Pada saat Puyang
Depati Sansiku meninggal. Kedua anak laki-laki tersebut berebut kepemimpinan
pedatuan. Sehingga terjadi perang saudara berlarut-larut. Banyak korban dari
pendukung masing-masing. Oleh para Datu, Para Puyang, dan para tetua
(Jurai tue), kedua putra depati didamaikan. Dengan membentuk dua pemerintahan
Pedatuan di wilayah Dataran Negeri Bukit Pendape. Yaitu, Marga Pendape Hulu dan
Marga Pendape Hilir. Dengan demikian terciptalah perdamaian beberapa waktu.
Seratus tahun setelah
pembagian wilayah pedatuan, dua pedatuan dipimpin generasi keempat keluarga
masing-masing.Pedatuan Pendape Hulu di pimpin Depati Galaga. Pusat
pemerintahannya di Talang Lebung Bulan. Dinamakan Talang Lebung Bulan, karena
air lebung sangat jernih, berpasir putih di dasarnya. Pada
malam hari saat bulan bersinar terang, bayangan bulan di langit sangat jelas
terlihat di permukaan lebung. Maka masyarakat menamakan talang mereka dengan
nama Talang Lebung Bulan.
Sedangkan Pedatuan Pendape
Hilir dipimpin Depati Kanta atau Depati Pibang Sakti. Depati Kanta memiliki
sebuah Pibang yang sakti sehingga dia dijuluki demikian. Pusat pemerintahan
Marga Pendape Hilir di Talang Benca Saribu. Karena wilayah Marga Pendape Hilir
terletak di kawasan tanah renah yang terdapat banyak benca. Sehingga dinamakan
Talang Benca Saribu.
Depati Pedatuan
Pendape Hulu tidak memiliki anak. Sudah dua puluh limah tahun menikah. Sehingga
membuat dia resah, tidak ada keturunan untuk melanjutkan kepemimpinan pedatuan.
Maka diumurnya yang sudah lanjut itu, dia selalu berdoa pada tuhan agar
memberikannya seorang anak. Anak laki-laki atau anak perempuan akan dia terimah
dengan senang hati. Usaha dan doa telah dilakukan. Namun sang istri tidak
unjung hamil.
Suatu hari, Depati
Galaga ditemani sepuluh orang Prajuritnya pergi berburu kijang ke hutan
belantara di sekitar Bukit Kulim. Seperti biasa mereka pergi mencari pohon
berbuah kesukaan kijang, pohon Marabungan. Di bawah pohon itu, mereka mencari
jejak kaki kijang. Akhirnya mereka menemukan, lalu mulai mengikuti jejak kaki
kijang. Setengah hari berlalu, mereka menemukan seekor kijang di bawah sebatang
pohon rindang.
Kijang itu tampak
kesakitan, berdiri sambil bernafas menekan perut. Ternyata si Kijang sedang
melahirkan. Depati Galaga dan sepuluh prajuritnya bersiap menembakkan anak
panah. Depati menarik busur panah, lima orang prajurit siap melempar tombak.
Lima lagi juga siap memanah. Apa bila mata panah depati melesat, maka yang lain
akan menyusul menembak anak panah. Saat depati ingin melepas anak panahnya.
Anak kijang menyembul dari rahim kijang. Melihat itu, depati memberi isyarat
agar jangan menembak sang kijang. Si kijang tampak melahirnkan dua anak.
“Sudah, jangan kita ganggu induk kijang itu.” Kata
Depati.
“Mengapa Depati, kita
sudah setengah hari berjalan mencari kijang itu.” Tanya seorang prajuritnya.
“Kita sebagai manusia
harus memiliki rasa belas kasihan. Kalau kita tidak memiliki rasa belas
kasihan. Berarti kita bukan manusia. Kita memang berburu, tapi jangan melampaui
batas. Kita harus memikirkan anak-anak kijang yang baru lahir itu. Keduanya
memerlukan induknya untuk menyusui dan merawat mereka. Kalau induknya kita
buru, kedua anak kijang itu akan mati. Kita cari yang lain saja.” Jawab Depati
Gelaga.
Akhirnya mereka pergi
dan berburu ke wilayah lain, di sekitar Bukit Pendape. Karena usaha yang keras
mereka mendapatkan juga hewan buruan. Dua ekor rusa dan satu kerbau liar.
Mereka sangat bergembira dan pulang membawa banyak daging. Pada malam harinya,
Depati Galaga bermimpi. Dia bertemu dengan kijang yang tidak jadi dia buru
siang tadi.
