PT. MEDIA APERO FUBLIC

Perusahaan Pers dan Publikasi (Industri Kesastraan)

Apero Mart

Apero Mart adalah tokoh online dan ofline yang menyediakan semua kebutuhan. Dari produk kesehatan, produk kosmetik, fashion, sembako, elektronik, perhiasan, buku-buku, dan sebagainya.

Apero Book

Apero Book adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang distribusi semua jenis buku. Buku fiksi, non fiksi, buku tulis. Selain itu juga menyediakan jasa konsultasi dalam pembelian buku yang terkait dengan penelitian ilmiah.

Apero Popularity

Apero Popularity adalah layanan jasa untuk mempolerkan usaha, bisnis, dan figur. Membantu karir jalan karir anda menuju kepopuleran nomor satu.

Apero Fublic Publisher

Penerbit Buku PT. MEDIA APERO fUBLIC

Buletin Apero Fublic

Tusisan yang bersifat ide-ide orisinal dari diri sendiri. Mulai dari kebudayaan, politik, kritik sosial, kesastraan, kemanusiaan, pendidikan dan lainnya.

Jurnal Sastra Apero Fublic

Temukan tentang kesastraan dari sastra klasik, lama, dan moderen. Lokal, Nasioan dan internasional. www.jurnalaperofublic.com

Apero Gift

Apero Gift adalah perusahaan yang menyediakan semua jenis hadia atau sovenir. Seperti hadia pernikahan, hadia ulang tahun, hadiah persahabatan, menyediakan sovenir wisata dan sebagainya. Melayani secara online dan ofline.

Showing posts with label Mitos. Show all posts
Showing posts with label Mitos. Show all posts

12/02/2020

Membohongi Malaikat: Pembual Yang Sok Pintar.

APERO FUBLIC.- Pada zaman dahulu, ada sebuah cerita tentang seorang Melayu yang meninggal. Sewaktu masih hidup, dia adalah orang yang suka membual. Maka orang-orang menjulukinya si Tukang Bual. Tidak pernah shalat dan tidak suka belajar ilmu agama. Ketika sudah meninggal, di alam kubur dia merasa kalau malaikat dapat juga dibualinya.

Setelah tujuh langkah orang meninggalkan kuburan si Tukang Bual. Maka datanglah dua orang malaikat, menanyai ruh Tukang Bual. Si Tukang Bual mulai berpikir bagaimana membual dengan harapan malaikat tidak marah dan dia diperlakukan dengan baik.

“Hai manusia, Siapa Tuhanmu?.” Tanya Malaikat.

“Ah, jangan begitu Abang Malaikat. Kau tahukan kalau aku ini tidak perna ikut pengajian dan tidak belajar dengan ulama.” Jawab ruh Tukang Bual. Malaikat penanya merasa kesal dan geram sekali dengan bualan itu. “Man Rabbuka?.

“Nah, bahasa Arab. Tuhanku, Allah Subhana Wataalah.” Bukan main panasnya malaikat, seolah-olah pintar bahasa Arab. Kemudian malaikat bertanya lagi dengan bahasa Melayu. Tapi si Tukang Bual pura-pura tidak mengerti. Malaikat mengalah dan dia rubah setiap pertanyaan dengan bahasa Arab.

Si Tukang Bual memang pernah mendengar cerita-cerita orang sehingga dia tahu tentang pertanyaan malaikat berbahasa Arab. “Ma dinuka?. “Agama saya Islam abang Malaikat. “Man Nabiyyuka?.” Tanya malaikat lagi.

“Ini nabi umat Islam Abang Malaikat.” Tanya balik pembual. Malaikat yang menjalankan tugas dan bersungguh-sungguh mulai mendidih darahnya. “Jawab saja.” Bentaknya.

“Adam, Idris, Nuh, Hud, Soleh, ...” Belum habis nyanyian nama-nama nabi yang imani umat Islam, langsung saja bentakan keras lagi. “Nabi agama kamu?.” Ujar malaikat dengan mata melotot.” Ya, tidak ngomong dari tadi. Nabi Muhammad, lahhh.” Jawab si Pembual.

Ma Kitabuka?.” Lanjut Malaikat. “Kitab yang mana Abang Malaikat?.” Tanya balik ruh Tukang Bual. “Jawab, apa kitab agamamu?.” Tegas malaikat.

“Zabur, Injil, suhub,....” Jawab si Tukang Bual dengan tenang. Malaikat penanya kembali membentak, dan cambuknya mulai memukul lantai kubur si Tukang Bual. “Itu kitab yang dipercaya umat Muhammad pernah diturunkan pada umat sebelum umat Muhammad.” Kata malaikat dengan marah besar, karena si Pembual menjawab bermain-main. “Kitab yang digunakan mengaji sewaktu kecil?. Tanya balik si Pembual. Malaikat penanya hanya melotot saja. “Kalau yang itu, kitab suci Al-Quran.”

Aina qiblatuka?. Malaikat menanyakan arah kiblat. Kali ini, ruh si Pembual kaget bukan main. Sebab dia tidak pernah salat dalam hidupnya. Dia hanya tahu orang solat di dalam masjid dan menghadap arah yang sama setiap kali shalat. Pernah sekali waktu dia ikut shalat hari raya dalam hidupnya. Sehingga dia menerka-nerka bagaimana kira-kira arah kiblat itu.

“Kiblat itu, kalau tidak salah, dari rumah hendak menghadap ke sana.” Jawab ruh si Pembual mencoba menjelaskan arah kiblat. Tangannya menunjuk ke kiri dan kanan. Mendengar jawaban yang tidak karuan itu, malaikat penanya menggeleng-geleng.

“Aina qiblatuka?. Dimana arah kiblatmu?.” Dua malaikat bertanya dalam bahasa Arab dan Bahasa Melayu. Ruh si Pembual mulai gemetar ketakutan. Kali ini dia benar-benar tidak tahu arah kiblat. Begitulah orang yang tidak pernah shalat. Lalu dia menjawab lagi. “Kalau dari rumah Uncu dahulu, balik ke kiri sedikit.” Jawab si pembual menjelaskan arah kiblat.

Dua malaikat sudah tidak dapat menahan kemarahannya. Amarah sudah memuncak atas jawaban si pembual. Malaikat mengira kalau si Pembual masih bermain-main seperti tadi. Sehingga malaikat tidak mau pengertian kalau maksud jawaban si pembual adalah arah kiblat.

Dengan penuh amarah, kedua malaikat penanya di dalam kubur menghukum si pembual. Cambuk bertubi-tubi tanpa henti menyasar dirinya. Membuat si pembual meraung-raung kesakitan bukan main. Begitulah, akhir kisah si Pembual yang ingin membohongi malaikat tapi justru dirinya yang menjadi sasaran cambuk.

