Artikel
Kampus
Mahasiswa
Opini
Pendidikan
Mengurai Dampak Nyata Program Merdeka Belajar terhadap Ketimpangan Mutu Sekolah di Daerah Terpencil
APERO FUBLIC I ARTIKEL.- Sudah bukan rahasia lagi bahwa mutu pendidikan di Indonesia memiliki jurang pemisah yang sangat lebar, terutama antara sekolah-sekolah di kota besar dengan sekolah di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T). Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024 Pasal 2 Ayat (1), kriteria daerah tertinggal mencakup 4 poin, yaitu perekonomian masyrakat, sumber daya manusia, saran dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas, serta karakteristik daerah. Di pasal yang sama Ayat (3) disebutkan pula. Ada indikator dan sub indikator yang digunakan untuk menentukan kriteria ketertinggalan. Indikator dan sub indikator tersebut diatur dengan Peraturan Mentri.
Kesenjangan yang parah ini menjadi penghalang utama bagi kemajuan sumber daya manusia kita. Murid-murid di daerah 3T sering terhambat dalam belajar karena masalah mendasar seperti kurangnya infrastruktur digital yang memadai dan kualitas guru yang belum merata. Akibatnya, mereka kesulitan mencapai standar kompetensi yang sama dengan teman-teman mereka di kota, sehingga peluang mereka di masa depan pun menjadi terbatas. Padahal Standar Naional Pendidikan tertian dalam PP Nomor 57 Tahun 2021 yang menegaskan baha semua peserta didik, tanpa memandang Lokasi geografis, berhak memperoleh layanan Pendidikan yang setara; namun pada kenyataannya kesenjangan fasilitas menyebabkan siswa di daerah tertinggal sulit mencapai kompetensi yang sama dengan sisa di kota besar.
Untuk menghadapi tantangan besar ini, pemerintah meluncurkan Program Merdeka Belajar (PMB). Tujuan utama PMB sangat jelas: menciptakan dampak nyata dalam mengurangi ketimpangan mutu pendidikan secara sistematis, sekaligus membangun fondasi yang kuat untuk akses pendidikan yang adil dan menjamin kesejahteraan guru di seluruh pelosok negeri. Program inilah yang akan kita bahas lebih lanjut mengenai pilar-pilar pentingnya.
Pilar Program Merdeka Belajar untuk Pemerataan Mutu
Program Merdeka Belajar (PMB) dirancang dengan tiga pilar utama yang langsung menyerang akar masalah ketidakmerataan mutu pendidikan. Pertama adalah Penguatan Gedung dan Fasilitas Sekolah yang sering disebut Revitalisasi. Menurut Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), 22.000 sekolah di Indonesia akan di renovasi menggunakan alokasi anggaran sebesar Rp. 20 triliun (sekitar US$1,2 miliar).
Pada program ini menargetkan perbaikan dan pembangunan kembali sekolah-sekolah yang rusak. Menariknya, perbaikan ini sering memakai mekanisme pengelola, artinya masyarakat dan sekolah setempat ikut serta mengelola dana perbaikan. Ini membuat dana lebih efektif dan masyarakat merasa memiliki. Dampaknya, fasilitas yang layak otomatis menciptakan lingkungan belajar yang lebih aman, nyaman, dan pastinya lebih kondusif bagi guru dan murid.
Kedua berfokus pada Inisiatif Digitalisasi Pembelajaran. Di era digital ini, sekolah di pelosok tidak boleh tertinggal. PMB mempercepat adopsi teknologi dengan membagikan perangkat TIK seperti Interactive Flat Panel (IFP) atau komputer/tablet ke sekolah-sekolah. Melalui program digitalisasi Pendidikan 2025, pemerintah menargetkan menjangkau 288.865 sekolah di seluruh Indonesia. Bahwa target distribusi perangkat ke 288.865 sekolah menunjukkan bahwa Upaya digitalisasi dilakukan secara masif bukan hanya proyek kecil meyakinkan bahwa ini Adalah inisiatif nasional yang serius untuk meratakan akses Pendidikan. Yang paling penting, PMB mengembangkan Platform Rumah Pendidikan ini sumber belajar digital yang bisa diakses secara luas. Platform ini diciptakan khusus untuk mengatasi kekurangan materi ajar dan sumber daya guru di daerah terpencil, sehingga kualitas materi pelajaran yang diterima siswa bisa setara dengan di perkotaan.
