Filsafat
Kampus
Mahasiswa
Opini
Pendidikan
Peran Filsafat Sebagai Penjaga Nalar di Era Digital
Masih perlukah berpikir kritis di zaman serba instan ?
APERO FUBLIC I OPINI.- Di era digital 2026, hampir setiap aspek kehidupan manusia tersentuh oleh teknologi. Kecerdasan buatan (AI), media sosial super canggih, algoritma yang mempersonalisasi informasi, dan kemudahan akses berita instan telah mengubah cara kita berpikir, belajar, dan berinteraksi. Pertanyaannya : apakah filsafat dan berpikir kritis masih relevan di tengah arus informasi instan ini ?
Menurut saya, filsafat tetap menjadi penjaga nalar dan moral manusia, terutama ketika teknologi cenderung mempermudah hidup sekaligus mengaburkan batas antara fakta dan opini. Tanpa kemampuan berpikir kritis, manusia berisiko menjadi pengikut teknologi yang pasif. Seperti kata Immanuel Kant, “Berpikir adalah tugas tertinggi manusia; jangan biarkan dirimu dituntun tanpa pertimbangan.” Pernyataan ini relevan hingga sekarang, bahkan di dunia digital 2026.
Tantangan era digital 2026 sangat nyata. Algoritma media sosial sering menampilkan konten sesuai preferensi pengguna, menciptakan “gelembung informasi” yang memperkuat bias. AI yang mengambil keputusan otomatis terkadang gagal mempertimbangkan etika. Contoh nyata adalah kasus deepfake dan manipulasi berita, di mana banyak orang percaya informasi palsu karena tidak memeriksa fakta atau berpikir kritis.
Seperti yang dikatakan Albert Einstein, “Pendidikan bukan hanya belajar fakta, tapi melatih kemampuan berpikir.” Tanpa kemampuan itu, manusia akan kehilangan kendali atas informasi yang diterimanya.
Di sinilah filsafat memainkan peran vital. Dengan filsafat, manusia dilatih untuk bertanya, merenung, dan menganalisis. Ia menjadi alat untuk membedakan fakta dan opini, memahami konsekuensi moral, dan mempertimbangkan dampak teknologi terhadap kehidupan sosial.
Sejalan dengan pemikiran Socrates, “Hidup yang tidak diperiksa tidak layak dijalani.” Pernyataan ini menegaskan pentingnya refleksi dan analisis dalam menghadapi informasi digital yang masif.
Lebih jauh lagi, filsafat membantu generasi muda menghadapi risiko digital seperti ketergantungan gawai, informasi palsu, dan kecenderungan berpikir dangkal. Seperti yang diingatkan Yuval Noah Harari, sejarawan modern dan penulis Homo Deus, “Di dunia yang penuh data, kemampuan berpikir kritis akan menjadi kunci bagi manusia agar tetap menjadi manusia, bukan sekadar algoritma berjalan.” Dengan menanamkan nilai-nilai filsafat dan analisis kritis, manusia tetap memiliki kendali atas teknologi, bukan sebaliknya.
Oleh karena itu, meski hidup di zaman serba instan, filsafat tetap krusial. Ia adalah penjaga nalar, penuntun etika, dan alat untuk mempertahankan manusia sebagai makhluk berpikir. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis sejak dini bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan, agar generasi digital tidak hanya pintar secara teknologi, tetapi juga bijak, reflektif, dan bertanggung jawab.
Nama : Rizqiyatul Ula
Prodi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, Institut Bahri Asyiq.
Editor. Tim Redaksi
Sy. Apero Fublic
Via
Filsafat

Post a Comment