Rewrite. Tim Apero Fublic.
Editor. Selita, S.Pd.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 2 November 2020.
Sumber: Informan Ahmad Dahlan Khatib, lahir di Stabat tahun 1929. Laki-laki beragama Islam, Berbahasa Melayu. Masindan, Dkk. Sastra Lisan Melayu Langkat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987.

Sy. Apero Fublic

11/29/2020

Mitos: Asal Usul Gempa Bumi

APERO FUBLIC.- Tersebutlah cerita bahwa dahulu kala dunia ini kosong. Tidak ada langit, laut, tanah dan seisinya. Sedangkan di surga Nabi Adam dan Hawa hidup bahagia sejahtera. Seperti yang telah dijanjikan Tuhan, Nabi Adam akan dijadikan Khalifah di bumi. Nabi Adam berpikir kalau mau ke dunia, tentu buah larangan yang dilarang Tuhan harus dia makan, karena itulah jalan ke dunia. Kalau tidak dimakan, tentu dia tidak akan keluar dari surga.

Setelah memakan buah khuldi maka Nabi Adan dan Hawa akan segerah dikirim ke dunia. Akan tetapi dimana dia harus tinggal. Barulah kemudian Tuhan menciptakan tanah dan lautan. Tanah adalah tempat manusia atau Nabi Adam dan Hawa istrinya hidup dan tinggal. Dari tanah mereka akan mencari makan. Sedangkan lautan dan air tawar untuk penyubur tanah. Yang dipikirkan adalah bagaimana agar bumi tidak runtuh dan hancur. Untuk itu, akan dibuatkan tiang penopang bumi.

Sebab kalau tidak ditopang bumi akan runtuh dan hancur. Manusia dan seisinya akan binasa. Itu berarti semuanya akan sia-sia dan Nabi Adam dan Hawa akan mati juga. Sehingga Tuhan akan menciptakan sesuatu yang dapat menopang tanah, lautan dan seisi bumi.

Akhirnya Tuhan menciptakan seekor kerbau raksasa yang sangat besarnya. Sekali kibasan ekor kerbau itu dapat merobohkan semua pepohonan di bumi, dapat membuat hewan mati, dan dapat menimbulkan angin topan, menimbulkan gelombang besar di lautan.

Kerbau sangat besar yang diciptakan Tuhan tidak memiliki nafsu apa-apa. Tidak makan, tidak pernah merasa haus dan lapar. Tidak bergeser, tidak berjalan, tidak lelah, tidak duduk, tidak tidur. Dia hanya berdiri kokoh dan tegak berdiri seperti yang Tuhan perintahkan padanya.

Hanya sesekali kerbau raksasa itu, mengipas-ngipaskan ekornya. Namun sekali-sekali dia mengibaskan ekornya. Tapi dari kibasan itu menyebakan angin topan yang sangat deras dan mengerikan. Sekali kibas dapat menyebabkan gelombang lautan besar, dan dapat merobohkan banyak pepohonan.

Setelah selesai menciptakan kerbau yang amat besar itu. Kemudian Tuhan meletakkan tanah bumi dan lautan diatas punggung belakang kerbau raksasa itu. Mulai saat itu, kerbau yang sangat besar itu menjadi penopang tanah dan lautan atau menopang bumi dan isinya. Setelah itulah, Nabi Adan dan Hawa istrinya turun ke dunia. Bumi masih sangat sepi tidak ada sesuatu selain tanah dan lautan. Adam menjadi sedih sebab tidak ada penghuni lain selain mereka berdua.

Oleh karena itulah, mulailah Tuhan ciptakan bermacam-macam tumbuhan dan bermacam-macam hewan-hewan. Diantaranya, Tuhan menciptakan biji sawi dan unggas putih. Unggas itu, makanannya biji sawi itu. Setelah kenyang memakan biji sawi, unggas itu terbang mengelilingi bumi.

Lalu sambil terbang dia membuang kotorannya.  Kotoran unggas itu menyatu dengan tanah, kemudian tumbuh jenis tumbuhan lainnya. Begitulah kebiasaan unggas itu, sehingga tersebarlah tumbuhan di muka bumi ini.

Begitu juga dengan Nabi Adam dan Hawa, mereka mendapatkan anak dan cucu juga. Sehingga manusia menjadi semakin banyak dan menyebar ke permukaan bumi. Begitu juga kehidupan dilautan berkembang biak memenuhi lautan dan sungai-sungai dengan takdir Tuhan. Seisi lautan dan sungai juga bermanfaat untuk manusia. Di daratan dan di udara hewan juga berkembang biak dengan takdir dari Tuhan  yang kuasa.

Suatu ketika, kerbau yang menjadi penopang bumi atau tanah dan lautan mengibas-ngibaskan ekornya. Sehingga dunia dilanda oleh angin topan yang sangat dahsyat serta diikuti hujan lebat.

Beribu-ribu tahun setelah hadirnya hewan dan tumbuhan keadaan bumi alami tidak jauh berbeda. Manusia tetap hidup makmur dengan makanan bumi yang melimpa. Angin topan membawa hujan bermanfaat untuk kehidupan bumi. Tanpa hujan tumbuhan, hewan, manusia akan mati.

******

Di antara hewan yang diciptakan Tuhan, ada hewan sangat kecil bernaam Agas. Agas tidak terlihat oleh mata manusia. Baru terasa kalau ada agas saat hewan itu menggigit tubuh manusia. Terasa sangat gatal dan bentol pada bekas gigitan agas. Tersebutlah kawanan agas ini mengerumuni kerbau raksasa penopang bumi (tanah dan lautan). Kalau menggigit kulit kerbau itu tidak bisa, sebab kulit sangat keras dan lebih keras dari besi.

Tapi saat kawanan agas yang banyakknya tidak terhitung itu masuk kedalam telinga kerbau penopang bumi. Kerbau itu, menjerit dengan suara lengkingan keras.  Kulit bagian dalam telinga kerbau lembut dan lunak. Berbagai usaha kerbau untuk mengeluarkan agas-agas itu dari telinganya. Namun tidak berhasil, sehingga membuat telinga kerbau sakit dan bengkak. Walau menahan sakit dan gatal tetap kerbau itu tidak bergerak atau bergeser sedikit pun.

