
APERO FUBLIC.- Pada
Zaman dahulu Desa Gajah Mati masih berupa talang kecil yang sederhana sekali. Baru
sekitar seratus lima puluh rumah saja. Tempat tinggal berupa pondok yang
dibangun dengan kayu, beratap daun serdang, berdinding kulit pohon, dan berlantai bilah bambu. Bentuk pondok dengan latai
menurun. Pola pemukiman memanjang mengikuti badan sungai. Rumah-rumah pun menghadap ke sungai. Sungai adalah
jalur transportasi mereka. Serta memenuhi kebutuhan hidup, seperti mandi,
mencuci, dan menangkap ikan.
Belum ada
kerajaan yang memerintah di tanah Melayu. Penduduk masih hidup dalam
pemerintahan taradisional mereka, bernama Pedatuan. Gelar pemimpin pedatuan adalah Depati, pemimpin talang atau kampung
yaitu Datu. Sedangkan
gelar kehormatan atau gelar bangsawan, Puyang.
Perahu dan
rakit tertambat di tepian madi. Anak-anak selalu bermain di sungai, dan para
orang tua bekerja di ladang. Suasana Sungai Keruh selalu ramai hilir mudik
perahu-perahu warga. Yang pulang dari ladang atau pulang dari menangkap ikan.
*****
Di ceritakan pada masa itu. Dimana tahun dan tanggal belum ada. Di
sisi Talang Gajah Mati hiduplah seorang wanita berumur limapuluhan tahun. Dia
tinggal sendiri, karena suaminya telah meninggal lima tahu lalu. Sedangkan
sepuluh orang anaknya telah menikah dan tinggal di rumah mereka masing-masing. Warga Talang Gajah Mati memanggilnya, Puyang
Malinta.
Puyang
Malinta hidup dengan bergelimang harta. Dia selalu meminjamkan emas, perak,
padi kepada orang-orang membutuhkan. Tapi dengan bunga yang tinggi sekali.
Bunga kalau tidak dibayar akan berbunga juga, lalu bunga itu kalau belum lunas
berbunga lagi. Walau kaya tapi dia tidak mau serumah dengan anak-anak dan
cucu-cucunya. Dia lebih suka hidup sendiri dan bersenang-senang. Keluarga dia
anggap pengganggu yang membuat dia boros.
*****
Puyang Malinta, seperti biasa duduk
berkumpul dengan ibu-ibu. Kebiasaan ibu-ibu berbincang-bincang bercerita apa
saja. Menghabiskan waktu senggang mereka. Namun berbeda apabila Puyang Malinta yang berbicara. Dia
selalu menyalahkan semua aktivitas orang dan orang tidak pernah benar
di matanya. Lewatlah seorang ibu-ibu yang selalu beribadah pada tuhan. Dia membawa
persembahan di dalam bakul dan yang dia junjung di atas kepala. Ibu itu wanita yang baik dan jujur.
“Uh, meminta pujian supaya di bilang
baik. Ibadahnya cuma meminta dibilang rajin ibadah.” Ujar Puyang Malinta. Tidak
lama kemudian lewat seorang ibu-ibu tua yang tidak pernah beribadah. “Uh,
rambut sudah uban, selalu keluyuran. Ibadah apa sekali-sekali. Sebentar lagi mati, juga.” Kata Puyang
Malintah.
Orang rajin
dia bilang serakah dan tamak. Orang malas dia bilang tidak tahu diri, miskin
malas. Menikah cepat dia bilang kecepatan. Menikah lambat dia hina-hina. Bukan
hanya orang lain, anak dan menantunya juga begitu dia perlakukan. Sehingga
mereka semua pindah rumah karena tidak tahan dengan tabiat dari Puyang Malinta.
Puyang
Malinta merasa dirinya selalu benar dan tidak pernah salah. Kalau dia salah
dengan berbagai jalan dia mau membenarkan dirinya. Kalau dia gagal menguasai
seseorang. Dia mulai mengarang cerita bohong untuk mengajak orang membenci
orang tersebut. Mulut dan pikiran Puyang Malintah benar-benar buruk
dan jahat.