Dalam mimpi dia
melihat anak kijang sudah cukup besar, lincah. Depati melihat istrinya sedang
mengambil dedaunan. Lalu memberikan daun itu pada kijang-kijang itu. Tapi
anehnya, Depati Galaga melihat istrinya sedang hamil. Padahal dia tahu kalau
istrinya sudah mustahil hamil. Mengingat sudah berumur lima puluh tahunan.
Tiba-tiba datang seorang lelaki tua. Lelaki itu memanggil kijang itu, dan
kijang mematuhi si kakek tua. Depati menghampiri istrinya dan berdiri di
hadapan orang tua misterius itu.
“Siapakah kakek? dari bumi mana?.” Tanya Depati
Galaga.
“Aku dari tempat yang
sangat jauh dan tinggi dari bumi. Aku seorang malaikat penyampai pesan dari
pencipta alam semesta ini. Suatu saat aku akan sering turun ke bumi menemui
manusia-manusia baik dan menyampaikan kabar gembira." Kata si kakek
mantap.
“Kapan kakek akan menyampaikan pesan-pesan
itu." Tanya depati Galaga.
“Masih sangat lama
dari sekarang. Jauh dari masa kehidupanmu. Sesuai takdir yang ditulis sang
pencipta alam semesta.
“Oh. begitu.” Ujar
Depati mengerti. Si kakek misterius berkata.
“Orang baik, akan dikabulkan pemintaannya. Orang baik akan dibalas kebaikan
juga.” Ujar si kakek misterius. Setelah menepuk pundak Depati Galaga. Si kakek
melangka pergi diiringi kijang dan dua anaknya. Anak kijang tampak
melompat-lompat bergembira. Lalu menghilang dibalik semak-semak. Depati Galaga
terbangun dari mimpinya. Dia melihat ke samping istrinya tidur nyenyak.
Jangkrik dan burung hantu berbunyi nyaring dimalam itu. Depati Galaga kemudian
membangunkan istrinya dan menceritakan semunya.
Tiga bulan kemudian,
istri Depati Galaga merasa ada yang aneh diperutnya. Kemudian dia meminta
diurut pada Puyang Nasanti. Puyang Nasanti seorang kinta. Kinta istilah
penyebutan untuk bidan Talang pada masa lalu. Setelah diurut, istri Depati
galaga dinyatakan hamil dua bulan. Kabar gembira, tujuh bulan kemudian lahirlah
seorang anak perempuan. Depati Galaga memberi nama, Naralia. Tujuh belas tahun
kemudian, Naralia tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik. Depati
Galaga dan Istrinya sangat bahagia.
****
Sementara itu, di
Marga Pendape Hilir tepatnya di Talang Seribu Benca. Kehidupan tenang dan
damai. Di halaman istanah Depati Kanta atau Depati Pibang Sakti ada puluhan
prajurit sedang berlati ilmu silat, kuntau pendape. Diantara mereka ada seorang
anak muda berumur delapan belas tahunan yang tampak tangkas dan gagah berani.
Di pinggang sebelah
depan setiap prajurit berlatih terselip Pibang kidau dan ditangan kanan
terpegang pibang kanan. Masing-masing mengenakan Ikat kepala tanjak dari tenun
songket, baju kurung, celana panjang, dan ada kain songket dililitkan di
pinggang.
Seorang laki-laki
berumur empat puluhan tahun, berbadan tegap dan berjambang lebat berdiri paling
depan. Satu demi satu prajurit muda maju bertanding silat menghadapi lelaki
itu. Kemudian tiba giliran si anak muda yang maju. Dia melompat menyerang
dengan tinju dan tendangan. Maka terjadilah pergulatan tanding latih.
“Cukup, Marulak. Gunakan pibang kanan.” Ujar hulubalang
pelatih.
“Baik Paman
Hulubalang.” Marulak mencabut pibang kanan. Pibang kanan adalah nama pibang
yang digunakan tangan kanan. Pibang kanan bentuknya sama seperti pedang. Mata
pibang Marulak beradu dengan mata pibang hulubalang. Latihan cukup lama, seru.
Marulak sudah mampu mengimbangi kehebatan silat hulubalang.
“Pibang kidau.”
Teriak Hulubalang. Hulubalang menyabut pibang kidau di pinggang kanan. Lalu
menusuk berbarengan dengan menangkis serangan pibang kanan Marulak. Marulak
mencabut pibang kidau miliknya. Menangkis serangan pibang kidau hulubalang.
Tepat dan serangan berhasil ditangkis dengan baik oleh Marulak.
