Rumah-rumah mereka
berbentuk panggung. Berdinding kulit kayu, ada pula yang berdinding bambu. Atap
rumah terbuat dari daun rumbia, daun ilalalang. Ada juga yang terbuat dari
sirap bambu dan sirap kayu. Mereka hidup saling mencintai dan menyayangi satu
sama lain. Ikatan kekeluargaan masih sangat kuat. Pada Masa itu, di Pulau
Sumatera baru sekelompok kecil manusia tersebutlah yang ada di Pulau Sumatera.
Kelak mereka akan dikenal dengan Bangsa Melayu.
Pulau Sumatera juga
belum bernama. Penduduk masih menganggap hanyalah mereka yang ada di muka bumi
ini. Datarannya berupa hamparan tanah dataran, berbukitan, danau-danau kecil,
dan rawa-rawa. Air hujan hanya tertampung di paya-paya yang memanjang di
lembah-lembah bukit.
Belum ada
sungai-sungai besar atau kecil seperti sekarang. Masih banyak sekali bekas
kerangka hewan raksasa. Kelak kita kenal dengan nama dinosourus. Entah kapan
masanya, hewan-hewan raksasa itu baru saja mengalami kematian masal. Menurut
penelitian ilmuan masa moderen, dikenal dengan peristiwa hujan meteor.
Tapi masih ada beberapa hewan raksasa yang tersisa, masih hidup. Kelompok
tersisa sejenis hewan raksasa pemakan daging.
Talang Andalas
terletak di dataran subur. Dikelilingi paya-paya yang memanjang menjadi sumber
air untuk kebutuhan hidup dan pertanian. Penduduknya barulah sekitar seribu
orang saja. Mereka hidup bertani ladang berpindah disekitar Talang mereka.
Pemimpin tertinggi bergelar Puyang. Pemimpin perkampungan bergelar Datu.
Suatu hari,
sekelompok anak-anak sedang bermain kejar-kejaran dilapangan rumput. Cara
permainan, satu orang mengejar semuanya dan menyentuh tubuh salah satu dari
yang dikejar. Lalu yang tersentu juga harus mengejar yang lain. Begitu terus
menerus selama permainan. Waktu itu belum banyak bentuk permainan anak-anak.
Baru permainan sederhana begitulah yang ada. Seperti biasa Puyang Andalas
melakukan patroli rutin di sekitar Talang. Di ikuti oleh beberapa orang
pengawal.
*****
Siang itu Lewatlah
Puyang Andalas yang diiringi beberapa pengawalnya, yang berbadan tegap dan kuat
di sisi Padang rumput tempat anak-anak bermain. Melihat Puyang, puluhan
anak-anak berlari mendatanginya seraya memanggil.
Puyang Andalas
berhenti dan tersenyum ramah melihat anak-anak yang riang gembira
menghampirinya. Puyang melirik seorang anak yang tubuhnya lebih besar dan
tinggi. Tapi si anak seumuran dengan yang lainnya.
“Puyang Andalas.
Puyang Andalas.” Puluhan anak-anak berlari menghampiri kakek berumur enam
puluhan tahun itu. Para pengawal tidak mencegah, diam dan tetap berdiri
dibelakang Puyang Andalas. Puyang selalu baik dan memberikan contoh yang baik.
Dia tahu kelak anak-anak itulah yang akan meneruskan generasi mereka.
“Puyang, marilah
berandai-andai. Pinta anak-anak tersebut bersamaan. Maka sang Puyang tidak
dapat menolak. Kemudian dia mengarahkan anak-anak kebawa sebatang pohon
beringin di sisi padang rumput. Setelah duduk dan bersiap-siap memulai
mendongeng, Puyang Andalas mengatur duduk anak-anak agar teratur.
“Murada, Bumibu,
Lalalu, jangan duduk terlalu jauh nanti tidak terdengar suara Kakek. Duduk di
sebelah kanan Puyang, sini. Sasana, Tatani, ajak teman-teman perempuanmu duduk
berkumpul di sebelah kiri kakek. Ingat, laki-laki dan wanita harus menjaga
jarak. Tidak boleh bercampur baur. Karena ini adalah adat istiadat kita, orang
Melayu. Sebab kalian nanti menjadi besar dan meneruskan kehidupan, harus banyak
belajar. Laki-laki harus hormati wanita. wanita juga harus tahu diri dan banyak
malu.”
Semuanya mengiakan
dan duduk membentuk dua kelompok, laki-laki dan perempuan. Setelah itu, mulailah
Puyang Andalas berandai-andai atau mendongeng tetang cerita si Kancil Yang
Cerdik. Terkadang suaranya keras, meniru suara harimau, kadang juga dia
membelai janggutnya yang sudah memutih. Anak-anak begitu antusias dan menyimak
dengan seksama. Tidak akan ada satu katapun yang akan mereka lewatkan.
