APERO FUBLIC.- Pada
zaman dahulukalah, hiduplah seorang janda miskin bersama dua anaknya. Anak
laki-laki berumur tujuhbelas tahun, bernama Majana dan anak perempuan berumur
sepuluh tahun, Majani. Suaminya telah meninggal tujuh tahun lalu. Dia tinggal
disebuah pondok yang sederhana, berlantai bilah bambu beratap daun rumbiah dan
berdinding kulit pohon. Tempat tinggalnya itu, jauh berbeda dengan rumah-rumah penduduk.
Terbuat dari papan kayu, beratap sirap, dan bertiang kayu onglen (kayu besi).
“Nak, bagaimana bisa melamar anak gadis
orang. Sebab kita begitu miskin. Kita tidak ada uang, emas, sapi atau kerbau.”
Ujar janda miskin itu.
“Umak, saya mau menikah. Tolong lamarkan
anak gadis seseorang atau lamar semuanya di Talang kita ini. Mungkin
ada satu orang gadis yang mau.” Kata anak lelakinya. Karena anak memaksa terus,
akhirnya si janda miskin menyetujuinya. Keesokan harinya, dia mendatangi setiap
rumah warga yang ada anak gadis. Sesampai di rumah seorang warga, dia
mengutarakan lamarannya.
“Begini Paman, saya melamar anak gadis
paman untuk dijadikan istri anak bujang saya.” Ujar janda miskin.
“Ohhh, maaf. Anak gadis saya sudah ada
tunangan dan akan segera menikah.” Kata laki-laki itu. Sesungguhnya anak gadisnya belum
ada tunangan, alasannya saja sebagai penolakan. Begitulah seterusnya, si janda miskin
mendatangi setiap rumah dengan tujuan sama. Ada juga gadis yang menerima, tapi
kedua orang tuanya menolak. Betapa malu si Janda miskin, karena tak satupun
lamarannya diterimah.
“Umak, jangan menangis yang penting
sudah berusaha. Aku juga meminta maaf, sebab Aku telah meminta umak melamar anak gadis
orang.” Kata
Majana. Waktu berlalu, kini tinggal cerita yang masih terdengar di tengah
masyarakat.
“Kasihan juga, tidak ada satupun
keluarga yang menerima lamarannya.” Kata sekelompok ibu-ibu yang suka
membicarakan kekurangan orang lain.
“Terlalu miskin, mana ada yang mau
menerima. Makan saja susah, bagaimana mau melamar anak orang.”
Kata seorang ibu-ibu sewaktu mandi. Si Janda miskin hanya diam saja. Dia
buru-buru pulang. Betapa sedih dan sakit hatinya mendengar perkataan ibu-ibu di
talangnya
yang selalu merendahkannya.
*****
Waktu berlalu, anak-anak gadis yang
dilamar telah dijodohkan dengan pemuda-pemuda lainnya. Sehingga tinggallah anak laki-lakinya yang masih belum menikah.
“Nanti jadi bujang tua, kalau tidak ada
yang mau menerima lamarannya. Kasihaaannn.” Begitulah bincang-bincang ibu-ibu yang
sengaja di kuatkan agar terdengar si Janda miskin.
“Makan saja, setiap hari makan ubi. Bagaimana mau menghidupi
anak perempuan orang. Kasihan sih, tapi bagaimana lagi.” Ujar seorang ibu-ibu.
“Mana ada orang
tua mau menikahkan anak gadisnya untuk jadi sengsara.” Kata ibu-ibu lainnya.
Sebagai
seorang manusia biasa Wanita Balu yang miskin tertekan
juga batinnya. Rasa malu dan rasa bersalah pada anaknya membuat si Wanita Balu akhirnya jatuh sakit. Hari demi hari
sakitnya bertambah parah dan parah. Warga mendengar kalau dia jatuh sakit. Bukannya
prihatin mereka malah mengolok-olok sambil bergosip. Sementara kedua anaknya merawatnya dengan penuh
kasih sayang. Melihat anak-anaknya yang baik sedikit terhibur jiwanya. Sehingga Wanita Balu itu masih kuat bertahan.
