Apero Fublic.- Kisah
ini telah tersampaikan turun temurun. Pada masyarakat di Pedatuan Bukit Pendape.
Yang berkisah tentang asal muasal, Bukit Pendape. Harap dikenang anak cucu di
sepanjang zaman. Kisah ini, berawal
dari Negeri Melayu Tue (Tua). Tersebutlah sebua negeri tua di kaki bukit
barisan dan Gunung Dempo. Negeri yang berkebudayaan sangat tua.Dikenal dengan
nama Peradaban Megalitikum.
Itulah negeri pertama
orang-orang Melayu. Bukti-bukti sejarah terhampar berupa batu-batu berukir,
tempayan kubur batu, lesung batu dan menhir. Kawasan negeri tua itu,
sekarang dikenal menjadi beberapa wilayah, yaitu Kotamadia Pagaralam, Kabupaten
Lahat, Empat Lawang, Muara Enim, Baturaja dan daerah sekitarnya.
Rumah-rumah mereka
terbuat dari kayu beratap daun rumbia, berdinding kulit pohon, berlantai bilah
bambu. Pemukiman mereka dipagari dengan kayu atau bambu, mereka namakan Talang.
Talang-Talang itu bersatu menjadi satu kawasan negeri. Namun sayang belum ada
nama negeri itu. Kalah itu, negeri tak bernama di pimpin oleh Puyang Datu
Penguaso Bukit. Suatu hari dia berpikir tentang nama negerinya.
Lalu dia memanggil
para tetua, hulubalang, laskar, dan datu-datu Talang. Bermusyawara tentang nama
negeri. Berkatalah Puyang Paniti Bukit, dia seorang Hulubalang negeri itu.
“Kami menyerakan nama
pedatuan sesuai yang Puyang ketahui. Sebab Puyang yang memimpin pedatuan. Semua
pun sepakat, kalau nama negeri Puyang Datu Penguaso Bukit yang menamai.
Suatu sore yang
cerah, pergilah Puyang Datu Penguaso Bukit berjalan-jalan di sekitar pedatuan.
Mendatangi talang-talang rakyatnya, naik bukit turun bukit, kadang dia
menyeberangi sungai. Dia mencari ilham nama pedatuan. Tibalah beliau di sekitar
bekas ladang, yang mulai menjadi hutan belukar. Jalanan setapak mulai sepi,
hanya beberapa penduduk berlalu.
“Datu, mau kemana
kiranya, sampai jauh kesini.” Tanya seorang warga yang berlalu dia menggendong
bunang padi besar. Istri dan tiga orang anaknya mengiring dari belakang.
“Tak ada, Dinda.
Hanya berkeliling-keliling saja.” Jawab Puyang Datu. Warga itu berlalu dan
tinggallah puyang sendiri.
Dikiri kanan jalan
terdapat banyak rumput putri malu. Berbunga indah, yang didatangi banyak lebah
madu, kupu-kupu dan kumbang. Tanpa sengaja Puyang terinjak daun-daun rumput
Putri Malu, itu.
Saat beliau melihat
daun rumput Putri Malu tampak mengkerut seperti menjadi layu. Berpikirlah dia akan
perbedaan daun rumput putri malu, dengan daun tetumbuhan yang lainnya. Kalau
daun lain tersentu hanya bergoyang. Tapi daun rumput putri malu malah mengkerut
seperti layu. Terpikirlah terus menerus akan daun rumput tersebut.
“Daun yang malu
seperti wanita yang pemalu. Hidup memang harus ada malu. Daun itu juga seperti
melayu saat disentu. Aku juga sudah tidak sopan menginjak daun-daunnya. Kita
harus menghormati semua mahluk hidup. Walaupun itu hanya rumput yang lemah berdahan
rendah.” Pikir puyang.
“Kita sebagai manusia
haruslah memiliki malu. Malu sudah tua berbuat tidak sesuai. Wanita juga perlu
malu agar menjadi wanita terhormat. Jadi pemimpin yang tidak adil malu. Hidup
memang perlu memiliki rasa malu.” Pikir puyang yang terus berjalan.
“Daun rumput itu
me-layu, dahannya menjadi rendah. Manusia haruslah merendah, rendah hati.
Tumbuh didekat tanah, haruslah manusia ingat asalnya dan kemana dia akan
berakhir.” Kata hati puyang yang sudah berjalan pulang.
Itulah pikir Puyang
Penguaso Bukit. Bagaimana kalau dia namakan negeri dengan Putri Malu. Tapi
tidak sesuai sebab negeri bukan hanya untuk wanita. Daun rumput yang seperti
layu terus berputar di benaknya. Maka dia namakan negerinya itu dengan nama
Pedatuan Melayu. Lalu diumumkan pada semua rakyat nama pedatuan mereka. Dengan
demikian, puyang Datu Penguaso Bukit juga dikenal dengan Datu Melayu.