Latihan berakhir dan
hulubalang berkata. Marulak sudah sangat tangkas memainkan dua senjata asli
masyarakat Dataran Negeri Bukit Pendape, pibang kidau dan pibang kanan. Pibang
kidau bentuknya sama dengan pibang kanan. Tapi ukurannya seukuran dengan pisau,
berbeda dengan pibang kanan seukuran pedang. Depati Pibang sakti merasa puas
putra yang akan mewarisi kepemimpinan sudah hebat ilmu beladiri.
*****
Marulak putra Depati
Pibang Sakti adalah pemuda yang keratif dan tangkas. Dia suka bertualang dan
berburu di hutan. Selalu ingin tahu dengan kehidupan diluar wilayahnya. Suatu
hari, Marulak ditemani dua orang prajurut Pedatuan Pendape Hilir menyusup ke
wilayah Pedatuan Pendape Hulu.
Mereka menyamar
menjadi masyarakat biasa dan berbaur. Sehingga tidak ada yang mengenali mereka.
Kadang mereka berdagang di pasar, dan yang paling sering berkeliling di wilayah
Pedatuan Pendape Hulu mencari pengalaman hidup. Suatu hari, Marulak dan dua
pengawalnya kembali ke pasar. Mereka membawa madu dan ikan kering hasil mereka
dari hutan, berjualan.
“Kanda, berapa satu
kendi madunya?.” Suara lembut dan anggun. Berkerudung songket dan berbaju kurung.
Seorang gadis yang sangat cantik berdiri di hadapan lapak dagangan mereka. Ada
lima orang gadis berdiri di belakang si gadis cantik sebagai pengiringnya.
Marulak dan kedua pengawalnya tertegun melihat kecantikan si gadis.
“Koyong, Putri
Naralia mau membeli madunya.” Kata seorang teman pengiring Putri Naralia.
Malurak dan kedua pengawalnya sadar dan buru-buru menjawab.
“Murah Kopek, lima
keping tima. Untuk ukuran satu kendi Kayuagung.” Ujar Marulak tergagap. Seorang
gadis penggiring membuka kantung kain dan menyerahkan lima keping uang tima.
“Ya, ampun cantinya
gadis perawan.” Ujar Marulak dengan mata melotot. Marulak melihat rombongan
Putri Naralia berjalan menyusuri jalan pasar lalu menghilang dibalik keramaian
pasar. Pasar itu seminggu sekali buka, sehingga Marulak selalu tidak sabar
menunggu hari adanya pasar. Dia ingin bertemu si cantik pembeli madu. Hitungan
hari masyarakat waktu itu adalah malam-siang. Pasar akan diadakan setelah melewati
tujuh siang.
Puyang Marulak
akhirnya dapat mengenal Putri Naralia. Melalui surat menyurat mereka
berkomunikasi. Kadang mereka bermain di sebuah taman berkumpul bersama-sama
teman-teman. Sehingga tidak ada masyarakat curiga. Sebab tidak melanggar aturan
adat. Cinta bersemi dan bersemi. Hati Marulak dan hati Putri Naralia telah
menyatu. Mereka tidak dapat lagi dipisahkan oleh apa pun.
Akhirnya, Puyang
Marulak jujur kalau dia adalah putra Depati Pibang Sakti Depati Pedatuan
Pendape Hilir. Awalnya Putri Naralia tidak percaya namun dia pun percaya sebab
cintanya. Kesepakatan keduanya adalah jujur dengan kedua orang tua mereka.
Putri Naralia menceritakan hubungannya dengan Puyang Marulak. Dia menyatakan
ingin menikah dengan Marulak. Begitu pun Puyang Marulak menceritakan pada
Depati Pibang Sakti. Kalau dia ingin meminang Putri Naralia anak Depati Galaga
dari Marga Pendape Hulu.
****
“Kau boleh menikah
dengan laki-laki manapun yang kau suka. Tak masalah walau bujang tersebut hanya
orang biasa dan miskin. Asal dia bujang yang baik. Tapi aku tidak dapat
merestui kau menikah dengan anak Depati Pibang Sakti. Sebab PedatuanPendape
Hilir adalah musuh pedatuan kita. Sudah seratus tahun kita berperang. Mana
mungkin kau berkeluarga dengan musuh pedatuan, musuh perang kita. Musuh
tetaplah musuh, dan entah apa yang dia rencanakan. Mungkin mereka ingin
menguasai wilayah kita dan menumpas keluarga kita. Kau harus sadar itu, Nak.
