Bencana
Kampus
Mahasiswa
Opini
Pendidikan
Ketika Relawan Menjadi Penyelamat Di Tengah Lambannya Negara
APERO FUBLIC I OPINI.- Korban banjir aceh tamiang yang masih terisolir sumber : ( tiktok )
Pernyataan warga Aceh Tamiang yang mengatakan, “kalau kami tidak dibantu relawan, kami tak makan”, seharusnya mengguncang nurani siapa pun yang mendengarnya. Kalimat itu bukan sekadar ungkapan kesulitan, melainkan tanda bahaya bahwa negara gagal hadir di saat rakyatnya berada pada titik paling rapuh dalam hidup mereka. Ini bukan hanya soal banjir, tetapi soal hak paling mendasar: hak untuk makan dan bertahan hidup.
Indonesia bukan negara yang asing dengan bencana. Hampir setiap tahun, banjir datang dan memaksa warga kehilangan rumah, harta benda, bahkan rasa aman. Namun yang selalu berulang adalah pola penanganan yang lambat dan tidak merata. Ketika bencana terjadi, bantuan sering kali tidak langsung menjangkau semua korban. Akibatnya, sebagian warga harus bertahan sendiri, menggantungkan harapan pada relawan yang datang dengan segala keterbatasan.
Relawan memang pantas diapresiasi setinggi-tingginya. Mereka bergerak cepat, bekerja dengan hati, dan hadir tanpa banyak janji. Di tengah kelambanan sistem, relawan menjadi wajah nyata dari kemanusiaan. Namun, kondisi ini sekaligus memperlihatkan ironi besar: ketika relawan menjadi satu-satunya penyelamat, di situlah negara seharusnya merasa gagal. Gotong royong masyarakat tidak boleh dijadikan tameng untuk menutupi lemahnya respons pemerintah.
Menurut saya, negara tidak cukup hadir lewat pernyataan resmi, kunjungan simbolik, atau unggahan di media sosial. Kehadiran negara harus dirasakan langsung oleh warga terdampak dalam bentuk logistik yang cepat, dapur umum yang berfungsi, serta pendataan korban yang akurat dan adil. Bencana memang tidak bisa dicegah, tetapi penderitaan rakyat bisa diminimalkan jika sistem tanggap darurat berjalan dengan serius dan berorientasi pada kemanusiaan.
Kalimat “kami tak makan” juga memperlihatkan bahwa bencana tidak hanya soal alam, tetapi soal ketimpangan perhatian dan keadilan sosial. Ada wilayah yang cepat mendapat bantuan, ada pula yang terisolasi dan luput dari sorotan. Padahal, bagi korban bencana, satu hari tanpa bantuan bisa berarti satu hari tanpa harapan, tanpa kepastian, dan tanpa rasa aman.
Jika kondisi seperti ini terus berulang, maka yang rusak bukan hanya rumah dan infrastruktur, tetapi juga kepercayaan publik terhadap negara. Rakyat akan terus bertanya: apakah negara benar-benar hadir untuk melindungi mereka, atau hanya muncul ketika kamera menyala?.
Ke depan, pemerintah harus menjadikan peristiwa ini sebagai bahan evaluasi serius. Relawan seharusnya menjadi pendukung, bukan penopang utama kehidupan korban bencana. Solidaritas masyarakat memang luar biasa, tetapi tanggung jawab utama tetap berada di pundak negara. Sebab, ketika rakyat kelaparan di tengah bencana, yang sesungguhnya tenggelam bukan hanya wilayah mereka, melainkan juga wibawa dan kepercayaan terhadap negara itu sendiri.
Oleh: Wulan Sundari
Editor. Tim Redaksi
Sy. Apero Fublic
Via
Bencana


Post a Comment