*****
Peristiwa buruk menimpa seorang lelaki yang sudah beristri. Akibat ulah dari mulut Puyang
Malinta dia mendapat masalah besar. Ceritanya berawal ketika dia membantu seorang
janda yang terjatuh saat menggendong kayu bakar. Seorang warga bercerita
tentang hal itu. Tapi ceritanya tidak bermaksud memfitnah. Hanya sebatas
bercerita kejadian itu saja, sebab terpelesat.
"Tadi pagi mengambil kayu bakar
bersama Ayuk Raya. Kasihan, dia terpelesat, jatu berguling di bukit. Untung
keranjang tak menimpa badan. Dia hampir jatuh kebawa bukit. Kalau tak
ada Kak Bajau yang membantu. Tak tahu apa yang terjadi." Cerita
ibu-ibu
itu, pada teman-temannya.
"Memang kasihan ayuk Ruya, ya. Ditinggal mati
suami, sekarang mengurus anak seorang diri." Ibu yang di sebelah berkata. Sementara Puyang Malinta diam mendengar cerita itu.
“Sepertinya sudah masak bua beluluk, kita.” Kata ibu muda seraya
menggendong anaknya di punggung. Ibu-ibu sering mengolah buah enau
bersama-sama untuk membuat kolang-kaling. Setelah masak, mereka mengangkat
rebusan buah, lalu ada yang membelah dan ada yang mencongkel buah. Selesai
dibagi rata, dan pulang kerumah masing-masing membuat
minuman segar.
“Siapa tidak
ada buah kelapa, ambil di rumah saya.” Kata salah satunya dan semuanya
mengiakan.
“Aku tak ada,
boleh minta buah kelapamu.” Kata Puyang Malintah. Sesungguhnya Puyang Malintah
memiliki banyak buah kelapa, tapi dia memang serakah.
Sepulang dari
sana, dan membawa dua biji kelapa tua. Puyang Malintah pulang kerumahnya. Di soreh
harinya dia
kemudian bercerita juga dengan ibu-ibu tetangganya. Tapi berbeda, cerita itu
ditambah-tambah dengan hal yang mengarah pada perselingkuhan. Puyang Malinta
yang memiliki sifat buruk punya niat bikin gaduh. Kemudian memanfaatkan cerita itu yang dia tambah-tambah. Semua ibu-ibu
di sana percaya dan asik bergosip yang tidak-tidak.
“Bagaimana bisa si Bajau disana.
Bisa-bisanya kebetulan sekali. Padahal Bajau ladangnya jauh.” Kata Puyang
Malintah menghasut pemikiran ibu-ibu itu.
“Tak baik, kalau laki-laki terlalu
dekat dengan janda. Ibarat pepatah, kalau elang berteman dengan ayam, cepat
atau lambat disambar juga.” Kata seorang ibu-ibu lainnya.
Cerita yang
bertambah-tambah itu berkembang menjadi fitnah. Dari mulut ke mulut dan sampai
ke telinga istri si Bajau. Padahal Bajau hanya kebetulan lewat hendak pergi
berburu ke hutan. Akhirnya mendapat fitnah dan dia menjadi bertengkar hebat dengan istrinya. Bahkan hampir saja
bercerai. Begitulah mulut Puyang Malinta selalu berbuat demikian sepanjang
hidupnya. Hasut dan hasad adalah ahlak dirinya. Sangat pandai membaca keburukan
orang. Tapi dia lupa atas keburukan dirinya sendiri.
*****
Memasuki bulan kemarau di tahun itu.
Seperti biasa ibu-ibu tetangga Puyang Malinta duduk bergabung dengan kerumunan warga. Tempat duduk
berupa bangku sederhana berlantai bilah batang pinang diteduhi pohon beringin. Sore itu, lewat seorang anak berumur
tiga belasan tahun. Anak itu, menjual makanan dan sayuran. Berbaju sederhana
dan ada tambalannya. Melihat anak itu, dia bertanya anak siapa.
