4/03/2020

Mengenal Tradisi Kebudayaan Masyarakat Melayu Bangka Belitung

Apero Fublic. Provinsi Bangka Belitung, masuk dalam kawasan wilayah Batanghari sembilan. Pepatah orang tua-tua: Batanghari Sembilan hulu di Bengkulu dan hilirnya di Bangka Belitung. Sumatera Selatan dan Lampung menjadi tengahnya. Pengistilahan itu masih tampak pada kebudayaan empat provinsi tersebut. Sehingga, budaya dan adat istiadat hampir sama.

Provinsi Bangka Belitung mayoritas beragama Islam dan beretnis Melayu. Ada banyak pendatang, seperti orang Cina, dan dari berbagai wilayah Indonesia. Rekaman kebudayaan tersebut memberikan informasi dan deskripsi kesamaan budaya. Berikut ini sedikit informasi tentang tradisi kebudayaan masyarakat Melayu Bangka Belitung.

1. Tradisi Maras Taun.
Pesta rakyat Maras Taun adalah bentuk ungkapan rasa syukur kepada tuhan yang maha kuasa atas rahmat dan nikmatnya pada kehidupan manusia. Selain ungkapan rasa syukur Pesta Rakyat Maras Taun juga bermaksud meminta kebaikan dan perlindungan pada sang pencipta alam untuk masa yang akan datang (Allah SWT). Pengertian secara bahasa, kata maras berarti motong atau memotong dapat juga bermakna memanen. Sedangkan kata taun berarti tahun.

Dapat dikesimpulkan bahwa pesta rakyat maras tahun adalah suatu tradisi yang dilaksanakan setahun sekali. Tradisi ini hampir sama dengan tradisi sedekah rami di Musi Banyuasin dimana masyarakat di Kecamatan Sungai Keruh mengadakan sedekah rami (sedekah bumi) setahun sekali setelah musim panen padi ladang. Biasanya dilaksanakan antara bulan Maret-Mei.

Cikal bakal tradisi maras tahun berawal dari sedekah panen masyarakat setelah memanen padi di ladang atau sawa. Dalam perkembangannya tradisi budaya maras tahun ini berkembang menjadi pesta rakyat bersama. Dimana masayarakat bersatu untuk melaksanakan perayaan pesta panen bersama-sama. Keterlibatan pihak pemimpin dalam masak kampanye biasanya sangat dominan. Karena disini akan tercipta panggung politik dan jalan menarik simpati rakyat pada perpolitikan lokal.

Perayaan maras tahun biasanya bertepatan masa cuaca bersahabat dimana laut tenang. Para nelayan juga merayakan musim menangkap ikan di laut yang tenang. Adapun susuanan acara kegiatan yang diadakan saat pelaksanaan tradisi budaya ini. Pertama, biasanya pembukaan oleh panitia pelaksana. Kemudian diawali dengan penampilan seni budaya asli Bangka Belitung seperti kesenian dambus. Lalu dilanjtkan tarian maras taun dan doa yang dipimpin ketua adat setempat. Mungkin setelahnya dilanjutkan kegiatan yang lainnya.

2. Tradisi Buang Jong.
Tradisi Buang Jong adalah suatu aktivitas budaya dimana masyarakat membuat sejenis persembahan pada laut. Berupa replika kapal jung yang dibuat sederhana lalu dihannyutkan ketenga laut. Secara bahasa kata buang berarti sesuatu yang di jauhkan dan tidak mau memilikinya atau menolak. Bermakna menjelaskan suatu yang ditolak atau yang tidak mau melekat atau disertainya hal tersebut. Maka hal tersebut harus dibuang.

Dalam hal ini adalah musibah saat mereka berlayar ke laut untuk menangkap ikan. Sedangkan kata jong berarti perahu jung atau kapal jung. Kapal jung adalah jenis kapal layar zaman dahulu yang digunakan untuk berdagang. Kapal Jung digunakan saudagar-saudagar berlayar bedagang dari kerajaan satu ke kekerajaan lain. Sebagai contoh misalnya kapal jung Cina zaman dahulu dan lainnya.

Tidak heran apabila tradisi buang jong ini terdapat di tengah masyarakat Melayu yang dikenal dengan kelompok Orang Laut. Mereka dijuluki orang laut karena kehidupan mereka sangat dekat dengan laut. Mereka memang sudah sejak zaman Kedatuan Sriwijaya, bahkan mungkin jauh sebelum era Sriwijaya mungkin mereka sudah dekat dengan laut bahkan mungkin menjadi angkatan laut Kedatuan Sriwijaya.

