PT. Media Apero Fublic

PT. Media Apero Fublic merupakan perusahaan swasta yang bergerak pada bidang usaha Publikasi dan Informasi dengan bidang usaha utama Jurnalistik.

Buletin Apero Fublic

Buletin Apero Fublic adalah buletin yang mengetengahkan tentang muslimah, mulai dari aktivitas, karir, pendidikan, provesi, pendidikan dan lainnya.

Penerbit Buku

Ayo terbitkan buku kamu di penerbit PT. Media Apero Fublic. Menerbitkan Buku Komik, Novel, Dongeng, Umum, Ajar, Penelitian, Ensiklopedia, Buku Instansi, Puisi, Majalah, Koran, Buletin, Tabloid, Jurnal, dan hasil penelitian ilmiah.

Jurnal Apero Fublic

Jurnal Apero Fublic merupakan jurnal yang membahas tentang semua keilmuan Humaniora. Mulai dari budaya, sejarah, filsafat, filologi, arkeologi, antropologi, pisikologi, teologi, seni, kesusastraan, hukum, dan antropologi.

Majalah Kaghas

Majalah Kaghas, meneruskan tradisi tulis tradisional asli Sumatera Selatan.

Apero Fublic

Apero Fublic, merupakan merek dagang PT. Media Apero Fublic bidang Pers (Jurnalistik).

Apero Book

Apero Book merupakan toko buku yang menjual semua jenis buku (baca dan tulis) dan menyediakan semua jenis ATK.

Buletin

Buletin Apero Fublic merupakan buletin yang memuat ide-ide baru dan pemikiran baru yang asli dari penulis.

9/12/2019

Identifikasi Identitas Wilayah Secara Tradisional: Studi Sumatera Selatan


Apero Fublic.- Dalam pengidentitasan kehidupan masyarakat, sering kali penulis membuat penyebutan salah kapra. Begitupun masyarakat secara awam, mereka akan mengidentitaskan diri berdasarkan pemahaman singkat saja. Masyarakat tidak memiliki pemahaman akademisi yang baik. Mereka masyarakat dan sebagian besar penulis.

Tidak dapat membedakan antara suku bangsa dengan pengidentitasan wilayah secara tradisional. Dapat dikatakan suatu suku bangsa ketika masyarakat tersebut telah memiliki perbedaan secara kebudayaan dan antropologis. Misalnya bahasa tidak lagi serumpun serta tidak lagi memiliki akar kebudayaan yang sama.

Sebagai contoh seumpama Suku Bangsa Melayu Indonesia dengan Suku Bangsa Han di Cina. Suku Arab di Timur Tengah dengan Suku bangsa Viking di Eropa, dan sebagainya. Dari sini dibandingkan dimana bahasa sudah tidak lagi serumpun, kebudayaan yang jauh berbeda, wilayah dan geografis berbeda, adat istiadat jauh berbeda. Baru dapat disebut dengan suatu Suku Bangsa.

Kasus di Indonesia yang memiliki keadaan geografis wilayah berbeda-beda. Membuat identikasi diri juga berbeda-beda. Di Indonesia orang tinggal di setiap pinggiran sungai menjadi suku sungai itu. Yang tinggal di pegunungan menjadi suku gunung. Yang tinggal di dekat danau jadi suku danau. Yang tinggal di pulau tertentu jadi suku pulau tersebut. Padahal mereka satu suku bangsa, yaitu Melayu.


Pada zaman dahulu jalur transportasi melalui perairan, sungai, laut, dan danau. Jalur transportasi sungai menyebabkan masyarakat pada zaman dahulu tinggal di pinggir sungai, danau, atau pantai. Mereka juga menetap di dekat sungai atau sumber air untuk memenuhi kebutuhan air, seperti mandi, mencuci, memasak, menangkap ikan, dan untuk transportasi.

Maka hampir semua pemukiman penduduk terletak di pinggir-pinggir sumber air. Setiap sungai ini kemudian mereka berikan nama. Lama semakin lama, mengembangkan kebudayaan setempat dan memiliki kebiasaan berbeda. Lalu melalui interaksi keluar daerah mereka dikenal dengan suku dari wilayah dimana mereka tinggal. Seandainya menereka tinggal di pinggiran sungai tertentu, mereka di kenal dan mengidentitaskan diri dengan nama sungai tersebut.


