7/03/2019

Sejarah Kecamatan Sanga Desa

Apero Fublic.- Kawasan Provinsi Sumatra Selatan adalah wilayah peninggalan dua pemerintahan besar, yaitu Kedatuan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam. Sriwijaya yang merupakan negeri induk pada masa lalu, yang kemudian runtuh sehingga rakyat nya kehilangan pembimbing. Sehingga masyarakat Melayu tinggal terpencar-pencar dan berkelompok-kelompok kecil di pedalaman atau Uluan.

Mereka membentuk perkampungan-perkampungan yang dinamai pedatuan, yang dipimpin oleh seorang depati. Banyak juga yang menyebar ke bagian-bagian pesisir Nusantara dan membuat negeri baru. Agama Islam telah masuk menyebar di tengah masyarakat Melayu di Sumatra Selatan pada abad 14 dan 15 Masehi. Bukan hal yang aneh, karena memang Islam sudah hadir di Sumatra Selatan sejak abad  ke delapan masehi, masa kejayaan Kedatuan Sriwijaya.

Namun belum menyentuh kehidupan  sosial masyarakat secara utuh, Islam masih minoritas. Masa itu, Islam belum menjadi kekuatan ekonomi dan politik. Bahkan Islam  masih bercampur dengan kebiasaan, dan kepercayaan lama orang Melayu. Dengan sudah Islmanya ibu kota Sriwijaya (Palembang), yang dikemudian hari menjadi pendorong Islamnya Adipati Majapahit Aryo Damar atau Arya Abdillah, saat Palembang di kuasasi Majapahit dari penguasa Perompak Cina.

Islam pun, terus menyebar keseluruh Sumatra Selatan. Islam yang disebarkan oleh ulama-ulama, pedagang, yang datang dari berbagai tempat (Minangkabau, Jawa). Agama Islam yang sudah tersebar inilah yang nantinya akan menjadi pendorong terbentuknya suatu pemerintahan baru, yaitu Kesultanan Palembang Darussalam.

Kata marga dalam bahasa sanskerta berarti rahim, sebab,  dan jalan. Apabila dihubungkan dengan marga pada masyarakat berarti yang melahirkan, yang menyebabkan ada, atau jalan seperti silsila. Pengertian marga pada masyarakat Sumatra Selatan pada awalnya sama dengan pengertian marga pada masyarakat Minang dan Batak, berdasarkan keturunan atau kenenek moyangan.

Kemudian pengertian marga berkembang menjadi wilayah kawasan dalam pemerintahan (pada masa Kesultanan Palembang). Sebagai contoh adalah masyarakat Marga Sungai Keruh (sekarang kecamatan) yang mengaku anak cucu dari seorang puyang (nenek moyang), yang mereka kenal dengan sebutan Puyang Dulu. Dalam pembahasan ini adalah sejarah berdirinya Marga Sanga Desa, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.

Marga Sanga Desa berdiri pada tahun 1740 Masehi,[2] dengan pasirah pertama Depati Syamsudin atau Depati Uding, yang bergelar Pangeran Syamsudin. Depati Syamsudin membangun suatu kawasan marga, dengan menyatukan pedatuan kecil-kecil di pedalaman.[3]

Dia menaklukkan dengan cara diplomasi atau musyawarah. Bahkan kadang dengan kekuatan perang untuk menyatukan masyarakat yang hidup di pedatuan pedalaman. Masyarakat diajak untuk tinggal dan membangun pemukiman di pinggir Sungai Musi. Dia mengambil legitimasi kekuasaan Pasira ke Kesultanan Palembang pada tahun 1740 M. Apabila ditelusuri Depati Syamsudin di angkat pesira oleh Sultan Mahmud Badaruddin I, sebab masa pemerintahan beliau dimulai dari tahun 1724 sampai 1758 M.[4]

Depati Syamsudin pada awalnya adalah seorang pemimpin pedatuan kecil, ia dijuluki dengan singa pedatuan. Dalam tutur berikutnya saat menjadi pesirah dia dikenal dengan singa desa (deso pengaruh kesultanan), karena sifatnya yang berani dan keras layaknya seperti seekor singah. Cerita tutur ini, bermula dari kedatangan seorang bernama Limparan dari daerah Pasemah, yang membawa seekor ayam beruge (bekisar), seruling sakti, dan Mandau pusaka (parang). Suatu hari, Adik Depati Syamsudin yang bernama Dayang Turik memberi tahu, bahwa dia melihat orang asing datang ke Pedatuan Rengas Gemuru.