*****
Murada anak bungsu
Datu Kalintang, ibunya bernama Wanana. Datu Kalintang dijuluki Datu Batanghari
Sembilan. Karena dia memiliki sembilan anak laki-laki. Pada saat dia diangkat
menjadi Datu oleh Puyang Andalas. Puyang Andalas menjuluki Datu Kalintang
dengan Datu Batanghari Sembilan. Alasanya karena Datu Kalintang memiliki
sembilan anak laki-laki. Setelah lima tahun menjabat sebagai Datu istrinya
hamil kembali.
Kehamilan istri Dari
Batanghari Sembilan anak ke sepuluh agak aneh. Selain kandungan besar, juga
membuat istri Datu Batanghari Sembilan selalu ingin makan. Umur kandungan juga
lebih dari biasaya,satu setengah tahun lama mengandungnya. Biasanya normal
wanita hamil melahirkan, sembilan bulan lebih beberapa hari. Saat lahir dinamakan
Murada, sama seperti anak biasanya, dari fisik dan psikologisnya. Tidak ada
yang aneh dan istimewa apalagi berbeda. Harapan sebelumnya, Datu Batanghari
Sembilan dan Istrinya mendapat anak perempuan.
Tapi mereka tetap
bersyukur dan menyayangi walau anak kesepuluh tetap anak laki-laki. Diantara
nama anak-anak Datu Batanghari Sembilan. Yaitu, Anak pertama Maradu, kedua
Muntaka, ketiga Melana, keempat Miruba, kelima Manaro, keenam Milaku, ketujuh
Mankaka, kedelapan Misulatu, kesembilan Misulaka, dan kesepuluh Murada.
Kakak-kakak Murada semua sudah menikah.
Kakak-kakak Murada
semuanya memiliki perangai yang cepat marah atau cepat naik darah. Sedikit
tersinggung langsung tinju dan tendangan mereka layangkan. Pertengkaran itu
terkadang membuat luka-luka serius di tubuh mereka. Membuat Datu Batanghari
Sembilan murka dan marah-marah. Sesungguhnya perangai tidak sabaran, pemarah
dan kasar juga dimiliki oleh Datu Batanghari Sembilan. Tentu saja secara alamia
menurun juga pada anak-anaknya. Hanya Murada yang berperangai lembut dan santun
seperti perangai ibu mereka.
Perbedaan Murada
dengan manusia lainnya. Murada sangat banyak makan. Boleh dikatakan dia tidak
pernah kenyang. Ada saja dapat dimakan, dia makan. Sehingga dijuluki
teman-temannya si Pemakan. Apa yang dia makan terasa lezat dan enak dilidahnya.
Di umur lima tahunan saja ukuran makan sudah seperti orang dewasa. Tubuhnya
tumbuh cepat, sehat dan besar. Semua keluarganya bangga pada Murada. Datu
Batanghari Sembilan beranggapan Murada orang yang memiliki kelebihan khusus.
Tubuh Murada lebih tinggi dan lebih besar dari anak seumurannya.
*****
Setelah mendengar
dongeng tentang si Kancil Yang Cerdik. Murada dan teman-temannya pulang dengan
riang. Murada akan menceritakan pada ibunya tentang dongeng itu, pikirnya.
Sasana, sebelum pulang dia berpamitan dengan Murada. "Murada aku pulang
dulu ya." Ternyata Sasana diam-diam telah menyukai Murada. Tapi mereka
masih anak-anak belum mengerti tentang cinta. Tidak boleh juga berpacaran.
Sesampai di halaman
rumahnya Murada mendapati keadaan kacau balau. Dua orang kakaknya sedang
berkelahi hebat. Entah apa yang terjadi dan apa penyebabnya, sehingga membuat
mereka bertengkar hebat. Tapi untung dilerai oleh tetangga dan ibu Murada.
Baru saja usai
suasana agak tenang sedikit. Kembali kedua kakaknya yang lain bertengkar hebat.
Memang rumah mereka berdekatan satu sama lain. Lima rumah disebelah kiri. Empat
rumah di seblah kanan rumah Datu Batanghari Sembilan. Entahlah, yang pasti
kakak-kakak Murada selalu bertengkar satu sama lain. Tersinggung sedikit
langsung berkelahi. Membuat ayah Murada, Datu Batanghari Sembilan sangat gusar.
Bagaimana tidak, sembilan dari sepuluh anak laki-lakinya selalu berkelahi dan
bertengkar hebat hanya karena hal-hal sepeleh. Setiap hari, kalau tidak siang,
maka malamnya ada yang bertengkar hebat.
Hanya Murada yang
tidak pernah bertengkar dengan saudara-saudaranya. Mungkin karena masih kecil
saja, menurut pendapat warga-warga. Kalau sudah dewasa mengkin akan bertengakar
juga. Murada waktu itu baru berumur sembilan tahun. Dia tidak bisa berbuat
apa-apa selain menonton dan meyaksikan ayahnya marah-marah pada kakak-kakaknya.
Sedangkan ibu dan kakak-kakak iparnya hanya menangis dan menangis.
