Suatu masa yang
lampau, kehidupan penduduk di Talang Gajah Mati sangat damai. Diwaktu pagi
berangkat ke ladang, pulang menjelang soreh. Gadis-gadis perawan setiap hari
mengurus rumah, memasak dan mencuci. Perompak tidak berani datang, sebab
pasukan Pedatuan selalu siap dan menjaga keamanan pedatuan.
Sore itu, Puyang
Pengasih pulang dari ladang. Menuntun kerbaunya membawa padi yang sudah siap
tumbuk. Setiap sore suara aluh menumbuk padi terdengar bertalu-talu. Menjelang
malam anak-anak muda berlatih ilmu silat, atau kuntau. Puyang pengasih dan
beberapa tetua melatih langsung para pemuda. Para gadis berlatih silat diwaktu
petang hari. Pelatih juga pesilat wanita, diantaranya istri Puyang Pengasih.
Setelah latihan gadis-gadis pulang dan siap berangkat mandi di Sungai Keruh.
Seorang gadis yang
menjadi kembang talang bernama, Putri Sidepak. Dia baru berumur enam belas
tahun. Wajahnya sangat cantik, kulit putih, rambut panjang sepinggang, tubuh
semampai, wajah ratah dengan alis tebal. Ada lesung pipit dikedua belah
pipinya. Selain cantik, Putri Sidepak juga dikenal gadis perawan yang baik budi
dan halus tutur katanya.
Siapa pun
laki-lakinya akan jatuh cinta padanya. Putri Sidepak bukan hanya cantik
fisiknya, tapi juga cantik ahklaknya. Berita kecantikan Putri Sidepak tersiar
kemana-mana di Dataran Negeri Bukit Pendape. Bahkan Puyang Pedatuan, juga
berniat marasan Putri Sidepak untuk jadi menantunya bila kelak
kalau Putri Sidepak sudah dewasa.
******
Pagarepa, seorang
datu sakti yang tinggal dikaki Bukit Batu Delapan. Dinamakan Bukit Batu Delapan
karena terdapat delapan batu berdiri berbaris, disebut menhir. Ada sebuah batu
persegi empat tempat persembahan. Daerah bukit ini wilayah kekuasaan Pagarepa. Dia
manusia berwatak sombong, ponga, ambisius dan licik. Pagarepa menyukai bilangan
delapan. Dia punya istri delapan orang, rumah delapan, memiliki delapan gajah
peliharaan, delapan bubu, delapan Pibang, delapan ladang. Memiliki ilmu sihir
yang dapat berubah menjadi delapan hewan. Dapat berubah menjadi harimau, gajah,
rusa, kijang, macan tutul, burung elang, kera, dan kadal. Hampir semua yang dia
miliki berjumlah delapan. Oleh karena itu, Pagerepa dijuluki Datu Delapan
Panjang.
Talang Punti tempat
tinggal Pagarepa. Seisi Talang Punti tunduk pada Pagarepa. Di Talang Punti
tidak ada musyawara dan kompromi. Seperti di talang-talang lain. Hukum sesuai
dengan kehendak Pagarepa. Dia selalu ingin jadi nomor satu. Kemauannya tidak
bisa ditolak. Selain itu, dia juga merasa sangat hebat. Bahkan Puyang pemimpin
Pedatuan Dataran Negeri Bukit Pendape tidak dia hormati. Semua laki-laki,
terutama para pemuda dia jadikan prajuritnya. Sehingga Pagarepa atau Datu
Delapan Panjang memiliki banyak prajurit.
Suatu hari dia
mendengar percakapan warganya berbincang-bincang. Mereka membicarakan
kecantikan seorang gadis di Talang Gajah Mati. Mendengar itu, Pagarepa menjadi
penasaran dan terus memikirkan tentang gadis cantik Talang Gajah Mati, yang
cantik luar biasa itu. Bukan hanya cantik, tapi dia gadis yang berbudi luhur, menutup
aurat setiap kali keluar rumah, jujur dan terhormat. Membuat banyak pemuda
tergila-gila pada Putri Sidepak. Tapi dia belum cukup umur, masih terlalu muda
untuk jadi seorang istri. Suatu hari, Pagarepa pergi mencari tahu tentang gadis
yang sangat cantik itu. Dengan menggunakan ilmu sihirnya dia berubah wujud
menjadi burung elang. Terbang menuju Talang Gajah Mati.
