*****
Tersebutlah
sebuah Talang orang Melayu yang damai. Talang kecil berhuni tujuh puluh rumah.
Talang tersebut bernama Talang Meranti. Penduduk menamakan Talang Meranti, karena
saat membuka Talang dahulunya banyak terdapat pohon meranti. Terletak tidak
jauh dari aliran Sungai Keruh.
Disuatu sore yang cerah,
seorang pemuda berumur dua puluh lima tahun, sedang membelah kayu bakar di
belakang rumahnya. Beberapa orang adiknya bermain di pekarangan rumah. Ibu dan
adik perawannya sibuk memasak di dapur. Sedangkan sang ayah sedang sibuk
mengolah bambu untuk dijadikan bubu, di serambi dapur. Seekor elang terbang
berputar-putar di angkasa. Dan ayam jantan berkokok bersahut-sahutan. Angin
berhembus menggoyangkan dedaunan kelapa yang tumbuh subur di samping rumah.
Seekor tupai berlompatan di dahan-dahan pohon duku, dan pepohonan buah lainnya.
“Crakkk. Caraakk.”
Suara kayu bakar terbelah.
Suara kapak beradu
memecah kayu bakar. Keringat membasahi tubuh, menetes dikeningnya. Telah banyak
mendapat kayu bakar. Menjelang sore dia istirahat melepas lelah. Di jalanan
Talang ramai orang pulang dari ladang, dan perempuan pulang pergi mandi di
sungai.
Malampun mulai
merayap, suasana gelap gulita di Talang Meranti. Hanya lampu-lampu lentera yang
menerangi. Jauh di dalam hutan terdengar suara harimau mengaum. Setelah makan
malam, keluarga si pemuda bercengkrama berkumpul di ruang tengah rumah panggung
basepat.
Lama percakapan, dan
senda gurau diantara adik dan kakak. Sang ayah menikmati minuman madu hangat,
dan ubi rebus. Di sela-sela percakapan itu, si anak mudah itu berkata pada
ayahnya.
“Bak, aku hendak
pergi berpetualang barang beberapa waktu. Tak pantas anak jantan hanya berlaku
macam anak perawan, di rumah saja. Aku hendak menjelajah wilayah Pedatuan kita
ini. Seberapa luas dan seberapa banyak penduduknya. Aku hendak mencari
pengalaman baru walau hanya menjelajah daerah sendiri. Sebagai anak muda tidak
pernah berbuat sesuatu yang berkesan. Hanya bekerja di ladang dan mengambil
kayu bakar. Hidup hanya sekali, masa muda tidak akan berulang. Aku ingin
menguji kemampuanku, keberanian, dan ketangguhan ilmu silatku. Aku meminta
izin, Umak, dan Bak.” Kata si pemuda.
“Anakku, Aku orang
tuamu tidak keberatan dengan keinginanmu. Hanya saja apakah tekadmu sudah
bulat, dan kau merasa sanggup, siap menanggung semua akibatnya. Karena kau akan
menghadapi banyak tantangan. Bertemu dengan orang jahat, binatang buas,
siluman, kelaparan dijalan, atau tersesat. Lagi pula apakah ada manfaatnya
rencana petualanganmu itu. Memang seorang pemuda harus berpetualang agar
membuka mata hati dan menambah pengetahuan hidup.” Kata ayahnya.
“Bak, aku berharap apabila aku sudah ditempa
oleh pengalaman dan pengetahuan kelak apabila ada pemilihan Datu, Aku dapat
mengikuti. Bukan hanya mengadalkan ilmu bela diri tetapi pengetahuan luas juga.”
Katanya. Lalu matanya memandang ibunya dan berkata. “Bagaimana menurut umak?.” Tanyanya.