*****
Puyang Datu Penguaso
Bukit memiliki ilmu sakti yang bersifat turun temurun. Ilmu warisan keluarga
ini hanya boleh diwariskan pada satu orang keturunan saja. Sehingga Puyang
Penguaso Bukit memanggil dua anaknya, Pendape dan Marajo.
Puyang Datu berkata
kalau dia ingin mewariskan ilmu Rajo Bumi. Ilmu menguasai kekuatan bumi.
Pemiliknya tidak dapat dikalahkan. Sebab kalau dia terluka lalu dia tersentuh
tanah, lukanya akan sembuh secara ajaib. Pemilik dapat menembus tanah dan
berjalan di dalam tanah. Puyang Melayu sudah tua dan hendak mewariskan ilmunya.
Tapi ilmu Rajo Bumi
hanya dapat diwariskan pada satu orang saja. Yang akan mewarisi adalah orang
yang benar-benar berhati baik dan bersih. Untuk itu, Puyang Datu berkata agar
kedua anaknya duduk mendekat. bersilah, dan pejamkan mata dan mengosongkan
pikiran. Sebab ilmu sakti ini akan berpindah sendiri dan mencari tuannya yang
cocok.
Kemudian Puyang Datu
memejamkan matanya. Di dalam hatinya dia membaca mantra kesaktiannya. Sementara
Pendape dan Marajo duduk bersilah dengan konsentrasi. Dalam waktu setengah jam
kemudian. Tiba-tiba angin berhembus kencang. Awan hitam datang dan hujan turun
lebat, petir menyambar dan kilat bersabung. Setelah keadaan cuaca tenang,
muncul sebuah benda kecil terbang bercahaya dari mulut Puyang Datu.
Terbang mengitari
Pendape dan Marajo. Lama benda kecil bercahaya seperti kunang-kunang itu
terbang berputar-putar. Untuk memilih akan masuk kedalam tubuh siapa?. Tenyata
ilmu Rajo Bumi memilih Pendape sebagai tuannya. Maka masuklah kedalam tubuh
Pendape. Sehingga pendape-lah yang mewarisi ilmu sakti, Rajo Bumi, ilmu
penguasa kekuatan bumi.
Marajo sangat tidak
menyukai akan itu. Dia sebagai kakak merasa kalah dari adiknya. Memang Marajo
orangnya keras dan ambisius. Marajo ternyata diam-diam menyimpan rasa kecewa
pada Pendape. Teringat juga, lima tahun lalu dimana Pendape juga menikahi gadis
yang dia sukai.
Seorang gadis cantik
bernama, Putri Daun Pandan anak dari Puyang Lasemah. Putri Daun Pandan memang
menjadi pujaan bujang-bujang pada masanya. Hati Marajo merasa kecewa dan iri
pada Pendape. Walau Pendape adalah adik kandungnya sendiri. Suatu hari anak
Pendape bertengkar dengan anak Marajo.
Marajo sangat marah
sekali dan dia datang melampiaskan kekesalannya pada Pendape dengan alasan itu.
Dua hari dua malam mereka berkelahi. Pendape hanya mengimbangi saja kakaknya.
Dia tidak bermaksud berkelahi dengan kakaknya. Maka datanglah Puyang Datu
melerai. Namun telah banyak batu hancur dan alam binasa.
Pendape menangkap
isyarat lain. Kalau kakaknya membencinya dan tidak menyukainya. Namun dia
mencoba bersabar dan mengalah. Puyang Datu akhirnya tutup usia. Jazadnya
dimakamkan di dalam tempayan batu di sebuah bukit. Di dalam tempayang juga
dimasukkan bekal kubur, seperti manik-manik, dan lainnya. Begitulah cara-cara
orang Melayu zaman megalitikum menguburkan orang mati.
Persembahan juga
diletakkan dibarisan menhir. Sebagai penghormatan pada arwah Puyang Datu.
Pedatuan Melayu kehilangan pemimpin. Sehingga dilakukan pemilihan Datu untuk
memimpin. Para tetua datang berkumpul dan menjelaskan kriteria pemimpin. Yang
terkuat menjadi pemimpin dan yang dipilih oleh rakyat.
Pendape ingin ikut
pemilihan menjadi Puyang Pedatuan Melayu. Tapi dia menolak karena kakaknya,
Marojo berhak mewarisi kepemimpinan.