“Anak
siapa itu?. Tanya Puyang Malintah.
“Anak Uwa Badun.” Jawab seorang
ibu-ibu. Mendengar nama Pak Badun, Puyang Malinta mengenali Pak Badun. Mulai
Puyang Malinta bercerita keburukan keluarga besar Pak Badun. Mulai dari
kakek-nenek Pak Badun sampai anak yang baru saja lewat dia rendahkan.
“Jangan kalian mau menjadikan anak itu
menantu, sebab keluarga mereka semua miskin dan tidak baik. Agar keturunan
kalian tidak tertular keburukan keluarga mereka.” Ujar Puyang
Malinta, di lehernya tampak menggantung kalung emas besar.
*****
Suatu hari yang cerah, Puyang Malintah
jalan-jalan di tengah Talang. Dia memamerkan kalung emas dan perhiasan lainnya.
Bajunya juga tenunan sutra terbaru, paling indah pada masanya. Dia membelih
dari pedagang Tiongkok yang datang berdagang. Berjumpalah dia dengan seorang anak
muda yang sedang bekerja membersihkan kayu gaharu untuk dijual ke pedagang Tiongkok di kota Pedatuan.
"Kamu kalau masih bujang jangan
rajin bekerja. Karena, saat sudah menikah nanti kamu akan jadi pemalas." Ujar Puyang
Malinta. Puyang Malinta iri pada anak muda itu. Dia takut nanti anak muda itu
lebih kaya dari dirinya. Selain itu, dia iri sebab anak-anaknya semua pemalas dan bodoh.
"Puyang, sebagai anak muda kita
memang harus bekerja. Mencari pendapatan sendiri, untuk membantu ekonomi keluarga.
Menabung untuk keperluan sendiri, untuk keperluan belajar, untuk menikah dan lainnya. Kalau masah
muda dihabiskan bermalas-malas, bagaimana punya tabungan di saat sudah menikah.
Bukerja juga harus di biasakan, agar hidup terlatih bekerja keras. Mengapa negeri kita tidak maju-maju,
sebab hampir semua anak muda membuang
masa muda dengan perbuatan salah. Lihat para pedagang dari negeri
seberang. Mereka rajin saat muda dan berusaha setelah menikah." Jawab anak
muda itu. Mendengar jawaban si pemuda membuat Puyang Malintah malu sendiri.
Sampai sekarang
di Desa Gajah Mati dan di kecamatan mereka, penduduk masih percaya dengan mitos
kalau seorang pemuda rajin bekerja saat masih bujangan, saat sudah menikah akan
menjadi pemalas. Orang bilang yang percaya dan berkata demikian kemungkinan dia
keturunan Puyang Malinta.
*****
Suatu hari,
Puyang Malinta berkeliling talang, dia kemudian berjumpa dengan beberapa orang
anak muda yang malas-malasan.
“Aku nak menasihati kalian ini. Janganlah kalian malas-malas begitu. Harus sadar diri,
awak miskin, rupa pun jelek. Apalah guna bujang macam
kalian ini. Baiklah kalian
bekerja sibukkan diri dengan yang bermanfaat." Kata Puyang Malintah. Menurutnya dia
menasihati. Tapi si pemuda menjadi marah besar.
“Ah, Puyang ini. Sibuk
menasihati orang. Coba nasihati dirimu sendiri, sudah tua masih sombong. Dimana kau berkata, disitu kau membuat onar.” Kata seorang anak muda dan semua
temannya tampak marah juga.
*****
Waktu berlalu dan Puyang Malinta tidak
pernah sadar diri. Pada suatu hari, datanglah seorang pedagang alat-alat rumah
tangga. Menjual piring, cangkir, cerek, semuanya terbuat dari gerabah. Hari
itu, semua barang-barang habis terjual. Di perahu kajang juga sudah terjual
semua. Sehingga banyak mendapat kepingan emas dan perak. Kepingan emas dan perak alat tukar menukar barang masa
itu. Wadah kepingan emas atau perak berupa kantong yang terubat dari kain.
