8/04/2019

Tiga Tipologi Rumah Panggung Di Provinsi Sumatera Selatan

Apero Fublic.- Rumah panggung adalah bentuk rumah tradisional masyarakat di kawasan Asia Tenggara. Wilayah tropis, dengan keanekaragaman hayati terutama jenis tumbuhan. Telah melahirkan kebudayaan bagi manusia yang mendiami wilayah tropis. Banyaknya sumber daya kayu membuat perkembangan bangunan tempat tinggal juga dengan menggunakan kayu, rumah panggung.

Selain itu, bangunan rumah panggung juga dibentuk dari tantangan alam. Misalnya banjir, menghindari hewan berbisa, hewan buas seperti harimau. Juga bentuk pemukiman kawasan perairan atau rawa-rawa. Sehingga terbentuklah budaya rumah panggung. Dalam perkembangan pembangunan tempat tinggal, ada tiga tipologi umum rumah panggung yang terdapat di kawasan Provinsi Sumatera Selatan. Rumah panggung masuk dalam salah satu kebudayaan Melayu.


A.Rumah Panggung Basepat

Rumah Panggung Basepat adalah rumah panggung hasil perkembangan bangunan rumah panggung generasi pertama. Kata basepat dalam bahasa Melayu berati bertingkat. Tapi tingkat ini tidak meninggi, tingkat yang bersusun rendah. Rumah panggung basepat dinamakan rumah limas sekarang. Penamaan diambil dari bentuk atap atasnya yang berbentuk melimas.

Namun penamaan ini kurang tepat sebab tidak mengakar dari budaya masyarakat Sumatera Selatan sebenarnya. Penamaan yang terburu-buru tanpa melakukan penelitian yang mendalam di tengah masyarakat. Mengingat seluruh bangunan tempat tinggal di Indonesia atapnya hampir melimas. Rumah Panggung Basepat atau rumah limas ini menjadi rumah adat Provinsi Sumatera Selatan dan pernah menjadi gambar di uang sepuluh ribu rupiah.

Kata basepat berkembang dari kata sekat. Kata sekat sudah sejak lama ada di dalam bahasa Melayu. Sekat bermakna batas yang bersipat tidak permanen. Misalnya ruangan tengah rumah disekat dengan tirai untuk sementara. Arti umum sekat adalah batas.

Awalan kata ba menjelaskan memasang, memakai, mengambil, melakukan atau digunakan. Perkembangan kata sekat menjadi basepat untuk pembedaan dari kata sekat. Biasanya dalam pembahasan timbul salah pemaknaan. Sekat yang artian mana sehingga timbul gejolak dalam perbincangan. Di dorong juga salah ucap saat masyarakat penyampaian kata.

Sehingga basekat berubah basepat. Basepat juga memunculkan makna menjadi tingkat-tingkat. Tapi tingkat yang tidak meninggi. Basepat juga bermakna batas-batas yang rendah. Itu dirujukkan dengan lantai yang berbatas sekeping papan (kijing), lalu meningkat setinggi 30 cm, berbatas sekeping papan lagi (kijing).[1]

Banyak peneliti mengaitkan dengan lantainya yang naik turun dengan kebudayaan punden berundak. Namun, bentuk bangun berundak tidak hanya meningkat dari satu sisi, tapi diempat sisi. Kemudian bangunan berundak pada bagian atas akan semakin mengecil.Sedangkan rumah panggung basepat semakin besar.

Pada kebudayaan asli Indonesia bangunan berudak hanya digunakan untuk bangunan keagamaan. Sebagai contoh, bangunan punden berundak manusia purba di Lampung. Bangunan candi-candi baik hindu atau budha. Kemudian sistem berundak juga saat masuknya Islam diterapkan pada bangunan atap masjid tradisional Indonesia. Bangunan berundak tidak pernah digunakan untuk bangunan tempat tinggal. Rumah panggung basepat adalah murni perkembangan dan kemajuan teknolgi pertukangan bangunan tempat tinggal dari sistem bangunan pondok.[2]

Contoh Rumah Panggung Basepat di lihat dari luar. Tampak lantainya naik turun dan bagian atas paling besar. Tidak mencerminkan pengaruh kebudayaan purba punden berundak.
Contoh bagian dalam Rumah Panggung Basepat. Tampak teknik plavon dan ukiran tradisional Melayu di dinding pembatas dengan ruang tengah rumah. Mengapa di sebut ukiran Melayu karena bersumber dari alam, seperti daun, bunga, dan pepohonan. Ukiran tersebut masih asli dan sudah berumur ratusan tahun.
Conto ukiran atau ragam hias yang selalu ada di sisi samping dinding depan rumah Panggung Basepat. Bentuk demikian sama seperti di rumah-rumah panggung basepat lainnya. Menjadi salah salah satu ciri khas rumah tradisional ini.