Sehingga rakyat dan
tetua pedatuan mengangkat Marajo sebagai datu yang baru. Oleh rakayat, Marajo
diberi gelar Puyang Rajo Batu. Sesuai keahliannya mengendalikan batu-batu. Tapi
sayang sifat asli Marajo tidak berubah bahkan bertambah angkuh. Menjadi
pemimpin membuat Marajo sombong dan semena-mena. Begitupun dengan perlakuannya
dengan adiknya, Pendape.
Marajo selalu curiga
pada Pendape, kalau-kalau dia akan mengambil alih kepemimpinan. Dia tahu kalau
rakyat lebih mencintai Pendape dari pada dirinya. Marajo selalu mengawasi gerak
gerik Pendape. Pendape tidak tenang, sehingga dirinya banyak melamun. Entah
bagaimana dia meyakinkan kakaknya tentang kesetiaanya dan rasa sayangnya pada
sang kakak. Datanglah dia pada mertuanya, Puyang Lasemah.
“Anakku, kalau
demikian keputusanmu, laksanakanlah. Tidak ada yang lebih berharga di dunia ini
selain keluarga kita.” Kata Puyang Lasema sedih. Ibu mertuanya meneteskan air
mata. Besar akan kasihnya pada menantunya yang baik hati dan lembut jiwanya.
“Rahasiakan dahulu
kepergianmu, agar tidak menjadi gaduh.” Kata ibu mertuanya, seorang adik ipar Pendape
bernama Rawas mendengar semua percakapan dari dalam kamarnya. Sepulangnya
Pendape, Rawas juga meminta izin untuk menemani kakaknya. Tentu ibu dan ayanya
setuju agar anak perempuannya tidak terlalu sedih apabila ada adiknya yang
menemani.
*****
Akhirnya, untuk
menghindari pertarungan atau pertumpahan darah bersaudara. Pendape memutuskan
pergi dari Pedatuan Melayu. Dia membawa anak istrinya. Seorang adik iparnya
juga menyertai bersama keluarganya. Seorang kemenakannya yang sudah piatu bernama
Serunting juga ikut. Ada juga sepuluh orang sahabat dan tetangganya yang ikut
pindah untuk pergi membangun pedatuan baru.
Rombongan kecil terdiri
dari tiga puluh keluarga itu pergi menembus hutan rimba saat pagi menjelang
subuh. Tidak ada penduduk yang melihat kepergian rombongan mereka. Oleh
pengikut Pendape dia diangkat menjadi pemimpin. Maka dia digelari Puyang
Pendape Pancari Negeri. Bukan tampa alasan penduduk-penduduk yang ikut pergi.
Karena mereka merasa
tidak suka dengan kepemimpinan Puyang Rajo Batu atau Marajo yang semena-mena.
Mereka merasa tenang dan aman bersama Puyang Pendape yang berbudi luhur. Pada
awalnya Puyang Pendape dan pengikutnya hidup berpindah-pindah. Banyak bertemu
dengan kelompok-kelompok suku yang juga masih hidup nomaden kalah itu. Nomaden
berarti hidup berpindah-pindah atau mengembara tidak menetap.
Ada yang berkelompok
kecil dan cukup besar. Puyang Pendape mendekati mereka baik, lalu diajak
bersama mereka. Sehingga menjadi banyak pengikut Puyang Pendape. Tidak berhenti
disitu, penduduk Pedatuan Melayu yang telah kecewa dengan kepemimpinan Puyang
Marajo juga banyak yang pergi diam-diam di malam hari menyusul Puyang Pendape.
*****
Puyang Pendape
Pancari Negeri dengan pengikutnya membuka hutan belantara yang bertanah subur.
Adik iparnya Rawas adalah adik juga teman setianya. Mereka akan memulai hidup
baru. Bermacam jenis pohon besar-besar mereka tebang. Seperti pohon Ulin, pohon
Meranti, pohon Merbau dan lainnya. Pohon paling banyak ditemukan pohon meranti,
lalu talang mereka namakan Talang Meranti. Pohon juga dijadikan bahan membangun
rumah.
Anak sulung Puyang
Pendape juga giat membantu sang ayah dan warganya bekerja. Walau dia anak
pemimpin tapi dia tidak sombong dan tidak berpangku tangan. Sehingga bertambah
cintalah pengikut Puyang Pendape pada mereka.
Berbulan-bulan
kemudian, rumah-rumah berdiri dan lahan pertanian terbuka. Beberapa talang
telah didirikan untuk pendatang baru tiba. Baik yang dari Pedatuan Melayu atau
dari orang suku pengembara. Mereka membangun balai pedatuan baru mereka,
mengangkat prajurit, hulubalang, tetua dan datu-datu pemimpin talang.
