Sumber foto. Sedekah Bumi atau Sedekah Rami. Ernita Yanti.
PT. Media Apero Fublic
PT. Media Apero Fublic merupakan perusahaan swasta yang bergerak pada bidang usaha Publikasi dan Informasi dengan bidang usaha utama Jurnalistik.
Buletin Apero Fublic
Buletin Apero Fublic adalah buletin yang mengetengahkan tentang muslimah, mulai dari aktivitas, karir, pendidikan, provesi, pendidikan dan lainnya.
Penerbit Buku
Ayo terbitkan buku kamu di penerbit PT. Media Apero Fublic. Menerbitkan Buku Komik, Novel, Dongeng, Umum, Ajar, Penelitian, Ensiklopedia, Buku Instansi, Puisi, Majalah, Koran, Buletin, Tabloid, Jurnal, dan hasil penelitian ilmiah.
Jurnal Apero Fublic
Jurnal Apero Fublic merupakan jurnal yang membahas tentang semua keilmuan Humaniora. Mulai dari budaya, sejarah, filsafat, filologi, arkeologi, antropologi, pisikologi, teologi, seni, kesusastraan, hukum, dan antropologi.
Majalah Kaghas
Majalah Kaghas, meneruskan tradisi tulis tradisional asli Sumatera Selatan.
Apero Fublic
Apero Fublic, merupakan merek dagang PT. Media Apero Fublic bidang Pers (Jurnalistik).
Apero Book
Apero Book merupakan toko buku yang menjual semua jenis buku (baca dan tulis) dan menyediakan semua jenis ATK.
Buletin
Buletin Apero Fublic merupakan buletin yang memuat ide-ide baru dan pemikiran baru yang asli dari penulis.
8/02/2019
Keramat Puyang Tengah Laman
Sumber foto. Sedekah Bumi atau Sedekah Rami. Ernita Yanti.
8/01/2019
Mitos Hantuan Di Tengah Masyarakat Melayu
Menjemput Jodoh Dengan Adat Malarai
Pertama, turun larai yang bermakna telah melakukan adat malarai seorang gadis dan perjaka. Pemasukan kata turun dirujukkan pada rumah-rumah masyarakat Melayu yang semuanya rumah panggung. Apabila penghuni rumah akan pergi, maka dia akan menuruni tangga. Kata turun juga bermakna melaksanakan langsung atau mengerjakan sendiri.
Sebagai contoh ada ungkapan kata turun “pemerintah diharapkan turun tangan dalam menyelesaikan komflik.” Begitupun kata turun dalam penyebutan turun larai memberi pesan bahwa anak mereka telah melaksanakan sendiri dalam menjemput jodohnya.
Anak gadis yang menika juga diistilahkan pergi dalam artian positif. Sedangkan kata Larai bermakna lari dalam bahasa Indonesia. Kata larai disini bukan berarti melarikan diri. Tapi bermakna mendatangi suatu tempat, yaitu rumah pemerintahan setempat. Sedangkan awalan kata Ma dalam bahasa Melayu bermakna sedang terjadi atau sedang melakukan.
Sehingga istilah malarai diartika secara harfiah adalah seorang laki-laki perjaka dan seorang perempuan gadis perawan yang sedang melakukan perjalanan, dari satu tempat ke tempat lain. Lalu mereka ingin menetap. Dalam artian ini adalah menikah atau berumah tangga.
Pada masa kesultanan, adat malarai mendatangi rumah penghulu, pesirah, atau depati. Kemudian menyatakan ingin menikah secara sah. Baru kemudian pemerintahan setempat memberitahu keluarga dan masyarakat bahwa telah dilaksanakan adat malarai.
Maka keluarga kedua belah pihak bermusyawara untuk menikahkan keduanya. Pada masa kemerdekaan ketika masuknya pengaru luar. Seperti pada zaman penjajahan Jepang masuknya sistem RT dan RW. Maka adat malarai juga kadang mendatangi rumah RT atau RW, Kepala Dusun, Kepala Desa.
Pada saat sekarang ketika administrasi pemerintahan desa telah lengkap. Maka adat malarai sering di rumah P3N (Pembantu Pegawai Pencatat Nikah), di setiap desa. Karena pernikahan berhubungan dengan hukum agama. Adat malarai terdiri dari dua kategori, yaitu adat malarai terang dan adat malarai raje.
I.Adat Malarai Raje.