Awalnya Depati Syamsudin marah, tetapi kemudian bersahabat. Singkat cerita, kemudian bersahabat dengan orang asing itu (Limparan). Sifat dan sikap Dipati Syamsudin berubah, setelah bersahabat dengan Limparan.  Tidak lagi bengis dan menakuti orang-orang. Limparan kemudian memberi pendapat agar Dipati Syamsudin untuk membentuk suatu daerah atau tempat yang baru, dan meluaskan kekuasaan.

Mereka bersepakat untuk mendirikan Pusat Pedatuan, mengajak penduduk yang bertebaran untuk membentuk suatu pedatuan (dusun) masing-masing. Kemudian menyatukan pedatuan (dusun-dusun) menjadi satu marga. Depati Syamsudin  disepakati sebagai pasirah pertama. Menjaga lalu lintas agar hubungan lancar, terutama perdagangan.

Dalam usaha penaklukan Dipati Syamsudin sebagai pemimpin tertinggi, dan Limparan sebagai wakilnya. Sedangkan Bujang Piamang diangkat menjadi Panglima atau hulubalang laskar. Sehingga terbentuklah satuan laskar perang, yang akan menaklukkan para depati-depati pedalaman. Dalam rencana, Penaklukan dilakukan dengan diplomasi, apabila tidak berhasil maka dilanjutkan dengan perang.[5]

Setelah berhasil menyusun organisasi komando dan laskar perang, mereka melanjutkan mencari tempat untuk membangun Pusat Pedatuan atau ibukota marga. Dengan melemparkan ayam beruge, Limparan yang dianggap sakti, mereka menetapkan suatu tempat dimana ayam beruge itu berkokok saat dilemparkan. Walau membangun tempat baru mereka tetap menamakan sebagai kampung rengas.

Sampai sekarang kampung rengas masih ada di Dusun Ngulak yang berada di sekitar Masjid Raya Desa Ngulak sekarang. Dari ajakan kelompok Depati Syamsudin akhirnya banyak berdiri dusun-dusun baru, seperti Dusun Air BaluiDusun KemangDusun KebanDusun SerekaDusun NgantiDusun Prabumuli. Setiap dusun kemudian diangkat keria yang ditunjuk Depati Syamsudin.

Tempat Depati Syamsudin sebagai ibukota marga, bernama Dusun Ngulak. Setelah selesai masa perjuangan menyautkan masyarakat yang terpencar-pencar, Depati Syamsudin kemudian menghadap Kesultan di Palembang untuk mensyakan secara resmi bergabung dalam pemerintahan kesultanan. Kemudian Depati Syamsudin diangkat menjadi pesirah pertama di Marga Singa Desa.[6]

Pada masa kepemimpinan Pasirah M. Rasip terjadi peristiwa peralihan kekuasaan pemerintahan, yaitu dari Kesultanan Palembang Darussalam ke Kekuasaan Kolonial Belanda pada tahun 1825 Masehi. Sehingga status Marga Sanga Desa dimasukkan kedalam wilayah Distrik (onderafdeling) Musi Ulu yang beribukota di Muara Beliti. Onderafdeling dikepalai oleh seorang Controleur Belanda sebagai kordinator marga-marga di dalam resortnya.[7]

Bukan itu saja, sistem pemilihan pasirah juga berganti. Sewaktu dalam Kesultanan Palembang Darussalam seorang pasirah dipilih dan ditunjuk langsung oleh Sultan di Palembang. Sedangkan pada masa Belanda sistem pemilihan langsung oleh rakyat marga (demokrasi). Sistem ini dimulai dari Pasirah Abu Jalil pada tahun 1835 Masehi dan seterusnya. Kemudian terjadi perubahan nama Marga Sanga Desa. Sesunggunya sebelum bernama Marga Sanga Desa, nama marga adalah Marga Singa Desa.