Terbentuklah sebuah pedatuan baru yang dinamakan, Pedatuan Pendape.
*****
Nun jauh di Pedatuan
Melayu terkabar beritah maju pesatnya Pedatuan Pendape. Telah banyak penduduk
Pedatuan Melayu yang pindah ke pedatuan baru itu. Penduduk sangat mencintai
Puyang Pendape sebab dia pemimpin yang sangat bijaksana. Puyang Rajo Batu
sangat khawatir akan wibawanya, dia iri dan gusar sekali. Dia takut semua penduduk
di Pedatuan Malayu pindah ke Pedatuan Pendape. Maka malulah dirinya sebagai
pemimpin. Sebelum semua itu terjadi, dia akan segerah bertindak pikirnya. Dia
kemudian memanggil semua pembesar pedatuan.
“Aku mengumpulkan kalian
semua untuk menyerang Pedatuan Pendape. Dia telah menantang perang dengan
menghasut penduduk untuk pindah. Sehingga hampir setengah rakyat Pendape pindah
ke pedatuan baru itu. Kalau kita tidak bertindak Pedatuan Melayu akan runtuh.
Pedatuan Pendape adalah pemberontak, sedangkan orang pindah kesana adalah
penghianat.Maka, jaga perbatasan tangkap yang akan pergi. Kalau melawan hukum
mati.” Tegas Puyang Rajo Batu.
“Puyang, apakah tidak
salah apa yang puyang katakan. Karena kita akan menyerang sanak saudara kita
sendiri. Sedangkan Puyang Pendape adalah adik kandung Puyang. Sebaiknya
dipikirkan ulang sebab kita satu asal, bersaudara, berkeluarga, kita juga semua
sama-sama yaitu orang Malayu.” Kata Puyang Lahat Sakti. Dia seorang hulubalang
dan seorang Datu Talang Enim. Enim berarti air yang tenang dan jernih.
“Wahai kemenakanku
Puyang Rajo Batu, ada baiknya kita bermusyawara saja dengan Puyang Pendape. Seandainya
ada rakyat kita yang pinda tanpa izin maka hendaklah dia mengembalikan.” Saran
Puyang Lasema.
“Puyang Lasema.
Apakah lantaran dia menantumu, sehingga engkau tidak mau menyerang pedatuan
yang jelas-jelas hendak meruntuhkan pedatuankita. Kau ternyata bukanlah orang
yang bijak, mencampur aduk urusan pemerintah dengan urusan pribadi. Lalu apa
hakku sebagai pemimpin yang telah diangkat kalian. Apakah kalian hendak
menjilat ludah, atau hendak menjadi pemberontak juga. Membangkang lalu menjadi
penghianat pedatuan.” Puyang Marajo marah-marah, dia tersinggung karena terlalu
banyak saran dan pertentangan.
Dia tidak suka
dibantah dan dinasihati. Karena dia merasa dirinya sangat pintar dan benar.
Maka semua hadirin diam, para hulubalang, tetua adat, para datu-datu, dan
laskar akhirnya mematuhi perintah Puyang Rajo Batu.
Puyang Lasema dan
Puyang Mahat tidak habis pikir mengapa Puyang Rajo Batu selalu membenci Puyang
Pendape. Padahal saudara kandungnya sendiri. Puyang Lasema dan Puyang Mahat
sudah tua dan mereka memiliki banyak pengalaman hidup dan wawasan memimpin.
Tapi mereka tetap patu perintah pemimpinnya. Mereka bukan orang yang
mementingkan urusan pribadi. Maka berangkatlah sepuluh ribu laskar Pedatuan
Melayu menyerang Pedatuan Pendape.
Kabar akan adanya
serangan sampai ke telinga Puyang Pendape. Dia juga tidak habis pikir mengapa kakaknya
tega menyerang pedatuannya. Padahal dia adalah adiknya sendiri, sedangkan
rakyatnya juga rakyat Pedatuan Melayu. Pergilah Puyang Pendape bertapa dimalam
harinya di sebuah bukit kecil di sisi Talang Meranti. Di atas bukit kecil itu
ada sebuahgoa kecil.
Entah apa yang dia
dapatkan dalam pertapaannya itu. Namun semua rakyatnya tidak mengerti mengapa
tidak ada persiapan perang. Semua sudah berkumpul di balai pedatuan dengan
senjata di tangan. Puyang Pendape tampak tidak bersemangat, dia menyayangi
semua rakyatnya dan rakyat saudaranya. Terpikirkan akan banyak janda dan
anak-anak yang terlantar.