Ketiga adalah pilar krusial: Peningkatan Kualitas dan Kesejahteraan Tenaga Pendidik. Sebagus apa pun gedungnya, mutu pendidikan tetap ada di tangan guru. PMB menyediakan Program Beasiswa Kualifikasi dan Pendidikan Profesi Guru (PPG) agar guru-guru di daerah terpencil bisa memenuhi standar profesional. Pada tahun 2025, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (kemendikdasmen) membuka Kembali program Pendidikan Profesi Guru (PPG) bagi guru yang sudah aktif mengajar tapi belum memiliki sertifikat pendidik pada tahap pertama, dipanggil sekitar 325.000 guru mendapat akses PPG menunjukkan bahwa pemerintah serius meningkatkan profesionalisme guru.
Analisis Dampak Nyata dan Tantangan di Daerah Terpencil
Untuk mengukur keberhasilan Program Merdeka Belajar (PMB), pemerintah menggunakan alat ukur bernama Tes Kemampuan Akademik (TKA), yang terintegrasi dalam Asesmen Nasional (AN). Ini seperti rapor besar yang memetakan mutu pendidikan di berbagai daerah. Dari analisis awal, ada harapan besar: terlihat potensi peningkatan pada kemampuan literasi (membaca dan memahami) dan numerasi (berhitung) siswa di daerah terpencil. Peningkatan ini terjadi karena adanya kurikulum baru yang memang fokus mengajarkan kompetensi yang paling esensial. Di sini, Platform Rumah Pendidikan memainkan peran yang sangat vital. Platform ini berfungsi sebagai penyelamat karena menyediakan materi pelajaran yang kualitasnya setara dengan sekolah di perkotaan, membuat guru di pelosok tidak perlu khawatir kekurangan bahan ajar dan memastikan setiap siswa mendapatkan akses materi pembelajaran yang adil.
Meskipun strateginya sudah bagus, pelaksanaan PMB di daerah 3T ternyata tidak mudah dan menghadapi tantangan yang sangat berat. Masalah terbesar adalah Infrastruktur Dasar yang belum siap. Banyak sekolah masih kesulitan mendapat listrik yang stabil atau akses internet yang sangat buruk, sehingga alat-alat canggih seperti perangkat TIK atau Interactive Flat Panel (IFP) yang sudah dibagikan jadi tidak bisa berfungsi optimal. Tantangan kedua adalah Isu Retensi Guru Berkualitas. Walaupun tunjangan sudah ditingkatkan, kendala logistik, rasa terisolasi, dan jauh dari keluarga membuat guru-guru yang berdedikasi sering kali tidak betah dan akhirnya pindah ke lokasi yang lebih mudah dijangkau. Terakhir, ada masalah Dukungan Ekosistem Lokal. Di banyak daerah terpencil, orang tua dan masyarakat belum sepenuhnya terlibat atau mendukung program pendidikan baru, apalagi yang berbasis teknologi dan Kurikulum Merdeka. Perlu sosialisasi yang sangat mendalam agar ada kerja sama yang solid antara sekolah dan komunitas dalam mendukung perubahan ini.
![]() |
| Foto Ilustrasi |
Studi Kasus dan Analisis Implementasi Nyata
Pertama datang dari Kabupaten daerah pegunungan dengan tantangan konektivitas yang signifikan. Meskipun sinyal internet sulit didapat, guru-guru di sana justru berinovasi dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka, khususnya melalui Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Mereka memanfaatkan hasil bumi lokal, seperti cara pengolahan kopi atau menenun, sebagai konteks pembelajaran. Dampaknya terlihat jelas: data Asesmen Nasional (AN) menunjukkan adanya peningkatan motivasi siswa dalam pelajaran Bahasa Indonesia (karena mereka harus menulis narasi proyek) dan Matematika (karena mereka harus menghitung biaya dan keuntungan).