Pertama datang
Pagarepa atau Datu Delapan Panjang masuk Talang Gajah Mati melalui sebuah
tanjung dimana banyak pepohonan rengas tumbuh ubur. Lama dia memperhatikan
sekitar tapi tidak menemukan gadis yang cantik tersebut. Kemudian dia terbang
lagi melintas diatas jembatan penghubung keseberang kearah Kampung Puyang
Pengasih. Berputar-putar mengeliling sekitar pemukiman itu.
Hinggap di dahan
pohonan rengas yang tumbuh subur di tebing Sungai Keruh. Waktu menjelang soreh.
Ada serombongan gadis-gadis remaja pergi mandi. Berkain songket, berkerudung
tenun songket, dan berbaju kurung. Puyang Delapan Panjang menyangka kalau dia
dapat mengintip gadis-gadis mandi dengan menyamar jadi elang. Tapi dia kecewa
sebab gadis-gadis itu mandi dengan Talesan.
Talesan berarti
pakaian khusus untuk mandi atau basahan saat mandi di ruang terbuka. Setiap
akan berganti pakaian teman-temannya mengerubungi dengan kain sehingga tidak
sedikitpun aurat mereka terlihat walau mandi di tepian sungai. Pagarepa
memperhatikan semuanys dan menemukan gadis yang sangat cantik itu. "Benar
kata orang-orang. Guman Pagarepa saat dia melihat Putri Sidepak.
“Sidepak, Muanah, Aisisi, dan semuanya. Besok
bertandanglah kerumahku, kita makan-makan rujak.” Ujar Anina, gadis cantik
berkulit kuning langsat.
“Waa, bolehlah. Sudah lama tak rujakan.” Jawab
Muanah.
“Rujak apa, Anina?.” Tanya Putri Sidepak.
“Buah raman muda.
Kemarin ibu banyak memetik di kebun. Jawab Anina. Perawan-perawan cantik itu
pulang dengan riang. Gadis memang suka merujak apalagi pedas-pedas. Sementara
elang jelmaan Datu Delapan Panjang tahu kalau nama gadis yang terkenal akan
kecantikannya. Elang hitam itu terbang menghilang dibelantara hutan.
Datu Delapan Panjang
terpesona dengan kecantikan dan keluhuran budi Putri Sidepak. Bunga Talang
Gajah Mati yang mempesona. Pikirannya selalu terganggu dan dia mulai menghayal
nafsu yang dia terjemahkan dengan cinta. Hari demi hari nafsu semakin besar
pada Sidepak. Dia membayangkan bagaimana kalau menikah dengan Sidepak. Alangkah
indahnya menurut hayalan Datu Delapan Panjang. Suatu hari, terdengar kabar
kalau keluarga Datu Talang Kertajaya melamar Putri Sidepak untuk putranya,
Kamaru. Pemuda tampan dan berbudi luhur. Puyang Pengasih ayah Putri Sidepak
belum dapat menerimah. Sebab Putri Sidepak masih terlalu muda.
“Kakanda Datu
Kertajaya. Bukan saya menolak akan adat
merasan ini. Tapi karena anak saya, Putri Sidepak masih sangat muda. Dia
baru berumur enam belas tahun. Kalau Kakanda tidak berkecil hati. Datanglah dua
atau tiga tahun lagi. Umur anak saya akan cukup dewasa, sembilan belas tahun.”
Kata Puyang Pengasih.