“Rakyatku semuanya,
aku mencintai kalian semuanya dan aku tidak ingin kita berperang dengan saudara
kita sendiri. Aku tidak meragukan kesetiaan kalian. Tapi yang kita dapat dari
perang saudara ini, selain kesedihan. Kita akan mendengar jeritan saudara kita,
atau tangisan anak istri kita. Hanya itu yang kita dapatkan.” Kata Puyang Pendape
di hadapan semuanya. Semuanya terdia dan membenarkan kata-kata Puyang Pendape.
“Aku memerintahkan
kalaian semua, termasuk istri dan anakku untuk mempersiapkan perbekalan untuk
pergi lebih jauh lagi. Buatlah kelompok-kelompok kalian, lalu bangunlah talang-talang
yang baru dimana saja dibumi ini. Bawalah bibit-bibit tanaman, ternak dan
perabotan rumah tangga kalian. Gunakan senjata untuk berburu atau melindungi
diri dari bahaya. Hanya itu perintahku, yang harus kalian taati semuanya.
Pergilah.” Kata Puyang Pendape.
“Puyang, Puyang.” Beberapa orang Datu seperti
ingin menentang keputusan itu.
“Cepat kemas
barang-barang keluargamu, Mengertiiiiii.” Puyang Pendape marah, semua tidak
dapat berbicara lagi. Puyang Pendape meminta Rawas pergi membawa anak dan istrinyapergi
secepatnya.
“Rawas jagalah
kakakmu, dan kemenakanmu pergilah secepatnya.” Pesan Puyang Pendape. Betapa
sedih istri dan anak-anak puyang, tapi mereka harus segerah pergi dengan cepat
meninggalkan pedatuan yang baru mereka bangun.
*****
Laskar Pedatuan
Melayu sudah memasuki perbatasan Pedatuan Pendape. Gapura yang terbuat dari
kayu beratap daun rumbiah kosong. Tidak satupun penjaga disana. Pasukan pertama
Pedatuan Melayu membakar gapura. Meraka terus masuk untuk mengintai, bersikap
waspada kalau-kalau ada jebakan atau mush bersembunyi.
Seorang prajurit di
utus menemui Puyang Marajo di tendanya, melaporkan situasi. Tampak para
hulubalang dan para datu mendampingi sambil mempelajari situasi. Puyang Marajo
memerintahkan agar tetap berhati-hati. Sebab dalam perang, yang berperan adalah
setrategi bukan jumlah. Perang adalah tipuan, bukan yang tampak. Perintah
mengepung Pedatuan Pendape di jalankan.
“Hulubalang Pibang,
lakukan ronda dan periksa bukit disisi pemukiman sesuai laporan pasukan
pengintai.” Perintah Puyang Marajo pada seorang hulubalangnya.
Pasukan Puyang Marajo
terus masuk tanpa halangan, mulai ada kelompok menemukan talang. Saat mereka
masuk, talang telah kosong. Rumah terbuka dan kosong tidak ada perabotan.
Mereka kemudian menyadari kalau talang telah ditinggalkan penduduknya.
Begitulah semua talang-talang telah kosong, begitu juga balai pedatuan juga
kosong.
*****
Pasukan sekarang
mengepung Talang Meranti. Pasukan lebih banyak sebab diketahui Talang Meranti
tempat kediaman Puyang Pendape. Namun mereka hanya menemukan dua orang
nenek-nenek menumbuk padi. Sebuah keluarga dimana terdapat ibunya sakit para.
Satu keluarga ayahnya sakit parah juga. Dua keluarga istrinya hamil besar, dan
ada dua keluarga istrinya baru saja melahirkan. Sekitar sepuluh keluarga yang
masih tinggal. Pasukan Pedatuan Melayu mengajak mereka perang dan mengadu
keahlian silat.
“Kau hendak berperang
dengan kami. Apa kau tidak melihat kalau kami orang biasa, bukan laskar. Selain
itu, aku kenal dengan bapak kalian adalah saudaraku sepupuku. Apa kau begitu
kurang ajar menodongkan senjata padaku. Aku ini masih uwa kau, mengerti.” Kata
lelaki tua berumur lima puluhan tahun. Semua prajurit terkejut dan terdiam dan
sadar kalau mereka memerangi keluarga sendiri.
“Pantaslah semuanya
pergi, bukan sebab mereka takut, tapi menyadari kalau kita adalah saudara
mereka.” Setelah itu, semua prajurit pergi dan meminta maaf. Ada juga dua orang
prajurit tertarik pada anak gadis mereka, lalu diam-diam menikah dan menetap di
Talang Meranti.
*****
Sementara itu,
Hulubalang Pibang melakukan pengintaian di bukit, diikuti dua puluh pasukan
terlatih. Tiba di atas bukit, mereka menemukan seorang laki-laki sedang duduk
tenang dengan mata terpejam. Mereka mengepung lelaki itu, yang tampak
tenang-tenang saja. Saat mereka mengenali, bersiap untuk menyerang.