Ciri-Ciri Rumah Basepat Asli
1. Lantai meningkat ke atas. Di setiap tingkat lantai dibatasi dengan kijing atau papan lebar penutup.
2. Material masih tradisional, seperti reng terbuat dari bambu, kasau atau taso terbuat dari kayu bulat yang diawetkan dengan direndam.
3. Adanya pemasangan sejenis pelindung di lantai dibagian bawah dari serangan musu. Terbuat dari jalinan kayu-kayu kecil pelindung tusukan berupa tombak atau pedang.
4. Ragam hias berupa ukiran-ukiran papan yang dipasang bagian samping rumah. Di bagian pembatas ruang tengah dengan ruang tamu.
5. Serambi didinding secara menyeluruh. Pintu dan jendela dibuat sederhana tidak banyak hiasan dan motif.
6. Ada makna di setiap tingkatan lantai: makna menyesuaikan aktivitas. Maksud menyesuaikan aktivitas adalah dimana aktivitas terjadi, seumpama ada raja yang berkunjung, ulama, dan masyarakat. Maka susunan duduk raja di lantai paling atas, ulama di lantai kedua, dan dilantai ketiga rakyat. Misalnya ada pertemuan suatu keluarga dengan keluarga lain. Para orang tua di lantai atas, orang muda di lantai kedua, dan orang yang belum menikah atau bujang di lantai paling bawa.
7. Tiang dan material terbuat dari kayu-kayu berkualitas.
8. Terletak di pemukiman awal di suatu tempat (desa). Terutama tidak jauh dari tebing sungai.
9. Tiang menggunakan kayu unglen atau kayu besi.
10. Bentuk dan arsitektur sama dengan rumah-rumah basepat lainnya.
11. Tingkatan lantai rumah selalu tiga tingkat. Namun ada juga yang hanya dua atau ada yang empat tingkatan. Hitungan tingkat tidak termasuk serambi tangga di samping bangunan rumah. tingkatan ada makna-makna filoshofis.

B. Rumah Panggung Malamban
Rumah panggung tipologi malambang berbeda bentuk dari rumah panggung basepat. Kalau rumah panggung basepat lantainya naik turun. Rumah panggung malamban lurus atan mendatar. Dari serambi depan sampai ke bangunan dapur. Biasanya hanya bangunan dapur lantai sedikit menurun.

Kata malamban berasal dari kata lambanLamban adalah penamaan tempat penyeberangan sungai yang sangat sederhana. Biasanya lamban hanya terbuat dari sebatang pohon atau sebatang bambu. Kalau diartikan kedalam bahasa Indonesia lamban berarti jembatan. Awalan kata ma bermakna sedang melakukan.

Kata ma juga bermakna atau merujuk ke membentuk, serupa, semirip, atau meniru. Secara fhilosofis dijelaskan saat merakit kerangka rumah. Dimana kerangka utama adalah kitau. Kitau ini yang terpasang sangat mirip dengan lamban (jembatan). Kitau adalah kerangka yang terletak diatas tiang-tiang.

Sama halnya dengan pondasi. Semua kerangka rumah bertumpu pada kitau. Sehingga para tukang saat merakit berjalan di atas kitau. Seolah-olah mereka sedang berjalan melamban (menyeberang melalui jembatan) di atas sungai. Begitupun saat masyarakat melihat mereka sedang bekerja.

Dari ujung ke ujung berjalan diatas kerangka utama atau kitau. Sehingga lama-semakin lama kata malamban terus melekat. “melamban kitau” melamban membawa alat-alat tukang” “malamban membawa kerangka rumah yang lain. “malambam bikin rumah.” Semuanya malamban terus malamban sampai rumah tegak dan dipasang lantai. Maka kata malamban melekat saat membangun rumah tipelogi memanjang mendatar tersebut.
Foto Rumah Panggung Malamban. Coba perhatikan bentuk lantainya yang hanya melurus dan tidak meningkat atau berundak seperti rumah panggung basepat.
Ciri-Ciri Rumah Panggung Malamban
1.Rumah berbentuk persegi empat memanjang.
2.Ragam hias berupa jenis kaca lama yang banyak gambar-gambar.
3.Material terbuat dari kayu berkualitas.
4.Adanya ragam hias di atas atap, seperti patung burung, tahun pembuatan, dan sebagainya. (tidak semua).
5.Tidak ada makna-makna simbol dan klasifikasi sosial. Penyebab tidak ada lagi makna-makna adalah perkembangan rumah ini sudah menyebar sajak dalam jajahan Belanda.
6.Material sudah diolah cukup baik. Seperti tiang menggunakan batu bata jenis lama, genting lama dan sebagainya.
7.Bentuk dan arsitekturnya sama dengan rumah-rumah malamban lainnya.