“Kalau seorang ibu
tidak akan relah anaknya pergi jauh darinya. Khawatir sesuatu hal buruk
menimpa. Tetapi apabila itu sudah menjadi keputusanmu, dan tekadmu. Ragata
anakku, Aku mengizinkan kepergianmu. Umak mengerti seorang pemuda mempunyai
jiwa berpetualang. Anak laki-laki tak dapat dikurung. Kapan engkau hendak
berangkat, nak?.” Kata ibunya.
“Lusa pagi Mak, besok
aku hendak bersiap dan berpamitan dengan keluarga, dan melapor ke datu.” Jelas
Ragata.
Setelah berpamitan
dengan keluarga besarnya dan melapor ke datu, Ragata pergi memulai
petualangannya menjelajahi Pedatuan Bukit Pandape. Membawa buntalan pakaian,
panah, pibang kidau dan pibang kanan. Pibang adalah senjata adat di Pedatuan
Dataran Negeri Bukit Pendape. Pibang bukan hanya menjadi senjata yang di bawa
kemana-mana, tetapi juga menjadi syarat dalam adat pernikahan. Yaitu adat
genti duduk namanya. Genti duduk bermakna sebagai pengganti
keberadaan si anak perempuan yang sudah menikah.
Ragata memulai
petualangannya dengan berakit kehilir Sungai Keruh. Menuju muara di Sungai
Musi. Sampai di muara, Ragata mengayuh ke hulu dengan perlahan. Satang dia
dorong perlahan dan mengamati sepanjang tebing sungai. Banyak hewan liar yang
dia temui, buaya, ular besar, ikan besar, bermacam burung. Semunya dia amati
dengan seksama. Pohon rengas besar dan tinggi tumbuh subur di tebing Sungai
Musi. Banyak lebah bersarang, burung elang dan buahnya sering jatuh kedalam
sungai.
Menurut Ragata,
seandainya disetiap tebing sungai terdapat banyak pohon rengas yang tumbuh maka
tebing sungai akan kuat dan terhindar dari longsor. Banyak ikan bersarang pada
akarnya yang bergambut dan hewan-hewan lain bersarang di dahannya. Setelah puas
berakit beberapa hari menyusuri Sungai Musi. Sekarang Ragata naik ke darat. Dia
melihat arah matahari, dan memastikan arah yang dia ambil nanti tepat menuju Bukit
Pendape. Dia ingin mengelilingi Pedatuan Pendape.
Menembus hutan,
menyeberangi rawa-rawa, dan sungai-sungai. Kadang dia melewati ladang dan talang-talang.
Di mampir dan bertanya arah penduduk yang baik menawarkan makan dan minum.
Suatu hari dia dihadang beberapa pemuda.
“Hai kau, mengapa
lewat di sini.?” Bentak seorang pemuda.
“Aku hanya numpang
lewat, kawan tidak ada maksud lain.” Jawab ragata rama. Tapi pemuda-pemuda
seumuran dengannya itu tidak mau memberi jalan. Lalu mereka bertarung dan
mengeluarkan kemampuan silat masing-masing. Ragata mampu mengalahkan mereka,
dan dia segerah pergi. Dia pun selalu melapor ke Datu talang yang dia lalui.
“Auuummmm.” Seekor
harimau jantan menerkam Ragata, untung dia dapat mengelak dan pertarungan
terjadi. Ragata mencabut pibang kiri dan kanan. Beberapa saat kemudian dia
dapat mengalahkan harimau itu. Teringat perkataan ayahnya, kalau berpetualang
itu banyak tantangannya.
*****
Seorang kakek-kakek
tua yang sudah bongkok, rambut putih dan janggut pun sudah putih. Dia sibuk
membakar ayam hutan di sisi jalan setapak. Keringat mengucur karena panas bara
api. Ada bumbung bambu wadah air yang dia panaskan diatas api. Tidak jauh dari
situ, mengalir sungai Rawas.
“Kakek, boleh
bertanya kiranya.” Kata Ragata. Si kakek tersenyum, dia tidak langsung
menjawab. Kemudian berdiri dan menghadap Ragata. Tercium oleh ragata harumnya
ayam panggang. Perutnya yang lapar dan haus membuat air liurnya menetes.