“Dinda Hulubalang
Pibang, benarkah kau akan menyerang dan membunuhku.” Kata Puyang Pendape.
“Tentu tidak, kanda.
Hanya menuruti perintah Puyang Datu Pedatuan Melayu.” Katanya.
“Kau prajurit yang
baik dan bertanggung jawab. Aku mengerti, biarlah urusan ini aku selesaikan
dengan Kanda Marajo, katakan padanya temui aku disini.” Ujar Puyang Pendape.
*****
Puyang Rajo Batu
diiringi beberapa pengikutnya mendatangi bukit dimana Puyang Pendape menunggu.
Dengan amarah meluap dan kemaran dimana semua penduduk dan pasukan telah pergi
entah kemana ditelan hutan rimba.
“Kau ingin menantang
Aku. Sungguh kurang ajar dirimu. Kemana laskar dan rakyatmu. Mereka melarikan
diri karena takut. Memaluhkan sekali, menyesal aku datang kemari ternyata
pedatuanmu hanyalah kumpulan pengecut.” Kata Puyang Rajo Batu merendahkan.
“Mengapa kakanda
selalu membenci aku. Aku sudah pergi jauh dan tidak mengusik kehidupanmu.
Mengapa pula kakanda memelihara kedengkian dan kesombongan.” Jawab Puyang Pendape.
“Karena kau menghasut
rakyat Pedatuan Melayu pindah ke pedatuan pengecutmu. Kau bermaksud melawan aku
dengan diam-diam. Kau ingin menjatuhkan Aku. Kau pemberontak pedatuan sendiri.
Oleh sebab itu, pemberontak harus dimusnahkan. Sebagai seorang pemimpin yang
paling berkuasa. Pantang ada orang yang berani menginjak-injak martabat pemimpin,
kau mengerti.” Setelah itu Puyang Rajo Batu bersiap menyerang dengan semua
kesaktiannya.
*****
Terjadilah
pertarungan hebat antara Puyang Rajo Batu dan Puyang Pendape.Pertarungan sudah
berlalu selama tiga hari tiga malam. Sampai akhirnya Puyang Lasema dan Puyang Mahat
datang menghentikan. Kemudian muncul juga Rawas untuk menjemput Puyang Pendape
atas permintaan Istinya. Dia meminta agar Puyang Pendape dan Puyang Rajo Batu
berhenti bertarung.
Namun Puyang Rajo
Batu tidak mau berhenti. Dia benar-benar egois dan keras kepala. Sudah
berkali-kali terjatuh dan muntah darah. Puyang Pendape juga sering terluka,
namun saat tubuhnya tersentuh tanah kembali sembuh seperti semulah. Puyang Rajo
Batu mengendalikan batu-batu besar dengan kekuatannya. Maka dalam pertarungan
itu. Banyak batu-batu berterbangan di atas bukit kecil dan disekitar gua tempat
Puyang Pendape bersemedi sebelumnya. Batu-batu yang berserakan itu masih dapat
dilihat sampai sekarang di atas Bukit Pendape.
“Kanda apabilah
engaku hendak mengalahkan Aku. Hanya dengan ditusuk dengan buluh perindu. Di
sisi bukit ada buluh perindu, ambillah.” Kata Puyang Pendape seraya mengelak
serangan-serangan berupa batu-batu besar yang dilemparkan Marajo. Marajo
kemudian dengan cepat memotong runcing bambu dengan sekali pancung. Kemudian
dia potong seukuran tombak. Lalu melompat dan melemparkan ke tubuh Puyang
Pendape. Tanpa ampun buluh perindu itu menancap menembus dada Puyang Pendape.
“Wussss. Aaaahhhh.”
Jerit Puyang Pendape. Semau yang menyaksikan terkejut dan bersedih sekali.
Puyang Marajo merasa puas dan tertawa keras melihat bambu menancap di tubuh
Puyang Pendape. Rawas melompat memangku tubuh yang roboh berlumuran darah.
Terdengar pekik tangisnya, saat melihat kakak iparnya terluka parah.
“Kakkkkkk.”
Jeritannya membahana. Puyang Lasemah dan Puyang Mahat menghampiri dan berlutut
disisi mereka. Dari wajah mereka sangat terlihat duka mendalam dan kesedihan.
Rawas ingin mencabut
potongan bambu menancap di dada Puyang Pendape. Tapi Puyang Pendape tidak
mengizinkan, sebab dia akan sembuh dan hidup lagi karena kesaktian ilmu Rajo
Bumi. Dia tidak ingin berseteru lagi dengan sang kakak. Dia ingin menjadi
peringatan untuk orang-orang Melayu agar jangan berseteru dalam keluarga dan
perang saudara, orang Melayu haruslah bersatu katanya.
