PT. Media Apero Fublic

PT. Media Apero Fublic merupakan perusahaan swasta yang bergerak pada bidang usaha Publikasi dan Informasi dengan bidang usaha utama Jurnalistik.

Buletin Apero Fublic

Buletin Apero Fublic adalah buletin yang mengetengahkan tentang muslimah, mulai dari aktivitas, karir, pendidikan, provesi, pendidikan dan lainnya.

Penerbit Buku

Ayo terbitkan buku kamu di penerbit PT. Media Apero Fublic. Menerbitkan Buku Komik, Novel, Dongeng, Umum, Ajar, Penelitian, Ensiklopedia, Buku Instansi, Puisi, Majalah, Koran, Buletin, Tabloid, Jurnal, dan hasil penelitian ilmiah.

Jurnal Apero Fublic

Jurnal Apero Fublic merupakan jurnal yang membahas tentang semua keilmuan Humaniora. Mulai dari budaya, sejarah, filsafat, filologi, arkeologi, antropologi, pisikologi, teologi, seni, kesusastraan, hukum, dan antropologi.

Majalah Kaghas

Majalah Kaghas, meneruskan tradisi tulis tradisional asli Sumatera Selatan.

Apero Fublic

Apero Fublic, merupakan merek dagang PT. Media Apero Fublic bidang Pers (Jurnalistik).

Apero Book

Apero Book merupakan toko buku yang menjual semua jenis buku (baca dan tulis) dan menyediakan semua jenis ATK.

Buletin

Buletin Apero Fublic merupakan buletin yang memuat ide-ide baru dan pemikiran baru yang asli dari penulis.

1/18/2020

Dongeng si Kera dan si Bangau. Dari Sulawesi Utara

Apero Fublic.- Pada suatu masa yang lampau. Berkisah tentang dua sahabat, si kera dan si bangau. Keduanya berencana berladang bersama membuat kebun pisang. Pohon pisang tumbuh subur dan berbuah, masak. Namun setiap ada buah pisang yang masak selalu dipetik dan dimakan oleh si kera. Buah pisang di tandannya selalu berkurang dan berkurang. Si  bangau tidak pernah sekalipun memakan buah pisang yang dia tanam bersama kera.


Bangau tahu kalau kera selalu memakan buah-buah pisang tersebut. Tidak pernah memberi dia barang sebiji pun. Tapi kera selalu beralasan kalau bukan dia yang mengambil buah-buah pisang yang masak. Bangau diam saja setiap kera berkata-kata membelah diri. Bangau berpikir bagaimana caranya memberi pelajaran buat si kera yang selalu berakal-akal, bulus.  Untuk itu, suatu hari bangau mengajak kera memancing di laut. Bangau beralasan untuk bersantai-santai menghilangkan rasa capek karena selalu beraktivitas selama ini, refresing istilah sekarang.

“Kera, mari kita memancing ikan di laut. Tentu kita akan mendapat ikan dan dapat menikmati ikan bakar yang lezat. “Ya, baiklah. Kata kera, dia tidak tahu kalau bangau akan memberinya pelajaran setimpal dengan kelicikannya. Mereka berlayar ketengah laut lepas. Perahu mereka terbuat dari kuali bekas, dayung dari senduk besar, tiang layar terbuat dari lidi enau. Sedangkan layar dari bekas pengipas api yang dibuat dari anyaman bambu.

Mereka membawa bekal sebuah kelapa muda. Saat keduanya sudah di atas perahu. “bawak parang bangau, untuk mengupas kelapa. Ujar kera. “Bagaimana ini, kalau kembali ke rumah kita bisa terlambat memancing dan hari keburu malam. Jawab burung bangau. Mereka pasrah, lalu mulai mendayung ke tengah lautan.

“Cukup di sini saja kita memancingnya. Saran kera.
“Tak seru, kera agak kelautan lagilah. Kamu takut ya?. “Ahhh, tidak.“ Jawab kera merasa berani. 

Mereka mendayung lebih ketengah laut lagi. Sekarang mereka seperti di tungkam baskom raksasa. Tidak lagi dapat melihat daratan. Air laut dan lengkungan langit. Kera juga sudah tidak mungkin lagi berenang ke tepian pantai dengan jarak yang sudah sejauh itu. Mereka membuang jangkar dan mulai memancing. Beberapa ikan telah dapat dan mereka mulai lapar dan haus. Kera menyarankan agar membuka buah kelapa dan segera minum makan dengan yang lezat.
“Saya sudah lapar, dan haus. Ujar kera.
“Aku juga.” Kata bangau.
“Bagiaman membuka buah kelapa agar kita dapat memakan degan dan meminum air kelapa.” Tanya kera. Sambil meneteskan air liur.
“Parang tidak ada. Coba pukulkan pada tepi perahu yang keras.” Saran bangau.

Kera yang sudah tidak sabar dan tergiur nikmatnya air kelapa muda. Membuat dia lupa kalau hantaman buah kelapa akan merusak kapal mereka yang terbuat dari kuali. Kera memukulkan buah kelapa dengan kuat ke tepi perahu mereka. Seketika itu juga, perahu retak memanjang dan air laut masuk. Tampak memercik dari retakan perahu. Tidak perlu waktu lama perahu mereka tenggelang. Bangau melompat ke angkasa, terbang. Dia tidak dapat menarik untuk membawa kera terbang. Karena tenaga terbang bangau tidaklah kuat. Maka terpaksa bangau meninggalkan kera di tengah lautan.

Kera berenang-renang mencoba bertahan hidup. Seekor hiu lapar datang menghampiri kera yang hampir sekarat. Kera menangis dan menjerit menyesali nasibnya yang malang. Terbayang akan keserakahannya pada kebun pisang. Tentu dia berdosa pikirnya pada si bangau. Dia telah menghianati sahabatnya sendiri. Sekarang dia akan menebus semua kesalahannya di lautan ini.