Alasan yang baik dan
masuk akal. Keluarga Datu Kertajaya pulang. Meminta Kamaru agar bersabar
sedikit. Kabar adat marasan terdengar oleh Datu Delapan
Panjang. Dia berlega hati mengetahui adat marasan belum di
laksanakan. Dia mulai khawatir nanti Putri Sidepak di lamar orang dan diterima
Puyang Pengasih. Oleh karena itu, Datu Delapan Panjang mengirim utusan untuk
melaksanakan adat marasan ke Puyang Pengasih. Utusan itu, dua
tokoh adat, seorang hulubalang pasukan Datu Delapan Panjang. Diiringi dua puluh
prajurit. Mereka membawa tepak sirih, membawa satu buah pibang bergagang dan
bersarung emas. Sebagai tanda pelaksaan adat marasan.
Menyadari Datu
Delapan Panjang yang sudah tua seumuran dengannya. Memiliki delapan orang
istri. Puyang Pengasih menolak langsung adat marasan yang
mereka sampaikan. Sebab tidak sesuai dan tidak masuk akal. Pagarepa atau Datu
Delapan Panjang marah dan gusar sekali. Menurutnya dia sudah baik hati dan
sesuai karena dia seorang yang terhormat dan Putri Sidepak dari keluarga rakyat
biasa. Watak aslinya mulai keluar. Tapi dia masih bersabar. Kembali utusan dia
kirim. Mereka membawa emas delapan keranjang, perak delapan keranjang, pibang
delapan bilah, delapan kerbau, delapan sapi, dan delapan kabing. Tapi tetap
saja ditolak oleh Puyang Pengasih.
“Walau pun dunia ini
diberikan padaku. Aku tidak akan pernah merestui anak perawanku menikah dengan
orang yang sesuai menjadi besanku, bukan menantu. Pagarepa memang manusia tidak
tahu malu, serakah dan juga angkuh.” Kata Puyang Pengasih pada utusan.
Pulanglah utusan itu, lalu menceritakan semua. Saat melapor para utusan itu
juga menghasut. Mereka menambah-nambah perkataan sehingga membuat mendidih api
amarah Datu Delapan Panjang.
*****
Puyang Pengasih
mengirim utusan pada Datu Kertajaya. Agar adat marasan segerah
dilaksakan tidak perlu menunggu dua tahun lagi. Karena khawatir dengan perbuatan
buruk Datu Delapan Panjang yang jahat. Datu Kertajaya, anaknya Kamaru, beberapa
orang tetua Talang Kertajaya, dan dua puluh prajurit langsung berangkat ke
Talang Gajah Mati. Mereka menggunakan perahu cepat atau perahu bidar. Menyusuri
Sungai Sake menuju Sungai Keruh. Ada sepuluh perahu yang penuh dengan hadiah
lamaran.
Kamaru merasa bahagia
sekali lamaran akan diterimah. Dua temannya, Samju dan Samlah terus menggoda.
Sehingga tidak terasa penat mengayu perahu karena gembira dalam gurauan.
Mendekati muara Sungai Sake, Datu Kertajaya mendapat pirasat aneh. Dia hanya
berdoa semoga tidak terjadi apa-apa. Saat melewati sebuah tanjung mereka semua
terkejut. Ada dua puluhan perahu bidar besar penuh dengan laki-laki memegang
pibang terhunus. Semuanya menghalangi jalan dan menatap tidak bersahabat.
“Datu Delapan
Panjang, ada apa kalian menghalangi perjalanan kami?.” Tanya Datu Kertajaya.
“Aku hanya meminta,
agar membatalkan pelaksanaan adat marasan Putri Sidepak.
Karena dia akan menjadi istrku yang ke sembilan. Kalau kalian keras kepala,
maka tahu sendiri akibatnya.” Ujar Datu Delapan Panjang.
“Kita sama-sama orang
Pedatuan Pendape. Apakah pernah ada orang Pendape takut mati.” Kata Datu
Kertajaya dengan nada dingin. Semuanya berdiri dan mencabut pibang masing-masing.
Termasuk tetua yang sudah berumur enampuluhan tahun. Tak ayal lagi, pertarungan
tidak seimbang terjadi. Datu Kertajaya dan Datu Delapan Panjang berhadapan.
