Apero Fublic.- Kawasan Provinsi Sumatra
Selatan adalah wilayah peninggalan dua pemerintahan besar, yaitu Kedatuan
Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam. Sriwijaya yang merupakan negeri
induk pada masa lalu, yang kemudian runtuh sehingga rakyat nya kehilangan
pembimbing. Sehingga masyarakat Melayu tinggal terpencar-pencar dan
berkelompok-kelompok kecil di pedalaman atau Uluan.
Mereka membentuk perkampungan-perkampungan
yang dinamai pedatuan, yang dipimpin oleh seorang depati. Banyak juga yang
menyebar ke bagian-bagian pesisir Nusantara dan membuat negeri baru. Agama
Islam telah masuk menyebar di tengah masyarakat Melayu di Sumatra Selatan pada
abad 14 dan 15 Masehi. Bukan hal yang aneh, karena memang Islam sudah hadir di
Sumatra Selatan sejak abad ke delapan masehi, masa kejayaan Kedatuan
Sriwijaya.
Namun belum menyentuh
kehidupan sosial masyarakat secara utuh, Islam masih minoritas. Masa itu,
Islam belum menjadi kekuatan ekonomi dan politik. Bahkan Islam masih
bercampur dengan kebiasaan, dan kepercayaan lama orang Melayu. Dengan sudah
Islmanya ibu kota Sriwijaya (Palembang), yang dikemudian hari menjadi pendorong
Islamnya Adipati Majapahit Aryo Damar atau Arya Abdillah, saat Palembang di
kuasasi Majapahit dari penguasa Perompak Cina.
Islam pun, terus menyebar
keseluruh Sumatra Selatan. Islam yang disebarkan oleh ulama-ulama, pedagang,
yang datang dari berbagai tempat (Minangkabau, Jawa). Agama Islam yang sudah
tersebar inilah yang nantinya akan menjadi pendorong terbentuknya suatu
pemerintahan baru, yaitu Kesultanan Palembang Darussalam.
Kata marga dalam
bahasa sanskerta berarti rahim, sebab, dan jalan.
Apabila dihubungkan dengan marga pada masyarakat berarti yang melahirkan, yang
menyebabkan ada, atau jalan seperti silsila. Pengertian marga pada masyarakat
Sumatra Selatan pada awalnya sama dengan pengertian marga pada masyarakat
Minang dan Batak, berdasarkan keturunan atau kenenek moyangan.
Kemudian
pengertian marga berkembang menjadi wilayah kawasan dalam pemerintahan (pada
masa Kesultanan Palembang). Sebagai contoh adalah masyarakat Marga Sungai Keruh
(sekarang kecamatan) yang mengaku anak cucu dari seorang puyang (nenek moyang),
yang mereka kenal dengan sebutan Puyang Dulu. Dalam pembahasan ini
adalah sejarah berdirinya Marga Sanga Desa, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi
Sumatera Selatan.
Marga Sanga Desa berdiri pada tahun 1740 Masehi,[2] dengan
pasirah pertama Depati Syamsudin atau Depati Uding, yang bergelar Pangeran
Syamsudin. Depati Syamsudin membangun suatu kawasan marga, dengan menyatukan
pedatuan kecil-kecil di pedalaman.[3]
Dia menaklukkan dengan cara diplomasi
atau musyawarah. Bahkan kadang dengan kekuatan perang untuk menyatukan
masyarakat yang hidup di pedatuan pedalaman. Masyarakat diajak untuk tinggal
dan membangun pemukiman di pinggir Sungai Musi. Dia mengambil legitimasi kekuasaan
Pasira ke Kesultanan Palembang pada tahun 1740 M. Apabila ditelusuri Depati
Syamsudin di angkat pesira oleh Sultan Mahmud Badaruddin I, sebab masa
pemerintahan beliau dimulai dari tahun 1724 sampai 1758 M.[4]
Depati Syamsudin pada
awalnya adalah seorang pemimpin pedatuan kecil, ia dijuluki dengan singa
pedatuan. Dalam tutur berikutnya saat menjadi pesirah dia dikenal dengan singa
desa (deso pengaruh kesultanan), karena sifatnya yang berani dan keras
layaknya seperti seekor singah. Cerita tutur ini, bermula dari kedatangan
seorang bernama Limparan dari daerah Pasemah, yang membawa seekor ayam beruge
(bekisar), seruling sakti, dan Mandau pusaka (parang). Suatu hari, Adik Depati
Syamsudin yang bernama Dayang Turik memberi tahu, bahwa dia melihat orang asing
datang ke Pedatuan Rengas Gemuru.
