PT. Media Apero Fublic
PT. Media Apero Fublic merupakan perusahaan swasta yang bergerak pada bidang usaha Publikasi dan Informasi dengan bidang usaha utama Jurnalistik.
Buletin Apero Fublic
Buletin Apero Fublic adalah buletin yang mengetengahkan tentang muslimah, mulai dari aktivitas, karir, pendidikan, provesi, pendidikan dan lainnya.
Penerbit Buku
Ayo terbitkan buku kamu di penerbit PT. Media Apero Fublic. Menerbitkan Buku Komik, Novel, Dongeng, Umum, Ajar, Penelitian, Ensiklopedia, Buku Instansi, Puisi, Majalah, Koran, Buletin, Tabloid, Jurnal, dan hasil penelitian ilmiah.
Jurnal Apero Fublic
Jurnal Apero Fublic merupakan jurnal yang membahas tentang semua keilmuan Humaniora. Mulai dari budaya, sejarah, filsafat, filologi, arkeologi, antropologi, pisikologi, teologi, seni, kesusastraan, hukum, dan antropologi.
Majalah Kaghas
Majalah Kaghas, meneruskan tradisi tulis tradisional asli Sumatera Selatan.
Apero Fublic
Apero Fublic, merupakan merek dagang PT. Media Apero Fublic bidang Pers (Jurnalistik).
Apero Book
Apero Book merupakan toko buku yang menjual semua jenis buku (baca dan tulis) dan menyediakan semua jenis ATK.
Buletin
Buletin Apero Fublic merupakan buletin yang memuat ide-ide baru dan pemikiran baru yang asli dari penulis.
7/06/2019
Tips Mencega Sariawan dan Panas Dalam
Apa Itu Syarce ???
Palembang, 4 November 2018.
7/05/2019
Proses Perkembangan Bangunan Tempat Tinggal Manusia
Kemudian pengamatan wilayah kabupaten lain, seperti Kabupaten Banyuasin, Kabupaten PALI, Kabupaten Ogan Ilir terutama daerah Maranjat, Kabupaten Muara Enim, Kawansan Pemukiman Tua di Kota Palembang di Seberang Ulu, Tangga Buntung. Lalu pembelajaran berlanjut di DEKRANASDA yang terdapat contoh bangunan rumah-rumah adat semua kabupaten di Sumatera Selatan. Maka kerangka berpikir dari tulisan ini adalah hasil pengamatan dari kebudayaan masyarakat di Sumatera Selatan.
Berawal dari bangunan yang sangat sederhana, yang kemudian dikembangkan karena dipengaruhi pengalaman dan tuntutan iklim serta geografis alam sekitar. Selanjutnya, pada masa-masa prasejarah bangsa Indonesia yang mulai menjalin kontak dengan dunia luar, seperti bangsa Cina, Jepang, India. Kemudian dilanjutkan dengan pengaruh Islam dan terakhir Barat.
Sistem tempat tinggal pertama bangsa Indonesia adalah gua-gua. Temuan para ahli dalam penelitian seperti adanya benda-benda ekofak, seperti cangkang siput, arang, tanduk binatang, dan sebagainya. Kemudian tinggalan lukisan tangan di dinding atau langit-langit gua.
Lalu temuan para arkeolog kerangka-kerangka manusia di dalam gua-gua. Masa ini adalah masa manusia Indonesia menghuni gua. Hampir setiap gua-gua di Indonesia ada lukisan telapak tangan. Masa itu, kehidupan sangat tergantung pada sumber alam. Maka semakin lama tinggal disuatu tempat maka semakin berkurang sumber daya alam. Jumlah populasi juga mempengaruhi dalam kepindahan manusia dari gua.
Pindah adalah solusi pertama dalam memenuhi kebutuhan hidup. Mulai memasuki masa nomaden dan kemungkinan juga menemukan gua baru. Dalam masa nomaden yang bertarung dengan alam membuat manusia belajar. Menghadapi hujan, panas, iklim yang dingin, serangan binatang buas, dan kasih sayang. Sehingga lambat laun manusia mulai menyadari membutuhkan tempat seperti gua yang melindungi diri cuaca, binatang buas, dan iklim.