Dipikirkanlah cara untuk menghentikan pertengkaran anak-anaknya oleh Datu
Batanghari Sembilan.
*****
Seiring waktu, tubuh
Murada terus mengalami pembesaran yang tidak normal. Semakin hari tubuhnya
semakin besar. Pada walnya dia dianggap biasa saja. Tapi sekarang menjadi luar
biasa. Semua orang tidak mengerti dan merasa sangat aneh. Mengapa tubuh Murada
terus meninggi dan membesar.
Mulai Murada tidak
muat lagi dengan ruangan rumah. Maka, dia tidur di halaman rumah. Terus
membesar, dia pun terpaksa tidur di lapangan rumput di dekat pohon beringin
dimana dahulu dia sering mendengar Puyang Andalas berandai-andai. Saat dia
duduk hampir seluruh lapangan rumput tertutup oleh tubuhnya. Saat dia berdiri
tingginya sama dengan pohon beringin tersebut. Saat di dekat pohon kelapa juga
tingginya sama. Penduduk merasa takjub juga merasa prihatin, disertai rasa
ngeri.
Murada yang dahulu
hanyalah anak polos dan kecil. Sekarang tumbuh menjadi manusia raksasa. Sebab
itulah Murada sekarang tidak dapat bersosialisasi lagi dengan teman-temannya,
masyarakatnya dan keluarganya. Murada tidak dapat lagi masuk Talangnya. Karena
akan merusak Talang atau mencelakai warga dan ternak warga. Murada sering
menyendiri diperbukitan jauh. Saat dia duduk matanya dapat menyaksikan
Talangnya. Warganya, teman-temannya, sanak keluarganya, dan kedua orang tuanya.
Air mata Murada menetes sebab di Talang ada seorang gadis yang dia cintai,
Sasana. Teman sepermainan itu telah mencuri hatinya.
Sasana juga menyukai
Murada sesungguhnya. Pernah Sasana berharap muradalah menjadi suaminya. Mereka
sudah berteman sejak dari kecil sampai tubuh Murada belum terlalu besar seperti
sekarang. Bahkan sampai sekarang Sasana juga masih mencintai Murada. Namun
pertumbuhan tubuh Murada terus menerus. Sehingga Murada menjadi manusia raksasa
tidak mungkin mereka bersatu.
Maka tidak mungkin
dia menikah dengan Murada. Murada juga sadar keadaan dirinya. Maka dia
merelahkan Sasana menikah dengan seorang teman sepermainan mereka, Bumibu.
Suatu hari Sasana pamit pada Murada. Ada air mata yang menetes dikedua belah
pipi mereka. Begitupun Bumibu meminta izin untuk menikah dengan Sasana pada
Murada.
Murada manusia
raksasa yang baik hati berkata. “Menikalah Bumibu dengan Sasana. Jagalah dia
baik-baik dan semoga kalian hidup bahagia. Aku akan selalu berdoa pada sang
pencipta agar kalian dianugerahi keberkahan hidup.” Ujar Murada kuat. Sasana
mendengar perkataan itu. Air matanya jatuh tidak terbendung lagi. Dia tahu
kalau hati Murada pasti sakit dan hancur. Tapi dia sudah dewasa dan mengerti
akan kehidupan.
*****
Hari itu adalah hari
pernikahan Sasana dan Bumibu. Terlihat meriah dengan tabuhan-tabuhan gendang
dan tarian-tarian. Talang Andalas bergembira-ria pagi itu. Murada tampak sedih
dan sepi sendiri. Alunan seruling terdengar seperti sembilu yang menyayat hati.
Tapi dia sabar dan kuat. Dalam kemeriahan pernikahan Sasana itu. Tiba-tiba
Talang Andalas dikepung oleh puluhan hewan raksas pemakan daging (dinosourus).
Semua panik dan berlarian mencari selamat. Murada dari jauh melihat semua
kejadian itu. Dia bangkit dan berlari cepat menuju Talang Andalas. Menerobos
hutan-hutan rimbah yang sama tinggi dengan tubuhnya. Dia mencabut sebatang
pohon kayu ulin atau kayu besi. Lalu di jadikan semacam tongkat untuk menyerang
hewan raksasa tersebut.
Sementara di Talang
Andalas. Sasana dan Bumibu terjebak sehingga mereka tidak dapat berlari. Ada
juga warga yang akan terinjak-injak. Beberapa anak-anak juga hampir
terinjak-injak. Dalam suasana genting itulah. Murada datang menerjang. Beberapa
batu besar dilempar dan mengenai kepala hewan raksasa itu. Tendangan juga
membuat beberapa hewan terpental, selamatlah Sasana dan Bumibu. Sasana terharu
sekali atas kebaikan Murada. Kemudian pukulan dari tongkat kayu besar
menghantam kepala beberapa ekor hewan raksasa, pecah. Mati seketika dengan
kepala hancur.