Awalnya Depati Syamsudin marah, tetapi
kemudian bersahabat. Singkat cerita, kemudian bersahabat dengan orang asing itu
(Limparan). Sifat dan sikap Dipati Syamsudin berubah, setelah bersahabat dengan
Limparan. Tidak lagi bengis dan menakuti orang-orang. Limparan
kemudian memberi pendapat agar Dipati Syamsudin untuk membentuk suatu daerah
atau tempat yang baru, dan meluaskan kekuasaan.
Mereka bersepakat untuk
mendirikan Pusat Pedatuan, mengajak penduduk yang bertebaran untuk membentuk
suatu pedatuan (dusun) masing-masing. Kemudian menyatukan pedatuan
(dusun-dusun) menjadi satu marga. Depati Syamsudin disepakati
sebagai pasirah pertama. Menjaga lalu lintas agar hubungan lancar, terutama
perdagangan.
Dalam usaha penaklukan Dipati Syamsudin sebagai pemimpin
tertinggi, dan Limparan sebagai wakilnya. Sedangkan Bujang Piamang diangkat
menjadi Panglima atau hulubalang laskar. Sehingga terbentuklah satuan laskar
perang, yang akan menaklukkan para depati-depati pedalaman. Dalam rencana,
Penaklukan dilakukan dengan diplomasi, apabila tidak berhasil maka dilanjutkan
dengan perang.[5]
Setelah berhasil menyusun
organisasi komando dan laskar perang, mereka melanjutkan mencari tempat untuk
membangun Pusat Pedatuan atau ibukota marga. Dengan melemparkan ayam beruge,
Limparan yang dianggap sakti, mereka menetapkan suatu tempat dimana ayam beruge
itu berkokok saat dilemparkan. Walau membangun tempat baru mereka tetap
menamakan sebagai kampung rengas.
Sampai sekarang kampung rengas masih ada
di Dusun Ngulak yang berada di sekitar Masjid Raya Desa Ngulak
sekarang. Dari ajakan kelompok Depati Syamsudin akhirnya banyak berdiri
dusun-dusun baru, seperti Dusun Air Balui, Dusun Kemang, Dusun
Keban, Dusun Sereka, Dusun Nganti, Dusun
Prabumuli. Setiap dusun kemudian diangkat keria yang ditunjuk Depati
Syamsudin.
Tempat Depati Syamsudin sebagai ibukota marga, bernama Dusun
Ngulak. Setelah selesai masa perjuangan menyautkan masyarakat yang
terpencar-pencar, Depati Syamsudin kemudian menghadap Kesultan di Palembang
untuk mensyakan secara resmi bergabung dalam pemerintahan kesultanan. Kemudian
Depati Syamsudin diangkat menjadi pesirah pertama di Marga Singa Desa.[6]
Pada masa kepemimpinan
Pasirah M. Rasip terjadi peristiwa peralihan kekuasaan pemerintahan, yaitu dari
Kesultanan Palembang Darussalam ke Kekuasaan Kolonial Belanda pada tahun 1825
Masehi. Sehingga status Marga Sanga Desa dimasukkan kedalam wilayah Distrik (onderafdeling)
Musi Ulu yang beribukota di Muara Beliti. Onderafdeling dikepalai
oleh seorang Controleur Belanda sebagai kordinator marga-marga di dalam resortnya.[7]
Bukan
itu saja, sistem pemilihan pasirah juga berganti. Sewaktu dalam Kesultanan
Palembang Darussalam seorang pasirah dipilih dan ditunjuk langsung oleh Sultan
di Palembang. Sedangkan pada masa Belanda sistem pemilihan langsung oleh rakyat
marga (demokrasi). Sistem ini dimulai dari Pasirah Abu Jalil pada tahun 1835
Masehi dan seterusnya. Kemudian terjadi perubahan nama Marga Sanga Desa.