Kata raje diartikan dalam bahasa Indonesia berarti raja. Raje atau raja dalam bahasa Melayu bukan hanya merujuk ke istilah raja yang memimpin sebuah kerajaan. Tapi kata raje atau raja bermakna juga dengan pemimpin. Tapi masuk dalam jalur tata pemerintahan. Misalnya Kepala Desa di sebut raje bermakna pemimpin desa.
Adat malarai raje adalah saat melaksanakan adat malarai pengantin wanita di titipkan di rumah pemerintahan setempat. Pengantin wanita belum boleh dijemput oleh pihak mempelai laki-laki sebelum ada keputusan musyawara antar keluarga. Keputusan musyawara misalnya pemberian syarat-syarat yang dipinta oleh keluarga mempelai wanita.
Seperti mahar, jojoh, dan perlengkapan adat istiadat. Kata mahar biasanya diganti dengan kata Mas Kawin. Jojoh adalah permintaan keluarga dan mempelai wanita berupa uang, emas, atau barang-barang. Sedangkan perlengkapan adat, seperti punjung, genti duduk, dan pelangkah. Punjung terdiri dua, punjung wali, dan punjung menta. Punjung wali terdiri dari masakan ayam yang tidak potong-potong (utuh).
Punjung mentah adalah ayam hidup yang dilengkapi perlengkapan masak, seperti bumbu. Punjung wali diberikan saat acara akad nikah. Sedangkan punjung mentah diberikan saat mengantar jojoh, mahar, dan pelangkah. Pelangkah diberikan seandainya si mempelai wanita mendahului kakaknya (laki-laki atau perempuan).
II.Adat Malarai Terang.
Malarai Terang adalah pembedaan saja dari adat malarai raje. Kata Terang bermakna jelas, memberitahu, tidak sembunyi-sembunyi. Adat malarai terang dalam pelaksanaannya tidak menitipkan mempelai wanita di tempat pemerintah setempat. Setelah mereka melapor dan menyatakan ingin menika, malarai.
Kemudian adminitrasi mereka diterima pemerintahan setempat. Mereka dinyatakan menjadi sepasang pengantin. Maka mempelai wanita kembali pulang kerumah orang tuanya. Baru kemudian keluarga keduabelah pihak bermusyawarah untuk melangsungkan pernikahan. Akad nikah dilakukan di rumah mempelai wanita.
Adat malarai terang hanya bentuk pengikatan agar pernikahan terjadi walaupun dalan keadaan sesederhana apapun. Malarai terang hampir sama dengan proses lamaran. Hanya saja melibatkan pemerintah setempat terlebih dahulu. Karena kedua pengantin khawatir keinginan mereka menikah dipersulit keluarga mereka.
Kebaikan adat malarai terang adalah tidak terburu-buru dalam proses pemenuhan syarat pernikahan. Kedua belah pihak akan merasa aman dan tidak merasa malu karena mempelai wanita di rumah orang tuanya. Sedangkan kerugian adat malarai raje adalah terburu-burunya dalam pemenuhan syarat-syarat yang dipinta keluarga mempelai wanita.
Sering syarat diadakan hanya separu dari yang diminta. Saat pengantin atau anak mereka masih di rumah pemerintahan setempat. Orang tua mempelai laki-laki akan panik mencari uang untuk syarat. Sehingga sering menjual cepat apa saja yang mereka miliki. Begitupun dengan keluarga mempelai wanita selain malu juga khawatir anak perempuan mereka di rumah orang (pemerintah setempat).
Adat malarai sesungguhnya hanya untuk penegasan dan pengikatan untuk menuju pernikahan. Namun dalam konsekkuensinya setelah melaksanakan adat malarai. Apabila tidak dinikahkan atau pernikahan mereka batal. Sehingga si gadis akan rusak nama baiknya di mata masyarakat.
Masyarakat dan para pemuda akan mensejajarkan si gadis dengan janda. Si gadis akan malu dan merasa rendah diri. Bahkan kadang si gadis tidak ada lagi pemuda atau bujang yang mau mendekatinya. Anggapan tidak suci atau bekas orang akan dicap pada si gadis yang batal menikah setelah melaksanakan adat malarai.
Dengan demikian, mau tidak mau, setelah melaksanakan adat malarai keluarga perempuan cenderung mengalah. Karena yang penting adalah anak mereka jadi menikah dengan pengantin laki-laki. Hal yang diharapkan dari kedua mempelai keluarga mereka tidak mempersulit jalan pernikahan mereka.