Kerbau itu, menjaga agar bumi tidak terjatu atau terguling dari atas punggungnya. Dia memikirkan ketentraman penghuni tanah dan lautan. Tetap tidak bergerak sebab itulah tugasnya. Waktu demi waktu berlalu dan berlalu sampai zaman selanjutnya. Rasa gatal dan sakit akibat gigitan agas terus menerus di dalam telinga kerbau penopang bumi. Akhirnya dia sudah tidak tahan lagi menahan rasa tersiksa itu.

Kepala kerbau mulai terasa pusing, mata berkunang-kunang. Sehingga kebau khilaf dan terpaksa melanggar perintah Tuhan. Untuk mengusir agas yang mengganggu, dia kipaskan kuat-kuat ekornya. Namun, tanpa kerbau itu sadari terjadi bencana di permukaan bumi. Tanah menjadi sedikit bergeser dan kembali bergeser seperti semulah. Saat itulah, manusia mengalami bencana gempa bumi. Saat gempa bumi berhenti, berarti berhenti juga kerbau itu mengipas-ngipas agas.

Begitulah keadaan kerbau penopang bumi atau tanah dan lautan. Setiap kali kerbau mengipaskan ekornya disertai gerakan tubuhnya, maka terjadi gempa bumi. Kalau kibasan ekornya dan gerakan tubuh yang kuat akan terjadi gempa besar. Kalau kibasan ekor dan gerakan tubuhnya perlahan akan terjadi gempa kecil.

Begitu juga dengan kipasan kuping kerbau yang sangat besar penopang bumi dan lautan itu. Kibasan kuping sebelah kiri gempa bumi disebelah timur. Kibasan kuping sebelah kanan, gempa bumi sebelah kanan, begitulah seterusnya. Sebab agas selalu mengganggu kerbau raksasa itu.

*****

Pada zaman dahulu masyarakat Melayu di Langkat percaya dengan cerita ini. Sehingga masyarakat Langkat saat ada gempa selalu berdoa pada tuhan agar letak tanah kembali seperti semula. Ada juga masyarakat memukul kentongan beramai-ramai dengan maksud agar agas terkejut dan berhenti menggigit telinga kerbau penopang bumi.

Diharapkan juga kerbau tidak mengipaskan telinganya, baik kiri atau kanan. Karena akan menggeser letak tanah bumi. Kentongan juga untuk mengingatkan kerbau raksasa penopang bumi pada tugasnya. Pada masa lalu cerita ini, diceritakan pada generasi ke generasi, turun temurun.

Rewrite. Tim Apero Fublic
Editor. Desti, S.Sos.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 28 November 2020.
Sumber: Informan Amir Bintang, Lahir di Tanjung Pura tahun 1927, beragama Islam dan berbahasa Melayu. Masindan, Dkk. Sastra Lisan Melayu Langkat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987.

Sy. Apero Fublic.

11/24/2020

Hikayat Tuan Guru

APERO FUBLIC.- Cerita ini, mengisahkan seorang ulama yang mengajar pada suatu desa, Tuan Guru. Dia mempunyai tiga orang istri yang rukun satu sama lain. Sebagai seorang guru, tentu banyak petuah yang diberikannya pada murid-muridnya. Petua-petua itu diantaranya agar selalu rajin bersedekah dan berbuat baik. Semua muridnya menerima dan mengamalkan dengan baik semua yang dia sampaikan.

Suatu waktu, ketiga istri Tuan Guru membicarakan ahlak suami mereka, Tuan Guru. Mereka menunjukkan keheranannya atas sikap Tuan Guru yang selalu menganjurkan bersedekah. Sementara itu, Tuan Guru hidup makmur atas sedekah murid-muridnya. Sedangkan Tuan Guru sebaliknya, kikir dari mengeluarkan sedekah.

Andaikan dia bersedekah, dia menyedekahkan barang yang sudah tidak terpakai. Melihat kenyataan itu, ketiga istrinya merasa ragu atas kepahaman suami mereka pada ilmu agama. Karena, perbuatan Tuan Guru tidak sesuai dengan apa yang dia ajarkan.

Bersepakatlah ketiga istri Tuan Guru menguji Tuan Guru dengan ajaran yang sudah pernah disampaikannya. Sekaligus memberikan pelajaran pada suami mereka. Lalu mereka menguji Tuan Guru dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan itu bergilir saat Tuan Guru mendatangi mereka bergilir.

Seperti yang direncanakan, tibalah waktunya Tuan Guru mendatangi istrinya yang pertama. Sebelum Tuan Guru tidur dengan istrinya, dia mengajukan syarat. Yaitu harus menjawab pertanyaan dari istri pertamanya.

Kalau tidak dapat menjawab, maka dia tidak boleh tidur dirumah istri pertamanya. “Boleh masuk, tetapi tidak boleh keluar?.” Itulah pertanyaan istri pertamanya. Karena Tuan Guru tidak dapat menjawab maka dia pergi ke rumah istri keduanya.

Akan tetapi istri keduanya juga mengajukan syarat, kalau Tuan Guru mau tidur dirumahnya. Pertanyaan hampir sama seperti pertanyaan istri pertama, hanya berubah sedikit. “Boleh keluar tetapi tidak boleh masuk?.” Tuan Guru ternyata juga tidak dapat menjawab pertanyaan dari istri keduanya.

Tuan Guru terpaksa pergi lagi, sekarang dia menuju rumah istrinya yang ke tiga. Istri ketiga Tuan Guru juga mengajukan syarat. Kalau dia ingin tidur di rumahnya, maka harus menjawab pertanyaan. Kalau tidak bisa menjawab, maka tidak boleh tidur. “Tidak boleh masuk dan tidak boleh keluar.” Pertanyaan istrinya yang ketiga juga tidak dapat Tuan Guru jawab.

Apabila Tuan Guru tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Betullah dugaan mereka kalau suaminya tidak mengerti apa yang dia ajarkan. Sesungguhnya, pertanyaan mereka tentang ajaran agama Islam. pertanyaan istri pertama, “Boleh masuk, tapi tidak boleh keluar” jawabannya adalah menanyakan tentang hal air wuduh  yang boleh mereka minum berati masuk tetapi tidak boleh keluar, seperti buang air besar dan buang angin.

Pertanyaan istri kedua tentang puasa. “boleh keluar tapi tidak boleh masuk” bermakna tentang puasa yang boleh masuk saat sahur dan tidak boleh makan saat menjalankan puasa. Begitu juga dengan pertanyaan istri ketiga. “Tidak boleh masuk dan tidak boleh keluar” bermakna orang yang sedang berpuasa lalu mengerjakan salat, tidak boleh makan dan tidak boleh kentut (kentut bermakna keluar, makan berarti masuk).