Kemungkinan Belanda hendak menghapus sejarah pendiri dan perjuangan Depati Syamsudin karena beliau seorang pejuang dan simbol keberanian. Depati Syamsudin yang sangat pemberani yang akan menjadi inspirasi bagi masyarakat. Apabila diteruskan cerita-cerita keberaniannya Belanda khawatir dengan perlawanan masyarakat.

Maka dicarilah alasan perubahan, dari kata singa kemudian diganti menjadi sanga. Sehingga makna keberanian berganti makna biasa, atau hitungan. Belanda sangat cerdik, maka dimaksudkanlah dengan jumlah desa. Sehingga masyarakat tidak curiga dan menganggap biasa.

Perubahan nama yang dihubungkan dengan jumlah desa di dalam wilayah Marga Sanga Desa, yang berjumlah sembilan desa. Lalu nama diambil dari hitungan bahasa Jawa songo, yang berarti sembilan. Adapun kesembilan desa tersebut, Dusun Ngulak sekaligus ibukota marga. Dusun Ngunang, Dusun Penggage, Dusun Jud, Dusun Nganti, Dusun Air Balui, Dusun Terusan, Dusun Kemang, dan Dusun Keban.

Kemudian pada masa pasirah Muhammad Bakup (1883-1889 M) kembali terjadi perubahan administrasi, dimana Marga Sanga Desa yang masuk Onderafdeling Musi Ulu di rubah menjadi Musi Ilir atau Sekayu sekarang (Musi Banyuasin). Pembangunan sekolah-sekolah dasar di Marga Sanga Desa dimulai dari pemerintahan Pasirah Muhammad Agus (1889-1923 Masehi).

Sewaktu kepemimpinan Pasirah Anang Mahidin (1924-1953 Masehi), dia menganjurkan masyarakat marga membangun rumah dengan baik, mengolah kayu dengan rapi, serta mengganti atap rumah dengan genteng. Dalam mengambil kayu agar masyarakat tidak melaporkan ke Pemerintah Kolonial Belanda, karena adanya larangan menebang pohon di hutan.

Sedangkan pasirah terakhir adalah Pasirah Muhammad  Den Oni yang memimpin selama limabelas tahun dari tahun 1969-1984 Masehi. Selanjutnya pada masa pemerintahan Orde Baru sistem marga di hapus menjadi sistem kecamatan. Begitupun dengan pemerintahan datu atau pedatuan berganti menjadi desa, kata desa diambil dari bahasa Jawa deso.

Pemimpin dusun masa kesultanan adalah Keria. Kemudian diganti menjadi kades atau kepala desa. Umur pemerintahan Marga Sanga Desa terbentuk, dan berdiri dengan resmi, mulai berperan dalam sejarah pemerintahan daerah dimulai  dari tahun 1750 Masehi dan berakhir pada tahun 1984 Masehi, yaitu pada masa Orde Baru. Apabila dihitung lama berdirinya pemerintahan Marga Sanga Desa kurang lebih 234 tahun.[8]

Penghapusan sistem pemerintahan pasirah juga berlaku di seluruh Provinsi Sumatra Selatan, dengan Undang-Undang  No. 5/1979. Sebelum pengahapusan, dengan terus bertambahnya penduduk jumlah pasirah juga bertambah, sehingga menjelang penghapusan oleh Pemerintah Republik Indonesia (Orde Baru) sudah mencapai 200 pasirah di seluruh Sumatra Selatan. Berarti ada 200 marga di Sumatera Selatan.