Oleh. Joni Apero
Editor. Desti. S. Sos.
Palembang, 2 Agustus 2019.
Sumber wawancara dengan tetua desa, di Kecamatan Sungai Keruh, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Sumber foto. Apero Fublic. Lokasi Dusun Lama Desa Gajah Mati. Rumah panggung tipe malamban.
Adat Peraturan dan Istilah Tujuh Keturunan
Tulisan ini disandarkan dengan tata cara panggilan dari daerah Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Mengikut sistem budaya setempat terutama di Kecamatan Sungai Keruh. Metode pengumpulan data adalah dengan wawancara, observasi sosial. Istilah-istilah juga sudah di Indonesiakan.
I. Adat Peraturan Umum.
Di maksud dengan adat peraturan umum adalah untuk adat peraturan memanggil atau menyapa orang yang tidak lagi terkait dengan istilah kekeluargaan lagi. Adat peraturan umum berlaku untuk semua masyarakat. Adat peraturan ini di ukur dengan umur. Batasan umur diambil dari ukuran umur dirinya (individu) dan umur orang tua.
Seperti, misalnya si A dalam pergaulan sehari-hari ditengah masyarakat. Si A berumur 25 tahun, dia bertemu seseorang di jalan. Misalnya orang yang dia temui lebih mudah darinya. Maka dia memanggil dengan adik. Seandainya jauh lebih mudah lagi dia akan memanggil dengan keponakan. Kalau orang yang dia temui itu berumur sedikit lebih tua darinya. Maka dia akan memanggil kakak.
Atau orang itu lebih tuah darinya dan lebih muda dari kedua orang tuanya. Maka dia memanggil dengan Paman atau Bibik. Kalau orang tersebut lebih tua dari kedua orang tuanya tapi lebih mudah dari kakek dan neneknya. Maka dia memanggil dengan panggilan Uwa. Kalau orang yang dia temui seumuran dengan kakek dan Neneknya dia juga memanggil dengan panggilan kakek atau nenek.
Adat peraturan umum ini juga disandarkan dengan status pernikahan. Misalnya orang tersebut belum menikah walau umurnya jauh lebih tua. Tapi tetap di panggil dengan kakak atau paman. Sebab orang yang belum menikah sepenuhnya belum dianggap dewasa oleh masyarakat. Adat peraturan umum dipergunakan untuk bermasyarakat secara luas.
II. Adat Peraturan Menurut Silsilah.
Di namakan adat peraturan silsilah karena saat orang tua mengajarkan anak atau cucunya memanggil keluarga atau sanak keluarganya sambil menjelaskan dari mana alasan dia memanggil seseorang. Misalnya seseorang itu dia panggil paman. Padahal orang itu bukan saudara kandung ibu atau ayahnya.
Maka dijelaskan kaitan silsilah orang tersebut. Misalnya, karena orang tersebut anak dari saudara kakeknya. Sehingga saat pemberitahuan itu seperti pengajaran silsilah keluarga. Adat peraturan menurut silsilah ini menggunakan dua kombinasi batasan.
Pertama, batasan umur dan kedua batasan keluarga yang di tuakan. Yang menggunakan batasa umur sama halnya seperti adat peraturan umum. Kakak dan Adik baik kandung atau sepupu dengan mengukur umur.
Kedua, adat peraturan menurut silsilah yang tidak mengukur umur. Di maksud tidak mengukur umur adalah saat seseorang berada di baris yang dituakan. Barisan yang dituakan seperti Kakek dan Nenek, Paman atau Bibik, Kakak dan Adik. Semisalnya si A punya adik perempuan menikah dengan seorang laki-laki yang umurnya lebih tua dari si A.
Maka suami adik si A memanggil si A dengan kakak Ipar. Semisalnya si A punya seorang paman atau bibi adik dari pihak ayahnya atau pihak ibu. Tapi umurnya lebih mudah dari si A. Si A tetap memanggil mereka dengan panggilan Paman atau Bibik. Begitupun dengan suami atau istri dari paman dan bibiknya.
Si A tetap memanggil dengan paman dan bibik juga. Seumpama lagi, misalnya ada orang lebih mudah dari kedua orang tuanya. Tapi dia adalah saudara kandung atau sepupu dari kekek atau neneknya. Maka si A tetap memanggil dia kakek atau nenek walaupun dia baru lahir kedunia (barisan keluarga yang dituakan).