Selama setengah hari bereka bertempur saling serang. Perahu-perahu telah
tenggelam. Puluhan prajurit Datu Delapan Panjang tewas. Begitupun rombongan
Datu Kertajaya. Satu demi satu roboh dan gugur. Kamaru sekarang sudah terluka.
Dilindungi Samju dan Samlah, dia diperintahkan ayahnya berlari menuju Talang
Gajah Mati. Untuk memberi tahu Puyang Pengasih.
Sesungguhnya Datu
Kertajaya hampir mengalakan Datu Delapan Panjang. Tapi dengan tipuan licik,
pura-pura menyerah. Pagarepa membuat Datu Kertajaya lengah dan terluka.
Kemudian Datu Kertajaya kalah dan wafat membelah kehormatan dirinya dan
keluarganya.
*****
“Puyang, maafkan
kami. Kami diserang Datu Delapan Panjang. Segerah bawak pergi Putri Sidepak.
Dan sampaikan salam terakhirku pada putri.” Kamaru menghembuskan nafas terakhir
dipangkuan Puyang Pengasih. Semua mulai marah, kakak-kakak Putri Sidepak mulai
bersiap. Ibu dan Putri Sidepak menangis, sedangkan tiga adik sidepak di
perintahkan naik ke langit-langit rumah.
Puyang Pengasih juga
bersiap. Dia menyelipkan pibangnya di pinggang. Dia berkata pada Putri Sidepak
jangan khawatir dan takut. Tapi tetap saja semuanya jadi khawatir. Semuanya
berpelukan dan mereka akan menghadapi Datu Delapan Panjang bersama-sama. Panah
dan tombak telah disiapkan.
Dari langit timur
muncul kabut berarak lalu terbang menyebar keseluruh Talang Gajah Mati. Semua
yang terhirup kabut tipis itu tertidur sangat pulas seperti orang pingsan.
Walau pun penduduk sedang di jalan, di halaman rumah, dan dimanapun. Jatuh
lunglai dan tertidur. Begitupun dengan tetangga-tetangga Puyang Pengasih.
Mereka tertidur tanpa sadarkan diri. Tidak lama kemudian, muncul Datu Delapan
Panjang dan prajuritnya. Tampak ada yang terluka, dan berdarah-darah.
Menandakan kalau mereka baru selesai bertempur.
“Puyang Pengasih, kau
pilih mati atau menjadi mertuaku.” Kata Datu Delapan Panjang, angkuh sekali.
“Hidup mati diatur
oleh penguasa alam semesta, Pagarepa. Mati adalah teman terdekat manusia. Jadi
apa yang harus ditakutkan. Dengan memegang pibang, apakah itu tandanya aku akan
tunduk. Apakah kau lupa pepatah lama orang Pendape. Mati, ya sudah, asal hidup
tidak terhina. Mati ya sudah, takkan tunduk pada orang jahat. Mati sudah, kalau
tidak hari ini, ya besok juga mati.” Jawab Puyang Pengasih.
Datu Delapan Panjang
memerintahkan prajuritnya menyerang. Terjadilah pertarungan sengit. Datu
Delapan Panjang berhadapan dengan Puyang Pengasih. Seperti tadi, Datu Delapan
Panjang hampir mati. Dia meminta ampun dan berjanji tidak akan mengulangi
perbuatannya, dan segerah pulang. Kembali kelicikan dia lakukan. Satu genggam
pasir dia lemparkan ke wajah Puyang Pengasih. Membuat mata terpejam dan tidak
dapat melihat apa-apa. Bersamaan juga lemparan pisau menancap di dada dan
mengenai jantung. Puyang Pengasih meninggal seketika.
Sementara ibu dan
empat orang kakak Putri Sidepak juga telah lemah. Tubuh mereka berlima telah
luka-luka disana-sini. Darah mengalir terus dan tubuh semakin lemah. Membuat
gerakan mereka melambat. Mereka telah menewaskan seratus lima puluh prajurit
Datu Delapan Panjang. Akhirnya, pasukan panah menyerbu dan mereka wafat. Ada
lemparan tombak menembus tubuh mereka.