“Bak, aku kembalikan
Nurna pada, Bak. Rawas, tolong jaga kemenakan kau dan kakakmu. Berikan pibang sakti
ini pada Padukara." Seraya tangan memegang sarung pibang terselip di
panggangnya. "Bilang, jadilah orang baik.” Kata Puyang Pendape dengan
terbata-bata dan mulutnya mengeluarkan darah segar. Puyang Mahat tampak
bersedih sekali. Sebab dulu Puyang Pendape muridnya dalam belajar silat. Puyang
Pendape kembali berkata.
“Kebumikan jasadku di
atas bukit ini. Tepat diatas bukit kecil dibawah rumpun bambu yang sering
dibuat anyaman bubu.” Rawas tidak menanggapi. Dia sudah dikendalikan
perasaannya, air matanya tidak tebendung lagi. Puyang Pendape berkata agar dia
jangan bersedih. Sebab jalan hidup ditakdirkan oleh sang pencipta. Tugas
manusia adalah berbuat baik. Karena sang pencipta ingin mengetahui
hamba-hambanya yang baik dan buruk. Matanya mulai kabur, tangan Puyang Pendape
terasa dingin dan memegang tangan Puyang Lasemah dan Puyang Mahat. Kembali dia
berkata untuk terakhir kalinya.
“Kelak suatu masa di
Pedatuan Pendape akan berdiri sebuah kota yang besar dan sejahterah, terkenal
di seluruh dunia. Saat itu, penduduknya telah mendapat cahaya. Cahaya itu
dibawak oleh seorang anak yatim piatu yang jujur. Nanti, anak keturunan
rakyatku yang pergi akan kembali kesini membangun kota itu. Banyak juga orang
asing yang akan datang. Pada saatu saat nanti, akan lahir seorang pemimpin yang
akan memulai peradaban baru. Dia suka membaca, suka belajar dan menulis. Sebab,
dunia akan terang oleh pengetahuan.” Kata Puyang Pendape, dan kemudian tubuhnya
lunglai pertanda dia pergi untuk selamanya. Sesuai wasiatnya jenazah dikubur
diatas bukit itu.
*****
“Bak, aku akan
membangun Talang baru. Untuk mewujudkan cita-cita Kakanda Pendape. Untuk
meluaskan Pedatuan Melayu. Sehingga Negeri Melayu bukan hanya di bukit-bukit
dan kaki gunung saja. Tapi juga disemua dataran dan lautan.” Ujar Rawas. Rawas
pergi membawa pibang sakti milik Pendape. Dia kemudian membangun Talang di sisi
sungai besar, kelak dikemudian hari sungai itu bernama Sungai Rawas.
Puyang Lasemah dan
Puyang Mahat kembali pulang ke Pedatuan Melayu. Kemudian meminta anak-anak atau
siapa saja untuk turun pindah ke dataran rendah. Lalu membangun talang-talang
baru. Banyak penduduk yang mengikuti saran itu. Sehingga tersebarlah penduduk
Pedatuan Melayu. Mereka bermukim di pinggiran sungai-sungai dan menamakan
sungai sesuai nama hal yang mereka temui atau nama pemimpin mereka. Akhirnya
mereka lebih suka tinggal di dataran rendah, membuat Pedatuan Melayu
ditinggalkan yang hanya menyisakan batu-batu megalitikum.
******
Tiga bulan kemudian
setelah peristiwa itu, Serunting pulang ke Pedatuan Pendape. Dia yang suka
berkelana kemana-mana untuk mencari ilmu kesaktian. Sekarang dia sudah menjadi
orang sakti dengan julukan Si Pahit Lidah. Dia rindu dengan keluarga sang
paman, Puyang Pendape. Serunting sekarang sudah berumur 27-an tahun.
Betapa bahagia dia saat mendekati Pedatuan, dia rindu paman-bibinya yang dia
anggap seperti orang tuanya. Saudara sepupunya pun pasti sudah besar pikirnya.
Saat dia sampai di
Pedatuan Pendape merasa sangat heran sekali. Talang-talang yang dia lalui sepi
dan bangunan rumah sudah rusak karena tidak teurus. Bahkan sudah ada yang roboh
dan dimakan rayap. Halaman-halaman rumah juga tidak terawat, rumput telah
tumbuh menjalar tinggi. Dia datangi setiap talang di pedatuan.