Adat peraturan silsilah tidak hanya disandarkan pada silsilah keluarga saja. Tapi juga disandarkan pada kekerabatan, kekeluargaan, dan kedekatan. Misalnya seorang bertetangga: si A dan Si B bertetangga. Si A lebih tua dari si B. Maka si B memanggil si A dengan kakak.
Si A memanggil si B dengan Adik. Maka nantinya anak cucu si B akan mengikut peraturan tersebut. Anak si B akan memanggil si A dengan Uwa. Cucu si B memanggil si A dengan kakek, dan seterusnya. Begitupun sebaliknya dengan si A. Anak keturunan si A akan memanggil si B dengan paman. Cucu si A akan memanggil si B dengan panggilan Uwa, seterusnya.
Di zaman sekarang (2019) adat peraturan sudah mulai terkikis. Adat peraturan mulai silsilah mulai menyempit sebatas keluarga dekat saja. Adat peraturan juga tidak melihat dari jalur yang semestinya. Masyarakat cenderung bebas dan tidak lagi menggunakan adat peraturan. Hal yang memicu adalah karena sudah banyaknya penduduk. Silsilah tidak lagi terbaca.
Masyarakat kurang peduli dengan budaya, adat peraturan. Begitupun dengan generasi muda tidak mengenal lagi karena tidak ada pembelajaran dari orang tua. Kalau di kota bahkan lebih kacau lagi. Saya sering dipanggil nenek-nenek seumuran nenek saya saat belanja dengan panggilan Om. Atau ibu-ibu seumuran dengan ibu saya dengan panggilan Om. Geli rasanya dengan panggilan tersebut. Padahal aku seumuran dengan cucu dan anak-anaknya.
III. Panggilan Dalam Tujuh Keturunan
Susunan panggilan inilah yang sering di sebut dengan tujuh keturunan. Untuk susunan teratas adalah moneng-moneng. Moneng-moneng juga terletak di bawa cicit. Setelah cicit akan kembali menjadi moneng-moneng. Karena akan memulai tujuh keturunan baru. Maka kembali ke satu lagi. Berikut susunan tujuh keturunan.
1. Moneng-moneng.
2. Puyang.3. Kakek.
4. Ayah dan Ibu.
5. Anak.
6. Cucu.
7. Piyot (cicit).
1. Moneng-moneng.
IV. Pengertian Istilah Panggilan.
1. Moneng-Moneng adalah panggilan untuk puyang (kakek buyut) dari orang tua kita atau orang yang disejajarkan dengannya. Kemudian moneng-moneng juga diistilahkan untuk penyebutan anak dari cicit kita. Panggilan moneng-moneng memiliki dua fungsi teratas dan paling bawah dari hitungan tujuh keturunan.
2. Puyang adalah panggilan untuk kakek dari orang tua kita atau orang yang sejajar dengannya. 3. Kakek dan Nenek adalah panggilan untuk orang tua dari ibu bapak kita. Atau yang sejajar dengan kedudukannya. 4. Ayah dan Ibu panggilan untuk orang tua kita. 5. Uwa panggilan untuk orang yang lebih tua dari kedua orang tua kita tapi lebih muda dari kakek atau nenek kita.
6. Paman atau Bibik panggilan untuk orang yang lebih tua dari kita tapi lebih mudah dari kedua orang tua kita. 7. Kakak panggilan pada orang yang lebih tua dari kita. Pada masyarakat Melayu Sekayu panggilan kakak biasanya untuk panggilan kakak ipar laki-laki. 8. Adik panggilan untuk orang yang lebih muda dari kita. 9. Keponakan panggilan untuk anak dari saudara kita atau orang yang sejajar dengan generasinya.
10. Ayuk panggilan untuk kakak perempuan. Pada masyarakat Melayu Sekayu biasanya digunakan untuk panggilan kakak ipar wanita. 11. Cucu anak dari anak kita. 12. Cicit anak dari cucu kita. 13. Moneng-moneng anak dari cicit kita.
Oleh. Joni Apero.
Editor. Selita. S. Pd.
Palembang, 2 Agustus 2019.
Sember foto. Apero Fublic. Foto rumah panggung tipe basepat atau dikenal dengan sebutan rumah limas. Terletak di Desa Gajah Mati, Kecamatan Sungai Keruh Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Sember data: wawancara dengan warga masyarakat.