Munculah ide untuk melindungi diri dari hujan dan panas. Bertedu di bawa pohon rindang atau di cela-cela batu. Memanfaat daun yang lebar untuk bertedu atau memayungi. Belajar dari itu, membuat pemikiran bergerak. Sehingga ingin memiliki tempat bernaung. Ide-ide sederhana mulai dilakukan. Lalu terciptalah bangunan pertama yang dibuat berbentuk persegi empat.
Memanfaatkan empat tiang kayu bercabang yang ditancapkan ketanah sama tinggi. Kemudian diletakkan empat kayu melintang panjang membentuk persegi empat, atau berbentuk persegi empat memanjang. Untuk meletakkan atap ditambah beberapa kayu melintang sebagai penyatu dan peletakan atap. Atap berupa rerantingan dedaunan pohon yang disusun diatas bangunan. Teknologi perkakas masa itu baru berupa kapak batu atau tulang hewan.
Sistem bangunan rumah seperti ini masih diterapkan oleh Suku Anak Dalam(suku kubu) yang masih hidup nomaden di pedalaman Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan, dan lainnya. Dapat juga kita amati saat anak-anak desa bermain dengan membangun rumah-rumah dengan bentuk demikian. Sebagai bentuk ilham manusia dalam membangun tempat tinggal.
Kemudian memunculkan inspirasi membuat atap menurun. Metode pembuatan sama seperti bangunan awal. Tapi pada bagian satu sisi di tinggikan, dan sisi lain direndahkan. Sehingga tercipta sistem atap menurun atau miring (iris pisang). Saat hujan, air hujan sudah lancar turun dan mengurangi rembesan air hujan. Tetap terlindung dari panas sinar matahari.
Sistem bangunan ini di istilahkan penduduk Melayu Sumatera Selatan dengan bangunan anjing meraung. Dinamakan demikian karena bangunan sistem itu mirip dengan anjing yang duduk sambil melolong. Di zaman sekarang, penduduk membangun bangunan ini saat mereka membutuhkan tempat bertedu secara praktis di ladang atau tempat mereka beraktivitas sementara.
Gambar.
A.1.
Ilustrasi
perubahan bangunan. Sisi naik dan Sisi menurun. Terbentuk istilah depan
belakang bangunan.
|
Gambar. B.1.
Ilustrasi ini
mencontohkan bangunan anjing meraung. Tahap perkembangan bangunan tinggal.
|
Bangunan yang sudah ditinggikan bagian depan tentu menghadirkan keterbukaan yang lebih tinggi. Sehingga angin leluasa masuk dan membawa air hujan. Atap rerantingan diterpa angin dan sering melayang. Sehingga sistem penindi atap juga muncul. Masalah baru muncul ini, membuat kembali memikirkan kembali bagaimana cara mengatasinya.
Maka inisiatip muncul, yaitu dengan menambahkan atap bangunan mereka di bagian depan. Mereka cukup menambahkan kayu-kayu menegak untuk atap. Sehingga bangunan anjing meraung berubah bentuk menjadi bangunan baru. Penduduk Melayu Sumatera Selatan menamakannya dengan paramaram.
Gambar.
A.2.
Ilustrasi
penambahan atap pada bagian depan bangunan anjing meraung.
|
Gambar
B.2.
Ilustrasi
penambahan atap yang sudah selesai dan menjadi bentuk bangunan baru. Paramaram.
|
Bangunan paramaram cukup terlindungi dari alam dan iklim. Di kedua sisi sudah beratap dan curah hujan sudah lancar namun tetap merembes karena terbuat dari rerantingan pohon berdaun. Karena rerantingan pohon memiliki batas waktu maka timbul masalah lagi. Satu demi satu dedaunan tanggal apabila sudah mulai kering.
Pada awalnya mereka mengganti dengan rerantingan baru. Lama semakin lama, manusia juga berpikir mengatasi masalah atap yang setiap beberapa hari harus diganti dengan daun baru. Tentu saja ini membuat manusia berpikir untuk mengatasi masalah itu. Cara membuat atap juga muncul di benak manusia.