Kedua adalah Program Guru Penggerak di Kepulauan daerah terluar yang terisolasi. Guru Penggerak di sana fokus pada peran mereka sebagai pendamping bagi guru-guru lain di sekolah-sekolah yang sulit dijangkau. Temuan menunjukkan keberhasilan besar dalam menciptakan komunitas belajar online, bahkan hanya melalui media sosial atau aplikasi chat sederhana, untuk berbagi praktik mengajar yang baik. Sayangnya, ada tantangan besar yaitu rotasi guru; setelah mereka lulus program dan menjadi panutan, beberapa Guru Penggerak justru dipindahkan ke lokasi yang lebih mudah, menyebabkan sekolah asal mereka kembali kehilangan role model.
Bandingkan Sekolah Penggerak dengan Sekolah Non-Penggerak yang sama-sama berada di daerah terpencil, dengan melihat skor literasi dan numerasi dari Rapor Pendidikan. Perbandingan ini bertujuan mengidentifikasi faktor PMB mana yang paling berkontribusi. Hasilnya menunjukkan bahwa Sekolah Penggerak memiliki capaian yang lebih baik. Faktor utama yang membuat mereka unggul adalah pelatihan intensif dan pendampingan dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka. Sementara itu, di Sekolah Non-Penggerak, inisiatif digitalisasi seperti pemanfaatan Platform Rumah Pendidikan menjadi penyeimbang, terbukti efektif membantu guru bermotivasi tinggi dalam mengurangi ketimpangan mutu materi pembelajaran, meskipun mereka tidak mendapat pendampingan seintensif Sekolah Penggerak.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Program Merdeka Belajar (PMB) telah menunjukkan capaian positif dalam upaya mengurangi ketimpangan di daerah terpencil. Keberhasilan utamanya terletak pada tiga aspek: penguatan kompetensi guru (melalui Program Guru Penggerak), dukungan peningkatan kesejahteraan (lewat penyesuaian tunjangan), dan penyediaan materi belajar yang setara (berkat Platform Rumah Pendidikan). Namun, ada dua area yang masih memerlukan perhatian serius. Pertama adalah keberlanjutan guru berkualitas di daerah 3T, dan kedua adalah percepatan pembangunan infrastruktur dasar seperti listrik dan internet, yang menjadi prasyarat utama agar program digitalisasi bisa berjalan efektif.
Untuk memaksimalkan dampak PMB dan memastikan pemerataan mutu yang berkelanjutan, ada beberapa langkah strategis yang perlu didorong. Pertama, harus ada Peningkatan Sinergi Lintas Sektor. Pemerintah daerah dan kementerian terkait lainnya (seperti yang mengurus komunikasi dan energi) harus bekerja sama erat untuk mempercepat pembangunan infrastruktur 3T. Infrastruktur dasar ini wajib diselesaikan sebelum perangkat TIK dibagikan. Kedua, Program Peningkatan Kompetensi Guru harus lebih kontekstual, yaitu fokus pada pemanfaatan sumber daya lokal dan teknologi sederhana, serta dibuat berkelanjutan melalui komunitas belajar di sekolah. Perlu dirumuskan Strategi Keberlanjutan dan Monitoring Evaluasi yang Komprehensif. Ini termasuk mengembangkan skema insentif khusus yang lebih kuat (bukan hanya finansial) agar guru betah di lokasi 3T, serta sistem pemantauan berbasis data Asesmen Nasional (AN) yang lebih rinci untuk mengetahui faktor PMB mana yang paling efektif menurunkan ketimpangan mutu.
Ditulis/Oleh: Salsabila Eka Ayuningtias
(Mahasiswi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah).
Sy. Apero Fublic
Via
Artikel



Post a Comment