“Syukur aku bertemu makanan empuk hari ini.” Kata hiu sambil berenang mengelilingi kera yang megap-megap. Gigi hiu tampak runcing dan lidah hiu menggosok-gosok giginya yang tajam. Seakan-akan dia sedang mengasa mata giginya. Kera begitu ketakutan dan nasibnya akan berakhir di perut hiu.

“Mau memakanku, kawan. Tapi aku tidak enak saat ini. Sebab hati dan ususku tidak ada.” Kata kera.
“Di mana hati dan ususmu.” Tanya ikan hiu.
“Di daratan, aku sembunyikan di hutan bakau.” Jawab kera. Kemudian dia melanjutkan. “Antarkan aku ke tepian pantai. Nanti akan aku berikan hati dan usuku dan saat itu kau makanlah aku.” Jelas kera pada ikan hiu lapar itu. Ikan hiu percaya dan mengantar kera sampai di tepian pantai di hutan bakau.

“Tunggu di sini, kawan. Aku akan mengambil hati dan ususku. Kata kera. Kera melompat naik ke pohon-pohon bakau dan terus melompat dari dahan ke dahan dan sampai di hutan daratan. Sementara ikan hiu terus menunggu dan menunggu. Sampai akhirnya dia bosan dan tahu kalau dia ditipu si kera. “Kera yang suka menipu.” Guman ikan hiu. Air tepian bakau bergerak surut. Karena disana ada waktu air pasang dan surut. Membuat ikan hiu harus pergi mengikuti alur air ke tengah laut. Hiu pun pergi dan tidak pernah kembali lagi. Begitulah kehidupan si kera yang banyak akalnya. Tapi selalu penuh tipuan.

Rewrite. Joni Apero.
Editor. Desti. S. Sos
Palembang, 18 Januari 2019.

Dongeng ini diceritakan oleh P. Mahaganti. Dia seorang pensiunan guru dan pemuka agama. Dongeng ini diceritakan oleh ibunya sewaktu dia berumur enam tahun. Sumber. Paul Nebarth, dkk. Sastra Lisan Sangir Talaud. Pusat Pembina dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Skala Indah, 1985.


Sy. Apero Fublic

1/17/2020

Raden Kamandaka. Cerita Rakyat Dari Banyumas. Jawa Tengah.


Apero Fublic.- Raden Kamandaka sebuah cerita rakyat dari dari daerah Banyumas, Jawa Tengah. Cerita Rakyat ini bercerita tentang Kerajaan Pajajaran. Tentu tema dan subjeknya adalah Prabu Siliwangi raja Kerajaan Pajajaran. Tiga putra dan satu putrinya serta melibatkan kehidupan para bangsawan.

Kesaktian dan kekuatan supranatural menjadi topik bahasan dan induk alur cerita. Cerita Raden Kamandaka ini berbeda dengan cerita film Raden Kian Santang sebuah sinetron laga yang pernah populer di sebuah stasiun televisi. Kalau cerit di stasiun televisi ada persinggungan dengan Islam. Dalam cerita Raden Kamandaka berlatar kepercayaan Hindhu menyeluruh.


Dikisahkan masa kejayaan Kerajaan Pajajarana. Prabu Siliwangi memiliki empat orang anak. Anak pertama bernama Raden Banyakcatra. Anak kedua Raden Banyakngampar, dan putra ketiga Raden Banyakblabur. Sedangkan anak keempat seorang Putri bernama Retna Pamungkas yang lahir dari seorang selir.

Saat itu, Prabu Siliwangi sudah tua dan ingin menyerahkan tahtah kepada Raden Banyakcatra. Namun sebelum dinobatkan menjadi raja. Raden Banyakcatra harus menikah terlebih dahulu. Tapi sang raden belum memiliki calon pilihannya sendiri. Dia berkata pada Prabu Siliwangi kalau dia inging menikah dengan gadis yang wajahnya mirip dengan ibundanya. Maka Raden Banyakcatra pergi mengembara untuk mencari calon istrinya.


Sebelum berangkat dia bersemadi dan mendengar ilham dari Hyang Widih: “Hai Banyakcatra sudah cukup semadimu, pergilah ke gunung Tungkeban. Di gunung itu kau akan bertemu dengan seorang Resi  yang sangat sakti, Ki Hajarwirangrong namanya. Kalau sudah bertemu mintalah nasihatnya.” Bagian percakapan ini menjelaskan sangat kental nuasa Hindhuisme.


Dalam perjalanan setelah mendapat wangsit Dewata. Sebelum berangkat Raden Banyakcatra meminta nasihat Resi, Ki Hajarwirangrong. Setelah mendapat pencerahan Raden Banyakcatra pergi ke arah Pasirluhur dan langsung menuju Kepatihan Pasirluhur. Menghadap Patih Pasirluhur Raden Banyakcatra meminta untuk mengabdi di Kepatihan Pasirluhur. Mengubah namanya menjadi Kamandaka yang berasal dari Kalipuncang. Seiring waktu dimana sang Patih Reksanata tidak memiliki anak. Maka dia mengangkat Kamandaka atau Raden Banyakcatra menjadi anaknya.


Pada waktu itu, Kadipaten Pasirluhur dipimpin oleh Adipati Prabu Kandadaha. Sebuah perintah, Prabu Kandadaha memerintahkan Rekyan Patih untuk menyediakan beberapa orang penangkap ikan. Para putri Prabu Kandadaha ikut menyaksikan penangkapan ikan. Hanya putri bungsu bernama Dewi Ciptarasa ditemani biyung emban Nyai Kandeg tidak bergabung.

Dia hanya memperhatikan dari jauh dan matanya tertuju pada seorang penangkap ikan, Kamandaka. Setelah beberapa waktu Putri Dewi Ciptasari mencintai Kamandaka dan meminta datang ke Kaputren Kadipaten Pasirluhur. Seiring waktu Putri Dewi Ciptasari dan Kamandaka menjalin cinta. Kemudian, pada suatu malam pertemuan mereka diketahui prajurit dan Kamandaka dikenali.  Kamandaka dituduh sebagai seorang pencuri.