Sesunggunya sebelum bernama Marga Sanga Desa, nama marga
adalah Marga Singa Desa.
Kemungkinan Belanda hendak menghapus
sejarah pendiri dan perjuangan Depati Syamsudin karena beliau seorang pejuang
dan simbol keberanian. Depati Syamsudin yang sangat pemberani yang akan menjadi
inspirasi bagi masyarakat. Apabila diteruskan cerita-cerita keberaniannya
Belanda khawatir dengan perlawanan masyarakat.
Maka dicarilah alasan perubahan,
dari kata singa kemudian diganti menjadi sanga.
Sehingga makna keberanian berganti makna biasa, atau hitungan. Belanda sangat
cerdik, maka dimaksudkanlah dengan jumlah desa. Sehingga masyarakat tidak
curiga dan menganggap biasa.
Perubahan nama yang
dihubungkan dengan jumlah desa di dalam wilayah Marga Sanga Desa, yang
berjumlah sembilan desa. Lalu nama diambil dari hitungan bahasa Jawa songo,
yang berarti sembilan. Adapun kesembilan desa tersebut, Dusun Ngulak sekaligus
ibukota marga. Dusun Ngunang, Dusun Penggage, Dusun Jud, Dusun Nganti, Dusun
Air Balui, Dusun Terusan, Dusun Kemang, dan Dusun Keban.
Kemudian pada masa
pasirah Muhammad Bakup (1883-1889 M) kembali terjadi perubahan administrasi,
dimana Marga Sanga Desa yang masuk Onderafdeling Musi Ulu di
rubah menjadi Musi Ilir atau Sekayu sekarang (Musi Banyuasin). Pembangunan
sekolah-sekolah dasar di Marga Sanga Desa dimulai dari pemerintahan Pasirah
Muhammad Agus (1889-1923 Masehi).
Sewaktu kepemimpinan Pasirah Anang Mahidin
(1924-1953 Masehi), dia menganjurkan masyarakat marga membangun rumah dengan
baik, mengolah kayu dengan rapi, serta mengganti atap rumah dengan genteng.
Dalam mengambil kayu agar masyarakat tidak melaporkan ke Pemerintah Kolonial
Belanda, karena adanya larangan menebang pohon di hutan.
Sedangkan pasirah terakhir
adalah Pasirah Muhammad Den Oni yang memimpin selama limabelas tahun
dari tahun 1969-1984 Masehi. Selanjutnya pada masa pemerintahan Orde Baru
sistem marga di hapus menjadi sistem kecamatan. Begitupun dengan pemerintahan
datu atau pedatuan berganti menjadi desa, kata desa diambil dari bahasa
Jawa deso.
Pemimpin dusun masa kesultanan adalah Keria. Kemudian
diganti menjadi kades atau kepala desa. Umur pemerintahan Marga Sanga Desa
terbentuk, dan berdiri dengan resmi, mulai berperan dalam sejarah pemerintahan
daerah dimulai dari tahun 1750 Masehi dan berakhir pada tahun 1984
Masehi, yaitu pada masa Orde Baru. Apabila dihitung lama berdirinya
pemerintahan Marga Sanga Desa kurang lebih 234 tahun.[8]
Penghapusan sistem pemerintahan
pasirah juga berlaku di seluruh Provinsi Sumatra Selatan, dengan
Undang-Undang No. 5/1979. Sebelum pengahapusan, dengan terus
bertambahnya penduduk jumlah pasirah juga bertambah, sehingga menjelang
penghapusan oleh Pemerintah Republik Indonesia (Orde Baru) sudah mencapai 200
pasirah di seluruh Sumatra Selatan. Berarti ada 200 marga di Sumatera Selatan.