Hikmah dari cerita ini, seorang guru jangan hanya menyampaikan teks yang dia pelajari atau hanya mengajarkan tetapi tidak tahu maknanya. Sekaligus tidak mengamalkan apa yang dia ajarkan pada orang lain.

Kalau mengajarkan tentang sedekah, sepatutnya terlebih dahulu mengamalkan. Saat Tuan Guru bertanya pada ketiga istrinya jawaban pertanyaan. Barulah sadar Tuan Guru atas kekeliruan dirinya. Selama ini merasa begitu hebat sebagai seorang guru. Tapi ternyata dia telah lalai dan khilaf.

Rewrite. Tim Apero Fublic.
Editor. Desti, S.Sos.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 24 November 2020.
Sumber: Informan T. Usman, lahir di Tanjung Pura tahun 1912. Masindan, Dkk. Sastra Lisan Melayu Langkat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987.


Sy. Apero Fublic.

6/19/2020

Puyang Buaye: Asal Usul Istilah Buaya Darat Pada Laki-Laki Penjahat Wanita

APERO FUBLIC.- Puyang Buaye adalah andai-andai asal usul munculnya istilah lelaki buaya yang suka mempermainkan wanita dan berbuat tidak sopan pada kaum wanita. Buaye dalam bahasa Indonesia berarti buaya.

*****

Suatu hari, seorang gadis seorang berada di rumah seorang diri. Keluarga sedang berada di ladang, menugal padi. Menugal istilah penyebutan menanam padi bergotong royong. Sudah menjadi adat kebiasaan orang Melayu kalau seorang gadis selalu di rumah. Membersihkan rumah, memasak dan menenun songket. Hal demikian dimaksudkan agar mereka terbiasa dan terlatih saat menikah nanti.

Siang itu, keadaan Talang Lebang sedang lengang. Sebuah rumah yang terletak agak ketepi. Halaman rumah panggung tipologi basepat tampak bersih, sebab baru selesai di sapu. Seorang gadis di serambi depan sedang duduk menenun songket. Warna kuning emas khas songket Palembang. Dia berbaju kurung bersulam benang emas, berkain sepinggang, rambut panjangnya diselimuti dengan selendang songket. Betapa caniknya gadis Melayu.

Sementara itu, di Sungai Keruh tidak jauh dari rumahnya. Seekor buaya besar muncul dari dalam air, lalu merayap naik tebing sungai. Tampak jejak kakinya membenam di tanah berlumpur. Terus merayap menuju pemukiman penduduk Talang Leban, lalu menghilang di semak-semak.

*****

Seorang pemuda berwajah tampan, berumur dua puluhan tahun. Berjalan santai di jalanan bedebu pasir puti. Tanjak songket bersulam benang biru melingkar di kepalanya. Baju kurung berlengan panjang, celana pajang kuning, dan di pinggangnya melingkar kain songket merah. Dia berjalan melewati sebuah rumah.

Permisi, maaf menggangu adinda. Bolehkah tahu apa nama talang ini.” Tanya pemuda tampan itu dengan ramah, diikuti senyum manis.

“Talang Leban namanya kanda. Siapakah kakanda kiranya, dan mau ke mana.” Jawab gadis cantik itu, dia berdiri di serambi rumahnya. Tampak malu-malu dengan kerudung songket itu.

“Saya datang dari jauh, dari bumi pedatuan seberang. Hendak berkelana dan melihat-lihat negeri-negeri Melayu.” Ujar si anak muda. Tampak tangannya memegang sebuah senjata, dan pedang menggantung di pinggangnya.

“Oh, begitu kiranya. Silahkan lanjutkan perjalanan kakanda. Saya masih banyak pekerjaan.” Jawab si gadis.

“Adinda, bolehkan kakanda mampir dan menumpang minum sebentar.” Kata si pemuda.

“Maaf kakanda, bukan tidak menghargai dan bermaksud menolak tamu. Tapi sudah menjadi adat istiadat kita orang Melayu. Seorang wanita yang sendiri, tidak boleh menerima tamu laki-laki. Baik itu gadis, istri orang tidak patut berdua dengan laki-laki yang bukan saudara sekandungnya. Jangankan orang lain, saudara iparnya, atau saudara lain yang sudah jauh juga tidak boleh. Saya berharap, kakanda mengerti dengan adat istiadat kita ini.” Jelas si gadis. Kemudian dia kembali menenun dan tidak memperdulikan si pemuda itu. Si pemuda itu berbalik, kemudian dia meracau membaca mantra-matra.

“Hum, segalah puyang aingin, datu segalah penjuru. Tanah berkuasa tas langit. Langit mengunci hati dan pikiran. Berbalik arah matahari terbit. Hujan dan malam begitu gelap. Hum. Hum. hum” Pemuda itu menghentakan kaki tiga kali ke bumi.

Ada angin deras bertiup kencang. Kemudian menerpa si gadis itu. Entah apa yang terjadi membuat si gadis hilang kesadaran dirinya. Dia meresa dunia berbeda dan indah sekali. Lupa akal sehatnya dan merasa sangat dekat dengan pemuda yang belum dia kenal. Tapi seakan dia sangat mencintainya.

Dengan perlahan dia bangkit dan membuka pintu serambi yang sebatas pinggang tingginya. Pemuda asing itu, naik tangga rumah dengan senyum lebar. Tampak taring dikedua belah giginya. Si pemuda masuk dan menutup pintu. Cukup lama mereka berdua di rumah si gadis. Setelah selesai dengan urusannya si pemuda asing itu pergi menuju Sungai Keruh. Saat di bibir tebing dia terjun ke dalam sungai, lalu wujudnya berubah menjadi buaya.

*****

Si gadis yang ditinggal tampak termenung. Dia baru sadar ketika mendengar kokok ayam. Dia merasa bingung dengan dirinya yang terbaring di kamarnya. Dia hanya memakai kain sebidang. Kemudian dia keluar dan tetap tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Hal demikian terjadi berlanjut beberapa bulan lamanya. Orang tua si gadis juga merasa aneh mengapa anak gadis demikian. Sering merenung, menyendiri dan menyendiri.

Di tempat lain kejadian serupa juga terjadi. Pemuda asing itu, datang dan pergi mendatangi gadis-gadis seperti itu. Dalam waktu beberapa bulan sudah puluhan korban si pemuda asing yang dapat berubah menjadi buaya. Banyak terjadi keributan dan keguncangan di setiap Talang penduduk.

Dimana mereka mendapati anak mereka hamil tampa menikah. Orang-orang tua juga merasa anak-anak gadis mereka baik-baik saja. Memiliki tabiat baik dan selalu menjaga kehormatan. Beberapa orang tua menyiksa anak mereka yang hamil tanpa bersuami. Namun apa pun yang mereka lakukan, mereka tidak dapat mengetahui. Bahkan hampir saja orang tua membuh anak perempuannya.