Datu Delapan Panjang
memegang dadanya, tulang iganya patah. Dia menghapus darah menetes dari
bibirnya. Dia melihat pasukannya tinggal lima puluh orang saja. Datu Delapan
Panjang mulai menyadari kalau orang baik sulit dikalahkan. Bagaimana kalau
keluarga besar mereka, dan warga Talang Gajah Mati tidak dia sihir tertidur
dengan kabut tadi. Pasti dia sudah kalah dan tewas pikirnya.
*****
Sementara itu, selama
pertarungan berlangsung. Putri Sidepak menangis sedih. Dia menyaksikan
pertarungan yang mengerikan itu. Satu demi satu keluarganya gugur membelah
kehormatan dirinya. Bagi orang Melayu keluarga wanita adalah kehormatan. Berani
mengganggu keluarga perempuan mereka. Maka pertarunganlah yang akan terjadi.
“Dari pada aku
menikah dengan Datu Delapan Panjang. Lebih baik aku menjadi kadal penghuni
hutan rimba. Atau menjadi ikan penghuni sungai.” Sumpah Putri Sidepak.
“Kakak, jangan suka
berkata-kata yang buruk. Sebab manusia diberikan sang pencipta hari-hari dimana
kata-katanya akan dikabulkan. Manusia diberikan waktu-waktu dimana ucapannya
akan menjadi kenyataan.” Ujar Nanri sambil memeluk Putri Sidepak. Nanri sepupu
Putri Sidepak. Dia kebetulan sedang bermain dirumah Putri Sidepak. Putri
Sidepak kemudian mengambil bunang dan menarik Nanri kesudut ruangan rumah. Lalu
tubuh nanri dia tungkam dengan bunang. Pagarepa memerintahkan prajuritnya
mengepung rumah. Dia sendiri melompat ke dalam rumah Sidepak.
“Kalau kau menurut
kehendakku. Tidak mungkin semua kehancuran ini terjadi, Sidepak. Seakarang kau
mau kemana lagi. Ayah, ibu dan kakak-kakakmu sudah tewas. Tinggal kau seorang
diri dan tidak ada lagi yang membelah dan melindungimu.
“Datu Delapan
Panjang, manusia terburuk dimuka bumi ini. Kau dengarkan kata-kataku. Atas nama
penguasa alam raya ini. Seandainya tuhan yang maha esa memang ada. Tentu akan
mengutuk semua kebiadabanmu. Demi penguasa alam, daripada aku menjadi istrimu.
Tidak sudih tubuhku sedikitpun kau sentuh. Lebih baik aku menjadi seekor hewan
melata seperti kadal penunggu hutan rimba. Atau menjadi ikan penghuni sungai.
“Hanya kata-kata yang
tidak ada gunanya. Akulah datu yang sangat sakti. Maka turutilah aku, aku
berjanji akan membuat hidupmu sangat bahagia. Seperti seorang ratu istri-istri
Raja. Aku akan memberikan emas, uang, rumah yang besar, pelayan dan
pesuruh-pesuruh yang patuh.
“Aku bukan wanita
rendah seperti itu. Aku gadis terhormat dan diriku tidak dapat dibeli atau
ditukar kekayaan. Aku masih suci dan menjaga kesucianku. Hanya pernikahan yang
sah yang aku relakan. Aku bukan penghianat. Ayah, ibu, kakak-kakakku telah
berkorban demi aku. Maka aku tidak akan pernah mengecewakan mereka.
Di langit bagian
utara Talang Gajah Mati tampak mendung. Ada petir-petir dan kilat yang
menyambar. Angin berhembus deras dan terdengar suara menderu-deru. Pucuk-pucuk
pepohonan bergoyang hebat. Cuaca berubah menjadi buruk. Prajurit Datu Delapan
Panjang mencari tempat berteduh. Kilat tiba-tiba menjadi sangat aktif. Kemudian
petir menyambar-nyambar. Prajurit Datu Delapan Panjang ketakutan saat petir
menyambar-nyambar. Beberapa pucuk pohon kelapa terbakar dan putus. Kemudian ada
sambaran keras bersamaan. Suara yang sangat keras dan menggelegar. Semua pohon
disekitar rumah Putri Sidepak tersambar petir.