Kau masih muda, belum tahu banyak tentang politik dan kepemimpinan. Jangan
hanya mementingkan perasaan kau saja, yang dapat membuat celaka seluruh
pedatuan.” Jelas Depati Galaga pada Putri Naralia.
Istri depati Galaga
juga memberikan nasihat agar Putri Naralia tidak mencintai Puyang Marulak putra
Depati Pibang Sakti dari Marga Pendape Hilir. Namun cinta tak dapat memilih
pada siapa untuk berlabuh. Putri Naralia hanya diam dan mengurung diri di
kamarnya.
Sementara itu di
istanah Depati Pibang Sakti sedang melakukan rapat besar. Semua hadir, para
datu pemimpin talang, para puyang tokoh masyarakat, hulubalang dan dewan
Pedatuan Pendape Hilir sedang rapat. Dari rapat itu memutuskan kalau Marulak
tidak diizinkan menikah dengan Putri Naralia anak Depati Marga Pendape Hulu.
Karena akan meletus perang dan akan menjadi alasan peperangan. Marulak yang
mendengar langsung keputusan itu tidak dapat menerimah. Tapi dia tidak berkata
apa pun. Dia sudah terlanjur mencintai putri Naralia. Satu minggu berlalu
keadaan tenang. Hanya prajurit dikedua belah pihak berjaga-jaga di perbatasan
marga.
Diam-diam Puyang Marulak
merencanakan sesuatu. Tapi dia tidak menunjukkan gelagat apa-apa. Awalnya dia
hanya mengasa pibang kidau dan pibang kanannya. Kemudian membuat puluhan anak
panah. Lalu dia juga mempersiapkan batu api, garam, beras. Alat masak yang
terbuat dari gerabah. Marulak membeli gerabah dari pedagang orang Kayuagung
yang sering datang menggunakan perahu kajang.
Orang Marga Kayuagung
terkenal dalam membuat gerabah. Mereka berjualan menggunakan perahu kajang
melalui Sungai Musi, lalu masuk ke Pedatuan Pendape melalui Sungai Keruh.
Satu keranjang besar
peralatan dia sembunyikan di hutan. Kemudian Marulak sering izin berburu ke
hutan, mengecoh pemikiran orang tua dan masyarakatnya. Tapi sambil berburu itu,
dia terus membawa peralatan yang dia sembunyikan. Marulak menemukan sebuah
tempat yang jauh di kawasan yang berawa-rawa Sungai Musi. Lalu dia membangun
sebuah pondok cukup besar. Lengkap dengan peralatan rumah tangga. Tidak ada
satupun orang yang tahu dengan yang dia lakukan.
*****
Sebulan berlalu, suatu
malam menjelang subuh. Sesosok bayangan hitam menyusup kedalam Talang Lebung
Bulan. Berlari diantara tiang-tiang rumah penduduk. Mengendap-endap dan
menghindari para prajurit jaga. Bayangan hitam itu naik ke istanah Depati
Galaga. Lalu berjalan perlahan di serambih rumah bagian depan. Serambih ini
mendekati sebuah kamar yang besar. Kamar itu adalah kamar Putri Naralia.
Tangannya mengetuk halus jendela.
“Siapa.?” Tanya Putri
Naralia.
Tidak ada jawaban, saat
daun jendela terbuka, sosok bayangan hitam menyodorkan sebuah lembaran terbuat
dari kulit pohon (kagas atau karas). Kulit pohon kagas atau karas adalah
media menulis masyarakat Melayu Sumatera Selatan dengan aksara paku, masa
lampau. Putri Naralia terkejut, tapi dia mengambil lembaran itu. Setelah itu,
sosok serba hitam melompat dan menghilang dikegelapan malam menjelang subuh
itu. Di lembaran itu tertulis aksara kaganga. Akasara kaganga adalah aksara
kuno milik masyarakat melayu masa lalu.
“Dinda Naralia.
Aku tidak dapat melupakan adinda, sebab cinta kakanda sudah sangat besar. Aku
tahu, kedua orang tua kakanda dan kedua orang tua adinda tidak merestui
hubungan kita. Adinda, kakanda lebih baik mati daripada hidup tanpa
adinda. Maukah adinda menjadi istri kakanda?. Seandainya adinda
menerima lamaran kakanda ini. Maka, besok pagi temui kakanda di seberang Sungai
Keruh tepatnya di tanjung rengas di hilir Talang. Bawaklah perbekalan baju yang
dimasukkan kedalam keranjang cucian. Dengan alasan adinda akan mencuci baju di
sungai. Kakanda menunggu sampai adinda datang. Kalau adinda tak datang, kakanda
menunggu sampai kakanda mati. Kalau adinda sudah membaca surat ini, bakarlah
agar tidak ada yang tahu.”