C. Rumah Panggung Kotemporer
Kata kotemporer bermakna baru atau moderen. Dalam seni seperti arsitektur kotemporer adalah arsitektur yang tidak lagi terikat dengan satu bentuk, aturan-aturan, kaidah-kaidah tradisional. Arsitektur kotemporer adalah arsitektur baru yang berbentuk bebas. Rumah panggung kotemporer tidak lagi terikat dengan bentuk rumah panggung basepat dan rumah panggung malamban.

Rumah panggung basepat pada masanya semua masyarakat membuat dengan bentuk yang sama (abad ke 20 kebawa). Begitu pun saat tipologi rumah panggung malamban tersebar di seluruh Sumatera Selatan di awal abad ke 20 Masehi. Maka hampir semua rumah-rumah masa itu mengikuti bentuk atau arsitektur rumah malamban dan basepat.


Rumah Panggung Kotemporer dalam bentuk meniru rumah panggung malamban. Hanya perbedaan pada bentuknya yang minimalis. Serambi depan atau samping hanya didinding seperempat atau bentuk miniatur sederhana. Arsitekturnya bebas dan berbeda-beda.

Tinggi dan rendahnya, ukurannya dan juga cara pembuatannya. Maka rumah panggung yang bergaya bebas ini disebut Rumah Panggung Kotemporer. Penamaan kotemporer diambil dari kebutuhan ilmia dalam menggolongkan bentuk rumah panggung di zaman sekarang. Rumah panggung kotemporer adalah perkembangan ke tiga dari bangunan tempat tinggal masyarakat Melayu.

Perkembangan rumah panggung kotemporer dipengaruhi faktor sosial. Besarnya populasi penduduk, sempitnya lahan, habisnya sumberdaya kayu, tuntutan bisnis, kecepatan dalam penyelesaian. Selain itu, pengaruh budaya praktis seperti sistem hajatan yang menggunakan sistem antri, sistem antar pada penyajian jamuannya. Tren keluarga kecil yang sederhana, dan keterbatasan ekonomi.

Rumah Panggung Kotemporer bentuk dan arsitekturnya sudah bebas. Tidak lagi monoton seperti rumah panggung basepat dan rumah panggung malamban.

Ciri-Ciri Rumah Panggung Kotemporer
1. Arsitektur dan bentuknya bebas tidak mengikuti tipologi tertentu atau tipologi sezaman sebagaimana rumah basepat dan malamban.
2. Miskin ragam hias kreatifitas, seperti ukiran papan misalnya.
3. Material di olah dengan teknologi, dari reng, taso, genteng dan sebagainya.
4. Serambi depan dan samping di dinding setengah atau seperempat.
5. Tiang rumah menggunakan batu bata jenis baru atau jenis kayu biasa.
6. Terletak menghadap jalan raya dan jauh dari tebing sungai.
7. Ragam hias berupa material lain, seperti gambar, atau kerajinan tangan yang ditempel di dinding.

Seiring perkembangan zaman bangunan panggung akhirnya juga mulai dikikis oleh bangunan rumah depok. Atau jenis rumah yang dibangun langsung diatas permukaan tanah. Semoga ada perhatian dari pemerintah, terutama bidang pariwisata dan kebudayaan. Membentuk kawasan kampung budaya di kawasan desa tertentu. Seperti di Kota Palembang terdapat Kampung Al-Munawar.

Oleh. Joni Apero
Editor. Desti. S. Sos.
Palembang, 4 Agustus 2019.


[1]Kijing adalah nama papan yang melebar di sisi, di atas atau depan lantai, dinding, atau atap. Fungsi papan kijing untuk memperindah dan menutup celah-celah.
[2]Pondok adalah nama bangunan tempat tinggal orang Melayu pada masa belum tersentu kemajuan teknologi pengolahan kayu.
Sumber foto Rumah Panggung Kotemporer. Desmiana, Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Foto Rumah Panggung Basepat dan Malamban oleh Apero Fublic. Lokasi Kampung Lama di Desa Gajah Mati, Kecamatan Sungai Keruh, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia.
Sumber data: Wawancara dengan orang tua-tua di Desa Gajah Mati. Observasi langsung penulis ke lapangan, di seluruh Kecamatan Sungai Keruh Kabupaten Musi Banyuasin, dan beberapa bagian di Kota Palembang di kawasan Tangga Buntung. Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Ogan Ilir.

Sy. Apero Fublic

0 komentar:

Post a Comment