Asap membumbung bercampur air hujan. Hujan
perlahan redah dan cuaca kembali cerah seakan tidak pernah hujan dan tidak
pernah ada badai petir.
Entah mengapa, Datu
Delapan panjang tampak khawatir dengan keadaan cuaca. Sementara Sidepak diam
memandang langit yang perlahan berubah cerah dari jendela rumah. Datu Delapan
Panjang melangkah mendekati Sidepak. Tapi Sidepak tidak bergerak dan tetap
berdiri memandangi langit. Datu Delapan Panjang berpikir kalau Sidepak sudah
pasrah padanya. Berdiri tepat dibelakang Sidepak. Dengan kurang ajar tangan
Datu tua itu meraih bahu Sidepak. Dia ingin menarik, sekaligus membalik arah
Sidepak menghadapnya.
“Wuussss. Plukkkk.”
Suara pakaian Sidepak jatu. Tubuh Putri Sidepak telah hilang entah kemana. Datu
Delapan Panjang terkejut bukan kepalang. Dia mundur dua langkah ke belakang.
Matanya terbelalak lebar penuh keanehan dan rasa tidak percaya. Lama dia
memperhatikan pakaian Sidepak yang tergeletak. Tiba-tiba matanya melihat
sesuatu yang bergerak-gerak dari dalam tumpukan pakaian. Mata Datu Delapan
Panjang menatap tidak berkedip. Sementara di atas langit-langit rumah. Ruruna,
Marara dan Kandapu juga melihat semua kejadian itu. Begitupun Nanri yang dari
tadi menahan tangis di dalam keranjang bunang, mengintip.
Muncul seekor hewan
melata dari balik tumpukan pakaian Sidepak, yaitu Kadal. Kadal itu berjalan cepat
menuju pintu dan terus sampai ke tanah. Datu Delapan Panjang masih belum
percaya dengan kejadian itu. Dia membolak-balik pakaian Sidepak dan tidak
menemukan apa-apa. Kemudian dia mengejar dan mencari-cari kadal tadi. Datu
Delapan Panjang gusar sekali. Dia juga baru sadar kalau semua prajuritnya telah
mati semuanya tersambar petir. Pasti semua ini ilmu sihir pikirnya.
“Sidepak, kau tidak
akan lolos dari tanganku. Ini hanya ilmu sihirmu yang murahan. Kau pikir aku
tidak punya ilmu sihir seperti ini. Kecil bagiku!!!. Kecilll.” Kata Datu
Delapan Panjang sambil marah-marah. Dia merasa sia-sia, dia sudah susah payah
untuk mendapatkan Sidepak.
Dia mencari-cari
disekitar rumah Sidepak. Dengan ilmu kesakiannya dia dapat menemukan kadal
jelmaan Sidepak. Kemudian Datu Delapan Panjang duduk bersilah dan memejamkan
matanya. Lalu dia membaca mantera sihir berubah wujudnya. Beberapa saat
kemudian ada angin kencang dan muncul kabut menutupi tubuh Datu Delapan
Panjang. Saat kabut hilang, seekor kadal besar merayap. Kadal jelmaan Datu
Delapan Panjang berlari menuju semak-semak. Di kepala kadal jelmaan Pagarepa
ada menempel mutiara. Mirip mutiara yang menempel diikat kepala Datu Delapan
Panjang.
Sementara itu, Nanri
jatuh pingsan. Dia ingat sumpah Putri Sidepak tadi. Sedangkan Marara, Ruruna,
dan Kandapu sudah turun dari atas langit-langit rumah. Mereka mengintip keluar
dan mata mereka terbelalak. Mayat prajurit Datu Delapan Panjang bergelimpangan
tersambar petir, dan terbunuh. Mereka melihat jenazah ayah, ibu, dan kakak-kakak
mereka. Mereka juga menyaksikan semua perbuatan Datu Delapan Panjang. Termasuk
saat dia berubah menjadi kadal besar. Ruruna, Marara dan Kandapu sepakat untuk
membantu Sidepak. Mereka mengambil senjata yang tergeletak didekat mayat-mayat
prajurit Datu Delapan Panjang.