Dari.
Puyang Marulak.
*****
Putri Naralia yang
juga sangat mencintai Puyang Marulak. Keesokan harinya menemui Puyang Marulak,
serta membawa perbekalan pakaiannya. Keduanya kemudian melarikan diri ke hutan.
Mereka menyamar menjadi masyakata biasa dan sampai di sebuah talang kecil,
Talang Ambai. Dinamakan demikian karena terdapat pohon buah buah rambai.
Keduanya mengaku
kalau sama-sama anak yatim piatu. Mereka ingin menikah tapi tidak memiliki
biayah. Sebab di Talang Mereka pengantin laki-laki harus menyediakan banyak
biayah untuk menikah. Terutama untuk membayar upah wali yang akan menjadi wali dari
wanita yatim piatu. Oleh karena itulah keduanya meminta dinikahkan dan
diizinkan tinggal, pada datu talang, Puyang Jakaru. Datu Talang Ambai tidak
sadar karena keduanya menyamar layaknya warga biasa yang miskin.
Puyang Jakaru dan
warga Talang Ambai menikahkan keduanya. Sehingga Marulak dan Putri Naralia
resmi menjadi suami istri. Karena khawatir keberadaan mereka terlacak oleh
prajurit Marga Pendape Hulu atau pasukan Marga Pendape Hilir. Maka malam ketiga
setelah pernikahan Puyang Marulak dan Putri Naralia menghilang. Puyang Marulak
meninggalkan sebuah surat pada Datu Talang.
“Datu, terimahkasi
sudah menikahkan kami berdua. Jasa kalian tidak akan kami lupakan. Untuk
berjaga-jaga atas keselamatan kalian. Apabila nanti ada prajurit Pendape Hulu
dan Pendape Hilir datang bertanya tentang dua orang melarikan diri. Agar kalian
merahasiakannya, karena kalian akan dihukum mati sebab telah menikahkan kami.
Kalian akan dituduh bersekongkol dengan kami. Maka rahasiakan semua ini sampai
kapan pun. Setelah membaca surat ini, bakarlah agar tidak ada jejak.”
Dari:
Puyang Marulak dan Puyang Naralia.
Puyang Jakaru
terkejut bukan kepalang. Mereka tidak menyakah telah disinggahi Pangeran dan
Putri dari dua pemimpin wilayah yang bermusuhan. Maka mereka bermusyawarah,
sepakat untuk merahasiakan semunya. Mereka akan dalam bahaya atau terjadi
perang antar dua pedatuan.
Benar saja, satu
minggu kemudian ratusan prajurit dari Marga Pendape Hilir dan Marga Pendape
Hulu datang bergantian mencari Marulak dan Putri Naralia. Sejak saat itu, tidak
terdengar lagi cerita tentang keduanya. Sementara Depati Pibang Sakti dan
Depati Galaga mulai panas dan perang terjadi diperbatasan. Banyak korban
berjatuhan dan perang terus berkobar bertahun-tahun.
Hari demi hari
berlalu. Bulan berganti dan tahun terlewati. Puyang Marulak dan Putri Naralia
tidak pernah bertemu dan tidak tahu rimbanya, apalagi kabarnya. Ayah dan ibu
keduanya merasa menyesal dan juga merasa kesal. Depati Galaga yang hanya
memiliki satu orang anak sangat bersedih. Begitupun Depati Pibang Sakti, dia
hanya memiliki satu anak laki-laki. Kesedihan berkepanjangan pada kehidupan dua
pemimpin itu.
*****
Sementara itu, Puyang
Marulak dan Puyang Naralia hidup bahagia di sebuah pondok terpencil di sebuah
hutan yang dikelilingi rawa-rawa Sungai Musi. Ternyata itu adalah rencana
Marulak sebelumnya. Mengapa dia membeli perlengkapan rumah tangga dan membuat
pondok di hutan jauh waktu itu.
Untuk sampai ke hutan
itu harus melewati rawa-rawa luas dan banyak rumpun rotan berduri. Sehingga
sangat jarang, bahkan mustahil manusia datang ke hutan itu. Putri Naralia
sering bercerita tentang jernihnya air Lebung Bulan di Talang tempat
kediamannya. Dia juga bilang kalau sering merindukan ayah dan ibunya. Hal itu
membuat hati Marulak tergugah dan berpikir bagaimana membahagiakan istrinya.