Khawatir dengan
keselamatan warga. Karena bantingan atau injakan hewan raksasa bergigi runcing
mirip kadal tapi berjalan tegak. Murada berlari menjauh, memancing agar
hewan-hewan raksasa buas itu menjauh dari Talang Andalas. Hewan-hewan raksasa
mengejar. Karena merasa mendapat mangsa besar. Terjadilah pertarungan hidup
mati antara Murada dan hewan-hewan raksasa itu.
Dari jauh warga
Talang Andalas menyaksikan. Berdoa untuk keselamatan Murada. Rasa haru
dan bahagia, khawatir dan takut bercampur aduk. Warga merasa sayang dan bangga
pada Murada. Dalam pertarungan itu, beberapa kali Murada terpental dan
berguling-guling, semua menjerit.
Ibu Murada jatuh
pingsan melihat anaknya dikeroyok hewan raksasa itu. Namun akhirnya Murada
dapat mengalahkan seluruh hewan raksasa buas itu. Setelah peristiwa itu, sering
Talang Andalas diserang hewan buas lainnya, sekelompok harimau, sekelompok
gajah, ular raksasa. Tapi Murada selalu melindungi warga talangnnya. Sehingga
aman dan tentram warga Talang Andalas dijaga oleh Murada.
*****
Beberapa bulan
setelah peristiwa penyerangan hewan raksasa. Dua orang kakak Murada kembali
ribut besar. Ada yang luka terkapar dan hampir meninggal. Malamnya kembali
kakak keempat dan kelima juga ribut besar. Kembali satu diantaranya terkapar
luka parah. Lalu kakak ke tujuh dan kakak ke sembilan juga ribut dan keduanya
sama-sama hampir mati kalau tidak dilerai warga. Begitupun yang lainnya. Dalam
sebulan ada enam orang kakak Murada yang hapir tewas akibat berkelahi satu sama
lain. Bukan main sibuknya warga melerai mereka. Berita itu sampai juga
ketelinga Puyang Andalas. Puyang Andalas tak habis pikir dengan anak-anak adik
sepupunya itu.
“Aku tidak tahan lagi
dengan kalian ini. Adik beradik macam sekelompok kera. Selalu bertengkar dan
bertengkar. Maka aku sebagai Datu, mengusir kalian semua dari Talang Andalas.
Pergi sejauh-jauhnya, pergi jangan sampai kalian bertemu lagi dan tidak
bertengkar lagi. Pergiiiiii. Peerrggiiii.” Itulah keputusan akhir Datu
Batanghari Sembilan. Karena Datu Batanghari Sembilan mempertimbangkan
keselamatan mereka satu sama lain. Puyang Andalas juga merestui dan itu
keputusan yang tepat menurutnya.
Datu kemudian meminta
limabelas orang pengawal untuk mengeluarkan semua barang alat-alat rumah tangga
dari dalam rumah sembilan anak-anaknya. Lalu rumah mereka dirobohkan semua.
Terusirlah mereka sembilan beradik dari Talang Andalas. Tidak peduli lagi siapa
yang benar dan siapa yang salah. Agar adil maka semuanya harus pergi.
Puyang Andalas yang
juga ikut musyawarah. Kemudian memerintahkan setiap anak Datu Batanghari
Sembilan diangkat menjadi Datu. Agar mereka memimpin di Talang baru yang akan
mereka dirikan disuatu tepat. Tiap-tiap anak Datu Batanghari Sembilan diberikan
sepuluh orang pengawal. Yang juga pergi bersama anak dan istrinya. Kemudian
setiap anak Datu Batanghari Sembilan diikuti dua puluh keluarga. Mereka
ditugaskan Puyang Andalas untuk pergi menyertai agar tercipta sebuah Talang
baru.
Waktu berlalu,
kesembilan anak-anak Datu Batanghari Sembilan bersama pengikut masing-masing
pergi menembus hutan tidak tentu arah. Setiap rombongan menempu arah yang
berbedah-bedah. Mereka hanya mengikuti kaki melangkah saja. Tidak tahu kemana
tujuan mereka. Kalau telah lelah mereka beristirahat. Kalau sudah kuat mereka
berjalan lagi. Bibit padi, bibit sayuran, beberapa pasang ternak, sapi, kerbau,
kambing, ayam mereka bawa juga. Entah kemana mereka pergi yang penting saling
berjauhan satu sama lain dan tentu juga, jauh dari Talang Andalas.
*****
Waktu berlalu, lima
belas tahun kemudian. Tidak ada kabar lagi tentang anak-anak Datu Batanghari
Sembilan. Ayah dan ibu Murada sudah semakin tua. Keduanya juga sangat
merindukan sembilan kakak-kakak Murada. Namun mereka tidak tahu dimana gerangan
anak mereka tinggal. Masih hidup atau sudah mati. Air mata keduanya selalu
menetes. Ada sesal juga di hati Datu Batanghari Sembilan karena mengusir
anak-anaknya.