“Bujang, baiknya
duduk dahulu, sepertinya kau datang dari jauh.” Kata si Kakek dan mengajak
Ragata duduk pada potongan kayu besar tidak jauh dari api. Karena lelah
akhirnya Ragata setuju dan kakek membagi dua ayam bakar lalu diberikan pada
Ragata. Keduanya berbincang dan banyak yang ragata tanyakan.
“Bujang mau ke mana,
apa tujuanmu?. Tanya si Kakek. Ragata berkata kalau dia ingin menjelajahi
Pedatuan Bukit Pendape, mencari pengalaman. Sekarang dia ingin menuju Bukit
Pendape. Kakek itu manggut-manggut dan banyak memberi nasihat. Beberapa saat
kemudian Ragata mengantuk dan dia tertidur. Dalam tidurnya dia bermimpi kakek
itu memberinya sesuatu.
“Bujang, ini tulang
bertua namanya, dibalut kulit harimau, diikat abuk sakti. Orang memilikinya
dapat melihat dan mendengar mahluk halus.” Kata si kakek, lalu dia pergi entah
kemana. Ragata terbangun, dia melihat benda itu ada di tangannya. Api sudah
padam, tampak bumbung bambu berisi air minum sudah terletak didekatnya. Kakek
itu sudah tidak ada lagi, sunyi dan sepi sekeliling.
*****
Dua bulan telah
berlalu. Ragata sangat kelelahan karena mendaki dan menuruni Bukit Pendape.
Sebentar lagi hari akan gelap. Menurut keterangan dari warga Talang Kulim,
dalam satu setengah hari perjalanan dia baru tiba di talang warga lagi, Talang
Rengas.Itu berarti dia terpaksa bermalam di tengah hutan.
Ragata memutuskan bersiap
bermalam, dia mengumpulkan ranting kering dan mencari tempat baik menurutnya.
Dia beristirahat dibawa pohon marabungan. Pohon itu, rindang dan banyak
dahan-dahan yang dapat dia jadikan tempat tidur. Di atas pohon akan aman dari
harimau dan ular. Dia membuat api dan membakar ubi bano yang dia temukan
disekitar itu. Setelah minum, dan perutnya kenyang dia naik ke pohon
marabungan. Badannya dia ikat dengan akar pohon yang dia siapkan. Agar saat
tidur dia tidak jatuh.
“Apinya sudah padam,
kita bisa berbincang-bincang lagi.” Bunyi suara orang berbincang-bincang.
Mendengar itu, mata ragata terbuka lebar melihat ke sekeliling. Ragata gemetar,
berusaha melawan rasa takut.
“Dia tidur di rumah
kita. Terpaksa kita mencari tempat lain untuk tidur malam ini.” Kata suara
satunya lagi. Ragata berpikir pastilah yang berbincang-bincang itu suban hutan
itu. Dia memegang benda pemberian kakek beberapa bulan lalu dan teringat kalau
dia akan dapat melihat suban dan mendengar suara mereka. Ragata tidak takut
lagi, sebab suban hanyalah mahluk halur yang berupa bayang-bayang saja.
“Grrusuk. Grusak.
Grusaak.” Terdengar suara seakan-akan orang berjalan disemak-semak.
“Hei, istri Datu
Talang Rengas baru saja melahirkan dua hari yang lalu. Anaknya kembar semua laki-laki.
Anak belum diberi nama.” Kata suara ketiga.
“Yah, di sebelah hulu
Talang Rengas ada juga wanita melahirkan. Anaknya juga laki-laki, belum diberi
nama.” Kata suara pertama tadi.
“Ayo kita kasih nama
anak-anak itu.” Kata suara kedua tadi.
“Anak Datu Talang
Rengas yang kembar akan aku namakan mangsa buaya.” Kata suara ketiga.
“Kalau anak perempuan
di hulu Talang Rengas aku namaka, Datu Kemenangan.” Kata suara pertama.