Misalnya suatu masyarakat itu tinggal di daerah pinggiran sepanjang Sungai Keruh. Maka kemudian mereka di sebut Suku Sungai Keruh. Orang Sungai Keruh menyebut orang yang tinggal di pinggir Sungai Musi disebut Suku Musi (Sekayu).

Sekarang perlahan masyarakat menamakan dengan suku Sekayu atau Orang Sekayu. Kemudian ketika masyarakat itu tinggal di daerah Sungai Rawas. Maka mereka mengatakan kalau mereka Orang Rawas atau Suku Rawas.

Kemudian masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran Sungai Komering, dinamakan Suku Komering. Kemudian masyarakat tinggal di daerah Danau Ranau dinamakan Suku Ranau. Misalnya Suku Lematang karena tinggal di sepanjang Sungai Lematang. Orang yang tinggal di Palembang di sebut Suku Palembang.

Nama Palembang itu baru muncul berabad-abad setelah Kedatuan Sriwijaya runtuh. Padahal mereka semua adalah orang Melayu tulen. Hendaknya, pengidentifikasian suku bangsa bukan dari tempat tinggal. Harus melalui dari kajian mendalam.


Penyebutan nama-nama tersebut misalnya Suku Musi tidak tepat. Para penulis baik cetak atau elektronik terlalu buru-buru menafsirkan suku masyarakat suatu tempat tersebut. Tanpa menguasai ilmu kebudayaan, ilmu antropologi dan sejarah dengan baik.

Nama-nama itu, Suku Maranjat, Suku Ogan, Suku Musi, dan sebagainya. Nama-nama tersebut sesunggunya adalah nama tempat tinggal atau nama wilayah masyarakat secara tradisional, bukan nama suku. Suku bangsa masyarakat Sumatera Selatan adalah Melayu.

Keberadaan orang Melayu Sumatera Selatan memiliki bukti sejarah. Dari berupa data arkeologi dari zaman purba, zaman kebudayaan batu (megalitikum), dan bukti tertulis seperti prasasti peninggalan Kedatuan Sriwijaya dan prasasti berupa tulisan aksara Kaganga, beserta artepak, mantifak, dan keserumpunan bahasa.


Dalam penulisan atau pernyataan dan sebagai penjelas kewilayahan ada baikanya di gabungkan kata Melayu. Seperti Melayu Meranjat yang berarti orang Melayu di daerah Maranjat, Ogan Ilir.

Melayu Basemah yang berarti orang Melayu yang tinggal di Basema atau Pagaralam. Begitupun yang lain misalkan, Malayu Musi, Melayu Ogan, Melayu Ranau, dan sebagainya. Sehingga masyarakat tidak terjadi terkotak-kotak.

Dengan pemahaman yang salah. Jangan kita terjebak terus oleh taktik pecah belah peninggalan Belanda.Atau menjadi penulis atau paham neoblandaisme atau orang-orang Indonesia yang terus menjadi kepanjangan tangan orientalis Belanda dalam melakukan pecah belah di tengah masyarakat Indonesia.

Secara nasional juga terjadi begitu, misalnya masyarakat mengidentitaskan dengan suatu kelompok masyarakat orang laut atau Suku Laut. Padahal mereka Orang Melayu yang tinggal di perairan pantai atau bermukim di atas permukaan laut. Kemudian mereka dinamakan orang Laut atau Suku Laut.


Bagaimana mengidentipikasi suatu suku bangsa. Dalam hal ini mengidentipikasi suku bangsa Melayu. Yaitu melalui identifikasi kebudayaan dan identifikasi antropologis, semisalnya bentuk kerajinan, pola hidup, bentuk tempat tinggal, adat-istiadat, dari seni sastra baik itu lisan atau tertulis, seni musik (seruling dan gendang), dan keserumpunan bahasa.

Keterkaitan rumpun bahasa, bentuk bahasa Austronesia (rumpun Melayu). Sistem kepercayaan: seperti ketahayulan dan upacara-upacara adat tradisional. Bentuk fisik secara umum, misalnya bentuk hidung dan bentuk mata.