Kesedihan keduanya
sering mereka adukan pada Uwa Murada. Kakak kandung Datu Batanghari Sembilan
yang pandai mengempu membuat alat-alat pertanian. Kadang juga keduanya langsung
bercerita pada Murada. Membuat Murada menjadi sedih. "Sabarlah Umak, Bak.
Yang terjadi biarlah terjadi. Akan ada hal lain, takdir atau jalan atas semua
yang telah terjadi itu. Demikianlah yang telah dia rencanakan, sang
pencipta." Ujar Murada menghibur ayah dan ibunya.
Kemudian, dalam
setahun berikutnya ada utusan-utusan dari sembilan kakak-kakak Murada. Datang
berturut-turut ke Talang Andalas. Sehingga mengetahui kalau semua kakak Murada
dan semua yang menemani kepergian mereka masih hidup dan mereka juga telah
membuka Talang baru masing-masing. Perkiraan tempat dan arah juga diberi tahu.
Ada yang sebulan perjalanan, dua bulan perjalanan. Tentu Murada juga bahagia
mendengar kabar itu. Agak terobati rindu dan tenang hati ibu dan ayah Murada. Mendengar
anak-anak mereka masih hidup. Hanya dengan hidup berjauhan mereka tidak lagi
bertengkar-tengkar dan berkelahi.
Tapi obat kerinduan
hanyalah bertemu. Ingin Ibu dan Ayah Murada mengunjungi anak-anaknya. Sehingga
seringlah ibu Murada menangis sedih. Bagaimana pun hati seorang ibu tidak akan
pernah jauh dari memikirkan anak-anaknya. Kadang berhari-hari ibu Murada
menangis mengenang anak-anaknya. Terbayang sembilan anak-anak sewaktu masih
kecil. Bermain dan makan bersama-sama, mandi ke sungai bersama-sama. Ibunya
yang sudah tua tidak dapat berjalan jauh. Lama Murada memikirkannya. Bagaimana
cara ibunya dapat berkunjung langsung kerumah kakak-kakaknya sesuka hatinya.
Suatu hari hujan
lebat sekali. Sehingga membuat beberapa ekor monyet terjatuh dari pohon. Mereka
hanyut dan berpegang pada sebatang pohon yang hanyut mengapung. Murada melihat
dan menolong monyet yang hanyut itu. Beberapa hari kemudian dia memikirkan
monyet yang hanyut itu. Juga teringat dengan ibunya yang selalu bersedi
memikirkan kakak-kakanya. Murada pergi ke dekat Talang Andalas. Duduk di
sekitar tempat sang Uwa mengempu. Maka berbincang-bincanglah Uwa dan kemenakan
itu. Murada manusia raksasa tentu kalau berbicara suaranya juga besar dan
keras.
“Jangan bentak-bentak
Murada. Aku ini Uwa kau, nanti kau kualat?.” Ujar Uwa Murada sambil
mengorek-ngorek telinganya yang terasa pesing dan gatal karena mendengar suara
Murada yang keras seperti guntur. Murada menjawab.
“Bukan membentak Uwa.
Memang suara aku besar, itu suara aku yang paling lembut. Jawab Murada.
Kemudian dia melanjutkan. “Uwa jangan pula berbisik-bisik berbicara dengan aku.
Aku tidak tuli pun." Kata Murada bercanda.
“Itu suara aku paling
keras, Murada. Jawab Uwa Murada, lalu melanjutkan. “Ada apa Murada, tidak biasa
kau mengunjungi Uwa-mu, yang tua ini.
“Bagaimana kabar
Jajani. Apa lah menikah?.” Ujar Murada pelan-pelan berbasah-basih. Bertanya
tentang adik sepupunya anak sang Uwa. Uwa jawab baik. Tahun depan Jajani akan
menikah. Sebab sudah dilamar seorang pemuda.
Murada menceritakan tentang
keadaan ibunya. Sang Uwa juga mengiakan. Sudah sering menasihati ujarnya. Tapi
ibu Murada tetap merasa ingin bertemu dengan anak-anaknya. Namanya perasaan
tidak dapat dihentikan kata sang Uwa. Murada menyampaikan maksud kedatangannya.
Dia meminta dibuatkan cangkul dan parang untuk ukurannya. Sehingga sang Uwa
menjadi kaget. Alangkah besarnya parang dan cangkul untukmu Murada. Tapi karena
keponakan sendiri yang meminta. Maka sang Uwa membuatkannya juga walau berat
dan sulit. Mata cangkul selebar atap rumah dan tiangnya seukuran tinggi satu
pohon kelapa besar.
Maka Uwa Murada
meminta bantuan warga Talang Andalas dalam membuat cangkul dan parang. Dalam
waktu empat bulan barulah selesai parang dan cangkul pesanan Murada. Tentu saja
Murada suka dan gembira. Warga bergotong royong membuat hulu parang dan gagang
cangkul. Karena semuanya sayang pada Murada.
Murada merasa bahagia
memiliki parang dan cangkul sesuai untuk ukuran dirinya, manusia raksasa.