Sampailah dia di
Talang Meranti yang masih ada beberapa rumah yang di huni. Dengan demikian dia
dapat mencari informasi apa yang sudah terjadi. Dia bertamu kerumah seorang
warga. Mereka menceritakan kalau pedatuan diserang Puyang Marajo dari Pedatuan
Melayu. Keputusan Puyang Pendape adalah semua rakyat harus pergi dan
menghindari perang.
“Begitulah ceritanya,
Serunting.” Kata kakek itu, dialah kakek berani yang berbicara dengan prajurit
muda tiga bulan lalu. Serunting sedih, dan dia merasa sangat menyesal pergi
merantau terlalu lama.
“Bagaimana paman
Pendape.” Tanya Serunting.
“Puyang telah pergi
untuk selamanya, dia mengorbankan dirinya agar kita tidak perang saudara.”
Jelas kakek itu. Serunting mengis sedih mengenang pamannya.
“Aiii nasippp. Bak
dan Umak telah pergi, sekarang paman juga telah pergi.” Kata serunting sambil
menangis. Semua menjadi haru, menasihati Serunting untuk sabar. Setelah itu,
dia pergi ke bukit di sisi Talang Meranti dimana terdapat kuburan Puyang
Pendape.
Di jalan mendaki
bukit kecil itu, dia tidak sabar ingin cepat sampai di kuburan sang paman.
Karena itu, dia merasa kalau bukit itu tinggi.
“Baru sepuluh tahun
Aku merantau mencari ilmu bukit ini sudah tinggi sekali. Bagaimana kalau dua
puluh tahun lagi, tiga puluh tahun lagi, seratus tahun lagi. Pasti bukit ini
semakin tinggi dan tinggi.” Kata Serunting.
Serunting adalah Si
Pahit Lidah, sehingga kata-kata yang dia keluarkan dengan hati dan emosi akan
menjadi kenyataan. Dia mampu menyumpahi orang menjadi batu. Begitu juga bukit
itu, dia kesal karena merasa telah meninggi, padahal dia yang tidak sabar. Di
sana dia meratapi kuburan paman yang dia sayangi seperti ayahnya.
“Aku akan menghukum
Puyang Marajo, yang telah berbuat jahat selama ini. Jahat pada rakyat dan jahat
pada saudara sendiri.” Kata Seruntig atau Si Pahit Lidah. Pergilah dia menuju
Pedatuan Melayu, dan menemui Puyang Rajo Batu di balai pedatuan.
“Hai Datu jahat,
keluarlah temui Aku. Aku akan memberi hukuman padamu yang sudah tidak punya
hati.” Teriak Serunting. Puyang Rajo Batu marah mendengar ada yang berani
menantangnya. Dai menemui Serunting dan meminta kemenakannya untuk pergi dan
jangan berani padanya. Namun Serunting menolak, lalu dia mulai menyerang.
Hulubalang dan prajurit mencoba menghalangi namun sia-sia.
“Heaaaa.Heeaaa.”
Begitulah teriakan pertarungan mereka. Berhari-hari mengadu kesaktian dan
diakhir pertarungan mereka mulai melepas ilmu andalan. Batu-batu sebesar gajah
beterbangan menghantam Serunting. Membuat Serunting kewalahan tapi dapat
mengimbangi serangan itu.
“Heaaa. Sebatan bambu
runcing dilempar serunting dan mengenai dada Puyang Rajo Batu. Tanpa ampun dia
jatuh tersungkur dan tewas seketika. Selesai sudah tugas Serunting memberi
hukuman pada Puyang Marajo Atau Puyang Rajo Batu.
Sementara itu, bukit dimana
dikubur Puyang Pendape yang disebut Serunting selalu meninggi dan meninggi.
Terjadi hal aneh, bukit benar-benar meninggi dan meninggi. Sehingga menjadi
bukit yang tinggi sebagaimana sekarang ini. Orang bilang bukit itu meninggi
sebab kata serunting yang tidak sabar ingin cepat sampai. Ada juga yang bilang
meninggi karena kesaktian Puyang Pendape. Penduduk pun menamakan bukit itu
dengan, Bukit Pendape.
Oleh. Joni Apero.
Editor. Desti. S. Sos.
Palembang, 15 Oktober 2019.
Daftar Kata:
Puyang:
yang berarti pemimpin. Bak:
Ayah. Buluh: Bambu. Datu: Pimpinan Kampung. Pibang: Senjata
tradisional Negeri Dataran Bukit Pendape atau Masyarakat Sungai Keruh. Nomaden:
Kehidupan yang berpindah-pindah tidak menetap di suatu tempat. Memang zaman
dahulu orang Melayu hidup nomaden baru kemudian berangsur-ansur menetap.
Sy. Apero Fublic