KEBUDAYAAN
Kebudayaan Marga Sanga Desa
sama dengan kebudayaan lain di Seluruh Sumatra Selatan, yaitu Kebudayaan
Melayu, baik ditinjau dari sistem bangunan tempat tinggal, bahasa, adat
istiadat, dan agama. Marga Sanga Desa adalah bentuk bagian kecil dari
kemelayuan Kedatuan Sriwijaya. Pada masa kepemimpinan pasirah adanya
pembangunan masjid-masjid di setiap pedatuan (desa) pada masanya.
Sistem cerita
dan asal usul tempat sama dengan wilayh-wilayah kebudayaan Melayu lainnya.
Seperti penggunaan nama tempat dengan keadaan yang ditemui saat pembukaan
pemukiman, nama Pedatuan Kandis diambil dari pohon kandis. Begitupun, dalam
gelar pemerintahan banyak merujuk pada gelar-gelar bangsawan Jawa, seperti
Ratu.
Adanya pengaruh kebudayaan Jawa karena Kesultanan Palembang memang
berasal dari pelarian bangsawan Kesultanan Demak pada masa huru-hara Demak dan
Pajang (Jawa). Kemudian mereka membangun secara bertahap suatu pemerintahan
dengan berkoalisi bersama pendatang dari Cina. Bukti kerja sama dengan
orang-orang Cina terdapatnya makam-makam orang cina di Kompleks pemakaman Kawa
Tekurep, dan di Makam Gede Ing Suro.
Pasirah adalah pangkat
jabatan kepala suatu marga. Kata pa diartikan rakyat,
dan Sirah berarti kepala. Maka kata pasirah berarti kepala
rakyat atau pemimpin rakyat. Untuk gelar Depati adalah gelar kepala kelompok
penduduk. Depati juga digelari pada seorang pasirah yang baru diangkat.
Selanjutnya gelar pangeran atau ratu adalah gelar kehormatan yang diberikan
oleh Kesultanan di Palembang, sebagai peningkatan dari gelar jabatan depati
pada seorang pasirah karena pertimbangan jasa, masa tugas, kesetiaan, dan
prestasi dalam kepemimpinan. Gelar ratu tidak populer dikalangan masyarakat
Melayu karena dalam pengertian orang Melayu ratu adalah gelar untuk istri raja
atau raja wanita.
Di dalam bahasa Jawa ratu merupakan gelar pemimpin boleh
untuk laki-laki dan perempuan. Maka gelar pangeranlah yang populer ditengah
masyarakat Melayu Sumatra Selatan. Gelar Pangeran juga diberikan pada masa
kekuasaan Kolonial Belanda. Sedangkan nama jabatan untuk kepala pedatuan (desa)
tetap keria.
Nama pedatuan mulai menghilang berganti dengan kata
dusun yang merupakan perkembangan dari kata desa (deso ke
kata dusun). Sedangkan penggunaan nama Talang masih
bertahan sampai sekarang. Talang adalah bentuk istilah pemukiman kecil yang
sudah ada sejak masa awal terbentuknya masyarakat Melayu Sumatera Selatan.
Kemungkinan nama Talang sudah ada jauh sebelum berdirinya Kedatuan Sriwijaya.
Setelah terbentuknya
Pemerintahan Republik Indonesia, dan pertumbuhan pembangunan dan perekembangan
penduduk berkembang juga keadaan Marga Sanga Desa. Marga Sanga Desa sekarang
telah berganti menjadi suatu wilayah administratif kecamatan, yaitu Kecamatan
Sanga Desa, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan.
Kecamatan Sanga
Desa dengan Ibukota Kecamatan adalah Kelurahan Ngulak I mempunyai wilayah
seluas 317 kilometer persegi dengan batasan wilayah sebagai berikut: Sebelah
Utara: Kecamatan Batanghari Leko. Sebelah Selatan: Kecamatan Babat
Toman· Sebelah Timur: Kecamatan Babat Toman. Sebelah Barat: Kabupaten Musi
Rawas Keadaan topografi wilayah Kecamatan Sanga Desa sebagian besar terdiri
dari dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 15 meter di atas permukaan
laut yang sebagian besar merupakan pemukiman penduduk di tepian Sungai Musi.