Sehingga suatu hari nanti, dia dapat membuat sesuatu katanya. Setelah mengambil
cangkul dan parang. Murada pamit pada semuanya. Pergi membawa parang besar dan
cangkul raksasa menurut ukuran manusia normal. Tapi bagi Murada itu ukuran
biasa dan pas. Dia bilang kalau dia pergi menuju ke pantai Selat Malaka sekarang.
Semua warga bertanya-tanya namun mereka diam saja sambil mengangkat bahu.
*****
Murada melangkah ke
tepian pantai Selat Malaka. Cangkul raksasa, gagang yang terbuat dari kayu ulin
atau kayu besi dia pikul dibahunya. Dibuat dari kayu berkualitas agar tidak
mudah rusak apalagi sampai patah. Parang menggantung di pinggangnya. Saat
berjalan parang tampak memukul-mukul pakaiannya yang terubuat dari rangkaian
kulit hewan.
Setiap melangkah dia
selalu berteriak-teriak pada hewan-hewan agar menyungkir nanti terinjak.
“Kijang, rusa, kancil, tupai, burung, tikus, dan semuanya awas aku numpang
lewat, nanti terinjak.” Memang tapak kaki Murada sangat besar karena dia
manusia raksas. Hewan-hewan berlarian menepi dan memperingatkan teman-teman
yang lainnya.
Setiap langkahnya
terdengar suara bergemuruh dan semak-semak patah-patah. Tubunya yang besar
setinggi pohon itu melangkah tanpa rintangan. Bukit-bukit tinggi ukuran manusia
normal, bagi Murada hanyalah gundukan kecil. Sampailah dia tepian pantai Selat
Malaka. Ombak berdebur ditepian pantai. Awan putih bearak-arak memenuhi langit
yang biru. Banyak burung-burung terbang berlalu di udara yang mirip nyamuk bagi
Murada. Banyak ikan paus yang berlalu di lautan. Dengan parangnya dia menangkap
puluhan ikan paus. Kemudian dia memanggang dan makan dengan lahap. Setelah
perutnya kenyang dia duduk diatas sebuah batu karang dan kakinya menjuntai ke
laut. Seperti orang yang sedang duduk di kursi saja kiranya.
Sinar mata Murada
menyiratkan rindu dengan seorang gadis canti teman bermainnya sewaktu kecil
dulu, Sanana. Kemudian terbayang wajah Sanana yang sudah gadis, cantik dan
lembut. Air matanya menetes perlahan sebab Sanana gadis yang dia cintai. Namun
takdir berbicara lain padanya.
Kesedihannya
bertambah ketika teringat akan kesedihan ibunya karena lama berpisah dengan
kakak-kakaknya. Ibunya tidak dapat mengunjungi anak cucunya yang tinggal
berjauhan. Sedangkan dirinya sendiri tidak dapat berbuat banyak untuk menghibur
ayah dan ibunya.
“Murada, aku sedih
sekali. Ingat kakak-kakak kau, keponaan kau. Ingin sekali ibu setiap waktu
dapat berkunjung kerumah kakak-kakakmu. Tapi, untuk berjalan aku sudah tua. Tak
dapat nak bejalan jauh lagi.” Itulah kata-kata ibu Murada beberapa bulan lalu.
Kata-kata yang mengusik hatinya dan jiwanya.
Maka dia ingin sekali
memenuhi keinginan ibunya. Murada yang hidup kesepian merasa dia manusia yang
tidak beruntung. Tapi Murada tetap sabar dan bersyukur pada sang pencipta.
Karena dia telah diberikan kehidupan di dunia ini. Walau dia tidak memiliki
apapun di dunia ini. Tapi dia ingin berbuat sesuatu untuk sang ibu dan ayah
yang dia cintai. Entah apa yang akan dilakukan oleh Murada.
Keesokan pagi setelah
sarapan pucuk-pucuk daun kelapa bakar dan ikan bakar. Murada memilih tempat
yang dia anggap cocok. Lalu dia mulai menggali dan menggali tanah dengan
cangkul raksasanya. Dari bibir pantai terus ke daratan. Murada menggali dan
menggali dengan sangat lebar ukuran manusia normal. Tapi bagi Murada itu hanya
selebar ratusan langkah saja.
Hari demi hari, bulan
demi bulan, tahun demi tahun. Dari hasil galian Murada ternyata memanjang ke
daratan. Galian Murada ternyata membentuk sebuah sungai yang besar. Selama tiga
tahun Murada telah sangat panjang membuat sungai. Sungai yang dia buat sengaja
dia lewatkan di dekat Talang Andalas. Ayah dan Ibu Murada melihat dari jauh
pekerjaan anak raksasa mereka.
Ibu Murada meneteskan
air mata. Dia sedih melihat keadaan anaknya. Beberapa warga dan sanak keluarga
murada memotong hewan ternak. Lalu mereka memanggang tanpa memotong. Utuh hanya
dibuang kulit dan kotorannya saja. Karena satu ekor sapi cukup satu kali makan
bagi Murada. Murada bahagia sekali karena semua keluarga, sanak familinya,
teman-temannya masa kecil, dan semua warga menyayanginya selalu tidak berubah
walau dia manusia raksas.