Pedagang itu, meletakkan kantong emas dan kantong perak di dalam
keranjang. Sebelum dagangan habis, keranjang itu wadah barang jualannya. Karena lelah, si pedagang beristirahat
di bawah sebatang pohon liar di tepi jalan. Puyang Malinta lewat di hadapan si
pedagang. Lalu terjadilah percakapan diantara keduanya.
“Sudah habis semua barang-barangnya,
Tuan?.” Tanya Puyang Malinta.
“Iya, sudah habis semua.” Jawab si
pedagang tersenyum bahagia. Puyang Malinta mendekat dan tanpa sengaja melihat kantong emas di dalam keranjang si pedagang
gerabah. Timbul niat jahat, dia ingin mencuri kantong emas itu. Maka dia mencari akal bagaimana
mencurinya. Di ujung jalan terdengar suara anak-anak yang akan lewan di hadapan
mereka. Tampak empat orang anak-anak laki-laki mendekat. Puyang Malinta
berpikir keras, dia pun menemukan ide. Dia panggil ke empat orang anak itu.
Anak-anak
polos itu menurut dan mendekat Puyang Malinta dan si Pedagang Gerabah yang
sedang beristirahat. Puyang Malinta akhirnya duduk di sisi pedagang. Dia
berkata pada anak-anak kalau dia mau berandai-andai tentang kancil yang cerdik.
Tapi dengan syarat harus menari berkeliling tempat duduk dimana dia dan si
pedang gerabah istirahat, sebanyak lima keliling. Anak-anak polos itu mau
dengan syarat yang mudah sekali. Dua tangan diletakkan dibahu kawan dan berlari
kecil beriringan.
Andai-andai adalah hiburan yang luar biasa pada masa itu.
Pada putaran
ke empat, Puyang Malinta menarik kayu kecil melintang. Sehingga membuat anak-anak terjatuh. Tanpa ampun empat anak-anak itu terjatuh
dan menyerempet si pedagang gerabah. Lalu tubuh pedang gerabah terdorong dan
dia menjadi lengah.
Dalam keadaan
itulah, tangan Puyang Malinta menyambar kantong keping emas di dalam keranjang. Lalu
dengan cepat dia masukkan kedalam saku bajunya.
“Dasar anak-anak tidak sopan. Begitu saja
tidak bisa, menabrak orang tua.” Ujar Puyang Malinta marah-marah. Dia meminta anak-anak itu untuk minta
maaf pada si pedagang. Ke empat anak-anak itu saling menyalakan
dan meminta maaf pada si pedagang. Kemudian Puyang Malinta pamit pergi dia beralasan
ke empat anak-anak tidak sopan. Jadi dia tidak mau berandai-andai. Anak-anak itu kecewa dan
pulang juga. Tinggal si pedagang gerabah yang
kebingungan. Saat dia menyadari kepingan emas dan peraknya hilang. Barulah dia
sadar, kalau telah dipermainkan Puyang Malinta.
Pedagang
gerabah pergi mengadu ke rumah Datu Talang Gajah Mati. Mendengar cerita itu,
Datu meminta hulubalang untuk memanggil Puyang Malinta dan empat anak-anak itu.
Karena merekalah yang berdekatan dengan si pedagang di bawah pohon saat dia
beristirahat.
“Puyang Malinta, Baku, Tuwa, Luga dan
Mana. Jawablah dengan jujur, siapa yang mengambil emas dan perak Tuan Pedagang
ini. Kalau kalian mengaku dan mengembalikan, maka tidak dihukum. Serta
berjanjilah tidak akan mengulangi perbuatan jahat itu!.” Kata Datu Talang Gajah
Mati dengan suara tegas.
Anak-anak
yang polos hanya menjawab tidak dan menggeleng polos. Sementara Puyang Malinta
berkata sangat pandai dan bersilat lidah yang sangat lihai. Bahkan dia
menyudutkan kalau salah satu di antara anak-anak itu yang mungkin
mengambil.