Kejadian aneh itu menjadi perhatian serius Depati Puyang Pedatuan Bukit Pendape. Maka dia mengumpulkan semua datu-datu semua talang, jurai tue dan panglima dan hulubalang, para puyang untuk bermusyawara. Untuk memecahkan permasalahan yang mereka hadapi bersama itu.

“Aku punya ide, yang mungkin cukup baik untuk mengatasi permasalahan ini.” Usul Depati.

“Baiklah, kita akan mencoba apa rencana Depati.

“Siapa diantara kalian yang punya anak perawan, yang cantik dan baik.” Tanya Depati, mereka saling pandang di dalam ruangan Balai Datu. Tapi sepertinya mereka mulai menangkap maksud dari pertanyaan Depati.

*****

Di Talang Sialang Rengas, yang terletak di pinggir Sungai Sake. Dinamakan Talang Rengas karena di sisi talang terdapat dua pohon rengas besar yang tumbuh berdempet. Pohon rengas ukuran besar dan tinggi. Setiap musim bunga lebah selalu membuat sarang di dahannya. Sehingga penduduk selalu memanen madu pada waktunya.

Siang itu, seorang gadis berumur dua puluhan tahun sedang membersihkan rumah. Bernyanyi riang seraya menyapu lantai rumah dengan sapu ijuk, bergagang rotan semambu. Talang tampak sepi sekali bahkan hampir tidak ada penduduk. Hanya beberapa orang anak-anak yang bermain-main di halaman rumah mereka. Karena penduduk berada di ladang mereka, sibuk mengetam padi. Sementara itu, di perairan Sungai Sake muncul seekor buaya besar. Kemudian buaya itu menepi dan naik ke atas tebing sungai dan menghilang di semak-semak.

*****

“Dua rumpun serai ditanam.
Ditanam di samping dapur.
Biarpun bercerai dan tanam.
Tanam cinta takkan hancur.”

Gadis cantik itu berpantun dengan bahasanya. Arti dari pantunyya itu. Biar berpisah atau meninggal. Kalau cinta tidak akan hilang semalanya. Kali ini dia menyapu di tangga depan rumah. Halaman rumah tampak berumput hijau dan banyak ternak merumput. Dari jauh terdengar anak-anak bermain dan koko ayam jantan. Tiba-tiba.

“Hai, adik yang cantik nan baik hati. Boleh kakanda bertanya.” Sapa pemuda tampan itu. Gadis itu terkejut, seketika dia berhenti menyapu dan berdiri di anak tangga papan.

“Boleh, kakanda.” Jawab si gadis dengan lembut.

“Talang apakah ini, namanya?.” Tanya pemuda asing yang gagah perkasa.

“Talang Sialang Rengas.” Jawab si gadis, lalu bertanya juga. “Kakanda siapa, dan dari mana?.

“Kakanda dari bumi pedatuan seberang yang jauh. Sedang berkelana hendak mencari pengalaman dan melihat negeri-negeri orang Melayu.” Jelas si pemuda muda itu.

“Oh, silahkan kakanda melanjutkan perjalanan.” Kata si gadis, dia hendak naik ke rumah.

“Adinda, boleh kakak menumpang minum beristirahat sebentar.” Tanyanya dengan senyuman rama.

“Maaf kakanda, adinda sedang sendiri di rumah. Keluarga adinda sedang di ladang mengetam padi. Adat dan budaya kita, seorang gadis, seorang wanita, tidak boleh menerima tamu laki-laki. Kalau tidak ada keluarga atau suaminya di rumah. Mohon dimengerti dan janglah tersinggung.” Jawab si gadis dan melangkah ke rumah dan menutup pintu. Sementara itu, tanpa diketahui oleh pemuda itu. Dua pasang mata mengawasi keduanya dari balik semak-semak lebat tidak jauh dari rumah panggung itu.

“Oh, begitu.” Ujar si pemuda. Kemudian dia berbalik dan mulutnya membaca matera. Angin tiba-tiba berhembus dan masuk rumah melalui jendela terbuka lalu menerpa si gadis. Entah apa yang terjadi, si gadis cantik tampak berubah seperti kehilangan akal sehatnya. Dia kemudian melepas sapu di tangannya. Lalu tersenyum manis pada pemuda asing itu.

Si gadis membuka pintu dan mengulurkan tangannya. Seakan dia menyambut kekasihnya yang sudah lama tidak bertemu. Pintu rumah di tutup kembali dan keadaan sepi. Sementara itu, dua pasang mata yang mengawasi tadi bangkit. Lalu keduanya meniup tangan yang menimbulkan bunyi seperti bunyi suara burung. Berulang-ulang dan bersahut-sahut.

*****

“Gubrakkkkk. Prassss.” Pintu plapon rumah terbuka, terjun dua sosok laki-laki kekar. Lalu mencabut pibang kidau dan pibang kanan. Kemudian tiga keranjang bunang besar di sudut rumah terbuka dan di lempar dan keluar tiga orang laki-laki. Langsung menyerang si pemuda asing yang sedang memeluk si gadis. Dan hendak mencium wajahnya.

“Haiiiiiiii. Binatang busuk, tenyata dirimu yang berbuat ulah, merusak anak gadis orang dengan ilmu sihir.

Biadabbbbb.” Suara-suara terdengar dari dalam rumah. Kemudian terdengar perkelahian yang diikuti bunyi denting suara senjata beradu. Dari ruangan tengah rumah juga muncul empat prajurit terlati pedatuan.

“Braakkkkk.” Pagar jendela yang terbuat dari kayu hancur berantakan. Sebuah tubuh terpental dan jatuh di tanah. Empat orang juga melompat menyusul dan berdiri mengepung si pemuda asing. Si pemuda asing bangkit dan mencabut pibang kidau dari sarung yang terselip di depan perutnya.

Belum lagi habis keheranan si pemuda asing. Muncul dari setiap penjuru laki-laki bersenjata lengkap. Tampak Depati, Datu Talang Sialang Rengas, dan hulubalang yang di ikuti prajurit. Bukan hanya itu, puluhan warga juga ikut. Dia terkurung dan terjepit sekarang.

“Ini rupa binatang yang suka merusak anak gadis orang. Mengganggu wanita-wanita bersuami.” Ujar Depati.

“Aku akan mencintang tubuhmu. Kau begitu bejat merusak anak gadisku. Untung Aku tidak sampai membunuhnya. Ternyata dia kau pengaruhi dengan mantra sihir buayamu.” Ujar Orang itu.