Beebrapa bulan
kemudian, sampailah galian Murada di dekat sebuah Talang masyarakat. Ada
sebatang pohon kiara beringin atau Pohon Kayu Ara. Kelak disinilah akan berdiri
Desa Kayuara di Kota Sekayu. Tubuh Murada terasa lelah, Murada sedang duduk dan
beristirahat. Keringat mengalir deras dari dahinya. Angin menerpa wajahnya dan
dia merasa sejuk. Tiba-tiba dia mendengar suara seorang manusia. Dia melirik
kesamping dan terlihat seorang anak muda berdiri di cabang Pohon Ara.
“Mamak Murada. Apa
kabar?. Murada menole ke sampingnya. Dia mengenali anak muda di atas cabang
pohon kiara itu.
“Baik, Parinaka. Dah besar kau sekarang. Apa kabar
Bak dan Umakmu?.
“Baik Mamak. Sedang
buat apa? Panjang dan lebar menggali. Macam nak buat paya saja." Parinaka
bertanya.
“Mamak kau ini,
sedang membuat Batanghari. Supaya Kakek dan Nenek kau dapat bertandang. Mereka
rindu denganmu, ayahmu, ibumu dan semuanya. Kalau kau sedang tidak sibuk.
Berakitlah ke hilir, bertandanglah kerumah kakekmu. Kasihan mereka rindu dengan
kalian.” Ujar Murada. Dari sinilah nantinya timbul ungkapan berakit-rakit ke
hulu. Berenang-renang ketepian.
"Batanghari itu apa Mamak?." Waktu itu
kata sungai belum terbentuk.
"Tempat air
mengalir, sama seperti paya. Tapi air paya tidak mengalir cuma tergenang saja."
Jelas Murada.
Parinaka mengiakan
tanda mengerti. Paman dan keponakan lama berbincang-bincang. Setelah itu,
Parinaka berlari pulang. Memberi tahu ayah dan ibunya kalau Murada sedang
menggali membuat Batanghari. Maradu kakak tertua Murada kemudian meminta bantuan
warga memotong seekor sapi. Untuk menjamu Murada, semua penduduk merasa bahagia
melihat Murada. Bagaimanapun, Murada adalah saudara mereka. Dari Talang Kayuara
terdengar gemuruh pekerjaan Murada. Sementara Parinaka berlari menuju rumpun
bambu dan dia membuat rakit. Setelah selesai dia jatuhkan kedalam sungai galian
Murada yang sudah selesai disebelah hilir. Ayah dan Ibu Parinaka bertanya-tanya
apa yang dilakukan anaknya.
Setelah selesai
Parinaka mengajak beberapa pemuda seumuran dengannya untuk pergi berakit
kehilir menuju Talang Andalas. Mereka semua memiliki keluarga di Talang
Andalas. Saat pamit Parinaka menceritakan mengapa Murada membuat sungai
(Batanghari). Beberapa hari kemudian. Saat itu Nenek dan Kakek Parinaka duduk
di tebing sungai galian Murada. Mereka terkejut dan haru melihat di tengah
sungai galian Murada ada beberapa orang anak muda. Mereka merasa mengenali
mereka semua.
Ada seorang pemuda
membawa buntalan pakaian yang sangat mirip dengan anak sulung mereka. Saat
mendarat, tiba didekat mereka si pemuda memeluk keduanya. Tahulah mereka kalau
itu Parinaka yang waktu mereka pergi dulu baru berumur sepuluh tahun.
Menangislah Kakek dan Nenek Parinaka memeluk cucu dari anak tertua mereka.
Karena sungai galian Murada itu, sekarang penduduk dapat saling mengunjungi
satu sama lain. Ada juga yang ikut pindah dan bertambah penduduk Talang
Kayuara.
Sementara itu, Murada
terus menggali dan ke hulu sampai ke perbukitan Bukit Barisan. Di daerah
Provinsi Bengkulu sekarang. Dia ingin sungai galiannya terus mengalir walau
musim kemarau. Itulah mengapa dia gali sampai jauh kehulu. Karena dia tahu,
hutan dan bukit menyimpan air. Semoga hutan tidak rusak dimasa-masa mendatang
katanya. Setelah selesai dia beristirahat di Bukit Barisan. Duduk memandangi
alam yang luas. Kembali kesedihan hadir dilubuk hati Murada. Sasana aku rindu
padamu kata hati Murada. Sudah sekuat tenaga dia ingin melupakan Sanana. Tapi
tidak mampu, hanya dengan kesibukan dia dapat melupakan. Gadis yang telah
mencuri hatinya. Selain itu, Ibu dan ayahnya yang tidak dapat berkunjung
kesemua rumah kakak-kakaknya. Juga menambah sedih hati Murada.
