3/23/2020

Mengenal Pemerintahan Marga. Bengkulu. Sumatera Selatan. Lampung. Bangka Belitung

Apero Fublic.- Sejarah awal masyarakat Sumatera Selatan berasal dari atas-atas bukit dan gunung-gunung. Hal ini dapat diungkap dari adanya temuan kerangkah manusia purba penghuni gua-gua (gua putri). Berlanjut kemudian masuk masa peradaban zaman megalitikum. Peninggalan tersebar di daerah Pagar Alam, Lahat dan sekitar yang mencapai luas 40 kilometer persegi luas sebaran. Atau yang disebut oleh peneliti Belanda dari Gunung Suminung, Gunung Dempo, Gunung Kaba. Masa awal peradaban, mereka masih penganut animisme dan dinamisme.

Secara umum di Nusantara kehidupan zaman megalitikum memang di atas bukit-bukit atau dataran tinggi. Mulai dari Aceh sampai Papua atau secara umum di seluruh kawasan Austronesia. Ketika penyebar agama hindu dan budha. Mereka para penyebar budaya mengenal orang Indonesia yang tinggal di bukit-bukit dan anak gunung tersebut. Termasuk orang-orang di Sumatera Selatan. Maka orang India menamakan orang Indonesia dengan orang-orang Mala atau bangsa Mala. Mala dalam bahasa sanskerta berarti bukit atau gunung atau dataran tinggi.

Waktu berlau memasuki awal abad-abad Masehi. Ketika interaksi orang India dan Cina menguat. Mereka berlayar dan menginformasikan tentang negeri orang yang tinggal di atas bukit atau gunung, orang Mala. Orang Cina pun bersama di dalam komunitas mereka menambahkan kata Yu dalam menjelaskan negeri orang Mala (Indonesia). Yu dalam bahasa kuno Cina berarti negeri atau kerajaan.

Pengaruh hindu dan budha semakin kuat. Orang-orang Indonesia yang tinggal di bukit, gunung atau dataran tinggi mulai turun ke dataran rendah dan muara sungai di laut. Orang Cina yang dominan berdagang selalu menyebut dengan nama mala-yu untuk menamakan orang Indonesia, terutama orang di Sumatera Selatan. Beriring juga peradaban dunia naik ditimur dan barat. Sehingga interaksi perdagangan meluas. Mereka yang baru datang ke Nusantara Mengenal juga istilah Mala-yu selagi masih di pelabuhan mereka. Waktu berlalu, menjadikan nama mala-yu dikenal oleh bangsa-bangsa asing dan seluruh Nusantara.

Perkembangan peradaban pertama terbentuk di Kalimantan dan Sumatera Selatan. Juga di sepanjang jalur pelayaran dan selat Malaka melewati Laut Natuna Utara. Munculnya Kedatuan Sriwijaya yang kuat dan besar menguasai Aisa Tenggara. Maka istilah Melayu atau Malayu melekatk pada negeri-negeri di kawasan yang bahasanya sama dengan bahasa masyarakat Kedatuan Sriwijaya. Sehingga Sumatera Selatan juga diakui sebagai negeri asal usul Melayu.

Bersamaan berkembangnya pengaruh hindu dan budha. Pengaruh budaya dan bahasa juga mengiringi. Seperti, munculnya gelar puyang. Kata puyang berasal dari kata pu dan hyang. Kata pu menjelaskan tempat atau terletak. Hyang adalah kata dalam bahasa sanskerta yang berarti, sebuah kekuatan supranatural yang bersifat ilahia. Dengan demikian kata puyang berarti pemimpin suatu tempat yang memiliki kekuatan, kelebihan dan sebagainya yang bersifat sakti. Pengambilan gelar hyang juga dilakukan oleh Dapunta. Pendiri Kedatuan Sriwijaya dari Minanga di daerah Ogan Komering Ilir sekarang, Dapunta Hyang.

Dalam perkembangan kemudian orang Melayu yang telah menyebar di seluruh pelosok Pulau Sumatera Bagian Timur, berkembang. Terciptalah suatu komunitas masyarakat yang berdasarkan kekerabatan atau kepuyangan yang mendiami suatu kawasan. Maka timbulah suatu pemerintahan tradisional, yaitu Pemerintahan Marga yang bersifat genoalogis atau berdasarkan seketurunan diistilahkan dnegan kepuyangan. Kemudian dalam perkembangannya Pemerintahan Marga selain bersifat genoalogis juga bersifat teritoris (wilayah).

Penduduk menyebut tempat tinggal baru dengan Talang. Terciptalah talang-talang baru dari kepuyangan mereka. Pemukiman penduduk tersebut yang sudah terdiri dari Talang-Talang bersatu membentuk suatu kepemimpinan, menjadi dusun.