Jenis tanah di wilayah Kecamatan Sanga Desa sebagian besar merupakan satuan
jenis Organosol dan tanah Gley Humus terutama di daerah dataran rendah atau
rawa yang tidak jauh dari pengaruh aliran sungai. Tahun 2016 secara
administratif, Kecamatan Sanga Desa dibagi kedalam 19 wilayah desa/kelurahan
yang mencakup 82 dusun/RT dengan rata-rata jumlah penduduk per dusun/RT sebesar
405,64 orang.[9]
Jumlah penduduk Kecamatan
Sanga Desa Tahun 2016 berjumlah 33.263 orang (Hasil Estimasi Penduduk
Pertengahan Tahun 2016) dengan kepadatan penduduk sebesar 104,90 penduduk per
kilometer persegi. Adapun terbesar jumlah penduduknya adalah Kelurahan ngulak 1
dengan jumlah penduduk sebesar 4.253 jiwa, sementara itu desa yang paling
sedikit jumlah penduduknya adalah Desa Jud I dengan jumlah penduduk sebesar 310
jiwa.
Sedangkan desa terpadat adalah Desa Ngulak I dengan kepadatan penduduk
303,78 penduduk per kilometer persegi sedangkan desa yang memiliki kepadatan
paling rendah adalah Desa Jud I dengan Kepadatan 15,50 penduduk per kilometer
persegi. Adapun desa terjauh dari ibukota kecamatan adalah Desa Macang Sakti
dengan jarak yang harus ditempuh melalui darat yaitu kurang lebih sejauh 18
km.[10]
Oleh: Joni Apero.
Editor. Selita. S.Pd.
Palembang, 2019.
Sumber Foto oleh: Lesi Parlia Lesta.
Rumah Pasirah Marga Sanga Desa (Monumen
Sejarah).
Sumber:
Oedji Anang. Sejarah Sanga Desa
dan Silsila Pasirah-Pasirah yang Pernah Memimpinya. Bandung. t.pn. 1985.
K.H.O. Gadjahnata dan Sri Edi Swasono
(ed). Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatra Selatan. Jakarta.
Universitas Indonesia, 1986.
H. Yusman Haris. Sanga Desa dari
Dahulu Sampai Sekarang. Pemerintahan Kabupaten Musi Banyuasin, 2010.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Musi
Banyuasin, Sanga Desa Dalam Angka Tahun 2016, Katalog No.
1102001.1606010.
www.sanskerta.marga.org.
[1]Diakses
dari, www.sanskerta.marga.org, pada hari Jumat, pukul 14:54 WIB.
[2]Oedji
Anang, Sejarah Sanga Desa dan Silsila Pasirah-Pasirah yang Pernah
Memimpinya, (Bandung: t.pn., 1985), h. lembar silsila Pesirah.
[3]Oedji
Anang, Sejarah Sanga Desa dan Silsila Pasirah-Pasirah yang Pernah
Memimpinya, h.
[4]H.
M. Ali Amin, “Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam dan Beberapa Aspek
Hukumnya,” dalam, K.H.O. Gadjahnata dan Sri Edi Swasono (ed)., Masuk dan
Berkembangnya Islam di Sumatra Selatan, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1986), h. 87.
[5]Oedji
Anang, Sejarah Sanga Desa dan Silsila Pasirah-Pasirah yang Pernah
Memimpinya, h. 5-9.
[6]Anang, Sejarah
Sanga Desa dan Silsila Pasirah-Pasirah yang Pernah Memimpinya, h. 17.
[7]Oedji
Anang, Sejarah Sanga Desa dan Silsila Pasirah-Pasirah yang Pernah
Memimpinya, h. 31.
[8]Oedji
Anang, Sejarah Sanga Desa dan Silsila Pasirah-Pasirah yang Pernah
Memimpinya, h. 44.
[9]Badan
Pusat Statistik Kabupaten Musi Banyuasin, Sanga Desa Dalam Angka Tahun
2016, Katalog No. 1102001.1606010. h. 1.
[10]Ibid.
Sy. Apero Fublic
Izin bertanya,buku H.Yusman Haris mengenai sanga desa dri masa ke masa nyarinya dmna yah?
ReplyDelete