Prabu Kandadaha memerintahkan Patih Reksanata ayah angkat Kamandaka untuk membunuh Kamandaka. Tapi karena tidak tega dia memerintahkan Wiradusta. Kamandaka diserang saat mandi di sungai. Prajurit mengira Kalau manandaka sudah mati di sungai. Kabar tersiar kalau Kamandaka sudah mati. Membuat sedih Putri Dewi Ciptarasa dan bergembira para prajurit.


Raden Banyakcatra yang sudah lama berkelana tidak kunjung pulang. Maka Prabu Siliwangi memerintahkan Raden Banyakngampar untuk mencari dan segerah mengajak pulang ke istana Pajajaran. Raden Banyakngampar juga sampai di Kadipaten Pasirluhur. Lalu dia mengabdi dan menjadi prajurit dengan nama samaran Silihwarna. Adipati kemudian memerintahkan untuk menangkap atau membunuh Kamandaka yang dianggap pengacau.

Raden Kamandaka ternyata telah menjadi seorang penyabung ayam. Berangkatlah Raden Banyakngampar atau Silihwarna bersama prajurit berbaju samaran. Mereka membawa ayam aduan untuk menjebak Kamandaka. Pertarungan terjadi beberapa waktu dan sampailah puncaknya pertarungan Kamandaka dan Silihwara. Keduanya sudah tidak lagi saling mengenali karena sudah bertahun-tahun tidak berjumpa.


“Hei bedebah, kalau aku tidak dapat menandingi kesaktiamu, jangan kau sebut aku putra Maharaja Silihwangi, ratu agung di negeri Pajajaran. Mendengar perkataan yang dahsyat itu. Barulah Raden Banyakngampar tahu kalau Kamandaka adalah samaran dari sang kakak yang dia cari selama ini. Mereka bertukar cerita dan penjelasan sehingga saling meyakinkan. Setelah itu mereka pulang dan membohongi Adipati dengan megirim jantung dan darah anjing hutan untuk disantap Adipati. Kembali Putri Dewi Ciptarasa bersedih. Namun dia belum yakin karena dahulu Kamandaka juga pernah dikabarkan mati tapi belum mati.


Setelah pulang ke Pajajaran Raden Banyakcatra mendapat anugerag dewata. Dia mendapat semacam pakaian yang dapat mengubah dirinya menjadi seekor lutung. Seorang utusan Raden Banyakcatra menemui Putri Ciptarasa. Lalu dia mengirim surat kepada Kamandaka atau Raden Banyakcatra menjelaskan kalau dia masih mencintai Kamandaka. Beberapa waktu kemudian Adipati Kandadaha berburu dan menemukan lutung yang ajaib. Lalu membawak lutung ke istana kadipaten.

Karena ajaib semua putri Adipati ingin memelihara si lutung. Kelak dikenal dengan julukan Lutung Kasarung. Maka untuk menentukan yang berhak memelihara lutung adalah putri yang disukai lutung. Maka setiap Putri Adipati diberi satu buah pisang, lalu ditugaskan memeberikan pada si lutung. Apabila saat disodorkan pada lutung pisangnya di ambil  lutung. Maka dialah yang akan memelihara lutung ajaib itu. Tentu saja karena lutung adalah jelmaan Raden Banyakcatra maka dia memilih pisang yang diberikan Putri Dewi Ciptarasa. Maka bertemulah kedua sepasang kekasih itu.


Sebuah kerajaan bernama Nusatembini di perintah oleh Prabu Pule Bahas. Raja Nusatembini mengirim utusan melamar Putri Dewi Ciptarasa. Membuat sebuah keputusan serbah salah sang Adipati Kandadaha. Tentu saja lamaran ditolak oleh Putri Dewi Ciptarasa. Ada bahaya apabila lamaran ditolak, yaitu perang.

Putri dan Raden Banyakcatra mengatur siasat karena kalau lamaran ditolak maka akan terjadi perang. Putri Dewi Ciptarasa mengajukan syarat diterimanya lamaran, yaitu 1000 kodi mori dan 40 orang putri kembar sebagai emas kawin. Kemudian para pengiring tidak boleh membawa senjata. Sesampai di alun-alun kadipaten Pasirluhur. Saat membuka pintu tandu. Prabu Pule Bahas disambut tikaman oleh Lutung Kasarung jelmaan Raden Banykcatra.


Adipati memanggil Putri Dewi Ciptarasa dan mempertanyakan perbuatan lutung peliharaannya. Maka Putri menceritakan semua bahwa lutung tersebut adalah jelmaan Kamandaka atau Raden Banyakcatra putra mahkota kerajaan Pajajaran. Maka Adipati dengan senang hati menikahkan keduanya. Setelah itu mereka pulang ke Pajajaran.

Karena terbunuhnya Prabu Pule Bahas raja Nusatembini maka perang tidak terelakkan. Raden Banyakcatra atau Kamandaka memimpin perang dan berhasil menghancurkan pasukan Kerajaan Nusatembini. Masa-masa berikutnya Raden Banyakcatra diangkat menjadi Adipati Kadipaten Pasirluhur.


Demikianlah cuplikan dari cerita rakyat dari Banyumas, Jawa Tengah berjudul Raden Kamandaka. Dalam penulisan gaya bahasa masih seperti gayah tulisan sastra lama. Seperti menggunakan kata-kata syahdan yang sangat kental dengan gaya sastra Melayu. Buku dokumentasi cerita Raden Kamandaka diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Tidak ada pengarang hanya ditulis nama seseorang yang menuturkan cerita ini, yaitu Radjiati, BA.

Dengan penyunting Bobin AB dan Atjep Djamaludin, tanpa tahun terbit. Penerbitan buku ini terbilang sembrono. Kata pengantar tidak jelas, kemudian langsung daftar pustaka dan pembahasan.  Tidak ada penjelasan dimana tempat terbitnya. Semoga selanjutnya kedepan, penerbitan buku-buku dokumentasi kebudayaan negara seperti ini lebih rapi dan teratur.