“Ha..ha..ha..ha. Ya, memang Aku. Kalian tidak akan bisa menghentikan Aku.” Ujarnya dengan sombong, seraya menghapus darah melele dari pipinya. Depati memerintahkan pasukannya mengurung dan empat laki-laki tadi mulai menyerang lagi.

"Matilah kau penjahat kelamin." Teriak seorang penyerang. Empat penyerang adalah hulubalang Pedatuan.

Serangan bertubi-tubu dan serangan juga mengenai si pemuda asing itu. Tubuhnya terpental dengan dua luka sabetan, darah segar keluar dari mulutnya. Dia bangkit perlahan, dan pasukan pedatuan kembali mengurung. Mereka meminta pemuda asing itu untuk menyerah. Tiba-tiba si pemuda asing itu menaburkan kantong berisi bubuk ke udara. Membuat pedih mata-mata yang mau menangkapnya.

Beberapa kali dia terus menaburkan bubuk itu. Sehingga dia dapat meloloskan diri kepungan. Berlari terseok-seok menuju Sungai Sake. Dara menetes sepanjang jalan. Semua orang mengejar dan dia kembali terkurung di dekat tebing Sungai Sake. Depati dan para pengejarnya berjalan pelan mendesak ke tebing sungai.

“Wusss. Croottt.” Sebuah anak panah menancap di paha kirinya.
“Aaakkkk.” Pemuda asing itu menjerit.

Sebentar lagi pemuda itu akan tertangkap pikir semua orang. Di sepanjang aliran sungai di sekeling telah dikepung pasukan dan masyarakat. Pemuda asing terus berlari terhuyung-huyung. Dia tersenyum lebar saat melihat air sungai di depan mata. Dia tidak memperdulikan prajurit di sekitar tebing. Tanpa banyak pikir dia melompat menaburkan debu-debu yang membuat para pengepung hilang kosentrasi. Bersamaan dengan itu tubunya jatuh berguling dari atas tebing dan masuk kedalam air.

“Kemana keparat licik itu.” Tanya seorang prajurit. Depati dan yang lainnya datang di bibir tebing sungai. Dia hanya melihat gelombang permukaan air.

“Burrrrr.” Ekor buaya melibat permukaan tanda berenang menyelam. Semua tahu kalau orang itu dapat beruba menjadi buaya atau menjadi manusia.

*****

Depati Puyang Mato Kilat mengadakan musywara besar besok paginya. Dia mengumumkan agar tidak membiarkan anak gadis sendiri di rumah. Begitu juga perempuan dilarang mandi di sungai sampai waktu tidak di tentukan. Setiap talang harus mengirim tim memburu manusia buaya itu. Masyarakat harus waspada dan berjaga-jaga siang dan malam. Manusia buaya harus di buru sekarang, karena dia dalam keadaan terluka. Untuk mengakhiri teror manusia yang memiliki sihir buaya. Harus dilakukan penyisiran besar-besaran di setiap sudut hutan dan sungai-sungai.

“Bagaimana menurut para datu dan jurai tue semua. Apakah ada hal yang perlu ditambahkan dalam hasil rapat hari ini.” Tanya Depati.

“Tidak ada Depati, tinggal kita berjuang terus memburu lelaki buaya itu.” Kata seorang Datu.

“Benar Depati, walau bagaimanapun saktinya lelaki buaya itu. Pasti dia memiliki sarang, atau tempat tinggal. Kita dapat menelusuri jejak kakinya di sungai-sungai. Luka di tubuhnya juga belum dapat sembuh dalam waktu singkat. Maka, kita tidak boleh menunda waktu harus bergerak cepat.” Kata Puyang Bijak Betua dia seorang jurai tue pedatuan.

“Depati, menurut pengetahaun dari orang-orang tua. Apabila kita menghadapi ahli sihir sebagaimana sihir buaya. Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan dan ketahui. Pertama, kita tidak boleh hanyut dalam kata-kata penyihir. Misalkan dia berkata, "Saya akan berubah menjadi buaya." Maka kita lawan dalam pemikiran kita. Pikirkan dia tidak bisa menjadi buaya walau penglihatan kita dia telah berubah menjadi buaya. Kedua, kita jangan takut sebab yang tampak hanyalah penglihatan kita.” Ujar Datu Pagarkaye menjelaskan.

“Baiklah, saya rasa rapat kita selesai. Mulai dari sekarang persiapkan pasukan dan perbekalan. Bangun komunikasi dengan mempersiapkan pengantar informasi, bawa merpati pengantar surat. Buat tim-tim pencari untuk menelusuri jejak.” Kata Depati. Semua menjawab siap dengan meletakkan tangan di dada masing-masing. Pencarian dimulai, dengan perahu dan rakit menyusuri sungai. Ada juga pasukan dari darat yang menerobos hutan. Prajurit dan masyarakat bekerja sama bahu mebahu.

*****

Seekor buaya hitam mengikuti perahu bidar Hulubalang Gatra. Tapi mereka tidak tahu sebab buaya itu mengikuti dari jarak yang cukup jauh. Perahu melaju perlahan menyusuri tebing Sungai Keruh. Memperhatikan setiap jengkal tebing mencari jejak buaya atau jejak manusia.

“Hulubalang, lihat di sini ada bekas dara mengering dan ada jejak kaki manusia.” Seorang prajurit memberi tahu. Perahu Hulubalang Gatra mendekat tebing yang landai. Di tebing berlumpur tampak ada jejak kaki buaya. Tetesan dara mengering, serta jejak kaki naik ke atas tebing. Hulubalang memerintahkan lima prajurit naik kedaratan. Hulubalang Gatra juga melompat ke atas tebing sungai.

“Huuppppp.” Sekali lompat dia diatas, membuat kagum para prajuritnya. Ilmu meringankan tubuh sudah sempurna. Sementara para prajurit harus naik menggunakan kaki. Mereka memperhatikan sekitar. Jejak buaya menghilang, tinggal jejak kaki manusia. Seorang prajurit menemukan potongan anak panah berlumuran darah.

“Tidak salah lagi, ini pasti jejak laki-laki buaya keparat itu. Kirimkan kabar ke Depati, kalau di lubuk Tapa ditemukan jejak. Buaya menuju hutan Rimba Tinggi.” Perintah hulubalang Gatra. Merpati diterbangkan dan sampai ke tangan Depati Pedatuan. Hulubalang Gatra meninggalkan jejak arah mereka dengan cara mematahkan ranting ke kanan. Agar dapat diikuti arah mereka. Sementara seluruh pasukan yang bertugas di tempat lain diperintahkan Depati menuju Hutan Rimba Tinggi untuk membantu Hulubalang Gatra.