Pola hidup beradat terutama penjagaan terhadap norma adat dalam melindungi wanita. Masyarakat Papua merasa berbeda dengan masyarakat Indonesia di bagian barat. Karena tidak hidup dalam kesukuan seperti mereka. Padahal orang Indonesia di bagian Barat sebelum tersentuh kebudayaan Hindhu-Budha dan Islam juga hidup berpola seperti mereka.

Orang Melayu juga menjadi kanibal masa-masa lampau. Begitupun pola pakaian, senjata, dan bersistem kepala suku. Di Sumatera Selatan sistem kesukuan bertranspormasi menjadi Marga. Marga adalah sistem pemerintahan di suatu wilayah dimana masyarakatnya masih keterkaitan satu keturunan.


Identifikasi secara kebiasaan dan kewilayahan tidak dapat menjadi pembeda suku bangsa. Karena pola kebiasaan atau tradisi tergantung dari pengaruh kebudayaan di daerahnya. Untuk kewilayahan manusia hidup menyebar dalam perjalanan sejarah mereka.

Contoh dari kedua itu, seperti suku Anak Dalam atau Suku Kubu di hutan-hutan Sumatera Selatan, Jambi, Riau. Mereka adalah orang Melayu dimana pengaruh kebudayaan belum menyentuh mereka sehingga mereka menjadi berbeda dari orang Melayu lainnya. Pada zaman sebelum berbudaya orang Melayu juga suku bangsa primitif pemburu kepala.

Di zaman sekarang pengidentitasan diri sudah mulai bergeser menggunakan administrasi wilayah. Pengidentitasan kedaerahan menggunakan nama kecamatan. Identatas secara derah provinsi menggunakan nama kabupaten. Untuk identitas secara nasional menggunakan nama provinsi. Nama negara menjadi identitas internasional. Maka sistem identitas kesukuan dan kewilayahan perlahan menghilang.


Oleh. Joni Apero

Editor. Selita. S.Pd.
Palembang, 13 September 2019.

Sy. Apero Fublic

Belada Cinta Putri Pertama: Orang Tua dan Keluarganya

Apero Fublic.- Beteng Kuto Besak berdiri kokoh menjadi saksi sejarah di tengah Kota Palembang. Jembatan Ampera melintang menyatukan kedua sisi tebing Sungai Musi. Di atas jembatan laju kendaraan bermotor bagaikan aliran air yang deras. Ombak dan angin berpadu di tebing sungai yang sudah diperkeras dengan beton.

Kapal-kapal berlalu memeca gelombang. Tugu Ikan Belidah seakan menjadi penjaga benteng Kuto Besak yang perkasa. Warung empek-empek terapung terombang-ambing di tepian sungai, dipermainkan ombak. Azan berkumandang dari Masjid Agung Palembang tanda waktu shalat ashar datang.

Tempat wisata Benteng Kuto Besak adalah tempat bersantai masyarakat Kota Palembang. Di bibir tebing Sungai Musi berdiri dua orang insan manusia. Seorang pemuda berpenampilan rapi. Memakai kemeja lengan panjang berwarna putih polos, celana dasar kain berwarna coklat, berkopiah, namanya Khalid.  Si gadis memakai gamis hitam dan berhijab syairah warna merah panta, namanya Haifah.  Berdiri menghadap Sungai Musi.

Keduanya berkenalan sebagai sahabat beberapa bulan lalu, tidak pacaran. Berjarak sekitar sepuluh meter dari keduanya, tiga orang gadis juga berbusana islami menemani perbincangan mereka. Banyak juga pengujung datang berlalu lalang, ada pengamen. Khalid dan Haifah, keduanya berkomitmen untuk menikah. Di akhir perbincangan itu, Khalid berjanji pada Haifah.

“Syarat itu Kakak sanggupi. Kakak berjanji, “insyaa Allah akan mendukung adik berbakti kepada kedua orang tua adik. Kakak mengerti tugas adik sebagai anak sulung. Kedua orang tua kakak masih kuat, dan ada Kakak Hasim yang menjaga dan mengurus mereka. Jadi Kakak tidak terlalu terbebani dalam mengurus kedua orang tua kakak. Mungkin kita sekali-sekali datang berkunjung mengantar belanja.” Setelah perbincangan selesai maka mereka berlima menuju Masjid Agung Palembang untuk shalat ashar.