Untuk mengurangi
kerinduan Putri Naralia pada kedua orang tua dan kampung halamannya. Puyang
Marulak menggali tanah membuat sejenis kolam yang lebar. Mencontoh lebung di
Talang Lebung Bulan. Marulak ingin keadaan pondok kediaman mereka mirip dengan
suasana Talang Lebung Bulan. Setiap pulang dari ladang, atau tidak bekerja di
ladang. Marulak selalu menggali dan melebarkan kolam di depan pondoknya.
Marulak juga membuat tepian madi untuk Putri Naralia.
Delapan tahun
berlalu, hasil galian kolam Puyang Marulak semakin lebar. Karena di gali terus
menerus sepanjang tahun, bertahun-tahun. Sehingga kolam sudah seluas sebuah
danau. Puyang Marulak membuat perahu dan rakit. Sehingga dia sering berakit
atau berperahu bersama Putri Naralia dan anak-anaknya. Sehingga kebahagiaan
mereka semakin besar. Anak pertama laki-laki bernama Paniti Rimbe, umur tujuh
tahun. Anak kedua bernama Marila dan anak ke tiga Marili.
*****
Tahun ke sembilan
dari pelarian Marulak dan Putri Naralia terjadi kemarau panjang. Sehingga
penduduk sering mencari air bersih atau mencari ikan ke daerah rawa-rawa Sungai
Musi. Suatu hari terjadi kebakaran hutan rawa, sehingga ada sebagian rawa-rawa
terbakar. Yang terbakar, hutan rawa-rawa menjadi bersih. Penduduk berdatangan
mencari ikan dan sampai di sekitar hutan tempat tinggal Marulak dan Putri
Naralia. Saat mereka mendekati sekitar pondok Marulak, terdengar suara
anak-anak berteriak bermain-main.
Dua orang penduduk
mengintip dan mereka merasa aneh dengan orang yang tinggal di tengah hutan yang
dikelilingi rawa-rawa. Penduduk yang sudah tidak mengenali Marulak dan Naralia
hanya bercerita dari mulut ke mulut tentang manusia tinggal terasing.
Bermacam-macam
pendapat masyarkat, ada yang bilang kalau yang mereka lihat adalah jelmaan
suban. Ada juga yang berpendapat kalau keluarga hantu. Ada yang berpendapat itu
makhluk Iyau. Mata-mata Pedatuan Pendape Hulu dan Pedatuan Pendape Hilir akhirnya
mengetahui tentang kabar burung itu. Untuk memastikan hal tersebut satu regu
pasukanPedatuan Pendape Hulu yang dipimpin seorang hulubalang mendatangi hutan
tempat tinggal Puyang Marulak dan Putri Naralia. Saat sampai mereka berhadapan
dengan pasukan Pedatuan Pendape Hilir yang juga sudah mengetahui.
*****
“Kami akan menangkap
Marulak, tukang larikan anak perawan orang. Lalu membawa Putri Naralia dan
anak-anaknya ke Hulu. Sungguh tidak tahu malu kalian membelah seorang buruk
tabiatnya, seperti Marulak.” Ujar Hulubalang Pedatuan Pendape Hulu.
“Puyang Marulak dan
Putri Naralia menjadi milik kami. Begitupun anak-anaknya dan akan kami bawa
kembali ke Hilir. Kalau kalian masih berkeras, maka tahu sendiri akibatnya.”
Sanggah Hulubalang Wurugi, salah satu hulubalang Marga Pendape Hilir.
Saling bentak dan
saling mengklaim berakhir dengan terikan lantang peperangan. Mata-mata pibang
beradu ganas dengan percikan bunga api. Semua pandai bermain silat sehingga
sulit untuk saling menjatuhkan. Marulak sadar kalau persembunyian mereka telah
diketahui. Mereka berusaha melarikan diri lagi. Namun terlambat, Depati Galaga
setelah tahu, dan pasti tidak menunggu lama. Segera bergerak bersama
pasukannya, lalu mengepung tempat tinggal Marulak.
Hutan sekarang telah
dikepung oleh pasukan dari kedua belah pihak. Marulak tidak dapat kemana-mana.
Dia lemah sebab telah ada anak-anak yang masih kecil. Membuat Marulak menjadi
mengalah. Dia ingin melindungi ketiga anaknya. Depati Pibang Sakti dan Depati
Galaga datang membawa pasukan masing-masing merapat ke dekat pondok Marulak,
tegang. Tangan masing-masing menggenggam hulu Pibang masing-masing.