Luas wilayah marga sesuai dengan wilayah yang didiami oleh kelompok mereka. Terbagi dalam beberapa dusun-dusun. Dari inilah kemudian mereka bersatu membentuk suatu pemerintahan lokal. Pemerintahan untuk melindungi diri, melindungi kelompok dan menegakkan aturan hukum dan adat istiadat.

Sebelumnya, sistem pemerintahan marga di pimpin oleh orang terkuat pada masanya. Atau orang yang dituakan (jurai tue) atau dipilih rakyat. Kemudian sistem kepemimpinan menjadi bersifat monarki atau turun-temurun. Sebab masuknya pengaruh hindu dan budha. Hal ini dapat di lihat dari berdirinya Kedatuan Sriwijaya. Karena penguasa ingin mengambil dukungan dan kesetian pemimpin marga apabila mereka di akui kepemimpinannya yang bersifat turun temurun.

Sistem Pemerintahan Marga terdapat di Pulau Sumatera Bagian Timur. Meliputi seluruh wilayah Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bengkulu, Provinsi Bangka Belitung dan Provinsi Lampung. Semua wilayah ini memiliki pemerintahan marga pada masa lalu. Kalau secara historis empat provinsi memiliki kesamaan sistem budaya dan adat istiadat, Melayu.

Bukti Pemerintahan Marga sudah ada semasa Kedatuan Sriwijaya. Dapat dibuktikan dengan kabar tertulis pada prasasti Kota Kapur peninggalan Kedatuan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. Cuplikan bunyi prasasti baris ke empat dan kelima: (4) yang mengenal pemberontak, yang tidak berprilaku terhormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu; biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk biar sebuah ekspedisi untuk melawannya seketika dibawah pimpinan datu atau beberapa datu Sriwijaya dan biar mereka. (5) di hukum bersama marga dan keluarganya. Lagipula biar semua perbuatannya yang jahat; seperti mengganggu; ketentraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, memakai racun upas dan tuba, ganja.”

Kalau kita cermati dari barisan keempat dan ke lima ada nama datu yang diangkat atau datu yang memimpin. Ada kata, “marga dan dirinya.” Dari sini menunjukkan ada gelar pemimpin “Datu” yang kemungkinan sebagai gelar pemimpin marga masa itu (Pemerintahan Marga). Sedangkan gelar depati digunakan sebagai gelar kepala dusun (Talang). Gelar Depati masih di temukan sebagai kepala dusun pada tahun 1883 oleh W. Marsden (Arlan Ismail:13:2004).

Dari itulah, Sriwijaya menggunakan istilah Kedatuan sebagai nama negerinya, Kedatuan Sriwijaya. Bermakna bersatunya wilayah yang dipimpin datu-datu didalam wadah Sriwijaya sebagai suatu kerajaan besar. Kemungkinan istilah kedatuan inilah yang nantinya diserap masuk ke istilah di Jawa, sistem Keratuan. Saat Sriwijaya berkuasa di Pulau Jawa beberapa abad lamanya. Peninggalan besar Kedatuan Sriwijaya di Jawa Tengah adalah Candi Borobudur.

1. Pemerintahan
Pada awalnya Palembang setelah keruntuhan Kedatuan Sriwijaya pada abad ke 11. Terjadi kekosongan pemerintahan dalam masa beberapa waktu. Sehingga Palembang menjadi sarang bajak laut Cina. Datangnya Ceng Ho atau Ma Huan membasmi bajak laut. Semasa kebangkitan Kerajaan Majapahit abad ke 14 Masehi. Palembang diduduki oleh kerajaan Majapahit. Palembang ditempatkan seorang Adipati Majapahit bernama Ariyo Damar yang kemudian berganti menjadi Aryo Abdillah. Masuknya Aryo Dillah kedalam Islam sebab Penduduk Palembang telah mayoritas muslim waktu itu.

Pada masa penerus Aryo Abdillah yaitu Adipati Karang Widara. Banyak melakukan ekspedisi ke daerah hulu musi (uluan) untuk meluaskan pengaruh Palembang. Karena Palembang sesunggunya hanyalah wilayah kecil dipinggiran Sungai Musi. Dalam meluaskan pengaruhnya penerus Aryo Abdilla adipati Karang Widara (1485) menggunakan cara diplomasi kekeluargaan. Masa Karang Widara baru menyatukan 100 dusun di daerah uluan. Yang nantinya akan dilanjutkan oleh sultan-sultan Palembang.

Semasa Kesultanan Pemerintahan marga disatukan dengan diplomasi seperti yang dilakukan Adipati Karang Widara. Sistem kepemimpinan marga di pimpin seorang pesirah, depati. Dibantu pembarap dan juru tulis. Mereka bertanggung jawab ke Pati di Palembang.