“Kalau anak Datu
Talang Rengas yang satunya aku namakan, Makan Buaya.” Kata suara kedua.
“Ayo kita pergi,
sebelum terlambat. Nanti sudah diberi nama oleh orang tuanya.” Kata suara
ketiga, kembali terdengar orang berjalan diantara semak-semak. Ragata mendengar
dengan jelas semua itu. Beberapa saat dia pun tertidur dan bangun saat matahari
menyinari tubuhnya.
*****
Talang Rengas tampak
damai dan tenang, ibu-ibu menumbuk padi, orang tua mengayam keranjang dan bubu
di serambi rumah. Anak bermain-main dilapangan berumput, banyak juga yang
pulang dari ladang dan menggendong kayu bakar.
“Mamak, dimana rumah
datu?.” Tanya seorang pemuda pengembara.
“Rumah datu tidak
jauh dari sini, lurus. Apabila menemukan rumah besar dan halaman luas, itulah
rumahnya.” Jawab laki-laki itu sambil menunjuk ara. Ragata mengucap terimakasih
dan pergi. Dia tersenyum ramah saat berpapasan dengan penduduk. Sepertinya
seorang pengembara kata hatinya. Dia melihat beberapa saat Ragata yang berlalu
meninggalkan. Kemudian dia meneruskan membuat pagar halamannya.
Ragata masuk halaman
rumah, dia menemui seorang laki-laki berumur empat puluhan tahun yang sedang
mengayam bubu. Di sisi rumah seorang ibu-ibu tua sedang menjemur padi. Di dalam
rumah terdengar tangisan dua bayi.
“Apakah anda Datu
Talang Rengas.” Tanya Ragata sesampai di depan rumah. “Benar. Bujang sendiri
siapa, dari mana dan hendak ke mana.” Jawabnya, dia bangkit dan menemui Ragata.
“Aku Ragata, dari
Talang Meranti paman Datu.” Jawab Ragata. Datu menawarkan untuk mampir. Ragata
menolak dengan halus, karena dia akan kembali menemui sebuah keluarga di hulu
talang. Ragata menceritakan peristiwa di hutan semalam. Tiga siluman
berbincang-bincang tentang penamaan anak datu yang baru dilahirkan dan belum
diberi nama. Datu terkejut, dia mengakui sampai hari itu belum dapat nama untuk
kedua anaknya.
“Baiklah paman datu,
saya mohon diri.” Kata Ragata. Dia pergi ke arah hulu talang. Beberapa kali dia
bertanya pada beberapa warga yang dia jumpai. Dimana rumah orang yang baru
melahirkan anak. Ragata menemukan sebuah rumah yang sederhana. Beratap daun
rumbia, dan berdinding bambu. Terdengar suara bayi menangis.
“Bujang, ada apa
kiranya kau mampir ke rumah kami yang buruk ini?.”
“Koyong, boleh saya
bicara sebentar.” Ujar Ragata. Laki-laki itu mengangguk. Kemudian ragata
menceritakan kejadian di hutan semalam. Dia menyampaikan kalau suban menakan
anaknya, Datu Kemenangan. Dia bilang hanya mau menyampaikan berita gembira itu
saja. Mendengar itu, lelaki itu menjadi tertarik. Dia meminta agar ragata
mampir sebentar. Ragata tidak menolak dan masuklah kedalam rumah.
“Ayo cicipi nira
panas, ubi rebusnya.” Ragata dihidangkan minuman dan makan. Mereka berbincang
ringan dan saling memperkenalkan diri. Nama orang itu, Batang Kilu.
“Benar, aku belum
memberi nama anak kami. Entah mengapa saya rasa namanya tidak ada yang cocok.”
Cerita Batang Kilu. Di rasa cukup, Ragata pamit untuk pulang. Dia sudah lelah
berpetualang berbulan-bulan.