Buku ini berisi 74 halaman, ditambah halaman judul, halam kata pengantar dan halaman daftar isi. Demikianlah informasi dunia kesusastraan klasik Indonesia. Semoga bermanfaat bagi anda pencinta sastra klasik Indonesia dan berguna bagi para akdemisi bidang kesusastraan.


#Sastra adalah cerminan masyarakat. Hadir di dalam kesusastraan yang kemudian akan hadir di tengah masyarakat. Mari kita kembalikan sastra bangsa kita yang sesuai dengan kebudayaan kita.

Oleh. Joni Apero.
Editor. Desti. S. Sos.
Palembang, 17 Januari 2020.
Sumber. Radjiati. Raden Kamandaka Cerita Rakyat Dari Daerah Banyumas Jawa Tengah. Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Sy. Apero Fublic

1/14/2020

Legenda Kisah Cinta I Jayaprana dan Ni Layonsari dari Bali

Apero Fublic.- Berawal dari sepasang suami istri yang tinggal di Desa Kalianget. Mereka memiliki dua naka laki-laki, dan satu anak perempuan. Desa Kalianget diserang wabah mematikan. Sepasang suami istri tersebut beserta dengan dua orang anaknya meninggal dunia. Tinggal yang masih hidup anak bungsu mereka, namanya I Jayaprana.

Karena sudah yatim piatu kemudian I Jayaprana menghadap raja untuk menjadi abdi istina. Seiring waktu I Jayaprana tumbuh besar. Dia rajin, patuh, jujur dan bertanggung jawab. Sekarang umur I Jayaprana berumur dua belas tahun. Dia tampak akan menjadi pemuda yang tampan dan gagah. Senyuman yang menarik dan pribadi yang baik.


Beberapa tahun kemudian berlalu. I Jayaprana sudah cukup dewasa ukuran umur masa itu. Raja memerintahkan I Jayaprana untuk menikah. Dia dipersilahkan memilih salah seorang dayang-dayang istana atau gadis-gadis di luar istana. Pada awalnya Jayaprana menolak, dengan alasan dia belum begitu dewasa.

Tapi apa kata raja tidak akan mudah berubah. Maka Jayaprana akhirnya menuruti perintah raja untuk menikah. Jayaprana pergi keluar istana dan dan mengamati kehidupan masyarakat. Banyak masyarakat yang berlalu lalang di jalanan kotaraja.

Jayaprana banyak mengamati gadis-gadis yang dia temui. Kemudian dia menjumpai seorang gadis yang sangat cantik dan memikat hatinya. Gadis cantik itu bernama, Ni Layonsari. Putri dari Jero Bendesa yang berasal dari Banjar Sekar.

Ni Layonsari merasa malu dan salah tingkah diperhatikan dan diamati oleh seorang pemuda tampan dari istina. Setelah mengetahui nama dan ciri-ciri si gadis Jayaprana kembali ke istana dan mengahdap Sri Baginda Raja. Setelah mendengar penjelasan Jayaprana, raja menulis surat.

Jayaprana kemudian pergi menemui orang tua gadis yang dia cari tahu tadi, dan menyerahkan surat dari raja. Setelah membaca, Jero Bandeso berkata setuju. Maka kembali Jayaprana menghadap raja dan melaporkan kalau pernikahan direstui.


Baginda Raja mengumumkan tentang pernikahan Jayaprana dengan Ni Layonsari, putri dari Jero Bandeso. Diumukan pada seisi istana bahwa: Pada hari Selasa Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara pernikahan antara I Jayaprana dengan Ni Layonsari.

Dari itu, kemudian raja memerintahkan Perbekel istana menyiapkan keperluan acara pernikahan, bansal-bansal tenda untuk merayakan pernikanan I Jayaprana. Jayaprana diiringi tetua dan masyarakat desa menghadap Jero Bendesa untuk memohon restu menyunting  Ni Layonsari. Di hari pernikahan itu semua melihat betapa cantiknya Ni Layonsari.

Lelaki manapun pasti akan menyukai Ni Layonsari saat melihatnya. Saat melakukan sembah setelah upacara pernikahan. Raja begitu terkesima memperhatikan kecantikan Ni Layonsari. Sampai-sampai sang raja menjadi gugup dan lupa bersabda. Setelah upacara selesai I Jayaprana dan Ni Layonsari meninggalkan paseban agung ke rumah Ni Layonsari.


Setelah menyaksikan kecantikan Ni Layonsari. Baginda Raja berubah pikiran dan timbul pikiran iri dan jahat di hatinya. Dia berkata pada para perbekel semuanya, meminta saran bagaimana memperdaya untuk menyingkirkan I Jayaprana. Raja ingin Ni Layonsari masuk istana dan dijadikan permaisurinya. Raja berkata, apabila dia tidak memperistri Ni Layonsari maka dia akan mangkat karena kesedihan.


Beberapa saat kemudian seorang perbekel bernama Saunggaling maju memberikan saran. Baginda Raja memerintahkan I Jayaprana pergi dengan para prajurit dan rombongan untuk pergi ke Celuk Terima. Untuk menyelidiki perahu orang Bajo yang kandas di pantai. Orang-orang Bajo juga memburu hewan di Kawasan Pengulon. Baru tujuh hari pernikahan Jayaprana dan Ni Layonsari. Mereka hidup berbahagia dalam suasana bulan madu. Datang utusan raja memerontahkan Jayaprana menghadap.


Jayaprana kemudian menghadap raja bersama para perbekel. Raja kemudian bersabda agar mereka segerah pergi ke Celuk Terima untuk tugas penyelidikan tersebut. Jayaprana pulang dan menceritakan semua titah sang raja. Maka dia berpamitan dengan istri tercintanya.


Hari telah malam sekarang setelah selesai cerita Jayaprana. I Layonsari tertidur dan bermimpi kalau rumah mereka dihanyuti banjir yang dalam. Dai meminta keberangkatan Jayaprana agar dibatal besok sebab dia khawatir dengan mimpinya. Jayaprana tidak mau menolak perintah raja yang sudah membesarkannya. Dia juga beralasan kalau kematian adalah kehendak tuhan Yang Maha Esa. Keesokan harinya I Jayaprana berangkat bersama rombongan perbekel kerajaan.