Depati Galaga melihat
suasana kediaman Marulak. Dia memperhatikan Marulak, Naralia dan anak-anaknya
dari sebelah barat danau galian Marulak. Sedangkan Depati Pibang Sakti melihat
dari seberang arah timur. Di belakang mereka masing-masing berbaris ratusan
pasukan pengawal. Marulak sadar akan ada perang dan pertumpahan darah hari ini.
Marulak beridiri di halaman pondok dan Naralia memeluk tiga anaknya. Depati
Pibang Sakti mendekati dan Depati Galaga mendekat.
“Naralia pulanglah,
Nak. Ibumu menunggu, dia sakit?. Bujuk Depati Galaga.
“Bak, aku tak mau pulang kalau seorang diri.”
Jawab Naralia.
“Tidak bisa Naralia, kau harus pulang sendiri.”
Kata Depati Galaga.
“Aku tidak mau, walau Bak memaksa.” Jawab putri
Naralia.
“Baikalah, maka
peperangan yang akan mengembalikan semuanya. Kau Marulak, telah menginjak harga
diriku sebagai orang tua. Kau akan mendapat balasan setimpal.” Depati Galaga
berkata berapi-api. Sambil menunjuk ke arah Marulak. "Srinngg. Pibang
kanan Depati Galaga dia cabut.
“Sebelum kau berbuat,
maka kau berhadapan dengan aku.” Ujar Depati Pibang Sakti.
Dua pasukan berlari
berhampiran tambah dekat hanya satu meter lagi, siap duel. Tinggal perintah
masing-masing hulubalang dan Depati. Depati Galaga dan Depati Pibang sakti
telah mencabut pibang kanan dan pibang kiri mereka. Terhunus dan siap saling
serang.
Depati Pibang Sakti
dan Depati Galaga yang sudah bermusuhan sejak mereka saling mengenal. Kini
tidak dapat lagi menahan emosi dan saling serang dengan pibang masing-masing.
Marulak merasa sangat bingung dan lelah dengan semua itu. Sebab telah banyak
korban jiwa yang melayang. Maka dia harus berbuat sesuatu untuk mengakhiri
pertikaian ini. Saat Depati Pibang Sakti dan Depati Galaga saling serang dia
melompat kedepan di hadapan keduanya.
Gerakan Marulak yang
tidak terduga itu membuat tidak bisa dielakkan lagi. Dua mata pibang menancap,
satu di dada dan di perut Marulak. Perlahan tubuh marulak lemah dan darah
mengalir deras. Ketiga anaknya menjerit menangis. Begitu pun Naralia tak kalah
histerinya. Dia menghambur memeluk tubuh Marulak. Depati Pibang Sakti juga
berlutut di hadapan Marulak. Marulah memegang tangan ayahnya dan melambaikan
tangan pada Depati Gelaga. Depati Gelaga juga merasa sedih, sebab dia juga
sadar kalau Marulak tidak melawannya dan bukan orang jahat. Depati Galaga duduk
disebelah kiri, lalu Marulak juga memegang tangan mertuanya.
“Bak mertuaku, telah
menusuk jantungku. Sebentar lagi aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku
yang telah melarikan Naralia. Jujur aku sangat mencintai Naralia. Sebentar lagi
aku akan menemui pencipta alam ini.” Kata Marulak dengan terbata-bata. Lalu dia
melanjutkan dan berkata pada Depati Pibang Sakti. “ Bak, janganlah bak menuntut
balas atas kematianku. Sebab pibang Bak juga mengenai perutku.
Hentikan perang dan berdamailah. Aku titip anak-anakku pada Bak berdua.” Ujar
Marulak pada Sang Ayah. “ Naralia, istriku tercinta. Pulanglah bersama Bak ke
Hulu. Rasa Cinta dan kasih sayang tidak harus bersama. Cinta ada di hati kita.
Aku selalu mencintaimu, istriku sayang.” Kata terakhir Marulak. Marulak
akhirnya menghembuskan nafas terakhir.
“Sringgg. Craattt.”
Pibang Kidau milik Naralia tercabut dari warangkanya. Lalu Naralia hujamkan di
jantungnya. Darah mengalir deras dan diapun terjatuh dengan berlinang air mata.
Anak-anaknya menjerit menangis pilu. “Bak, jangan berperang lagi. Damailah,
kita sama-sama orang Melayu, satu keluarga. Bak, maafkan Naralia.