Dalam pencarian itulah manusia menemukan jenis dedaunan untuk atap, seperti daun ilalang, daun rumbia, dan daun nipa. Maka masalah atap terpecahkan dan rumah tinggal menjadi nyaman. Angin terus masuk, maka sistem dinding juga hadir dan sistem lorong muncul bersamaan. Terbentuklah prototipe bangunan tinggal awal dari manusia tropis.
Kenyamanan banguan paramaram itu akhirnya mendapat masalah ketika hujan lebat, banjir hujan, atau banjir sungai. Di dalam bangunan paramaram yang diatas permukaan tanah langsung terdampak banjir. Air mengalir deras didalam bangunan paramaram. Kadang ada ular berbisa, binatang buas, dan serangan musuh. Maka untuk menghindari banjir, ular, binatang buas, musuh, maka bangunan ditinggikan dengan tiang.
Maka sistem penambahan dapur dan serambi depan menjadi menurun. Dapur juga memerlukan tangga maka perlu dibuat serambi untuk tangga dapur. Serambi juga tercipta karena untuk menghindari basah saat hujan berangin, panas sinar matahari. Atap serambi depan dan serambi dapur melindung dari hujan angin dan panas. Setelah itu, masuk masa tercipta pemukiman seperti Talang, Kampung, Nagari. Serambi bangunan pondok menjadi tuntutan untuk menerima tamu, dan bersantai keluarga.
Manusia Indonesai yang kontak dengan kebudayaan asing. Mendapatkan teknologi yang baik dari logam. Tentu mempengaruhi sistem pembangunan rumah. Bangunan paramaram dan pondok yang sudah tercipta dalam waktu lama itu menjadi inspirasi. Sehingga dengan teknologi itu terbentuk rumah-rumah panggung besar di kawasan Asia Tenggara terutama di Indonesia.
Perkembangan bangunan rumah terus berlanjut sampai datangnya masa-masa kesultanan di Asia Tenggara khususnya Indonesia. Sistem pertukangan terus berkembang dan berkembang. Pengaruh arsitektur Cina datang. Diikuti dengan alat pertukangan yang juga tercipta dari besi berbagai jenis. Pengolahan dengan gergaji besar membelah kayu-kayu besar menjadi papan.
Masyarakat mengistilahkannya dengan membaji. Ada sistem batara pada masyarakat Melayu Sumatera Selatan dalam mengolah kayu bulat menjadi persegi empat untuk kerangka rumah. Cara batara yaitu mencaca batang kayu dengan parang besar, dibentuk persegi empat. Untuk taso masih menggunakan kayu bulat, dan reng dari bambu. Reng adalah nama rangka rumah utuk meletakkan atap, terutama atap genting dan atap sirap.
Sedangkan rumah limas basepat bangunan teratasnya paling besar. Bangunan berundak juga untuk banguan keagamaan, bukan tempat tinggal. Seperti punden berundak masa purba, bangunan keagamaan Budha seperti candi borobudur, dan atap bertingkat pada bangunan masjid tradisional di Asia Tenggara.
Hanya bangunan dapur yang menurun.Ada penulis yang mengistilahkan rumah panggung malamban dengan istilah rumah limas cara gudang dengan alasan rumah itu berbentuk gudang. Istilah cara gudang saya rasa kurang tepat, mengingat kata gudang untuk istilah bangunan lain. Filosofi dalam penamaan Rumah Limas Malamban karena saat membangun kitau-kitau yang panjang lurus mengingatkan masyarakat dengan lamban di atas sungai.
Kitau adalah nama kerangka bangunan rumah paling bawah yang terletak diatas tiang-tiang. Para tukang sibuk melintas di atas kitau bangunan rumah panggung saat mereka beraktivitas. Seperti orang yang sedang menyemberangi sungai di atas lamban. Saat memasang kerangka rumah satu demi satu. Maka timbul kata istilah Rumah Limas Malamban. Di kawasan Sumatera Selatan, pengaruh rumah Limas Malamban dibawak oleh orang-orang Maranjat.
