2/13/2020

Sejarah Kepuyangan dan Pemerintahan Marga di Provinsi Sumatera Selatan

Apero Fublic.- Provinsi Sumatera Selatan, suatu kawasan masyarakat Melayu yang sangat fenomenal. Sejarah masyarakat yang berantai tersambung. Kehidupan manusia di Provinsi Sumatera Selatan sudah terlacak dari kehidupan manusia gua. Sebagaiamana ditemukan oleh pihak Balai Arkeologi Sumatera Selatan.

Begitupun kehidupan masa zaman megalitikum, masuknya pengaruh agama Hindhu dan Budha. Sampai kemudian terbentuknya Kedatuan Sriwijaya atau Kerajaan Sriwijaya yang menganut agama Budha. Menurut penelitian J.W. Van Royen dalam buku De Palembangsche Marga (1927). Mengungkapkan bahwa penduduk di pedalaman (uluan) Sumatera Selatan.

Bermula atau bersumber dari tiga pusat pegunungan. Yaitu disekitar Danau Ranau, dari Dataran Tinggi Pasemah dan daerah Rejang. Tiga pegunungan tersebut kita kenal sekarang, yaitu Pegunungan Seminung, Gunung Dempo dan Gunung Kaba. Bukti kehidupan kuno adalah tersebar dan terdapat tinggalan arkeologi berupa, batu berukir, menhir, lesung batu, kubur batu dan sebagainya.

Dari Pegunungan Suminung atau Danau Ranau, Jelma Daya, masyakat Melayu kala itu turun menyusuri sungai komering sampai Gunung Batu. Sedangkan orang Melayu dari Gunung Dempo dan sekitarnya, orang-orang Pasemah (serawai) mereka menyebar menempati pinggiran Sungai Lematang, Sungai Enim, Kikim, Lingsing. Ada juga yang mendiami pinggiran Sungai Musi bagian tengah, dan Sungai Ogan.

Sedangkan orang Melayu yang mendiami di sekitar Gunung Kaba, masyarakat menyebar menyusuri Sungai Musi ke bagian hulu dan masuk ke Sungai Rawas. Kemudian ada juga yang masuk wilayah Sungai Lematang bagian hilir. Mereka melalui Sungai Keruh di Kabupaten Musi Banyuasin Sekarang. Lalu masuk ke daerah Panukal di Kabupaten PALI sekarang.

Penyebaran dari tiga kelompok orang Melayu inilah yang menjadi sumber-sumber kepuyangan masyarakat di Sumatera Selatan. Anak cucu mereka kemudian terus menyebar dan berkembang sepanjang waktu. Setelah mereka membangun pemukiman. Mereka menamakan tempat tinggal mereka mengikut nama sungai atau nama tempat mereka.

Sehingga anak cucu mereka kemudian dikenal dengan identitas wilayah, misal suku komering, suku Musi, suku Rawas dan laiinya. Sesungguhnya masyarakat Sumatera Selatan hanya satu suku bangsa, Yaitu Melayu. Sedangkan nama-nama identitas sekarang hanyalah nama tempat secara tradisional.

Apabila ditinjau dari sisi kebudayaan. Kebudayaan masyarakat Sumatera Selatan sama, dari sistem sosial, dari adat-istiadat, sistem bangunan tempat tinggal rumah panggung, dan tentunya bahasa. Bahasa-bahasa daerah di Sumatera Selatan sama, hanya sedikit-sedikit berbeda. Misal dari kosa kata atau dialeq.

Masyarakat Melayu Sumatera Selatan yang sudah menyebar tersebut. Kemudian melahirkan sub-sub kepuyangan baru mengikut kekerabatan mereka atau geneologis. Talang lama kemudian membesar dan lapangan perekonomian hutan menyempit. Kemudian anak cucu mereka mereka membangun talang-talang baru.

Maka terciptalah suatu kawasan cukup luas yang terdiri dari beberapa Talang. Mislanya sepuluh Talang atau lebih. Mereka semua masih masuk dalam kepuyangan atau satu keturunan. Dari sinilah kemudian terciptalah sistem pemerintahan marga. Kata Marga diserap dari kata dalam bahasa Sanskerta.[1]

Pemerintahan marga adalah bentuk pemerintahan asli masyarakat Melayu di Sumatera Selatan. Sistem pemerintahan Marga atau Margo di Sumatera Selatan diketahui oleh budayawan dan sejarawan di Sumatera Selatan melalui peninggalan Piagam-Piagam peninggalan Kesultanan Palembang (Ratu Sinuhun dan Sunan Candi Walang).