“Tidak mungkin Aku. Aku memiliki banyak emas, perak, tembaga
dan harta benda lainnya. Kurang ajar sekali kalau sampai menuduh Aku. Aku sudah tua, mana mungkin berbuat
memalukan begitu. Lihat di tanagn dan leherku, semuanya emas.” Kata Puyang Malinta dengan
marah-marah. Dia berakting menutupi salahnya. Karena datu dan hulubalang tidak
dapat membuktikan. Maka salah satu jalan terakhir adalah bersumpah. Maka
dipersipakanlah acara persumpahan.
Tapi Puyang
Malinta tidak mau bersumpah. Dia bilang sumpah tidak berguna sebab orang masih
bisa berbohong. Dia hanya ingin bukti yang jelas bukan bermain sumpah. Karena
itu, pedagang akhirnya mengalah dan mengiklaskannya. Sebelum pergi, si pedagang
gerabah berkata.
“Aku serahkan pada tuhan yang maha
kuasa. Hukuman dan balasan terbaik datang dari tuhan semesta alam. Terimakasih
waktunya, saya pamit untuk pulang, Puyang Datu dan adinda Hulubalang selamat
tinggal.” Katanya. Pedagang itu, pulang berjalan menuju Sungai Keruh. Dijalan,
dia melihat banyak kubangan kerbau, lalu dia melempar batu ke dalam kubangan. Entah apa yang dia
baca, kemudian dia melanjutkan perjalanan menuju Sungai Keruh dimana perahu
kajang miliknya tertambat.
"Siapa nama tuan pedagang itu,
hulubalang?." Tanya Datu, sambil matanya memperhatikan langkah pedagang
yang semakin jauh.
"Dia dijuluki Puyang Makbol Kato,
saudara seperguruan dari Puyang Kilat Kemaru dan Puyang Burung Jauh. Tempat tinggalnya di Minanga,
Datu." Jelas hulubalang yang memang mengetahui sebab dia kepala keamanan,
tentu orang asing datang dalam pengawasanya. Datu Talang Gajah Mati terkejut.
Sekarang mereka tahu berhadapan dengan orang sakti.
*****
Keesokan harinya cuaca kurang baik.
Angin dan mendung terus-menerus dari pagi sampai siang. Puyang Malinta merasa
gembira sekali mendapat emas dan perak curian. Dia tertawa-tawa dan menyebut
pedagang gerabah yang bodoh. Karena hari sudah siang, Puyang Malinta ingin
mandi ke Sungai Keruh. Dia masukkan emas dan perak curian kedalam kotak
penyimpanan yang terbuat dari kayu belian atau kayu besi. Kayu yang sangat baik
kualitasnya.
Puyang
Malinta menatap langit yang mendung dan gerimis. Dia akhirnya pergi mandi menuju
tepian mandi. Di pertengahan jalan, tepat di sisi kubangan kerbau. Angin
berhembus kencang dan kilat berkali-kali menyalah. Terdengar suara guntur,
petir dan hujan turun lebat.
Tiba-tiba
petir menyambar tubuh Puyang Malinta. Tanpa ampun tubuhnya hangus terbakar oleh
sambaran petir. Puyang Malinta tewas seketika. Tubuhnya yang menghitam jatuh kedalam
lumpur kubangan kerbau di sisi jalan. Air kubangan menciprat kesana kemari saat
tubuhnya terjatuh.
“Ya tuhan, puyang Malinta tersambar
petir.” Beberapa orang warga berlarian bermaksud menolong. Namun petir terus
menyambar-nyambar. Sehingga penduduk berlai pulang, memberi tahu Datu dan
keluarga Puyang Malinta. Hujan turun dengan lebat dan deras sekali, selama
tiga hari tiga malam.
*****
Air menggenangi sekitar kubangan kerbau
itu. Jenaza Puyang Malinta tampak mengapung. Anak-anak puyang Malinta dan warga
Talang Gajah menemukan jenazanya yang mengenaskan. Keluarga Puyang Malinta
dibantu warga mencoba mengambil jenazah.