Dalam urusan agama ada penghulu. Dusun (desa) di pimpin oleh seorang keria atau proatin. Kampung dipimpin oleh punggawa dan urusan agama oleh ketib dan (khatib). Sultan juga memberikan gelar pangeran, depati dan melegalisasi pendirian marga baru. Menjadi legalisasi kepemimpinan marga. Seperti pembentukan Marga Sanga Desa oleh Depati Samsudin. Depati Samsudin menjadi pesirah dilegalitas Sultan Palembang. Lima tahun kemudian Depati Samsudin dianugerahi gelar Pangeran (Oedji Anang: 1985).

2. Angkan Dangkan
Angkan Dangkan atau angkan-angkanan keluarga adalah bentuk budaya masyarakat Melayu Sumatera Selatan. Sampai sekarang budaya angkat keluarga masih sering dilakukan masyarakat. Angkat keluarga menjadi salah satu diplomasi penguasa Palembang dalam menyatukan sebuah Pemerintahan Marga di daerah uluan ke dalam pemerintahan.

Para depati diangkat menjadi keluarga raja. Karena sudah menjadi keluarga raja. Maka pemimpin marga mendapat gelar Pangeran. Lalu diakui kedudukannya dan kepemimpinannya pada marga tersebut. Maka munculah gelar-gelar pangeran selanjutnya. Pada Pasirah atau Depati pemimpin Pemerintahan Marga.

3. Pemberian Simbol
Pemberian simbol-simbol dari kesultanan pada Para Pemimpin Marga. Masyarakat waktu itu masih sangat menghormati simbol-simbol tersebut. Simbol yang diberikan sultan dapat berupa gong, senjata pusaka, piagam lempengan, dan pernyataan pengukuhan.

4. Persumpahan
Masyarakat Melayu Pulau Sumatera Bagian Timur memiliki budaya bersumpah. Orang Melayu sangat percaya dengan sumpah-sumpah. Bilamana sumpah dilanggar akan menyebabkan hal buruk dalam kehidupan. Begitupun saat sumpah Demang Lebar Daun dan Putra Raja Iskandar Zulkarnain dalam sastra hikayat Melayu.

Bukit Seguntang adalah saksi persumpahan para depati-depati pimpinan marga dalam mengikrarkan sumpah setia pada pemimpin di Palembang. Atau sumpa setia pada Sultan pada masa Kesultanan.

Budaya sumpa Melayu juga tercatat di prasasti Kota Kapur peninggalan Sriwijaya di Bangka Belitung. Prasasti ini dibuat saat Dapunta Hyang Jaya Naga yang akan berangkat menginvasi Pulau Jawa.

Semasa Palembang dibawa pimpinan Adipati Karang Widara. Persumpahan para depati beralih ke Bukit Seguntang dimana terdapat situs Puyang Putri Kembang Dadar dan Puyang Segentar Alam.

5. Mantra Segentar Alam
Mantra dalam tradisi budaya Melayu adalah susunan kata-kata yang diyakini mengandung kekuatan ghaib dan dapat memberikan kekuatan magis. Sehingga orang-orang yang menggunakannya akan mendapatkan sesuatu dengan mudah dan ajaib. Berikut ini bentuk matra penanaman pengaruh Palembang pada masyarakat Melayu uluan.

Assalamualikum Puyang Segentar Alam
Assalamualikum Puyang Putri Kembang Dadar
Kami anak cucungmu datang menghadap
Kuat-kuat dari kuat.
Raje dahi segalek raje
Raje penguasa bomi dan langit
Raje petir, raje marah, raje imau.
Ape  kene ancur
Hancur malam hancur siang
Kami besatu dengen puyang Segentar Alam dan menyatu dengan Puyang Putri Kembang Dadar.
Hak kata Allah. Bukan aku yang berkuaso, tapi Allahlah yang bekuaso. Asshaduallah ilahailallah waashaduanna muhamad rasululullah.

Mantra Segentar Alam sudah sangat langkah yang mengetahui. Mungkin sudah tidak ada lagi masyarakat yang menyimpan catatan atau hafal secara keseluruhan. Pada ilustrasi sebagian saja yang dapat dikatakan benar.

Sebab penulis mengandalkan ingatn sewaktu masih kecil. Ketika orang-orang tua bercerita tentang mantra-mantra. Apa bila ditelusuri berarti salah satu bentuk pengaruh dalam menyatukan Pemerintahan Marga semasa Adipati Karang Widara lalu dilanjutkan Masa Kesultanan Palembang adalah memanfaatkan sastra mantra-mantra.

Pemerintahan Marga Semasa Kolonial Belanda.
Menurut Arlan Ismail (2004) marga adalah persekutuan dari wilayah-wilayah dusun (desa) yang membentuk pemerintahan sediri. Kedudukan Pemerintahan Marga di atas dusun-dusun tersebut.