Waktu berlalu. Khalid dan keluarga datang melamar ke rumah Haifah di Kelurahan Talang Betutu. Akad nikah dilaksanakan di Masjid Al-Hijrah di Kelurahan Talang Betutu, Kota Palembang tidak jauh dari rumah Haifah. Pernikahan yang sederhana namun istimewa. Keluarga dan undangan datang memberi selamat. Keduanya sah menjadi suami istri. Sebagaimana janji Khalid sebelumnya, maka mereka tinggal di rumah orang tua Haifah. Haifah tiga bersaudara, dia anak sulung. Dua adiknya, Kahani dan Sammah sudah lebih dulu menikah di tahun lalu.

Waktu berjalan terasa cepat sekali. Tahun demi tahun, sekarang Haifah memiliki tiga orang anak. Anak tertua laki-laki bernama Amir. Dua lagi perempuan Zulaihak dan Kinanti. Khalid bekerja di sebuah pabrik roti, gajinya hanya dua juta lima ratus ribu rupiah sebulan. Sehingga Haifah harus hemat dalam mengatur keuangan keluarga. Ongkos kerja Khalid, biaya makan keluarga, bayar listrik, air, biaya sekolah anak-anak, dan lain-lainnya. Sehingga Haifah sangat mengatur keuangan dengan cermat.

Karena memang uang gaji suaminya pas-pasan. Haifah sangat sibuk sekarang, semua pekerjaan rumah dia yang menyelesaikan. Dari membersihkan halaman, membersihkan rumah, mencuci pakaian keluaraga, pakaian anak, suami, dan kedua orang tuanya. Memasak, mencuci piring, menghidangkan makanan, belanja. Bertambah sibuk kalau di bulan puasa, sebab dia akan mengurus sahur dan berbuka sedangkan dia juga berpuasa. Sepanjang waktu, pekerjaan itu dilakoni Haifah dengan sabar. Berbakti pada suami dan berbakti pada kedua orang tua.

Satu minggu sebelum idul fitri di tahun 1435 Hijriyah. Kahani, suami dan tiga anaknya pulang kampung. Suami Kahani seorang PNS di Kota Bandung, darah Aceh. Kahani pulang, dia memberikan banyak hadiah pada ayah dan ibunya. Saat itu mereka juga begitu perhatian dengan orang tua mereka.

Ketika mau kembali ke Kota Bandung mereka memberikan uang satu juta rupiah pada sang ibu. Betapa gembiranya ayah dan Ibu Haifah. Mereka bangga dan membanggakan Kahani pada semua orang di Kampung mereka, Talang Betutu. Haifah mendengar itu, dia pun merasa bahagia juga. Karena rumah mereka di Talang Betutu dekat dengan Bandara SMB II. Maka kedua orang tua Haifah menjemput saat datang dan mengantar saat kembali.

Dua bulan bulan kemudian, Lebaran Idul Adha juga tiba. Kali ini Sammah, suami dan dua anaknya juga pulang. Perlakuan Sammah seperti Kahani. Banyak memberikan hadiah, jalan-jalan di Kota Palembang. pada saat mau kembali ke Jakarta mereka juga memberikan uang satu juta rupiah. Ayah dan Ibu Haifah merasa bangga dan menceritakan semua itu pada tetangga dan masyarakat di kampung mereka. Ibu Haifah membandingkan Kahani, Sammah dengan Haifah dan suaminya. Haifah, tidak pernah membelikan mereka hadiah dan uang jutaan seperti kedua anak mereka itu.

Tahun berlalu, kembali seperti semulah. Kali ini Sammah dan keluarganya yang pulang kampung saat lebaran idul fitri, 1436 Hijriyah. Keluarga Kahani juga yang pulang di lebaran idul adha, bergantian. Sama seperti pulang kampung sebelumnya. Mereka memberikan hadiah, dan memberikan uang saat akan kembali. Namun dibalik semua itu, Haifah juga pontang panting menanggung biayah semua keluarga saat menjelang lebaran. Tetapi alhamdulillah Haifah dapat menutupinya. Ayah dan Ibu Haifah tida menyadari itu.