“Pakailah rakit saya
di tepian.” Kata Batang Kilu. Betapa berterimakasih Ragata sebab dia tidak lagi
perlu membuat rakit. Batang Kilu diikuti istri yang menggendong anaknya
mengantar Ragata ke tepian mereka di Sungai Keruh.
“Dik, ini bekalmu
diperjalanan. Kau akan berakit selama seminggu baru tiba di Talang Meranti.”
Kata istri Batang Kilu seraya memberikan keranjang kecil berisi makanan. Sebuah
pancing juga diberikan Batang Kilu.
“Terimakasi Kopek,
Koyong maaf telah merepotkan. Kalau sedang ke hilir, mampirlah ke Talang
Meranti.” Kata Ragata. Dia mulai mengayunkan satang mendorong rakit menghilir
Sungai Keruh. Batang Kilu dan istrinya memperhatikan Ragata yang terus menjauh
di tengah sungai, kemudian menghilang dari pandangan di kelokan sungai.
“Dia bujang yang
hebat. Kita namakan anak kita Ragata, agar kelak dia mengenali kalau seandainya
anak kita memang menjadi seorang datu.
*****
Setelah cerita Ragata
itu, Datu Talang Rengas mengumumkan akan memburu semua buaya di Sungai Keruh.
Warga Talang Rengas semuanya membantu. Begitupun Depati Pedatuan dan datu-datu
talang lainnya membawa pasukan membantu memburu buaya-buaya di Sungai Keruh.
Mereka membuat jebakan di Sungai Keruh. Saat buaya melintas pasti tertangkap.
Mereka berburu sepanjang waktu, bertahun-tahun sehingga habislah seluruh buaya
Sungai Keruh. Sehingga sampai sekarang tidak ada lagi buaya di Sungai Keruh.
Tapi, ada seekor
buaya besar yang sulit sekali ditangkap. Buaya ini gesit dan sangat lincah,
tidak mudaah terkecoh jebakan. Datu Talang Rengas tidak putus asa. Dia membuat
pagar dengan bambu-bambu panjang melintasi badan sungai. Di tengah dibuat muara
dengan pintu di buat menggantung di atas. Tali penggagung cukup sekali potong
maka pagar sungai akan tertutup rapat. Sehari, sebulan, dua bulan, dan bulan
yang ketiga, si buaya yang cerdik itu juga terkecoh, lalu terkurung dalam
jebakan.
Musim kemarau tiba,
air sungai surut sekali. Sehingga buaya yang terkurung dapat ditangkap Datu
Talang Rengas. Buaya ditombak beberapa kali sehingga tewas. Badan buaya dibawa
ke halaman rumah datu yang luas. Datu begitu gembira, dia yakin sekarang kalau
dia telah menghilangkan ancaman pada dua anak laki-lakinya. Penamaan suban pada
anaknya dengan nama “mangsa buaya” tidak akan terjadi. Diadakan perjamuan makan
untuk semua warga dan mengundang para datu talang lain juga depati. Banyak sapi
dan kambing yang di potong dan makanan yang di siapkan.
Anak datu yang kembar
bermain-main di dekat buaya yang sudah mati itu. Kemudian keduanya bermain
didekat bangkai buaya. Tanpa sengaja kaki mereka tersandung dan terjatuh. Kaki
dan tangan keduanya tergores oleh kuku buaya. Tampak luka kecil dan berdarah,
membuat keduanya menangis.
Hari demi hari
berlalu. Luka goresan terus membengkak dan bernanah. Semua obat telah dicoba
oleh Datu Talang Rengas dan keluarganya. Ternyata luka itu telah melebar. Akhirnya
ke dua anak kembar sang datu meninggal dunia.
*****
Dua puluh lima tahun
kemudian anak yang dinamakan Datu Kemenangan oleh suban nama, benar-benar
menjadi datu di Talang Rengas. Dia menggantikan datu pemburu buaya yang sudah
tua. Dia tidak ada pewaris karena dua anaknya meninggal karena terluka goresan
kuku buaya.