“Hulubalang, tadi Aku melihat sesuatu yang besar dan berwana hitam di permukaan lubuk tapa. Tapi kemudian menghilang ke dalam lubuk.” Cerita seorang prajurit.

“Mungkin potongan pohon hanyut dan tenggelam.” Jawab temannya. Mereka berenam tidak memikirkan cerita prajurit itu. Sementara itu, di lubuk tapa sosok hitam keluar dari dalam air dan naik ke atas tebing dan menghilang di balik semak-semak.

*****

Sekaran Hulubalang Gatra dan pasukannya  tiba di pinggiran lebung berair jernih. Beberapa prajurit mendekat lebung dan hendak minum sekaligus mencuci muka. Di seberang lebung, sesosok bayangan bertopeng mengintai. Kemudian dia mengeluarkan potongan lidi enau. Mulut komat kamit membaca materanya. Lalu melemparkan puluhan batang lidi enau ke dalam lebung. Kemudian dia pergi meninggalkan tempat itu. Ajaib, setiap batangan lidi berubah menjadi buaya besar. Lalu menyelam berenang menuju dua prajurit yang sedang mencuci wajah. Dua prajurit melihat bayangan aneh di dalam air lebung yang jernih, keduanya melompat mundur.

“Buuaarrrrr.” Sepuluh buaya muncul kepermukaan air dan naik darat. Menyerang hulubalang dan para prajurit yang sedang istirahat. Mereka semua sibuk mengadapi buaya itu. Tiba-tiba disekeliling mereka muncul puluhan buaya. Maka mereka dibuat kerepotan bukan alang kepalang. Sudah ada yang tergigit dan terluka akibat serangan buaya misterius. Beberapa buaya dapat dipenggal mati. Hulubalang Gatra kerepotan sekali dan keadaan genting.

“Tar. Tar.” Suara lecutan selendang menghantam buaya-buaya itu. Bayangan hitam muncul dan menyerang buaya-buaya miterius itu. Saat terkena lecutan selendang hitam orang itu, buaya-buaya itu menghilang semua. Kini berdiri seorang lelaki tua berpakaian serba hitam. Mereka heran dengan kakek-kakek yang muncul entah dari mana.

“Terimakasih atas bantuan Uwa, ternyata itu buaya sihir.” Kata Hulubalang Gatra.

“Siapakah Uwa kiranya.” Tanya seorang prajurit. Lelaki tua itu duduk dan diikuti hulubalang dan pasukannya. Dia menyebut dirinya Puyang Buaye Kumbang. Dia memiliki murid durhaka bernama Sadarama dan telah menyalah gunakan ilmu yang dia ajari. Muridnya suka berbuat bejat mengganggu wanita-wanita. Muridnya telah pergi melarikan diri dua puluh tahun lalu.

Puyang Buaye Kumbang menceritakan kalau dirinya sudah menyusuri banyak sungai di Batanghari Sembilan. Seperti dia akan menemukan Sadarama di Pedatuan Bukit Pendape. Hulubalang juga menceritakan kejadian-kejadian buruk di Pedatuan Bukit Pendape, dan ada kesamaan cerita dan kejadian. Mereka sepakat mencari bersama-sama laki-laki buaya yang bernama asli Sadarama.

“Dia bukan pemuda lagi, mungkin umurnya sekarang d iatas lima puluh tahun. Dia menggunakan mantra bersalin rupa. Sehingga dapat mengubah wujudnya menjadi tua atau muda.” Jelas Puyang Buaye Kumbang.

*****

Sementara  itu jauh di tengah belantara hutan Rimba Tinggi. Seorang laki-laki berumur di atas lima puluh tahun sedang duduk bersilah di bawah sebatang pohon. Tidak jauh darinya tampak beberapa pondok sederhana di huni puluhan wanita hamil dan anak-anak. Mata laki-laki itu terpejam dan membaca mantera. Cuaca cerah berawan putih tiba-tiba berubah menjadi hitam dan angin berhembus kencang.

Hujan turun dengan lebatnya. Laki-laki itu kemudian melemparkan potongan-potongan lidi enau ke genangan air hujan seraya terus menerus membaca mantera. Ajaib, semua batang lidi berubah menjadi buaya-buaya besar, ganas dan lapar. Lalu bergerak masuk hutan dan menghilang di balik semak-semak.

Pasukan bantuan Depati mulai memasuki Hutan Rimba Tinggi. Sementara Hulubalang Gatra, Puyang Buaye Kumbang dan pasukan juga terus masuk kedalam hutan. Hujan tidak menghalangi mereka, dan terus bergerak menacari Sadarama. Laki-laki bejat perusak anak perawan orang.

*****

Sementara Depati Puyang Mato Kilat, Pangliam Pedatuan, dua hulubalang, ratusan prajurit, ratusan pemuda, beberapa orang datu terus bergerak mencari lelaki buaya di hutan Rimba Tinggi. Depati meminta mencari jejak Hulubalang Gatra dan jejak manusia lainnya. Tiba-tiba terdengar jeritan di mana-mana.

“Buaya.. buayaaaaa. Ahhhhh.” Teriakan dan jeritan memenuhi hutan. Mereka terkejut bagaimana bisa di dalam hutan yang jauh dari sungai-sungai banyak sekali buaya. Setiap mereka berhasil memenggal atau minikam buaya dengan tombak. Tapi buaya-buaya terus berdatangan tiada habisnya. Membuat mereka kelelahan dan mulai banyak yang terluka. Bahkan sudah ada yang tewas diterkam buaya. Buaya-buaya muncul dan mucul membuat semuanya kewalahan. Tubuh mereka berkubang lumpur dan pakaian robek-robek oleh rerantingan semak atau duri hutan.

“Ahhh.” Depati menjerit dia terkena kibasan ekor buaya. Tubuhnya jatuh ketanah yang dipenuhi air hujan. Datu Puyang Bijak Betua dari Talang Leban mau membantu. Tapi tiga ekor buaya menghadang lalu menyerang. Sementara hulubalang dan panglima tidak kalah repotnya. Para prajurit dan pemuda juga demikian. Depati dalam bahaya besar, dua ekor buaya merangkak cepat menyerangnya dengan kibasan ekornya. Membuat Depati terpental dan tubuhnya terpental. yang terbanting di tanah. Puyang Bijak Betua tiba-tiba juga jatuh di samping beliau. Dua orang tua itu tampak sangat kewalahan.