Sepanjang jalan Jayaprana selalu mendapat pirasat buruk. Sampailah rombongan Jayaprana di hutan Celuk Terima. Sesampai di hutan Celuk Terima I Saunggaling memberikan sepucuk sutar dari baginda raja, dan membacanya.


“Hai kau Jayaprana, manusia tiada berguna. Berjalan, berjalanlah engkau. Akulah yang memerintahkan membunuh kau. Dosamu sangat besar. Kau melampaui tingkah raja. Istrimu sungguh milik orang besar. Kuambil kujadikan istri raja. Serahkan jiwamu sekarang. Jangan engkau melawan. Layonsari jangan kau kenang. Ku peristri hingga akhir zaman.”


Begitulah isi surat dari sang raja. “Yah, oleh karena titah dari raja, aku tidak menolak. Sunggu semula baginda menanam dan memelihara hamba, tetapi kini baginda ingin mencabutnya, yah silahkan. Hambah relah dibunuh demi kepentingan baginda, meskipun aku tidak berdosa.” Begitulah ratapan Jayaprana dan air mata melele di pipinya. Terkenang akan istri yang dia cintai. Lalu memberi isyarat agar Saunggaling untuk menikamnya.


I Saunggaling memaklukan dirinya pada I Jayaprana. Dia melakukan ini atas perintah raja dan bukan kehendak dirinya. Dengan rasa sedih dan berat I Saunggaling menusukkan kerisnya ke perut Jayaprana. Dara dari luka Jayaprana mengalir deras dan tidak lama kemudian meninggal dunia. Bau harum semerbak meliputi jasad dan seantero tempat itu. Bersamaan dengan kejadian itu, gempa, petir, angin topan berhembus, banyak bunga berhamburan bersama angin.


Setelah jenazah I Jayaprana di kebumikan. Semuanya kembali pulang ke Kotaraja. Di tengah perjalanan pulang banyak kejadian aneh. Banyak perbekel yang mati, seperti diserang harimau, di patuk ular berbisa, dan lainnya. Berita kematian Jayaprana sampai ke I Layonsari. Tentu saja kematian Jayaprana bukan dibunuh oleh perbekel raja. Mendengar dan yakin kalau suaminya telah tiada. Maka I Layon sari menyusul suaminya. Dia menikamkam kerisnya di perutnya dan dia pun meninggal dunia.


Demikianlah kisah cinta dari dua orang insan yang sedang berbulan madu atas nama cinta. Kesetiaan yang benar-benar luar biasa. Namun cinta mereka terhalang oleh nafsu dan kebusukan sang raja. Dengan demikian keduanya akhirnya pergi bersama-sama untuk selamanya meninggalkan dunia yang penuh kekejaman dan keserakahan manusia.

*****

Sebuah kuburan yang terletak terpencil di tengah hutan sepi. Tampak terawat rapi dan dikeramatkan masyarakat sekitar. Di sekitar kuburan selalu ada taburan bunga-bunga berwarna-warni. Begitupun dengan lidi-lidi bekas dupa harum yang masih terpancang di atas sesajen.


Keadaan alam sekeliling sepi, hanya suara burung-burung yang menyambut para peziarah. Nisan yang berbentuk sederhana adalah kuburan I Jayaprana. Sebelumnya hanya kuburan biasa. Kemudian oleh penduduk kuburan Jayaprana dibangunkan sebuah bangunan makam. Cerita yang sungguh-sungguh terjadi di Bali Utara. Merupakan sebuah cerita “duka-carita” sebagai bentuk protes terhadap kesewenang-wenangan raja yang memerintah pada masa itu.

Rewrite. Joni Apero.
Editor. Selita. S.Pd.
Palembang, 14 Januari 2020.Sumber: Ketut Ginarsa. Geguritan Jayaprana. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.

Sy. Apero Fublic

1/13/2020

Badundai. Sastra Lisan Masyarakat Melayu Sumatera Selatan Yang di Lupakan

Apero Fublic.- Masyarakat Melayu di Sumatera Selatan memiliki banyak warisan budaya tak benda. Seperti warisan bahasa Melayu yang menjadi Bahasa Indonesia, cerita-cerita rakyat dan jenis sastra lisan. Diantaranya jenis-jenis sastra lisan warisan nenek moyang masyarakat Melayu Sumatera Selatan, sastra lisan badundai.

Studi penulisan artikel ini diambil dari sampel masyarakat pedesaan yang berada di Kabupaten Musi Banyuasin, tepatnya di Kecamatan Sungai Keruh yang dikenal  juga dengan nama Kawasan Dataran Negeri Bukit Pendape. Yang meliputi kawasan dari kaki Bukit Pendape sampai ke tebing Sungai Musi.

Badundai sastra lisan yang diwariskan secara turun temurun melalui belajar langsung. Atau dari mendengar pelaku yang sedang melantunkan badundai. Bentuk sastra lisan badundai terdiri dari syair pantun yang dilagukan. Kemudian diulang-ulang dua sampai tiga kali pada larik ketiga dan keempat. Dalam melagukan nada badundai sesuai irama tema dari badundai. Kalau tema sedih akan lembut mendayu-dayu. Kalau riang seakan-akan sedang berdendang. Orang yang membawakkan atau melantunkan bandundai.

Untuk orangnya dinamakan pendundai. Aktivitas orang yang melantunkan disebut mendundai. Kata badundai terdiri dari dua suku kata, yaitu kata ba dan kata dundai. Kata ba dalam bahasa Melayu bermakna sedang terjadi atau sedang dilakukan. Sedangkan kata dundai bermakna bernyanyi dengan cara dilagukan berayun-ayun. Badundai ibarat orang berayun-ayun dalam perasaan baik itu sedang dalam kegembiraan atau kesedihan.