Tapi saat
mereka akan masuk air kubangan kerbau mereka melihat ribuan hewan aneh yang
belum pernah mereka lihat. Hewan-hewan kecil hitam itu
menyerang mereka dengan cara menggigit lalu menghisap darah. Warga yang
terkena gigit terpekik dan semua berlarian keluar kubangan kerbau.
Menjerit-jerit saat melepaskan hewan mengerikan itu. Dari bekas gigitan
mengucur darah segar. Membuat semua orang takut dan tidak mau membantu
mengambil jenazah Puyang Malinta. Lalu hewan itu dinamakan, Lintah.
Dengan terpaksa, jenazah Puyang Malinta terkubur di
dalam kubangan kerbau. Waktu demi waktu, bulan berganti dan tahun berlalu.
Kubangan kerbau yang awalnya sukuran sepuluh meter persegi. Waktu demi
waktu air terus menggenang dan terjadi pengikisan tanah. Kubangan kerbau terus
melebar dan melebar.
Seiring waktu, berabad-abad telah
berlalu lamanya. Kubangan kerbau yang melebar kini menjadi lebung. Warga Talang
Gajah Mati menamakannya dengan, Lebung Lintah. Lebung lintah, masih ada sampai
sekarang di sisi Desa Gajah Mati, Kecamatan Sungai Keruh, Kabupaten Musi
Banyuasin.
*****
Demikianlah, kisah manusia yang mendapat hukuman
akibat sifat buruknya. Sombong, suka berkata-kata buruk, menghasut dan
berkata-kata bohong. Suka membicarakan kekurangan orang dan tidak
menyadari kekurangan diri sendiri. Suka berkata buruk yang menyebut aib orang dari kakek-nenek sampai anak
cucunya. Suka
menghasut orang banyak dengan kata-kata yang dia
tambah-tambah sesuai nafsunya. Mengarang-ngarang cerita tahayul, juka
suka untuk
merendahkan orang lain. Hanya karena dirinya punya sedikit
harta atau jabatan.
Konon
penduduk Talang Gajah Mati yang memiliki sifat demikian masih keturunan dari
Puyang Malinta. Selain itu, keturunan juga menyebar di Marga Sungai Keruh dan
dibelahan dunia ini. Salah satu ciri-ciri keturnan puyang Malinta dia suka
berkata-kata.
“Masih bujang
jangan rajin bekerja, nanti kalau sudah menikah akan jadi pemalas.”
Selain itu,
orang-orang berkata demikian adalah orang bodoh yang tidak punya pengetahuan
hidup. Dia beranggapan masa muda baiklah dihabiskan berbuat buruk dan tidak
baik. Agar orang tersebut kelak menjadi orang miskin dan bodoh seperti dirinya.
Oleh.
Joni Apero
Editor.
Desti. S.Sos.
Tatafoto.
Dadang Saputra.
Palembang, 30 Agustus 2020.
Daftar kata: Lebung: Tempat penampungan air alami terletak di kawasan tanah renah. Lebung bentuknya seperti danau hanya saja ukurannya lebih kecil. Selain menampung air hujan lebung juga menjadi bagian penampungan air hujan saat terjadi banjir alami di sepanjang aliran sungai-sungai (daerah tanah renah).
Hulubalang: Perwira atau pemimpin prajurit semasa kerajaan zaman dahulu. Datu: Gelar kepala desa zaman dahulu sebelum masuknya pengaruh hindu-budha dan Islam. Pedatuan: Pemerintahan bersifat genoalogis atau sistem marga pada zaman kedatuan Sriwijaya-Kesultanan.
Talang: Nama pemukiman penduduk Melayu pada zaman dahulu. Kalau sekarang desa. Seiring waktu Talang berubah makna misalnya kebun buah-buahan atau pemukiman kecil yang sederhana di dalam hutan. Gerabah: Barang pecah belah yang terbuat dari tanah liat.
Sy. Apero Fublic.