Artikel
Kampus
Mahasiswa
Opini
Pendidikan
HAK TANGGUGAN
A. PENDAHULUAN
Meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi,dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga memerlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, yang para pelakunya meliputi baik Pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perseorangan dan badan hukum, sangat diperlukan dana dalam jumlah yang besar. Dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat juga keperluan akan tersedianya dana, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan.
Peningkatan laju perekonomian akan menimbulkan tumbuh dan berkembangnya usaha yang dilakukan oleh masyarakat, biasanya pelaku usaha dalam mengembangkan usahanya selalu berupaya menambah modal usahanya dengan cara melakukan pinjaman atau kredit langsung dengan perbankan. Dimana kredit yang banyak berkembang dalam masyarakat adalah kredit dengan hak tanggungan (Bachtiar Jajuli, 1987 : 43).
Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan tersebut dalam proses pembangunan, sudah semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan yang dapat pula memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan.
Dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang disebut juga Undang-Undang Pokok Agraria, sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu hak tanggungan, sebagai pengganti lembaga hypotheek dan credietverband. Dengan telah di undangkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah. Maka lembaga jaminan hypotheek dan credietverband dikonversikan dan diunifikasikan menjadi hak tanggungan khusus mengenai hak jaminan atas tanah.
B. PENGERTIAN HAK TANGGUNGAN
Pengertian hak tanggungan terdapat dalam Pasal 1 butir 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah menyatakan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
Dari ketentuan Pasal 1 butir 1 ini dapat disimpulkan bahwa hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain (Djaja S. Meliala, 2012 : 133). Dalam penjelasan umum Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah, Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Dalam arti, bahwa jika debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi
piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
C. ASAS ASAS HAK TANGGUNGAN
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah dikenal beberapa asas hak tanggungan. Asas-asas tersebut sebagai berikut:
1) Mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang hak tanggungan;
2) Tidak dapat dibagi-bagi;
3) Hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada;
4) Dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut;
5) Dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada dikemudian hari;
6) Sifat perjanjiannya adalah tambahan (accesoir);
7) Dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada;
8) Dapat menjamin lebih dari satu utang;
9) Mengikuti objek dalam tangan siapapun objek itu berada;
10)Tidak dapat diletakkan sita oleh pengadilan;
11)Hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu;
12)Wajib didaftarkan;
13)Pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti;
14)Dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu (Salim HS, 2014 : 102-103.
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar Jajuli, 1987, Eksekusi Perkara Perdata Segi Hukum dan
Penegakan Hukum, Jakarta, Akademika pressindo
Djaja S. Meliala, 2012, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Bandung,
Nuansa Aulia.
Disusun oleh : Frans Geraldo H.
Mahasiswa dari Universitas Merdeka Malang (PDKU Ponorogo)
Sumber : Dr.Ashibily,S.H.,M.H : https://share.google/JyNwyX4SlxJJYPTIV.
Editor. Tim Redaksi
Sy. Apero Fublic
Via
Artikel

Post a Comment