Dalam melantunkan sastra badundai, ada saat-saat moment tertentu. Seperti saat menidurkan anak-anak masih bayi di ayunan atau pangkuan. Dengan maksud berhibur diri atau sedang berduka nestapa (baseding). Misalnya seorang istri yang ditinggal mati oleh sang suami. Kemudian dia bedundai mengenang sang suami dengan perasaan penuh kesedihan.

Badundai juga dibawakkan oleh seorang sedang jatuh cinta atau sedang patah hati. Terkadang juga dibawakkan anak-anak sambil bermain. Atau seorang petani menjaga ladang dalam menghilangkan kebosanannya. Seorang penyadap nira melantunkan sastra lisan badundai untuk mengusir kesepian. Adapun fungsi badundai adalah untuk hiburan, nasihat, sindiran, dan seni.

Sastra badundai adalah bentuk sastra milik masyarakat banyak. Tidak berhubungan dengan suatu sistem pemerintahan zaman dahulu. Tidak ada pengajaran resmi dari zaman dahulu sampai sekarang. Badundai juga termasuk sastra lisan masyarakat Melayu yang belum terdokumentasi. Zaman sekarang sudah sangat langkah generasi muda yang mengetahui sastra lisan ini.

Bahkan generasi yang lahir di atas tahun 1990 sangat sedikit yang mengetahui atau mengerti tentang sastra lisan badundai. Untuk yang lahir di atas tahun 2000 kemungkinan tidak yang tahu sama sekali. Teknologi yang berkembang terutama dibidang elektronik dan jaringan internet yang menyajikan berbagai macam hiburan. Baik dalam bentuk video atau rekaman suara mempercepat matinya sastra lisan badundai ini.

Kalau generasi yang lahir di bawah tahun 1980 masih banyak yang mengerti dan mengetahui tentang sastra lisan badundai. Mereka sekarang mungkin masih menidurkan cucu-cucu mereka dengan melantunkan sastra lisan badundai. Berikut ini contoh dari sastra lisan badundai.

Uwe-uwe balamban kandis
Patah pucuk marebung mude
Awak tue linjang di gadis
Patah usuk tabengkung pa’E

Awak tue linjang di gadis
Patah usuk tabengkung pa’E.

Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia (Melayu Tinggi).
Uwe-uwe[1] berjalan didahan kandis.[2]
Patah pucuk bertunas muda.
Sudah tua jatuh cinta seorang gadis
Patah rusuk patah paha

Sudah tua jatuh cinta seorang gadis
Patah rusuk patah paha.

Fungsi dari syair badundai tersebut bentuk sindiran pada orang yang sudah menikah atau sudah tua tapi kelakuannya masih seperti seorang bujang. Masih tidak sadar diri dan umur. Sehingga akhirnya mendapat sesuatu yang tidak mengenakkan di tengah masyarakat.

Dak ke endak landak makan padi
Base padi baroboh mude
Dak keendak uwang dengan kami
Base kami[3] uwang sare.

Dak ke endak uwang dengan kami
Base kami uwang sare.

Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia (Melayu Tinggi).
Tidak akan mau landak memakan padi
Sebab padi roboh saat masih muda.
Tidak akan mau dia pada saya
Sebab saya orang miskin

Tidak akan mau dia pada saya
Sebab saya orang miskin.

Pada lantunan badundai ini menjelaskan kesedihan seorang lajang pada kehidupannya yang serba kekurangan. Tidak memiliki sesuatu yang dapat dia banggakan. Kemiskinan menyebabkan dia rendah diri dan merasa tidak berharga sedikitpun dimata orang-orang.

Selain itu bait badundai ini juga bentuk sindiran dan nasihat. Pada larik ulangan kedua boleh diulang-ulang lebih dari dua kali. Bahkan ada yang mengulang-ulang naik turun beberapa kali. Semoga masyarakat masih mau melestarikan sastra lisan badundai.

Saya juga berharap akan lahir komunitas-komunitas pemuda-pemudi yang mencintai sastra lisan badundai ini. Begitupun pemerintah daerah dan kalangan akademisi juga tertarik dalam melestarikan sastra lisan badundai ini. Warisan leluhur orang Melayu di Provinsi Sumatera Selatan.

Oleh. Joni Apero
Editor. Selita. S. Pd.
Palembang, 13 Januari 2020.


[1]Uwe-uwe adalah nama lokal sejenis hewan primata.
[2]Kandes adalah sejenis pohon yang menghasilkan bua yang dijadikan masyarakat asam untuk bumbu masakan. Cara pembuatan asam bumbu adalah buah kandis dibelah-belah tipis lalu dijemur sampai kering.
[3]Kata kami dalam pengertian masyarakat Melayu memiliki dua makna. Pertama bermakna jamak yang berarti banyak. Kedua bermakna tunggal berarti saya. Kata kami bentuk kata ganti aku atau diriku. Karena kata aku terkesan kasar dan sombong. Masyarakat Melayu selalu berkata kami dalam memberikan penjelasan yang bermakna tidak menyombongkan. Misalnya, rumah kami, motor kami itu bermakan milik saya, motor milik saya, rumah milik saya.

Sy. Apero Fublic

1/12/2020

Jenis-Jenis Sastra Lisan Daerah Kepulauan Sangihe Talaud

Apero Fublic.- Setiap tempat dan wilayah di Indonesia memiliki jenis-jenis sastra lisan. Sebagai bentuk perkembangan kebudayaan dan kebiasaan setempat. Secara umum sastra klasik tersebut sama dengan sastra-sastra lisan di daerah lain.

Di Sangir Talaud misalnya sastra bawowo sama dengan sastra lisan masyarakat Kecamatan Sungai Keruh di Sumatera Selatan, badundai. Yaitu sastra lisan yang digunakan untuk menidurkan bayi. Sangir Talaud adalah istilah untuk penyebutan kepulauan tersebut secara umum sebelum banyak pemekaran-pemekaran nama daerah seperti sekarang (2020).