“Kita harus
membalaskan kematian Ayah, ibu, dan Kakak-Kakak kita. Kita cari kadal jelmaan
Datu Delapan panjang. Sebelum dia kembali menjadi manusia.” Kata Marara. Mereka
mencari kadal besar yang berciri, ada batu permata di kepalanya.
*****
Sementara itu, kadal
jelmaan Sidepak terus berlari diantara sarap dan semak-semak.
Dia harus lari jauh menghindari Datu Delapan Panjang. Kadal jelmaan Datu
Delapan Panjang dengan susa paya akhirnya menemukan kadal jelmaan Sidepak.
Kadal jelmaan Sidepak kaget melihat ada kadal besar menghadang di jalannya.
Lidah kadal besar tampak menjulur-julur.
Membuat takut kadal
jelmaan Sidepak. Kemudian dia berlari ke sisi kanan. Kadal jelmaan Datu Delapan
Panjang mengejar. Sampailah di tebing Sungai Keruh yang lebar. Di tanah agak
lapang itu. Kadal jelmaan Sidepak benar-benar tidak dapat berlari lagi. Maju
dia akan jatuh ke Sungai Keruh. Mundur dia akan tertangkap oleh kadal besar
itu.
“Kalau kau tidak
menjadi istriku sebagai manusia. Kau akan menjadi istriku sebagai hewan.” Kata
kadal jelmaan Datu Delapan Panjang. Lama kadal jelmaan Sidepak tidak bergerak.
Mungkin dia sedang berdoa pada yang maha kuasa. Kadal jelmaan Datu Delapan
Panjang mendekat perlahan-lahan. Lidanya terus dijulur-julurkan dan sorot mata
tajam. Kadal jelmaan Sidepak tiba-tiba berlari menuju tebing sungai dengan
cepat. Lalu tubuhnya meluncur ke dalam Sungai Keruh. Tidak ampun lagi tubuh
kadal jelmaan Sidepak lenyap didalam air. Terdengar suara tubuh kadal jatuh ke
air. Tampak gelombang dipermukaan air sungai disaksikan kadal jelmaan Datu
Delapan Panjang.
Kadal jelmaan Datu
Delapan Panjang hanya menatap lesuh menyaksikan itu. Dia merasa putus asa dan
sia-sia. Kemudian dia berbalik hendak meninggalkan tebing sungai. Saat kadal
itu berbalik. Tidak menyangkah tiga orang anak-anak menghunus Pibang di
tangannya. Lalu mengayunkan pibang membabat kearah kadal jelmaan Datu Delapan
Panjang. Tidak ampun lagi, kadal besar itu terpotong tiga. Satu mata pibang
memotong leher, satu memotong tengah, dan satu mata pibang memotong ekor. Kadal
jelmaan Datu Delapan Panjang tewas seketika. Pagarepa atau Datu Delapan Panjang
tidak lagi terdengar ceritanya sampai sekarang. Dia Tewas di tangan anak-anak.
*****
Marara, Ruruna, dan
Kandapu berdiri disisi tebing sungai. Mereka berharap menemukan kadal jelmaan
dari Sidepak sang kakak. Namun apa daya, mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
Duduk di tebing Sungai Keruh memandang permukaan air yang berwarna kekuningan
mirip keruh itu.
“Kopek. Kopek dimana?.” Itulah kata mereka
berkali-kali sambil menangis.
Dalam kesedihan itu,
tiba-tiba di permukaan air sungai muncul seekor ikan. Ukurannya sebesar lengan
tangan orang dewasa. Ikannya besisik, mirip ikan ruan (gabus).
Tapi bukan ikan ruan. Melompat-lompat dipermukaan air dihadapan
mereka. Ketiganya merasa aneh dengan ikan itu. Namun ikan terus melompat riang.
Berenang kesana kemari seakan mengajak ketiganya bermain.