“Tarr. Tarr. Taarr.” Lecutan selendang hitam terdengar, bersamaan muncul bayangan hitam menghantam setiap buaya-buaya itu. Hulubalang Gatra membantu Depati, dua prajurtnya membantu Puyang Bijak Betua dan sisa pasukan berjaga sekitar. Beberapa saat kemudian buaya-buaya itu menghilang karena serangan selendang hitam si kakek. Hujan mulai redah dan cuaca kembali cerah. Panglima tampak tertatih-tatih mendekati meraka.

“Depati, tidak apa-apa.” Tanya Hulubalang Gatra. Depati mengangguk, mereka saling bertanya kabar. Dia mengenalkan Puyang Buaye Kumbang ke semuanya dan bercerita singkat.

“Depati, ada dua puluh orang yang gugur, lima belas luka para dan tiga puluh luka ringan.” Lapor hulubalang Katang. Depati memerintahkan membuat tenda perawatan dan membuat tandu untuk membawa yang terluka dan gugur. Setelah musyawara singkat mereka meneruskan pencarian. Kali ini Puyang Buaye Kumbang yang memandu pencarian.

“Sepertinya sudah tidak terlalu jauh. Karena dia sudah bisa mengirim buaya sihirnya.” Jelas Puyang Buaye Kumbang.

*****

Beberapa saat kemudian, mereka menemukan enam pondok. Banyak anak-anak bermain. Puluhan ibu-ibu muda yang sedang mengerjakan pekerjaan rumah. Menumbuk padi, menimbah air, memasak dan memotong kayu bakar. Ada yang sedang hamil tapi beranak kecil. Disekeliling Talang kecil itu banyak kolam-kolam ikan. Di tengah pemukiman kecil itu ada rumah besar. Tampak seorang laki-laki berumur empat puluhan tahun sedang mengayam bubu.

Paman, boleh bertanya.” Tanya seorang prajurit Hulubalang Gatra. Orang itu mengangguk dan juga cuek.

“Apakah pernah menemukan seseorang laki-laki asing, yang tinggal di sekitar hutan ini.” Tanya Prajurit lagi.

“Pernah dik, dia tinggal jauh di sebelah bukit sana. Saya hanya sekali-sekali bertemu.” Jawabnya. Hulubalang melihat di halaman rumah berserakan potongan lidi. Dia memperhatikan ibu-ibu yang tampaknya seperti tidak punya pikiran. Mereka kaku dan terus bekerja tanpa ada basa basih seperti wanita normal. Mereka seperti tidak memperdulikan kedatangan mereka. Pasukan hulubalang terus menyelidiki dan menemukan lebih banyak potongan lidi.

“Laporkan pada depati dan Puyang Buaye Kumbang kalau kita banyak menemukan potongan lidi sebagaimana ciri-ciri yang disebutnya.” Prajurit itu mengangguk, dia melangkah pergi menemui pasukan yang mengepung talang kecil itu. Prajurit itu, tiba-tiba diserang seekor buaya yang melompat dari dalam kolam. Tubuhnya jatuh kedalam kolam dan menjadi mangsa buaya. Hulubalang terkejut, saat dia melihat si kakek telah mencabut pibang dan menyerang dua prajurit hingga tewas.

“Heaaaaa.” Giliran hulubalang di serang dan terjadilah pertarungan hebat. Hampir saja lehernya putus ditebas pibang laki-laki itu. Sisa pasukan juga diserang buaya yang keluar dari dalam kolam. Seorang prajurit meniup tangan tanda bahaya bagi mereka. Depati memerintahkan yang lainnya segerah membantu dan mengepung tempat itu. Ternya di dalam kolam adalah buaya asli yang dipelihara dan dikendalikan Puyang Buaye. Pertarungan terjadi, buaya-buaya satu demi satu tewas dipenggal pasukan. Ibu-ibu masuk mengurung diri di dalam rumah mereka.

Sekarang menyerahlah manusia buaya.” Kata Hulubalang. Dia kemudian berhasil menyabetkan pibang di kedua kaki kakek-kakek itu. Sehingga dia jatuh dan berlutut tidak dapat berdiri. Perlahan wujudnya berubah menjadi laki-laki berumur di atas lima puluhan tahun, wujud aslinya.

“Oh, ini rupanya wujud aslimu, laki-laki buaya.” Ujar Hulubalang Gatra.

“Aku belum kalah.” Dia tertawa, lalu membaca mantera. Tiba-tiba angin berhembus dan semua potongan lidi-lidi yang berserakan berubah menjadi buaya. Semua terkurung oleh ribuan buaya ganas yang lapar. Semua terkejut bukan kepalang. Mereka mulai putus asa, dan menyadari musuh mereka adalah musuh berat.

“Tarrr. Taarrr.” Tubuh Sadarama terpukul selendang hitam Puyang Buaye Kumbang. Seketika sihir buaya lenyap. Buaya jadi-jadian kembali berubah menjadi potongan lidi enau. Sadarama terkejut bukan alang kepalang.

“Guru.” Itulah seucap kata keluar dari mulutnya. Depati, pangliam, hulubalang Kanta, para datu dan semuanya mendekat.

“Murid durhaka, sekarang kau akan dihukum atas kejahatanmu.” Kata Puyang Buaye Kumbang. Sadarama ketakutan dan kekuatannya sihirnya tiba-tiba menghilang. Setelah semua berkumpul dan sepakat menghukum mati Sadarama. Depati memerintahkan hulubalang Gatra untuk menghukum pancung Sadarama. Puyang Buaye Kumbang menangis sedih dan dia langsung pamit pulang setelah melihat Sadarama dihukum mati.

Wanita-wanita yang diculik Sadarama kembali tersadar dan kembali ke rumah orang tuanya. Tangis haru mereka pecah saat berjumpa dengan keluarga. Tapi mereka sudah memiliki anak, laki-laki dan perempuan. Anak-anak Sadarama dewasa, dan menikah serta memiliki anak cucu sampai sekarang.

Puyang Buaye Kumbang memutuskan tingga di Pedatuan Bukit Pendape. Dia sering berubah wujud menjadi buaya kumbang. Itulah ada cerita-cerita masyarakat di Kecamatan Sungai Keruh tentang adanya buaya kumbang di Sungai Keruh. Setelah kematian Sadarama, kehidupan Pedatuan Bukit Pendape kembali damai dan tenang. Sejak saat itu juga, setiap laki-laki yang suka mengganggu dan mempermainkan wanita di juluki, lelaki buaya. Kemungkinan dia juga keturunan dari Sadarama si Puyang Buaye.


Oleh: Joni Apero
Editor. Arip Muhtiar, S.Hum
Tatagambar. Dadang Saputra.




Sy. Apero Fublic.