Menyebar ditahun 1940-an. Memolo sebuah rumah di Desa Gajah Mati menginformasikan dengan adanya tahun pembuatan diatas atap perabung. Tukang Maranjat sangat terkenal di Sumatera Selatan. Sampai sekarang masyarakat kawasan Maranjat banyak menjadi tukang. Sekarang mereka sudah ada sistem rumah panggung bongkar pasang yang dapat dipindahkan dan dibawak ketempat pembeli yang jauh dari lokasi pembangunan.
Selain rumah panggung generasi ketiga, perkembangan rumah penduduk juga memasuki pase baru, yaitu rumah beton berbentuk depok. Depok adalah bangunan langsung terletak di atas permukaan tanah. Kembalinya bangunan rumah manusia ke atas permukaan tanah seperti zaman permulaan perkembangan bangunan tempat tinggal dahulukala. Mengapa kembali, sebab manusia telah berhasil menguasai lingkungan alam. Sedangkan manusia dahulu lari dari lingkungan alam.
Kebudayaan masa sekarang adalah hasil jerih payah dan buah pikir mereka. Manusia zaman sekarang hanya mengembangkan kebudayaan sederhana masa lampau. Coba bayangkan kalau nenek moyang kita masa lampau tidak menemukan cara dalam membangun rumah tinggal. Mungkin kita sekarang belum tentu mengenal tempat tinggal. Penemuan mereka dalam bentuk bangunan tempat tinggal adalah penemuan yang sangat jenius dan luar biasa.
Di Kalimantan, Nias, Sulawesi, dan lainnya bercorak juga berkembang rumah limas atau rumah panggung bercorak kedaerahan lainnya. Secara umum pengertian limas bukan berarti mengikuti nama rumah adat tradisional Sumatera Selatan rumah limas. Tapi limas yang berarti, suatu bidang yang lebar dan satu sisinya menyempit. Dapat diamati dengan bentuk atap rumah itulah yang dimaksud dengan limas.
Palembang, 26 Juni 2019.
7/04/2019
Folklore. The Wonderful Dog.
On both sides of a woman's breast there appear five, six or seven pairs of black dots reminiscent of the nipples of a dog. This group of people is said to be descendants of a wonderful dog, about whom a story has been handed down from generation in Kalimantan. The tale goes as follows.
Bagalah's dog caught sight of her and ran after her. Using all her power, she at last arrived at the bank of Lake Sambuluh; the very spot where she was standing bore the name of Pukang Pahewan. the pig then stood still, as if thinking what to do.
Shortly afterwards, lightning flashed as if seeking to cleave the earth in two; the thunder roared, the wind blew hard, rain began to fall, and the waves on the lake grew high. The pig turned to stone, while the dog changed into a human being. The spot a called Pukang Pahewan became a big village, which was later given the name of Rangkang.
But the coffin turned out to be a strange one. whenever there was an evil spirit present, the coffin barked. One day when Darung Bawan, the king of all ghosts was in a rage, he pulled out the pillar placed beneath the coffin and threw it into the lake, where it stuck in the vicinity of the stone pig and where it can still be seen nowadays in Lake Sambuluh.
Oleh. Dra. S. D. B. Aman.
Rewrite: Apero Fublic.
Editor. Selita. S. Pd.
Sumber . S. D. B. Aman. Folk Tales From Indonesia. Djambatan. Jakarta, 1995.
Catatan: Yang mau belajar menulis: mari belajar bersama-sama: Bagi teman-teman yang ingin mengirim atau menyumbangkan karya tulis seperti puisi, pantun, cerpen, cerita pengalaman hidup seperti cerita cinta, catatan mantera, biografi diri sendiri, resep obat tradisional, quote, artikel, kata-kata mutiara dan sebagainya.
Kirim saja ke Apero Fublic. Dengan syarat karya kirimannya hasil tulisan sendiri, dan belum di publikasi di media lain. Seandainya sudah dipublikasikan diharapkan menyebut sumber. Jangan khawatir hak cipta akan ditulis sesuai nama pengirim. Sertakan nama lengkap, tempat menulis, tanggal dan waktu penulisan, alamat penulis.
Jumlah karya tulis tidak terbatas, bebas. Kirimkan lewat email: duniasastra54@gmail.com atau fublicapero@gmail.com. idline: Apero Fublic. Messenger. Apero fublic. Karya kiriman tanggung jawab sepenuhnya dari pengirim.