Maafkan kanda Marulak. Lia, sangat mencintai Kakanda Marulak. Hidup kami
bersama dan matimu bersama. Tolong jaga anak-anak kami, dan jangan berperang
lagi. Bilang sama ibu, aku pergi lebih dahulu. Aku selalu rindu ibu. Bak, aku
titip pesan pada anak cucu. Jangan pernah berbuat maksiat apa lagi berzinah di
dekat danau ini. Sebab danau ini digali oleh Kakanda Marulak atas rasa cinta
pada diriku. Jangan kotori disekitar danau ini, dengan perbuatan dosa atau
dengan sampah. Barang siapa yang datang kesini berbuat dosa, berbuat maksiat,
mesum dan mengotori lingkungannya. Maka saya sumpahi hidup dia takkan selamat
dunia akhirat. Sepanjang hidup dia akan penuh masalah dan penderitaan.” Itulah
sumpah Putri Naralia.
Putri Naralia
menyumpahi anak cucunya atau siapa pun yang datang ke dekat danau tersebut,
lalu berbuat dosa, mencemari lingkungan, merusak alamnya atau mengotori
lingkungan dengan sampah (seperti bekas makan-miunum, dll). Maka orang tersebut
akan mendapat celaka seumur hidupnya. Lalu Putri Naralia menghembuskan nafas
yang terakhir. Sekarang, hanya kesedihan di kedua belah pihak. Akibat kekerasan
kepala dua pemimpin dan permusuhan telah menyebabkan penderitaan dua insan
manusia yang baik.
Setelah peristiwa
itu, kedua belah pihak bersepakat untuk berdamai. Mereka mengakhiri
perselisihan yang tidak kunjung henti. Sebelum musyawarah diawali dengan makan
sirih. Sebagai ciri khas adat orang Nusantara sebelum bermusyawara. Budaya
makan siri pinang ini adalah budaya tertua orang-orang di Nusantara. Hal kedua
setelah kesepakatan damai, berbicara tentang pewarisan kepemimpinan pedatuan. Keputusan
kedua belah pihak adalah kembali menyatukan pedatuan dengan mengangkat anak
Puyang Marulak dan Putri Naralia menjadi Depati Pedatuan Dataran Negeri Bukit
Pendape.
Kelak semasa
kekuasaan Kedatuan Sriwijaya. Puyang Dapunta Hyang dari Minanga datang dan
bermusyawara dengan Paniti Rimbebersatu menjadi sebuah negeri yang lebih besar,
dinamakan Kedatuan. Selain itu Puyang Dapunta Hyang juga mendirikan banyak
pedatuan dibeberapa tempat. Barulah Puyang Dapunta Hyang pergi ke Bukit
Siguntang (Palembang) dan membangun sebuah pusat pemerintahan. Yang diabadikan
dengan sebuah prasasti.
Nama Kedatuan
bermakna bersatunya Pedatuan-pedatuan di bawah satu bendera sehingga menjadi,
Kedatuan Sriwijaya. Sriwijaya kelak menjadi kekaisaran Asia Tenggara yang
berdiri selama 600 tahun.
Waktu berlalu danau
yang digali oleh Marulak bertahun-tahun lamanya itu. Waktu demi waktu menjadi
danau yang luas. Karena perubahan alam dan pengikisan tanah. Penduduk Pedatuan
Dataran Negeri Bukit Pendape menamakan dengan Danau Marulak dan Naralia.
Seiring waktu ribuan
tahun lamanya. Penduduk menyebut nama Danau Marulak dan Naralia mulai berubah.
Kebiasaan orang Melayu adalah ingin cepat dalam menyebut sesuatu. Sehingga
mereka menyingkat nama Marulak, menjadi Ulak dan Naralia menjadi Lia. Sehingga
kemudian sampai sekarang nama danau berubah menjadi Danau Ulak Lia.
Datu: Pemimpin Talang atau Jurai Tue atau Kepala Desa. Depati: Gelar pemimimpin marga/pedatuan. Puyang: Gelar kehormatan apabila untuk seorang pemimpin. Dataran Negeri Bukit Pendape: Kawasan tradisional masyarakat yang mendiami disepanjang aliran Sungai keruh sampai ke Bukit Pendape (Marga Sungai Keruh).
Pibang: Senjata tradisional masyarakat di Kawasan Dataran Negeri Bukit Pendape. Pibang Kidau: Pibang yang seukuran pisau di selipkan di pinggang kanan dan dicabut dengan tangan kiri saat penggunaan sewaktu bertarung.
Pibang Kanan: Pibang yang seukuran pedang yang dilekatkan di pinggang kiri dan dicabut tangan kanan saat penggunaan (bertarung). Benca. Tempat penampungan air alami yang berbentuk seperti sungai kecil. Lebung: Jenis penampungan air alami, tapi ukuran lebih kecil dari danau.
0 komentar:
Post a Comment