Kesultanan Palembang adalah kerajaan kota yang berkuasa di Palembang saja. Kemudian perlahan memperluas pengaruh ke pedalaman Sumatera Selatan. Penyebaran pengaruh penguasa di Palembang melalui musyawarah, angkat keluarga (angkan-dangkan).

Dari sini, muncul gelar pangeran-pangeran atau ratu yang diberikan Sultan. Konsesi ekonomi, dan pengukuhan kedudukan sebagai pemimpin Marga (Depati). Sedangkan pemimpin di Palembang mendapatkan pengakuan dan dukungan sebagai penguasa tertinggi. Bentuk saling tunjang dan saling ketergantungan.

Pemberian piagam-piagam oleh para penguasa di Palembang masa itu. Bukan piagam pembentukan Marga. Tapi bentuk pengakuan kedaulatan pemerintahan Marga dalam lingkup wilayah tertentu (raja kecil). Dengan demikian bentuk Pemerintahan Marga sudah ada sejak sebelum adanya kesultanan Palembang.

Seiring waktu ada juga marga-marga yang dibentuk semasa Kesultanan Palembang dan saat Penjajahan Belanda. Seperti Marga Singa Desa di Kabupaten Musi Banyuasin. Marga Singa Desa didirikan oleh Depati Samsudin atau Udin. Setelah melalui serangkaian perang-perang antar dusun atau talang disekitar Talang Rengas Gemuruh tempat kediaman beliau. Depati Udin dapat mempersatukan wilayah-wilayah didaerahnya.

Kemudian barulah mendirikan Marga Singa Desa. Untuk mengambil legalitas dan pengukuhan. Depati Udin pergi ke Palembang dan dikukuhkan sebagai Depati Marga Singa Desa oleh Sultan Mahmud Badaruddin I. Pada zaman kolonial Belanda mengetahui sejarah kepahlawanan Depati Udin yang hebat seperti seekor singa di tengah penduduk.

Belanda khawatir dengan cerita-cerita yang sudah melegenda tersebut. Untuk menghapus sejarah kepahlawanan Depati Samsudin yang melegenda. Agar tidak menjadi inspirasi penduduk untuk berperang dan memberontak. Maka nama Marga Singa Desa dirubah menjadi Marga Sanga Desa. Kata sanga diambil dari kata dalam bahasa Jawa, songo yang berarti sembilan (alasan Belanda).

362. Kemudian ada pula perubahan
Yang Terjadi jaman Belanda
Prabumuli masuk Lakitan
Jud dimasukkan ke Singa Desa

363.Dusun Penggage bertukar pula
Bertukar dengan dusun Sereka
Penggage masuk ke Singa Desa
Sereka masuk ke Punjung Marga.

364.Sehingga Marga SINGA DESA
Mempunyai sembilan buah desa
Sehingga nama Singa Desa
Beobah nama SANGA DESA.[2]

Pemimpin marga pada awalnya bergelar puyang atau depati. Gelar depati bukan hanya digunakan untuk pemimpin marga, tapi juga digunakan oleh pemimpin dusun atau Talang (Marseden, 1983). Selain depati pemimpin marga ada juga digelari Pasirah. Gelar pasirah sepertinya dikukuhkan Belanda.

Sifat kepemimpinan marga berbentuk monarki atau turun temurun seperti sistem pemerintahan kerajaan. Di zaman Penjajahan Belanda kepemimpinan Marga yang turun temurun diganti dengan sistem pemilihan langsung atau demokrasi. 

Oleh. Joni Apero
Editor. Desti. S.Sos.
Palembang, 13 Februari 2020.
Latar foto Gunung Dempo, Pagaralam.

Sumber:
M. Arlan Ismail. Marga di Bumi Sriwijaya. Palembang: Unanti Press, 2004.
Yusman Haris. Sanga Desa dari Dahulu Sampai Sekarang. Palembang, 2010.
Mohd. Oedji Anang. Sejarah Marga Sanga Desa. Bandung, 1985.
Edwin M. Loeb. Sumatera Sejarah dan Masyarakatnya. Yogyakarta: Ombak, 2013.
K.H.O. Gadjahnata dan Sri Edi Swasono. Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan. Jakarta: UI-Press, 1986.

[1]Edwin M. Loeb, Sumatera Sejarah dan Masyarakatnya, Yogyakarta: Ombak, 2013, h. 21.
[2]Yusman Haris, Sanga Desa dari Dahulu Sampai Sekarang, Palembang, 2010. Ttp.

Sy. Apero Fublic

0 komentar:

Post a Comment