Sebulan kemudian dia
kembali ke hilir dan berjalan ditengah sungai galiannya. Bagi Murada sama saja
berjalan di sebuah sungai kecil yang airnya dangkal. Air sungai hanya sebatas
lutunya. Mendekati Talang Kayuara kediaman kakak tertuanya. Dia melihat ayah
dan ibunya, Parinaka, dan beberapa orang warga dari Talang Andalas, sedang
mendarat dari rakit-rakit mereka. Terlihat sang kakak, keponakan kecilnya,
kakak ipar dan puluhan warga menyambut kedatangan mereka. Mereka semua
berpelukan melepas rindu. Murada juga ikut terharu dan dia duduk di tebing
sungai sambil melambaikan tangan. Semuanya juga melambaikan tangan pada Murada.
Kembali kakaknya
memotong ternak, seekor kerbau dan memberikannya pada Murada. Satu
guci besar air minuman gula nira hangat, dan satu keranjang besar nasih. Murada
makan dengan lahap di tepi hutan. Dia tidak bisa masuk Talang apalagi masuk
rumah. Murada kembali pamit dan pergi kembali ke hilir di dekat pantai.
"Hati-hati Dah, Jangan lama-lama pulang." Pesan ibunya sambil menarik
nafas berat.
Murada kembali
menggali dan membuat sungai lagi. Sungai-sungai yang digali Murada
selanjutnya, juga melewati di samping Talang kakak-kakaknya yang lain. Talang
Muntaka, Talang Melana, Talang Miruba, Talang Manaro, Talang Milaku, Talang
Mankaka, Talang Misulatu, Talang Misulaka. Semua sungai-sungai yang digali
Murada bermuara ke sungai galian pertamanya. Kelak sungai yang di gali pertama
itu bernama Sungai Musi. Kata Musi bermakna kasih sayang dan kekeluargaan yang
saling mencintai.
Dengan demikian
terciptalah banyak sungai-sungai. Sehingga kakak beradik, anak dan ayah-ibu,
sanak keluarga, masyarakat lainnya dapat saling berkunjung berkah dari sungai
galian Murada. Banyak juga masyarakat Talang Andalas yang pindah dan membangun
Talang-Talang baru di sepanjang pinggiran sungai-sungai tersebut. Sehingga
dapat kita lihat sekarang, hampir disemua tempat pemukiman lama orang Sumatera
Selatan banyak terdapat di dekat sungai-sungai.
Cinta orang tua pada
anak tidak akan hilang selamanya. Kakak beradik tetap menjadi keluarga walau
hidup berjauhan. Tapi saling mengunjungi dan berjumpa adalah bentuk penjalin
kasih sayang keluarga. Mereka menyesal karena selalu bertengkar oleh masalah
sepeleh saja. Hanya karena anak-anak mereka bertengkar membuat mereka
bertengkar hebat. Saat jauh barulah mengerti kalau mereka bodoh dan membuat
penyesalan masing-masing. Andai kalau diantaranya ada yang terbunuh. Alangkah
buruk jalan hidup kata kakak-kakak Murada.
Sehingga mereka
mengutuk anak keturunannya orang Sumatera Selatan yang ribut atau bertengkar
satu sama lain sesama orang Sumatera Selatan. Baik itu antar klompok
organisasi, antar desa, antar kecamatan, antar kabupaten, atau lainnya. Maka
janganlah sampai kita ribut agar terhindar dari kutukan para Puyang-Puyang
terdahulu.
*****
Kelak sungai-sungai
yang digali oleh Murada akan dikenal dengan Wilayah Sungai Batanghari Sembilan.
Yaitu, Sungai Klingi, Sungai Bliti, Sungai Lakitan, Sungai Rawas, Sungai Rupit,
Sungai Lematang, Sungai Leko, Sungai Ogan, dan Sungai Komering. Pendapat lain
mengatakan konsep atau istilah Batanghari Sembilan, mengacu ke wilayah, sebutan
lain (tradisional).
Atau wilayah yang
dialiri sembilan sungai (batanghari) yang berukuran besar tersebut. Batanghari
dalam beberapa bahasa lokal di Sumatra Selatan, misalnya saja bahasa Rambang
(Prabumulih) atau bahasa Bindu (Kecamatan Peninjauan), berarti sungai.
Kalau ditelusuri dari
bahasa dan budaya ternyata masyarakat Melayu di Sumatera Selatan berasal dari
satu kelompok masyarakat.
Desti. S. Sos.
Palembang, 19 November 2019.
Daftar arti kata: Mamak: Paman. Talang: Perkampungan atau desa. Datu: Kepala Kampung. Puyang: Gelar untuk Pemimpin tertinggi di suatu kawasan. Gelar tidak bersifat turun temurun. Pemimpin yang dipilih masyarakatnya. Andai-andai: Mendongeng. Paya: Tempat air hujan tergenang membentuk memanjang seperti sungai, airnya cukup dalam, dan bertahan lama. Umak: Ibu. Bak: Ayah.