Kisah bermulah saat
Pedatuan Bukit Pendape di serang perompak. Serangan pasukan perompak yang
banyak dan tiba-tiba. Membuat Depati Depati terpaksa mundur dan menyusun
kekuatan di Talang Rengas. Kemudian diadakan pemilihan hulubalang-hulubalang
untuk memimpin perang. Datu Kemenangan terpilih menjadi seorang hulubalang.
Saat Datu Talang
Rengas meninggal dunia. Dia tidak ada pewarisnya, maka diadakan pemilihan Datu
baru oleh warga talang. Hulubalang Datu Kemenangan ikut pemilihan. Karena
memang dia orang yang baik dan hebat maka rakyat memilihnya. Depati
menobatkannya menjadi Datu Talang Rengas dan digelari Puyang Ragata Datu
Kemenangan.
*****
Pedatuan Bukit
Pendape diserang suku liar dari hutan. Yang dikenal dengan suku Kubu. Karena
dianggap memiliki kemampuan perang Depati menunjuk Datu Kemenangan menjadi
Panglima Perang. Peperangan terjadi selama satu bulan, dan mereka berhasil
memenangkan perang. Setelah perang usai seorang datu tua menghampiri Datu
Kemenangan.
“Apakah kau anak
Paman Batang Kilu.” Tanya seorang Datu tua dari Talang Meranti.
“Benar paman, tapi
ayah saya telah meninggal dunia.” Jawab Datu Kemenangan.
“Siapa nama paman
datu.” Tanya Datu Kemenangan.
“Ragata.” Jawab Datu
tua itu. Ragata menjadi datu Talang Meranti, sebab datu dan pewarisnya
sebelumnya mati sewaktu perang melawan perompak. Mendengar itu, Datu Kemenangan
terkejut dan berbahagia. Dia sekarang berjumpa dengan orang yang diceritakan
oleh ayahnya dua puluh lima tahun lalu. Ragata mengetahui karena namanya dan
nama Datu Kemenangan membuat dia ingat masa mudanya dulu.
Editor. Desti. S. Sos.
Palembang, 23 Juli 2018.
Pengertian kata: 1. Bumbung: potongan ruas bambu. 2. Bak: Ayah. 3. Umak: Ibu. 4. Talang: Kampung. Nama suatu pemukiman penduduk dimana penduduknya masih sedikit. 5. Datu: kepala desa. Pemimpin. 6. Suban: Siluman. 7. Pibang: nama senjata tradisional masyarakat Kecamatan Sungai Keruh.
8. Dataran Negeri Bukit Pendape adalah nama wilayah Marga Sungai Keruh dahulunya. Datarannya terbentang luas dari perbukitan Bukit Pendape sampai ke Tebing Sungai Musi, di Kabupaten Musi Banyuasin. 9. Bujang: anak muda, perjaka. Lelaki yang belum pernah menikah.
10. Pedatuan adalah suatu kawasan wilayah, terdiri dari daerah datu (Talang) yang bersatu membentuk pemerintahan di bawa otoritas Kedatuan Sriwijaya. Sama dengan kecamatan atau kabupaten zaman sekarang. 11. Depati. Gelar pemimpin Pedatuan.
Kirim saja ke Apero Fublic. Dengan syarat karya kirimannya hasil tulisan sendiri, dan belum di publikasi di media lain. Seandainya sudah dipublikasikan diharapkan menyebut sumber. Jangan khawatir hak cipta akan ditulis sesuai nama pengirim.
Sertakan nama lengkap, tempat menulis, tanggal dan waktu penulisan, alamat penulis. Jumlah karya tulis tidak terbatas, bebas. Kirimkan lewat email: fublicapero@gmail.com atau duniasastra@gmail.com. idline: Apero Fublic. Messenger. Apero fublic. Karya kiriman tanggung jawab sepenuhnya dari pengirim.
0 komentar:
Post a Comment