Suatu hari, Wanita Balu
miskin itu pergi
keluar rumah. Dia merasa bosan berada di dalam rumah. Membawa tubuhnya yang
lemah. Dia ingin jalan-jalan menyusuri hutan di sisi talang. Menghirup
udara segar pikirnya.
Dia melihat anak lelakinya sedang membelah kayu bakar. Anak gadisnya
menyapu halaman pondok mereka.
“Umak, nak kemana. Baiklah Umak di rumah
saja.” Ujar anaknya yang membelah kayu bakar.
“Tidak apa anakku, Umak cuma nak jalan
sebentar agar cepat sehat.” Katanya, pergilah dia sedikit lebih jauh. Sampailah
Wanita Balu di pekuburan.
Terasa kepalanya sedikit pusing. Ternyata dia mendatangi kuburan suaminya. Dia mengadu keluh
kesah hidup setelah kepergian suaminya. Lalu dia membersihkan kuburan suaminya. Juga kuburan
ayah dan ibunya di sekitar itu. Setelah lelah si Wanita Balu yang miskin beranjak pulang.
Saat itu,
sepuluh orang ibu-ibu yang menggendong keranjang rotan penuh kayu bakar lewat di sisi
pekuburan. Melihat si Wanita
Balu yang Miskin, mereka jadi ingin mengganggunya.
“Wahhh, sudah sembuh yang sakit karena
tidak ada yang mau menerima lamaran anaknya.” Ujar seorang ibu-ibu.
“Saya nasihati kamu wanita
Balu. Jangan
sedih berlebihan biar tidak sakit. Kau sadar diri sebab keadaan kamu yang
memang kekurangan. Jangan memaksakan diri, begitulah hidup.” Kata seorang ibu-ibu lagi dan yang
lainnya tertawa merasa lucu. Katanya nasihat tapi sesungguhnya dia
mengolok-olok yang menyakitkan hati.
“Cukup, sudah. Ibu-ibu, jangan begitu.
Kalian seharusnya tidak berbuat seperti ini. Ayuk Sun tidak
ada salah pada kalian. Mengapa kalian selalu mengganggu. Ingat, setiap perbuatan buruk ada hukumannya.”
Seorang ibu-ibu membelah., dia memang wanita yang baik. Dia tidak
pernah menyakiti orang lain apalagi berbuat jahat.
“Sudah, jangan diambil hati Ayuk Sun.” Katanya menghibur dan memanggil
nama kecil Wanita Balu.
“Biar saja, agar dia tahu diri
sedikit.” Banyak ibu-ibu memusuhi ibu Majani entah apa sebabnya.
“Kalian terlalu sekali, Aku tidak pernah mengganggu kalian.”
Kata Ibu Majani dan Majana dengan sedih hati, seketika tubuhnya yang lemah jatuh ke
tanah. Ibu yang baik menurunkan keranjangnya dan berlari membantunya.
Entah apa
yang terjadi tiba-tiba ada angin bertiup kencang menerpa pekuburan itu. Daun
pepohonan, semak-semak bergoyang-goyong hebat. Kilat membelah langit, angin
menderu-deru dan petir menyambar-nyambar hebat. Awan hitam menutupi langit
sekitar, semua di pekuburan menjadi takut.
“Guuaarrrrr. Guuaaarrrrr.” Petir
menyamabar keras sekitar pekuburan, pohon dan semak yang
tersambar petir menjadi terbakar dan berubah hitam. Asap memenuhi sekitar
pekuburan dan kejadian aneh terjadi. Sekelompok ibu-ibu tadi telah menghilang.
Hanya keranjang, pakaian, alas kaki yang tergeletak.
“Uukkkk.” Uukkkk.” Tampak sejenis
burung yang berwajah seram bertengger di keranjang-keranjang berisi kayu
bakar
bergeletakan. Si Wanita Balu yang miskin dan si ibu yang baik terkejut bukan kepalang melihat
kejadian itu. Ternyata mereka telah berubah menjadi burung yang aneh. Belum pernah mereka lihat. Keduanya juga
takut melihat rupa burung yang seram menakutkan seperti hantu. Burung-burung itu terbang ke atas
dahan-dahan pohon. Mereka bergerombol terbang di sekitar pekuburan, karena mereka
berteman.