KEBUDAYAAN
Kebudayaan Marga Sanga Desa sama dengan kebudayaan lain di Seluruh Sumatra Selatan, yaitu Kebudayaan Melayu, baik ditinjau dari sistem bangunan tempat tinggal, bahasa, adat istiadat, dan agama. Marga Sanga Desa adalah bentuk bagian kecil dari kemelayuan Kedatuan Sriwijaya. Pada masa kepemimpinan pasirah adanya pembangunan masjid-masjid di setiap pedatuan (desa) pada masanya.

Sistem cerita dan asal usul tempat sama dengan wilayh-wilayah kebudayaan Melayu lainnya. Seperti penggunaan nama tempat dengan keadaan yang ditemui saat pembukaan pemukiman, nama Pedatuan Kandis diambil dari pohon kandis. Begitupun, dalam gelar pemerintahan banyak merujuk pada gelar-gelar bangsawan Jawa, seperti Ratu.

Adanya pengaruh kebudayaan Jawa karena Kesultanan Palembang memang berasal dari pelarian bangsawan Kesultanan Demak pada masa huru-hara Demak dan Pajang (Jawa). Kemudian mereka membangun secara bertahap suatu pemerintahan dengan berkoalisi bersama pendatang dari Cina. Bukti kerja sama dengan orang-orang Cina terdapatnya makam-makam orang cina di Kompleks pemakaman Kawa Tekurep, dan di Makam Gede Ing Suro.

Pasirah adalah pangkat jabatan kepala suatu marga. Kata pa diartikan rakyat, dan Sirah berarti kepala. Maka kata pasirah berarti kepala rakyat atau pemimpin rakyat. Untuk gelar Depati adalah gelar kepala kelompok penduduk. Depati juga digelari pada seorang pasirah yang baru diangkat.

Selanjutnya gelar pangeran atau ratu adalah gelar kehormatan yang diberikan oleh Kesultanan di Palembang, sebagai peningkatan dari gelar jabatan depati pada seorang pasirah karena pertimbangan jasa, masa tugas, kesetiaan, dan prestasi dalam kepemimpinan. Gelar ratu tidak populer dikalangan masyarakat Melayu karena dalam pengertian orang Melayu ratu adalah gelar untuk istri raja atau raja wanita.

Di dalam bahasa Jawa ratu merupakan gelar pemimpin boleh untuk laki-laki dan perempuan. Maka gelar pangeranlah yang populer ditengah masyarakat Melayu Sumatra Selatan. Gelar Pangeran juga diberikan pada masa kekuasaan Kolonial Belanda. Sedangkan nama jabatan untuk kepala pedatuan (desa) tetap keria.

Nama pedatuan mulai menghilang berganti dengan kata dusun yang merupakan perkembangan dari kata desa (deso ke kata dusun). Sedangkan penggunaan nama Talang  masih bertahan sampai sekarang. Talang adalah bentuk istilah pemukiman kecil yang sudah ada sejak masa awal terbentuknya masyarakat Melayu Sumatera Selatan. Kemungkinan nama Talang sudah ada jauh sebelum berdirinya Kedatuan Sriwijaya.

Setelah terbentuknya Pemerintahan Republik Indonesia, dan pertumbuhan pembangunan dan perekembangan penduduk berkembang juga keadaan Marga Sanga Desa. Marga Sanga Desa sekarang telah berganti menjadi suatu wilayah administratif kecamatan, yaitu Kecamatan Sanga Desa, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan.

Kecamatan Sanga Desa dengan Ibukota Kecamatan adalah Kelurahan Ngulak I mempunyai wilayah seluas 317 kilometer persegi dengan batasan wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara: Kecamatan Batanghari Leko. Sebelah Selatan: Kecamatan Babat Toman· Sebelah Timur: Kecamatan Babat Toman. Sebelah Barat: Kabupaten Musi Rawas Keadaan topografi wilayah Kecamatan Sanga Desa sebagian besar terdiri dari dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 15 meter di atas permukaan laut yang sebagian besar merupakan pemukiman penduduk di tepian Sungai Musi.