Sekarang Ibu Haifah merasa tidak suka dengan Haifah. Dia menganggap Haifah pelit dan tidak sebaik kedua anaknya. Menurut pemikiran ayah dan ibu Haifah. Kedua anaknya Kahani dan Sammah begitu baik. Memanjakan mereka dan perhatian sekali. Termakan pemikiran itu, perlahan-lahan Ibu dan Ayah Haifah mulai tidak suka dengan Haifah, dan keluarganya. Mereka ingin salah seorang dari Kahani atau Sammah tinggal dengan mereka. Sebab mereka baik, perhatian dan melayani mereka dengan sangat lembut. Sangat berbeda dengan cara Haifah, yang pendiam dan selalu bekerja.

Tibalah batas kesabaran ibu Haifah, sehingga sedikit cekcok dengan Haifah. Waktu itu, sore hari sekitar pukul tiga sore. Permasalahannya sepelah sekali, karena Haifah memarahi anak sulungya yang selalu bermain lupa waktu.

Suara keras Haifah membuat ibu Haifah marah. Waktu itu emosi Haifah sedang naik. Ibu dan Ayah Haifah merasa terganggu dan tidak tenang. Waktu itu, tekanan pekerjaan dan rasa capek membuat emosi Haifah labil. Akhir dari kata-kata Ibu Haifah waktu itu kurang baik, entah apakah salah pengertian.

“Sudah, cukup !!!, aku tidak tahan lagi bersama kalian.” Kata ibu Haifah marah dalam pembicaraan sore itu. Pernyataan itu membuat hati Haifah hancur. Secara halus kalau ibunya meminta Haifah untuk pindah. Haifah merasa kalau ibunya mengusir mereka secara halus. Air mata Haifah mengucur deras. Saat Haifah melihat ayahnya hanya diam.

Penilaian Haifah kalau ayahnya juga menyetujui. Yang paling sedih lagi, ketika Haifah melihat suaminya yang tertunduk diam. Namun suaminya tidak berkata apa-apa. Ada wajah malu dan sedih yang Haifah tangkap dari raut wajah yang mulai tidak terawat lagi itu. Kulit tubuh suaminya sudah agak gelap sekarang. Pulang dari pabrik sore hari, setelah magrib dia juga menjadi Driver Gojek.

Haifah terdiam, semua diam, kemudian Ibu Haifah pergi keluar rumah entah kemana. Haifah bangkit perlahan kekamarnya dan berbaring. Air matanya berlinang menetes tidak mau berhenti. Ayah Haifah keluar rumah, lelaki pensiunan PNS ini mengambil sapu dan menyapu halaman rumah. Tinggal suami Haifah yang duduk tenang sambil minum kopi. Tak berapa lama kemudian dia masuk kamar menghampiri Haifah.

“Sudah, jangan bersedih hati. Mungkin ibu sedang emosi dan marah saja. Jangan diambil hati. Jangan pulah salah mengartikan, mereka orang tua Adik.” Hibur Khalid.

“Tidak Kak, adik sudah mengerti sekarang. Maafkan aku yang telah membuat kakak kecewa. Aku beruntung mendapat suami yang sesabar Kakak. Aku tahu kakak berkata begitu karena Kakak ingin menepati janji kakak dahulu. Aku menyesal mengajukan syarat itu.
Dimana meminta kakak membantu aku menjaga ayah dan ibu sampai mereka dipanggil Allah. Aku menyayangi mereka dan ingin berbakti. Jerih payah Kakak tidak dihargai mereka.”

Kata Haifah sambil menangis, kemudian suaminya memeluk Haifah. Khalid sesungguhnya sangat tersinggung. Sebagai laki-laki dia memiliki harga diri. Tapi dia tidak mempersoalkan itu.

Tanpa mereka sadari ayah Haifah mendengar percakapan mereka. Waktu itu sedang memungut sampah di samping kamar Haifah. Ayah Haifah tahu alasannya mengapa suami Haifah tidak membawa Haifah dan anak-anaknya pindah rumah. Biasanya adat orang Melayu pantang tinggal di tempat mertua.