Menjelang malam ikan
itu mendekati tebing sungai. Lalu membuka mulutnya, ada kilauan emas. Ruruna
mengambil benda itu dari mulut ikan. Saat mereka perhatikan ternyata itu sebuah
cincin. Yang paling membuat mereka terkejut saat mengenali, itu cincin Sidepak.
Mereka bertiga menangis dan menjerit-jerit. Kakak mereka yang menjelma menjadi
kadal, sekarang telah menjadi seekor ikan. Rupanya doa sebelum kadal jelmaan
Sidepak melompat ke air. Dia meminta untuk menjadi ikan pada yang maha kuasa.
Sejak saat itu,
Marara, Ruruna, dan Kandapu selalu bermain ditepian Sungai Keruh di sisi Talang
Gajah Mati. Mereka menangkap belalang, mencari serangga dan memberikannya pada
ikan Sidepak. Ikan sidepak juga tidak pernah pergi jauh. Selalu di sekitar
tepian mandi mereka. Saat mereka mandi ikan Sidepak datang bermain menemani.
Membuat Marara, Ruruna, dan Kandapu menjadi terhibur walau mereka telah menjadi
yatim piatu. Penduduk Talang Gajah Mati akhirnya juga tahu dari cerita mereka
bertiga. Mereka menjadi yakin saat diajak ketepian sungai.
Ketiganya memanggi
Ikan Sidepak. Ikan Sidepak muncul di hadapan mereka. Penduduk semuanya menangis
bersedih melihat keadaan Sidepak. Gadis yang sangat cantik, baik, suci, dan
berbudi luhur. Harus menjalankan takdir yang sangat berat. Namun itu semua dia
lakukan demi kehormatannya sebagai seorang wanita. Juga kehormatan keluarganya.
Apapun yang terjadi
seorang gadis harus membelah kehormatannya dan kehormatan keluarganya.
Bertahun-tahun kemudian ikan Sidepak hidup bersama penduduk. Saat mandi mereka
selalu memanggil-manggil Ikan Sidepak. Ikan Sidepak muncul dipermukaan dan
bermain. Terobatilah rindu keluarga, teman, sahabat, dan semua warga, pada
Putri Sidepak.
Ikan Sidepak juga
bertelur akhirnya. Anaknya banyak bertebaran di Sungai Keruh. Penduduk
mengenali akan keturunan dari Ikan Sidepak. Sehingga saat penduduk memancing,
memasang bubu, apabila mendapatkan anak ikan Sidepak mereka melepaskan kembali.
Penduduk Talang Gajah
Mati tidak mau memakan anak keturunan Ikan Sidepak. Karena Ikan Sidepak dari
jelmaan seorang manusia. Seiring waktu cerita Ikan Sidepak hanya diingat
sedikit saja oleh masyarakat. Bahwa ikan Sidepak itu dari kadal. Itulah yang
populer ditengah masyarakat.
Nama Ikan Sidepak
seribu tahun kemudian beransur-ansur berubah dengan sendirinya. Kata Sidepak
akhirnya bergeser menjadi kata, Kedak. Itulah mengapa masyarakat Desa Gajah
Mati dan sekitarnya tidak mau makan Ikan Kedak (Sidepak).
Kepercayaan mitos ini
sampai sekarang masih bertahan pada masyarakat Desa Gajah Mati dan desa-desa
lain di Kecamatan Sungai Keruh, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Bahkan berkembang lebih jauh ke daerah-daerah lain. “Ikan Kedak, asalnya
dari kadal. Itulah yang akan anda dengar dari masyarakat Desa Gajah Mari.
Editor. Selita. S. Pd.
Palembang, 24 Desember 2019.
Arti kata:Puyang: Pemimpin yang dipilih masyarakat bukan keturunan bangsawan. Adat marasan: sama seperti taaruf, tapi ditambah syarat-syarat adat. Lama pelaksanaan adat marasan tiga bulan. Pibang: Senjata tradisional masyarakat Dataran Negeri Bukit Pendape yang berbentuk pedang pendek. Bunang: Keranjang besar untuk mengangkut dan menyimpan bulir padi.
0 komentar:
Post a Comment