Banyak juga yang berkata kalau kelompok mereka terbentuk dari angkatan laut Kedatuan Sriwijaya yang ditugakan mengawasi selat Malaka, selat Bangka. Kelompok orang laut ini tersebar seperti di Riau, Jambi, Bangka Belitung dimana wilayah sibuk yang selama ribuan tahun menjadi jalur perdangan Internasional sekaligus wilayah kekuasaan Kemelayuan. Orang Laut pada masa Kesultanan Riau Lingga juga menjadi kelompok masyarakat Melayu yang pandai berlayar.

Sementara  di tarik ke hulu Sungai Musi atau daerah uluan Sumatera Selatan. Masyarakat Kayu Agung yang hampir sama pola kehidupan pada masa lalunya. Dimana orang-orang Kayu Agung atau sekitanya suka berdangan dengan perahu kajang yang tidak jauh berbeda dengan perahu jung. Berbedanya perahu kajang adalah bentuk perahu perdagangan sungai. Kemungkinan adanya asal usul keturunan antara orang laut dengan masyarakat uluan Sumatera Selatan perlu untuk diselidiki.

Dalam proses tradisi buang jong. Dimana replika perahu diisi dengan semacam sedekahan (sesaji). Pelaksanaan tradisi buang jong dilaksanakan saat musim kemarau dimana angin sudah mulai bertiup ke arah barat. Kemungkinan kebiasaan persembahan ini adalah ritual dimana semasa pengaruh Hindhu-budha dahulu. Yaitu kebiasaan biksu atau brahmana setiap mereka akan berangkat berlayar. Terlebih dahulu melakukan upacara dengan menghantar sedekahan ke tengah laut. Mengingat kawasan ini adalah jalur perdagangan dan bagian dari kekuasaan Kedatuan Sriwijaya.

Bertiupnya angin ke barat atau ke timur adalah bentuk ilmu pelayaran zaman dahulu. Dimana wilayah Sriwijaya menjadi kawasan bermukim untuk menunggu perubahan mata angin. Karena kapal layar membutuhkan angin untuk mendorong layar ke wilayah barat, meliputi Ceylon (mianmar), India, Persia, Arab. Untuk angin timur dan selatan digunakan untuk berlayar ke Cina dan Asia tenggara lainnya.

Kemudian ritual tersebut diikuti oleh masyarakat Melayu Bangka Belitung turun temurun. Karena sistem sesaji adalah bagian dari pengaruh budaya India. Tradisi ini dilaksanakan setahun sekali. Lama pelaksanaan tradisi tiga hari tiga malam. Tradisi dipimpin langsung oleh tetua adat setempat. Saat sekarang harapan teradisi telah bergeser. Yaitu, untuk kebaikan laut, terhindar dari bencana seperti badai, dan selamat dalam pelayaran menangkap ikan di laut

3. Ngonggong Dulang
Tradisi ngonggong dulang adalah tradisi perayaan menyambut Isra’ Mi’raj. Atau hari-hari besar Islam lainnya. Seperti saat bulan ruwa atau saat sedekah roah dikenal di Musi banyuasin. Atau saat syukuran bersama, lebaran Muharam dan penyambutan tamu agung (tamu kehormatan). Suatu tradisi yang sarat dengan keislaman. Dalam tradisi ini, masyarakat bergotong royong membuat dan menyumbangkan berbagai jenis kuliner ke masjid atau tempat kegiatan untuk disantap bersama dalam acara tersebut.

Kata ngonggong adalah kata dalam bahasa Melayu yang berarti membawa sesuatu ke suatu tempat dengan tujuan tertentu. Menjelaskan juga kalau yang dibawa itu banyak dan besar. Kalau diartikan seacara bahasa kata ngonggong adalah sama dengan membawa. Namun pengertian membawa belum tepat karena kata membawa menunjukkan keumuman  makna hal yang dibawa. Dulang sejenis wadah makanan yang besar atau sesuatu yang besar mirip baskom atau melebar.

Kata dulang sendiri berkembang dari nama aktivitas pertambangan tradisional dan alat penambang yaitu dulang. Tidak heran kalau ada tradisi yang terpengaruh dengan budaya pertambangan. Karena Bangka Belitung adalah wilayah tambang timah sejak zaman Sriwijaya. Di Musi Banyuasin Dulang dinamakan pada sejenis gong yang lebar dan besar. Sesungguhnya pada masa-masa lampau tradisi ini hampir ada di seluruh Nusantara hanya berbeda nama saja disetiap daerah. Namun seiring waktu dan perkembangan zaman tradisi ini perlahan dilupakan.

Oleh. Totong Mahipal
Editor. Selita. S.Pd.
Palembang, 3 April 2020.
Sumber foto lama. Gadis Melayu. Pinterest.
Sumber:
Skripsi. Tri Astuti. Nilai-Nilai Islam Yang Terkandung Dalam Syair Kesenian Dambus Di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka (1950-2012). Palembang: Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang Fakultas Adab dan Humaniaora (SPI). 2017.

Sy. Apero Fublic

0 komentar:

Post a Comment