Dalam mengatasi permasalahan bahasa. Marga-marga menggunakan bahasa Melayu dialeg Palembang dalam berkomunikasi antar wilayah marga. Masa Kolonial Belanda kepemimpinan Marga bersifat demokratis. Dipilih langsung oleh rakyat. Sistem turun temurun dihapus Belanda. Namun gelar dan hukum masih tetap berlaku tidak banyak perubahan.

Pemerintahan Marga orang Melayu berkembang dan terdokumentasi dengan baik semasa Pemerintahan Kolonial Belanda. Meliputi empat provinsi sekarang yang terdiri dari Keresidenan Palembang, Keresidenan Lampung, Keresidenan Bengkulu, dan keresidenan Bangka Belitung.

Marga di Batanghari Sembilan berbeda dengan sistem marga masyarakat Melayu Minangkabau dan Melayu Batak. Disana marga merupakan kesatuan genealogis masyarakat. Mereka menjadikan marga sebagai identitas masyarakat mereka sekaligus tanda kepemimpinan wilayah.

Sedangkan marga di kawasan Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung dan Bangka Belitung lebih bersifat kepemimpinan saja (kesatuan teritori). Tidak ada ikatan kekerabatan turun temurun yang nyata. Karena pada umumnya masyarakat di Sumatera Selatan adalah satu. Yaitu sama-sama orang Melayu dari satu kepuyangan. Sehingga tidak ada perbedaan satu sama lainnya.

Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda seorang Pasirah pemimpin marga dibantu oleh seorang pembarap (wakil), seorang juru tulis, dan seorang opas. Opas nama petugas setara polisi di zaman Belanda. Pada tahun 1936 di Pulau Sumatera Bagian Timur terdapat 314 marga. Terdiri dari 174 marga di Keresidenan Palembang, Keresidenan Lampung 58 marga, dan Keresidenan Bengkulu 82 marga.

Di ibukota Marga terdapat Rumah Marga (Margo) atau balai marga, yang digunakan untuk tempat bermusyawarah masyarakat marga. Di pemerintahan tingkat dusun (desa) dipimpin oleh keria (kerio) atau proatin. Kampung dipimpin punggawa.

Selain itu dalam bidang keagamaan ada jabatan ketib/penghulu. Di setiap dusun dibangun gardu atau semacam bangunan sederhana berbentuk rumah. Disini ditugaskan seorang kemit atau dijaga oleh penduduk secara bergilir. Selain menjaga keamanan kemit juga bertugas mengumumkan berita di seluruh desa. Biasanya memukul gong, kenong, gendang, dan sebagainya. Untuk menarik perhatian warga.

Salah satu cara-cara kemit yang pernah saya dengar dahulu sewaktu masih anak-anak. “Hoy, uwang sekampung-kampung ikak, aku suru kades nutus kenong, untuk nyampaike bahwa arai isuk bagi yang ade anak kecik dibawah omor lime tahun. Unde ke puskesmas untuk imunisasi.

Terjemahan. "Semuanya, masyarakat di kampung ini. Saya di minta pak kades memukul gong untuk memberitahukan bahwa bagi yang memiliki anak umur dibawah lima tahun. Besok bawak ke puskesmas untuk mengikuti imunisasi."

Pemerintahan Marga dihapus oleh Pemerintah Pusat semasa Orde Baru di tahun 1979. Penghapusan Pemerintahan Marga oleh Pemerintah Pusat dengan dikeluarkan UU No. 5/1979 (Arlan Ismail: 106:2004).

Semoga Pemerintahan Marga dapat dikembalikan sebagai wujud pelestarian budaya bangsa. Selain itu, gelar Puyang, Depati, dan Datu dapat kita angkat kembali. Seperti gelar untuk Pak RT (rukun warga) dapat digelari dengan, Punggawa. Sebagai mana dahulu semasa kesultanan punggawa adalah pemimpin kampung.

Oleh. Joni Apero
Editor. Desti, S. Sos
Pelembang, 23 Maret 2020.
Sumber foto. Pinterest. Ilustrasi.

Daftar Baca:
M. Arlan Ismail. Marga di Bumi Sriwijaya: Sistem Pemerintahan, Kesatuan Masyarakat Hukum Daerah Uluan Sumatera Selatan. Palembang: UNANTI PRSS, 2004.
K.H.O. Gadjahnata dan Sri Edi Swasono. Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan. Jakarta: UI-PRESS, 1986.
Husni Rahim. Sistem Otoritas dan Administrasi Islam. Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Sri Wintala Achmad. Sejarah Runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit: Menelusuri Jejak Sandyakala Imperium Besar Nusantara. Yogyakarat: Araska, 2018.
Mohd. Oedji Anang. Sejarah Marga Sanga Desa: Silsilah Pasirah-Pasirah Yang Pernah Memimpinnya. Bandung: T.pn, 1985.

Sy. Apero Fublic

0 komentar:

Post a Comment