3/25/2021

Legenda Tolaki: Asal Usul Sungai Lahambuti Tidak Pernah Jernih.

Apero Fublic.- Pada zaman dahulu orang-orang Tolaki hidup berkelompok di sebuah padang ilalang yang luas, di Unaaha. Pimpinan kelompok mereka disebut, Pue. Suatu ketika terjadi perang antara dua Sanghyang, Sanghyang Onggabo dan Ndamasolea. Perang terjadi selama tujuh bulan mengendarai perahu ajaib mereka. Perang antara dua Sanghyang tersebut di jagat raya, membuat banyak tempat di alam ini rusak, termasuk tempat tinggal orang-orang Tolaki di Unaaha. Akibat perang kekuatan ajaib itu, menyebabkan banyak jatuh korban jiwa.

Sisa-sisa korban banyak yang bunuh diri, karena setelah itu tersebar wabah penyakit berbahaya. Belum lagi habis penderitaan penduduk Unaaha muncul juga biawak raksasa yang sering memangsa penduduk. Tempat persembunyian biawak raksasa di Auti, tidak jauh dari padang ilalang Unaaha.

Di Hunibato sebuah tempat yang tidak jauh dari Unaaha, hidup dua orang Tamalaki bersaudara, bernama Latuanda dan Labuani (bukan manusia mungkin sebangsa jin). Suatu hari, keduanya merasa aneh sebab di Unaaha tidak ada lagi kesibukan warganya. Keduanya akhirnya melakukan penyelidikan pergi ke Unaaha. Saat mereka tiba, mendapati semua penduduknya telah mati. Karena dilanda wabah dan serangan biawak raksasa.

Latuanda dan Labuani tidak menemukan penduduk yang masih hidup. Kecuali seorang anak perempuan yang baru bisa merangkak, pada sebuah rumah yang besar. Anak itu mereka temui sedang menyusui pada jazad seorang ibu yang tidak diketahui namanya. Anak itu mereka bawa pulang ke Hunibato. Anak itu mereka rawat dengan baik. Waktu berlalu dengan cepat,  sekarang anak perempuan sudah tumbuh menjadi remaja. Berwajah sangat cantik, berambut cukup panjang sehingga diberi nama Kambuka Sio Ropo.

*****

Gugurnya Ndamasolea membuat Onggabo turun ke muka bumi untuk mengetahui kemungkinan masih ada manusia yang masih hidup akibat perang mereka. Pertama, turun di sebelah utara wilayah Konawe, di Sungai Laa Liuda sampai di muara Sampara muara Sungai Konawe’eha. Onggabo merasa tidak ada kehidupan manusia dengan cara meminum air hilir sungai dan meneliti sungai-sungai tersebut.

Sementara itu, di muara Sampara terdampar potongan jelaga yang hanyut terbawa aliran Sungai Konawe’eha. Ditemukan Onggabo, lalu dia angkat dan terlihat sehelai rambut terbelit. Lalu rambut digulung sampai seukuran buah jeruk. Rambut itu adalah rambut Kambuka Sio Ropi yang tersangkut saat dia mandi mengurai rambut dan terbelit jelaga. Menemukan rambut itu, Onggabo merasa yakin kalau di hulu Sungai Konawe’eha tinggal seorang gadis. Menyusuri sungai Konawe’eha Onggabo tiba di Hunibato. Di sepanjang perjalanan menyusuri sungai dimana air sebatas lutut dia sering disambar buaya. Tapi dapat dia atasi dengan kesaktiannya.

Sesampai di Hunibato, Onggabo langsung menyatakan pada Latuanda dan Labuani bahwa mereka ada membesarkan seorang gadis. Banyak alasan yang dikemukakan oleh Latuanda dan Labuani, tapi tidak bisa mengalahkan keyakinan Onggabo. Oleh karena itu, akhirnya mereka mengakui dan merestui pernikahan Onggabo dan Kambuka Sio Ropo. Tapi, ada syarat yang harus dipenuhi oleh Onggabo. Yaitu, harus dapat merubah Latuanda dan Labuani menjadi manusia biasa, dan membunuh biawak raksasa yang tinggal disebuah Gua, di Auti.

Dua syarat dipenuhi oleh Onggabo dan dia pergi ke sebuah Gua  di Auti, lalu menemukan biawak dan berhasil menombaknya. Sampai sekarang nama tempat itu, Auti. Biawak raksasa itu, keluar melarikan diri ke arah timur. Onggabo mengejar, di perjalanan dia menemukan tombaknya tersangkut di pohon beringin yang dilintasi biawak terluka itu. Tempat ditemukan tombak itu, dinamakan Sambeani.

Biawak raksasa itu, kemudian tiba di Sungai Konawe’eha dan badannya mengapung dan badannya melintang. Sehingga badannya membentang dari tebing ke tebing seberang. Kemudian tempat itu, dinamakan Hongoa. Biawak raksasa merasa sudah akan mati, kemudian dia pergi lagi dan masuk anak Sungai Lahambuti. Mengarah ke arah hulu anak sungai itu. Sehingga dari dahulu dan sampai sekarang air sungai Lahambuti menuju muara tidak pernah jernih. Lama kemudian biawak raksasa itu tiba disuatu tempat. Disanalah kemudian biawak itu, mati. Lalu tempat biawak mati itu dinamakan penduduk dengan, Ale Uti.

Cerita ini dari Kendari, pada masa lalu sering diceritakan pada anak-anak atau dalam pertemuan-pertemuan, pesta-pesta adat, dan pertemuan-pertemuan keluarga.

Rewrite. Tim Apero Fublic
Editor. Selita, S.Pd.
Tatafoto. Dadang Saputra.
Palembang, 25 Maret 2020.

Sumber: J.S. Sande., Dkk. Struktur Sastra Lisan Tolaki. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986.

Sy. Apero Fublic.

0 komentar:

Post a Comment