Orang bilang anak yang sudah menikah akan mudah tersinggung. Berbeda ketika mereka belum menikah. Benar, begitulah Haifah juga sangat tersinggung sekali. Haifah dihantui rasa bersalah karena tinggal di rumah orang tuanya. Haifah merasa malu, sedih. Dia juga kecewa dengan jerih panyahnya selama ini.

Keluarganya terasa memberatkan atau mengganggu ketenangan kedua orang tuanya. Apalagi sekarang dia sedang hamil anak keempat mereka. Satu minggu kemudian, Haifah, suami dan tiga anaknya pindah kesebuah kontrakan berjarak puluhan kilometer dari rumah ibunya, Talang Jambi. Sebelum pergi Haifah membersikan halaman dan bagian dalam rumah. Mencucikan pakaian ayah dan ibunya. Haifah juga memasak untuk yang terakhir kalinya.

Sebagai anak sulung dia merasa bertanggung jawab pada kedua orang tuanya, apa hendak dikata pikirnya. Waktu berjalan cepat, bulan dan tahun berlalu. Suami Haifah dipindah tugaskan ke Kota Sekayu. Sebuah kota kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan.

Tiga tahun berlalu, menjelang bulan ramadhan 1440 Hijriyah. Ibu Haifah menelpon anak keduanya, Kahani. Bertanya apakah mereka pulang dilebaran tahun ini. Kahani bilang karena sudah tiga kali lebaran pulang ke Palembang maka lebaran ini mereka pulang ke rumah mertua, di Aceh.

Kemudia menelpon anak bungsunya, Sammah. Sammah juga tidak pulang ke Palembang. Alasannya sama dengan Kahani, giliran pulang ke tempat mertua. Sudah tiga kali ramadhan dan lebaran terasa sepi bagi ayah dan ibu Haifah. Pernah diawal ramadhan Khalid datang mengantar belanja. Di sepuluh lebaran juga datang mengantar belanja. Keadaan sepi berlanjut di rumah Ibu Haifah, sampai idul fitri dan idul Adhah.

Suatu malam, Kahani menelpon kalau mereka sekarang telah pindah permanen di Provinsi Aceh. Karena pengajuan pindah suaminya di setujui pemerintah. Aceh tanah kelahiran suaminya. Suatu ketika Sammah juga menelpon. Suami Sammah juga pindah ke Sumatera Utara dan menetap di daerah tanah kelahiran suaminya, Kabupaten Deli Serdang. Sebagai guru PNS di sebuah Sekolah Menenga Atas. Maka mereka akan sulit pulang ke Palembang lagi, karena jauh.

Sore itu, suasana mendung, hujan ringan turun membasahi bumi. Suara air hujan jatuh di teratak atap terdengar riuh. Ibu Haifah duduk merenung di teras rumah. Lamunannya tenggelam ke puluhan tahun lalu. Dia melihat halaman kotor oleh sampa dedaunan. Sekarang Ibu Haifah tidak dapat menyapu halaman rumah tiga kali seminggu sebagaimana Haifah.

Terasa sakit pinggangnya. Daun jambu, daun sawo, dan daun bunga-bunga yang jatuh tiap hari. Haifah dari umur lima tahun sudah pandai menyapu halaman rumah. Haifah kecil selalu berhijab sedari Sekolah TK. Haifah tidak ingin ayah dan ibunya masuk neraka karena dia tidak menutup aurat. Itulah yang diajarkan ustazah di sekolah. Beranjak remaja Haifah sudah pandai mengurus rumah. Membersihkan perabotan, mencuci pakaian, dan memasak. Haifah begitu sayang pada ayah dan ibunya.

Dia tumbuh menjadi wanita mandiri. Air mata Ibu Haifah menetes perlahan di kedua belah pipinya yang keriput itu. Ayah Haifah datang membawa dua cangkir teh, dan duduk di samping Ibu Haifah. Melihat istrinya meneteskan air mata.

Ayah Haifah mengerti tentang perasaan dan pikiran istrinya. Bukan menangis karena halaman yang kotor dan berserakan itu. Tapi karena pada sosok anak kecil yang suka menyapu halaman itu, Haifah. Putri sulung yang bertanggung jawab seperti anak lelaki. Ayah Haifah menarik nafas dalam dan matanya juga berkaca-kaca.