Sangir Talaud adalah terletak di Timur Indonesia. Sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara. Pulau Sangir Talaud dikelilingi laut, yaitu laut Mindanau di sebelah utara. Selat Taliso di sebelah selatan. Laut Sulawesi di sebelah barat, dan laut Pasifik di sebelah timur. Kata Sangir adalah pergeseran dari kata ZangerZanger dalam Bahasa Belanda berarti bernyanyi. Belanda menamakan karena penduduk di sana sangat suka bernyanyi.

Sedangkan kata Talaud berasal dari kata, tau dan rode. Tau berarti orang dan rode berarti laut. Maka kata Talaud berarti orang laut. Sehingga kalau digabungkan menjadi Sangir Talaud bermakna orang laut yang suka bernyanyi. Berikut jenis-jenis sastra lisan berbentuk puisi dari masyarakat Sangir Talaud. Sekarang daerah Sangir Talaud telah berkembang menjadi Kabupaten Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Sangihe .

1. Sasalamate
Sasalamate adalah bentuk puisi bebas yang diciptakan untuk mendatangkan keselamatan bagi yang mengucapkannya. Dalam penggubahan sasalamate sama seperti doa-doa mantra seperti di wilayah barat Indonesia. Dimana masyarakat Sumatera Selatan di masa lalu selalu membaca doa-doa dan memberikan persembahan (sedekah).

Seperti sasalamate untuk pernikahan, sasalamate untuk naik atau pindah rumah baru. Sasalamate untuk menerjunkan perahu atau kapal baru ke laut atau sungai. Sasalamate untuk membuat kuburan. Berikut ini, sebagai contoh sasalamate yang diucapkan pada waktu naik rumah baru.

Bale ini bale ini
Banala ini banala
Bale koa i masingka
Langingi taha sipirang
Bale niko su ena
Nipatehang su endumang
Bale rerendunge wera
Sasaripine bisara
Atue kaliomaneng
Bawungane irui dasi
Menginteno kere duata
Manawuheng tahulending
Supatiku dalohone
Kalaumbure kalalaluhe

Terjemahan Bahasa Indonesia:
Ruma ini rumah ini
Istana ini istana
Rumah didirikan oleh yang tahu
Diperbuat oleh yang pandai
Rumah dibuat berdasarkan akal
Didirikan berdasarkan pikiran
Rumah dindingnya kata-kata

Istana dindingnya bicara
Atapnya doa sembahyang
Bumbungnya menjulang ke atas
Memandang ke bawah seperti Allah
Sebarkan kesejahteraan
Kepada segenap isinya
Agar umur panjang selamanya.[1]

2. Sasambo
Sasambo adalah sebuah tradisi sastra lisan berupa pengucapan syair atau puisi yang dilagukan yang diiringi oleh tabuhan tegonggong (sejenis tifa besar). Sasambo memiliki tema-tema dalam syairnya. Seperti tema percintaan, kritik sosial, nasihat, sindiran dan jenaka. Ada dua jenis sasambo. Pertama, jenis sasambo yang terdiri dua larik setiap bait. Kedua, sasambo yang terdiri empat larik dalam satu bait. Berikut contoh sasambo yang terdiri dari dua larik dalam satu bait syairnya.

          Kasarang matang manukang
     Timole hesau kuhia
Kapiang bulang limangu
Nabawa bituing lawa
          Kapiang bulang simenda
          Kahumata nelimangu.

Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia:
          Salahnya burung manukang
          Mengikuti rombongan lumba-lumba (sindiran pada orang tidak jujur).
Kebaikan bulan purnama
Membawa bintang banyak. (maksud, pemerintah yang baik akan membawa berkah bagi rakyat).
          Bulan bersinar bercahaya
          Bulan sabit jadi purnama. (bermakna nasib baik).

Berikut ini contoh sasambo yang setiap baitnya terdiri dari empat larik:

Mebua bou lawesang
Mahundingang keng tulumang
Pakapia magahagho
Makatulung kai rorong
          Sasae sumonang pato
          Bulaeng kere kineke
Suwalaeng tahanusa
Sutaloarang dadoa
Dala putung su saleng
Tatialang pamunakeng
Terimakase nawuna
Salamate natarima.

Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia:
Berangkat dari air pangkalan.
Disertai oleh pengasihan
Kuatkan hati minta berkat
Sebab pemberian dari tuhan
          Disana di haluan perahu.
          Emas bergemerlapan
Di antara pulau-pulau
Di tengah-tengah tanah besar
Di sana api di pantai
Tanda-tandanya akan sampai
Terima kasih sudah sampai
Selamatlah telah tiba.[2]

3. Bawowo
Bawowo adalah bentuk sastra lisan yang dilakukan oleh orang-orang tua atau ibu-ibu. Mereka melantunkan bawowo untuk menidurkan bayi di dalam ayunan atau dipangkuan mereka. Nada suara bawowo di lirihkan dan lembut. Hanya terdengar oleh si bayi sehingga cepat tidur dengan nyenyak. Sastra lisan bawowo terdiri dari dua larik dalam satu bait syairnya.

Kere ogho i lendu, i lairong bakiang
Mogho maki talentu, iro kasiang
          Kawowo inang kawowo, ana nitendengulawo
          Suhiwang Bataha Lawo, takaendengang u apa.

Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia:
Seperti keluhnya merpati, tangisnya merpati hutan
Keluhnya memintah kasih, oh kasihan.
          Sayang si manis sayang, anak dimanja orang banyak
          Di pangkuan Bataha Lawo, tak akan mengapa.[3]

4. Kalumpang
Kalumpang adalah jenis puisi yang khusus dibawakan pada waktu mengupas kelapa (mencukur). Kegunaan syair kalumpang untuk menghilangkan rasa capek dan membakar semangat bersama rekan-rekan. Nada kalumpang diatur sesuai irama-irama agar terdengar indah. Biasanya yang mendendangkan kalumpang dua orang atau lebih. Syair kalumpang bertema pujian pada tuhan, nasihat, humor, dan sebagainya. Berikut ini contoh kalumpang.

