dihadapkan ke Baginda Sulaiman.

“Maafkan kami baginda, sebab Jin ini licik dan sulit ditangkap.” Kata pimpinan pasukan Jin.

“Oh, kau ini jin yang suka mengganggu penduduk di sini, bernama Duguk. Kau akan akau hukum mati karena sudah sangat meresahkan.” Kata Baginda Sulaiman.

“Ampun baginda, berilah kesempatan padaku, Aku akan berubah.” Kata Duguk atau hantu air. Baginda Sulaiman lama mempertimbangkannya, dan dia memperhatikan kesungguhan Duguk. Karena dia bijaksana dan hatinya lembut. Akhirnya dia membebaskan Duguk atau hantu air asal dia berjanji tidak mengganggu manusia lagi.

“Kalau kau mengingkari janji, kau akan dihukum mati?.” Kata Baginda Sulaiman. Duguk atau hantu air dibebaskan dan dia kembali ke Sungai Keruh. Rajo Bumi berpikir bagaimana mengawasi Duguk apa bilah dia sudah pulang atau dia sudah meninggal kelak. Tanpa sengaja Baginda Sulaiman menendang tongkatnya, dan jatuh kedalam benca. Tongkat itu, dengan ajaib berubah menjadi seekor mahkluk yang mirip ular. Lalu mahkluk itu berkata pada Baginda Sulaiman.

“Baginda Sulaiman, Aku ikan belut siap untuk ditugaskan untuk mengawasi hantu air atau Duguk itu, kalau dia mengingkar janji.” Ujar Belut.

“Baiklah, kalau begitu Aku tugaskan kau mengawasi Duguk dan hukum mati dia kalau mengingkari janjinya.” Kata Baginda Sulaiman.

Kejadian ajaib itu disaksikan oleh semuanya. Namun mereka tetap tidak mengerti bahasa hewan sebagaimana baginda Rajo Bumi. Baginda Sulaiman berkata pada Uwa Malinau, Datu Puyang Lang Panarap, Hulubalang, dan para prajurit kalau hantu air atau Duguk tidak akan mengganggu mereka lagi. Oleh sebab itu, sudah aman kalau mereka akan mandi, dan menangkap ikan di Sungai Keruh.

Untuk masalah nyamuk, sudah selesai karena ikan Tempale akan memakan jentik-jentik nyamuk sehingga jumlah nyamuk tidak terlalu banyak lagi kedepannya. Secara perlahan jumlah nyamuk akan berkurang. Mereka dianjurkan untuk memelihara ikan tempale di sumber air, sumur, wadah air, dan lainnya. Itulah mengapa, ikan tempale kemudian menyebar disetiap ada mata air dan mereka memakan jentik nyamuk.

“Ingat pesan saya, jangan merusak sumber air, terutama aliran air disekitar tempat tinggal, agar ikan tempale dapat hidup. Kalau sumber air disekitar tempat tinggal di rusak kalian akan menghadapi bencana gigitan nyamuk.” Pesan Rajo Bumi. Semua mengangguk dan paham.

“Uwa Rajo Bumi dan Uwa Kidir, marilah tinggal di Talang kami. Terimah kasih sudah membantu musibah kami. Kami takkan mampu membalas budi kalian.” Kata Datu.

“Kami akan pulang terlebih dahulu dan akan memberi kabar nanti atas niat baik kalian.” Ujar Rajo Bumi menolak dengan halus.

“Pakailah perahu bidar kami, untuk kendaraan pulang.” Kata Hulubalang. Kedua orang tua itu hanya mengucapkan terimakasih atas tawaran hulubalang. Kedua orang tua berjalan masuk hutan, diikuti pasukan misterius itu. Uwa Malinau, Datu, Hulubalang, dan para prajurit pun pulang. Warga yang sakit sudah sembuh keesokan harinya. Warga kembali beraktivitas normal di Sungai Keruh, mandi, mencuci, menangkap ikan.

Dua orang tua yang baru datang entah dari mana, dan pergi entah kemana. Pasukan penangkap Duguk juga pergi entah kemana. Jalan-jalan hanyalah hutan-hutan yang lebat, tapi mereka melalui jalan mana. Keanehan yang tidak bisa diuraikan oleh pikiran mereka. Hanya Uwa Malinau yang dapat mengerti dengan baik hal itu. Tapi dia tidak memberi tahu orang-orang.

Peristiwa yang menyisakan cerita dan legenda dikemudian hari. Sejak saat itu, cerita Puyang Burung Jauh dan Puyang Rajo Bumi terus berkembang di tengah masyarakat Melayu di Talang Gajah Mati dan di Kawasan Dataran Negeri Bukit Pendape atau Marga Sungai Keruh. Menjadi cerita rakyat yang terkenal pada masanya dan dituturkan terus menerus, Andai-Andai Puyang Burung Jauh.

Oleh. Joni Apero.
Editor. Selita, S.Pd.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 29 Agustus 2021.
Sumber andai-andai: Nenek penulis Ahiyah. Diceritakan pada penulis waktu umur enam tahun.

Arti Kata: Tempale: Ikan Tempalo. Datu: Pemimpin. Puyang: Gelar Kehormatan. Duguk: Nama sebutan hantu air. Benca: tempat penampungan air alami seperti sungai kecil. Bencani: Penampungan air alami berbentuk danau kecil. Talang: Penyebutan tempat pemukiman tradisional sederhana.

Andai-andai:

Andai-andai adalah sastra lisan tradisional pada masyarakat Melayu di Kabupaten Musi Banyuasin dan Provinsi Sumatera Selatan. Andai-andai sama halnya dengan hikayat atau tradisi lisan tambo dari Sumatera Barat. Andai-andai bersifat cerita rekaan atau dongeng, dengan tokoh manusia, hewan, tumbuhan dan komponen alam semesta lainnya. Berfungsi sebagai hiburan dan nasihat. Di ceritakan turun temurun oleh orang-orang tua (kakek-nenek) pada generasi yang lebih muda.

Sy. Apero Fublic