Ayah Haifah menceritakan dengan istrinya mengapa Haifah dan suaminya tetap tinggal dirumah mereka setelah menikah. Tidak pindah rumah sebagaimana pernikahan anak-anak perempuan lainnya. Karena salah satu syarat diterimanya lamaran Khalid oleh Haifah. Khalid harus mendukung Haifah berbakti pada kedua orang tuanya.

Ibu Haifah bertambah terharu mendengar cerita suaminya. Kakek Nenek yang sudah berumur enampuluhan tahun itu sekarang hidup kesepian. Satu minggu kemudian Ibu Haifah jatuh sakit. Sudah lebih satu minggu tidak bangun dari pembaringan. Ayah Haifah menelpon putri bungsunya Sammah.

Sammah bilang kalau dia tidak dapat pulang sebab suaminya sedang bertugas studi banding pendidikan dari DIKNAS. Begitupun saat menelpon Kahani, dia tidak dapat pulang karena sudah menetap di Aceh. Ongkos ke Palembang dengan pesawat terbang  hampir sama dengan gaji satu bulan suaminya. Kalau naik bus akan memakan waktu tiga hari tiga malam.

Maka tidak mungkin pulang sekarang kalau belum penting sekali. Ingin Ayah Haifah menelpon Haifah. Tapi dia merasa tidak enak dan merasa malu pada anak sulung mereka itu. Dalam minggu itu, Ayah Haifah sendiri merawat ibu Haifah. Sekarang seisi rumah tambah terbengkalai. Semua sudah tambah tidak terurus lagi.

Khalid datang menengok keadaan mertuanya bulan ini. Membawa oleh-oleh dari Kota Sekayu, ikan keringpedetempoyak, buah duku, durian. Saat sampai di rumah mertuanya, Khalid melihat halaman sangat kotor, sampah berserakan dimana-mana.  Rumah nampak redup dan tidak terawat. Khalid mengetuk pintu, dan mengucap salam. Tidak lama kemudian ayah mertuanya membuka pintu. Melihat Khalid yang datang matanya langsung berkaca-kaca. Dia melihat-lihat keluar, berharap kalau Haifah juga ikut.

Khalid menyalimi tangan mertuanya, dan bertanya kabar keduanya. Mertua Khalid tidak berkata-kata, dia menyembunyikan rasa terharunya. Kemudian menunjuk ke kamar, dan melangkah masuk kamar. Khalid melihat mertua perempuanya terbaring berselimut tebal. Badannya sudah kurus dan matanya tertutup. Khalid menjadi khawatir dan dia duduk di pinggir pembaringan.
“Ibu, kenapa? Apa ibu sakit? Mengapa tidak memberi kabar!!!.

Mata berkeriput itu membuka. Menatap Khalid beberapa saat, kemudian mata rabun itu mengeluarkan air mata. Khalid menjadi sedih dan terharu. Kembali Khalid bertanya apakah ibu mertuanya sakit. Jawaban lembut dari mertuanya. “Tidak apa-apa, hanya demam.” Khalid ingin membawa ke bidan, tapi mertuanya menolak. Kemudian dia bertanya bagaimaan kabar Haifah dan anak-anak Khalid.

Khalid menceritakan bahwa keadaan mereka baik dan sekarang Haifah sudah mengajar di salah satu sekolah PAUD di Kota Sekayu. Kemudian dengan berlinang air mata, dia berpesan pada Khalid agar menyampaikan pesan permintaan maaf pada Haifah. Menjelang sore Khalid pulang ke Kota Sekayu dan tiba pukul delapan malam. Khalid menceritakan keadaan ibu dan ayahnya membuat hati Haifah terpukul dan sedih sekali. Air matanya tidak terbendung dan dia menangis meraung. Keesokan harinya, Haifah dan empat anaknya berangkat ke Kota Palembang.

Sesampai di rumah Haifah memeluk ayah dan ibunya. Mereka semua menangis haru dan bahagia. Anak Haifah, dan tiga adiknya bermain dan menyapu halaman rumah. Lalu membakar sampah dan halaman menjadi bersih. Haifah juga membersihkan rumah dan mencuci semua pakaian dan perabotan rumah. Rumah yang beberapa tahun sepi dan beku tiba-tiba menyalah.