Penduduk
Talang Gajah Mati gempar mendengar cerita dari ibu yang baik hati itu. Penduduk mendatangi
pekuburan dimana mereka menemukan burung-burung itu berkeliaran di sekitar pekuburan Talang Gajah Mati. Karena
rupa burung yang menyeramkan dan tinggal di sekitar kuburan. Maka mereka
menamakannya, burung hantu.
Konon anak keturunan ibu-ibu jahat itulah dikemudian hari
yang sering berkumpul-kumpul membicarakan keburukan orang, mengupat, mengibah, suka merendahkan orang
miskin, suka
menghina orang lain di Talang Gajah Mati. Sekarang Talang Gajah Mati sudah
menjadi Desa Gajah Mati, salah satu desa di Kecamatan Sungai Keruh, Musi
Banyuasin.
*****
Setahun kemudian, Seorang Depati
dari sebuah Pedatuan lain datang ke Talang Gajah Mati. Dia mencari seorang laki-laki yang
memiliki keris emas. Depati itu menemui Datu Talang Gajah Mati, dan
menginap di Balai Datu. Prajurit mengumumkan tentang kedatangan seorang depati
dari pedatuan lain.
“Tungg.
Tuungg.” Suara getuk.
“Pengumuman untuk semua, barang siap
yang memiliki atau mengetahui tentang keris emas, untuk menghadap ke Balai Datu. Bagi yang tahu akan mendapat hadiah
seratus keping uang emas.” Kata prajurit sambil memukul
getuk dari cangkang kura-kura. Mendengar pengumuman itu, si Wanita Balu
yang miskin gembira. Kalau dia menyerahkan keris emas
milik suaminya, mungkin dia dapat uang emas itu. Dia akan memiliki uang untuk
membeli rumah dan membiayai anaknya menikah. Oleh karena itulah, dia meminta
putranya Majana untuk menemani menghadap Datu di Balai
Datu.
“Ampun Datu, hambah mendengar pengumuman prajurit
paduka tentang keris emas.” Kata si Wanita Balu yang miskin sambil duduk bersimpu di temani Majana.
“Benar sekali yang kalian
dengar. Apakah
kalian berdua mengetahui tentang keris emas.” Kata Datu Talang
Gajah Mati.
Sementara Depati itu memperhatikan wanita di hadapannya. Dia melihat tanda-tanda kecantikan wanita itu
dimasa silam.
Kulit putih, berambut panjang hitam. Pastilah dahulunya dia gadis yang sangat cantik.
“Benar Puyang, saya memilikI keris emas,
itu peninggalan
suami hamba.” Kata Wanita Balu yang miskin. Lalu dia meminta Majana mengeluarkan
keris emas dan Datu mengambil lalu mengamati. Kemudian Datu
memberikan pada Depati itu yang tampak gemetaran.
“Kau istrinya, dan ini anakmu. Dimana suamimu” Tanya Depati
itu dengan tubuh bergetar.
“Suami hamba telah meninggal tujuh
tahun lalu Depati, karena sakit. Dia anak tertua kami, satu lagi anak
perempuan kami di rumah.” Jelas Wanita Balu
yang miskin.
Depati itu
tiba-tiba menangis
keras, lalu memeluk Majana.
“Cucuku, menantuku.” Kata Depati dengan keras. Semua terkejut tidak
menyangkah kalau pemilik keris emas adalah anak Depati Pedatuan
seberang.
Raja menceritakan dahulu putranya bernama Sambralan pergi dari rumah setelah permintaannya untuk menikahi
gadis yatim piatu di sebuah talang ditolak mereka. Depati menyesal akhirnya. Dia
kemudian mencari putranya kemana-mana.
Depati membawa menantunya, cucunya Majana dan Majani ke pedatuannya. Penduduk Talang Gajah Mati menyesal
karena telah menolak lamaran si Wanita Balu yang miskin. Sekarang anaknya sudah menjadi
seorang Puyang, pangeran pewaris tahtah depati itu. Namanya kemudian menjadi Puyang
Majana Sambralan. Setelah kakeknya mangkat dia dinobatkan menjadi Depati, serta menikahi seorang putri Depati pedatuan
lainnya.
Oleh. Joni
Apero
Editor.
Arip Muhtiar, S.Hum.
Tatagambar.
Dadang Saputra.
Palembang,
16 Februari 2022.
Sy. Apero
Fublic