Dorong ogoh su Ruata
Kakindoa si ghenggona
Peliheng kebi silaka
Subarang makoa guna
     Mesenggo anging pantuhu
     Nikailaseng u pulangeng
Pakaimang pakatuhu
Madiring kapeberangeng

Terjemahan kedalam Bahasa Indonesia:
Mohon kehadirat Tuhan
Meminta doa kepada Allah
Dari bahaya dihindarkan
Dalam maksud yang berfaedah
          Berlayar searah angin
Terjatuh dari tempat duduk
Harus patuh dan hormat
Agar tidak kena teguran

5. Papinintu
Papinintu adalah jenis perumpamaan yang menggunakan bahasa kias. Berikut contoh papinintu. Kalau di perhatikan papinintu sama dengan pepatah dalam bahasa Melayu. Berikut contoh papinintu.

Bulude siao lempangeng
Mebatu berang kanarang

Maning bulaeng sendepa
Tamaka sulung mesombang u hapi

Terjemahan kedalam Bahasa Indonesia:
Walaupun sembilan bukit dilewati
Demi mencari ilahi

Emas sedepa tak dipedulikan
Lebih baik bertemu kasih.

6. Papantung
Papantung adalah bentuk pantun dalam kesastraan lama Indonesia (Melayu). Menggubah papantung merupakan kebiasaan masyarakat Sangir Talaud sejak lama. Papantung digubah saat-saat riang. Misalnya saat pernikahan, saat berkumpul-kumpul orang banyak. Diwaktu-waktu senggang dan sebagainya. Papantung terdiri dari empat larik dalam satu bait. Larik pertama dan kedua berfungsi menyiapkan larik-larik berikutnya. Berikut contoh papantung.

Paniki pinela hebi
Nikakiking dendiling
Kadariring kami kebi
Sarang sunggile kimiling
      Tarai manuang patung
      Pamileko maghaghurang
       Ia madidi maghurang
     Kapuluku tanawatu.

Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia:
Kelelawar terbang bambu
Di gigit semut merah
Tidak mau kami semua
Sampai tungku pun menggeleng
          Mari memotong bambu
          Pilihlah yang telah tua
          Saya belum mau kawin
          Masa mudaku belum puas

7. Tatinggung
Tatinggung adalah jenis teka-teki. Tatinggung menjadi bentuk permainan oleh anak-anak atau orang tua. Bentuk permainan teka-teki menguji kecermatan orang-orang berpikir. Contoh tatinggung, kelepa masasandehe yang berarti “pelepah kelapa bersandar. Makna dan maksud dari teka-teki kelepa masasandehe adalah hidung manusia. Karena hidung manusia letaknya seperti menempel di wajah.

Anae dudareng
Inange tutundo
Artinya:
Anaknya berjalan
Ibunya merayap.

Makna dari teka-teki adalah perahu. Badan perahu diibaratkan ibu yang berjalan sedangkan dayung ibarat anak dari si ibu. Dayung tampak sangat cepat dan bersusa paya digerakkan oleh pendayung. Seakan-akan seperti gerak orang berlari.

8. Mesamper
Mesamper yang berarti menyanyi. Bentuk kebiasaan masyarakat Sangir yang paling disukai. Mesamper sebagai suatu kegiatan atau tradirisi sastra lisan yang dilaksanakan dengan cara balas-membalas. Dalam adegan mesamper dipimpin satu sampai tiga orang posisi berdiri. Melangkah satu persatu kehadapan hadirin. Tradisi sastra lisan mesamper juga dikenal dengan sebutan metunjuke atau melakukan pertunjukan.

Karena pembawaan yang menghibur membuat mesamper disukai seluruh lapisan masyarakat Sangir, tua, muda, bangsawan, dan laiinya. Di tengah masyarakat Sangir Talaud dikenal bermacam-macam jenis nyanyian mesamper. Seperti nyanyian percintaan, kedukaan, kebahagiaan, kerohanian, peperangan, ditinggalkan dan lainnya.

Tradisi mesamper dalam berbalas nyanyian harus sama maknanya. Misalnya nyanyian peperangan hanya boleh berbalas dengan nyanyian tema peperangan juga. Saat bernyanyi harus memiliki kesinambungan saat bernyanyi dan berbalas nyanyian, sajak, irama, tema, nada dan lainnya. Berikut ini contoh dari nyanyian mesamper.

O Mawu Ruata, teluntuko ia
Napene u rosa, rosa masaria
Tentiro ko sia, daleng mapia
Panata elangu, surararengangu

Terjemahan:
Oh Tuhan, kasihanilah daku
Penuh dengan dosa, berbagai dosa.
Tunjukilah daku, jalan kebaikan
Bimbinglah hamba-Mu, di jalan-Mu.[4]

Dari bahasa yang digunakan masyarakat Sangir Talaud banyak kosa kata yang hampir sama dengan kosa kata dalam bahasa Melayu, seperti kelepa yang berarti pelepa, metunjuke di dalam Bahasa Melayu tunjukke. Seperti kata bale yang berarti rumah.

Di Indonesia bagian barat berarti bangunan besar berbentuk rumah. Apabila ditelusuri dari bahasa menunjukkan kalau masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang satu. Dalam bahasa yang berbeda hanya kosa kata saja. Secara bentuk dan penyebutan bahasa adalah bahasa Melayu.

Oleh. Joni Apero
Editor. Desti. S. Sos.
Fotografer. Dadang Saputra.
Palembang, 13 Januari 2019.
Sumber: Paul Nebarth, dkk. Sastra Lisan Sangir Talaud. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 1985.


[1]Paul Nebarth, dkk. Sastra Lisan Sangir Talaud. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 1985, h. 17.
[2]Paul Nebarth, dkk. Sastra Lisan Sangir Talaud, h. 18-19.
[3]Paul Nebarth, dkk. Sastra Lisan Sangir Talaud, h. 19.
[4]Paul Nebarth, dkk. Sastra Lisan Sangir Talaud, h. 22.

Sy. Apero Fublic