Jenis tanah di wilayah Kecamatan Sanga Desa sebagian besar merupakan satuan jenis Organosol dan tanah Gley Humus terutama di daerah dataran rendah atau rawa yang tidak jauh dari pengaruh aliran sungai. Tahun 2016 secara administratif, Kecamatan Sanga Desa dibagi kedalam 19 wilayah desa/kelurahan yang mencakup 82 dusun/RT dengan rata-rata jumlah penduduk per dusun/RT sebesar 405,64 orang.[9]

Jumlah penduduk Kecamatan Sanga Desa Tahun 2016 berjumlah 33.263 orang (Hasil Estimasi Penduduk Pertengahan Tahun 2016) dengan kepadatan penduduk sebesar 104,90 penduduk per kilometer persegi. Adapun terbesar jumlah penduduknya adalah Kelurahan ngulak 1 dengan jumlah penduduk sebesar 4.253 jiwa, sementara itu desa yang paling sedikit jumlah penduduknya adalah Desa Jud I dengan jumlah penduduk sebesar 310 jiwa.

Sedangkan desa terpadat adalah Desa Ngulak I dengan kepadatan penduduk 303,78 penduduk per kilometer persegi sedangkan desa yang memiliki kepadatan paling rendah adalah Desa Jud I dengan Kepadatan 15,50 penduduk per kilometer persegi. Adapun desa terjauh dari ibukota kecamatan adalah Desa Macang Sakti dengan jarak yang harus ditempuh melalui darat yaitu kurang lebih sejauh 18 km.[10]

Oleh: Joni Apero.
Editor. Selita. S.Pd.
Palembang, 2019.
Sumber Foto oleh: Lesi Parlia Lesta.
Rumah Pasirah Marga Sanga Desa (Monumen Sejarah).

Sumber:
Oedji Anang. Sejarah Sanga Desa dan Silsila Pasirah-Pasirah yang Pernah Memimpinya. Bandung. t.pn. 1985.
K.H.O. Gadjahnata dan Sri Edi Swasono (ed). Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatra Selatan. Jakarta. Universitas Indonesia, 1986.
H. Yusman Haris. Sanga Desa dari Dahulu Sampai Sekarang. Pemerintahan Kabupaten Musi Banyuasin, 2010.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Musi Banyuasin, Sanga Desa Dalam Angka Tahun 2016, Katalog No. 1102001.1606010.
www.sanskerta.marga.org.


[1]Diakses dari, www.sanskerta.marga.org, pada hari Jumat, pukul 14:54 WIB.
[2]Oedji Anang, Sejarah Sanga Desa dan Silsila Pasirah-Pasirah yang Pernah Memimpinya, (Bandung: t.pn., 1985), h. lembar silsila Pesirah.
[3]Oedji Anang, Sejarah Sanga Desa dan Silsila Pasirah-Pasirah yang Pernah Memimpinya, h.
[4]H. M. Ali Amin, “Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam dan Beberapa Aspek Hukumnya,” dalam, K.H.O. Gadjahnata dan Sri Edi Swasono (ed)., Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatra Selatan, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), h. 87.
[5]Oedji Anang, Sejarah Sanga Desa dan Silsila Pasirah-Pasirah yang Pernah Memimpinya, h. 5-9.
[6]Anang, Sejarah Sanga Desa dan Silsila Pasirah-Pasirah yang Pernah Memimpinya, h. 17.
[7]Oedji Anang, Sejarah Sanga Desa dan Silsila Pasirah-Pasirah yang Pernah Memimpinya, h. 31.
[8]Oedji Anang, Sejarah Sanga Desa dan Silsila Pasirah-Pasirah yang Pernah Memimpinya, h. 44.
[9]Badan Pusat Statistik Kabupaten Musi Banyuasin, Sanga Desa Dalam Angka Tahun 2016, Katalog No. 1102001.1606010. h. 1.
[10]Ibid.


Sy. Apero Fublic

1 comment:

  1. Izin bertanya,buku H.Yusman Haris mengenai sanga desa dri masa ke masa nyarinya dmna yah?

    ReplyDelete