Suara ramai anak-anak Haifah bermain seperti irama yang merdu di telinga kedua orang tua Khaifah. Begitupun saat suara orang sibuk memasak dengan suara-suara alat dapur beradu. Ayah dan Ibu Khaifah baru sadar sekarang. Di usia senja mereka bukan harta, bukan uang, bukan sanjungan semu. Tapi kasih sayang yang hangat yang ikhlas dari anak dan cucu-cucunya. Kebaikan bukan berupa hadiah, bukan beberapa lembar uang.

“Haifah, seandainya ibu telah menyakiti hatimu. Ibu memohon padamu agar maafkan ibu. Agar ibu tenang seandainya Allah memanggil ibu.” Kata Ibu Haifah memohon.

Haifah berkata dia tidak pernah merasa marah dan benci dengan ayah dan ibunya. Dia hanya menghormati dan menghargai jerih paya suaminya. Suaminya sudah bekerja keras dan relah mengurus ayah dan ibunya. Jarang ada menantu yang baik dan shaleh seperti Khalid.

Ayah dan Ibu Haifah mengerti betapa sulitnya Khalid, bekerja seharian kemudian menarik Gojek di malam hari untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Wajar saja kalau Haifah tidak pernah memberi uang jutaan sekali waktu, sebab semua kebutuhan hidup mereka yang menanggung. Haifah selalu memuliakan ibunya. Kemudian Haifah berkata.
“Ibu mau makan apa? gado-gado? atau kue bolu kesukaan ibu? Nanti Haifah bikinkan.” Tanya Haifah. Lama Ibu Haifah terdiam, kemudian dia berkata.
“Ibu meminta, pulanglah, hantarkan masa tua kami dengan damai. Ibu beruntung sekali, memiliki putri yang berhati mulia sepertimu, dan menantu yang baik, ibu telah salah menilai.” Jawab Ibu Haifah dengan haru. Haifah memandang ke ayahnya yang duduk di sisi kanan ibunya. Wajah tua yang dulu kencang sekarang sudah keriput. Rambut yang putih dan sudah tumbuh menipis.

Terkenang puluhan tahun lalu bagaimana sang ayah sering menggendongnya dengan kasih sayang. Haifah juga melihat mata ayahnya berkaca-kaca pertanda dia juga terharu. Haifah tidak tega menolak permintaan kedua orang yang sangat dia cintai itu, tangisnya pecah. Haifah mengiyahkan tapi dia ingin bermusyawara pada Khalid terlebih dahulu.

Khalid yang shaleh dan baik itu menyetujui. Betapa bahagianya Haifah memiliki suami yang sangat baik dan pengertian itu. Dua minggu kemudian Haifah dan anak-anaknya datang pulang, kembali kerumah orang tuanya. Khalid untuk sementara sendiri tetap di Kota Sekayu sampai perpindahannya di setujui perusahaan tempat dia bekerja. Sejak saat itu, Keluarga Khaifah kembali hidup bersama berbahagia.

Oleh. Joni Apero.
Editor. Desti. S.Sos.
Palembang, 27 Agustus 2019.

Sy. Apero Fublic

9/11/2019

Manipulasi Isu dan Paradigma Swasembada Beras Zaman Orde Baru


Apero Fublic.- Banyak orang berkata kalau pada masa Pemerintahan Otoriter Orde Baru Indonesia pernah mencapai swasembada beras. Sehingga Indonesia dianggap sangat makmur. Pemerintahan Orde Baru dianggap berhasil membangun ekonomi negara. Kesalahan persepsi dari orang asing, dan kesalahan anggapan dari orang Indonesia sendiri.

Orang-orang tersebut tidak memiliki pengetahuan tentang negara Indonesia secara mendalam. Mereka orang-orang asing membaca dari luar, dan melihat kulit yang diperlihatkan Orde Baru. Sedangkan orang Indonesia masa itu dilingkupi kebutaan dan tidak mengenal bangsa sendiri. Banyaknya beras atau gabah kering hasil petani di Pulau Jawa di anggap bentuk keberhasilan Pemerintahan Otoriter Orde Baru dalam membangun ekonomi.

Pada kenyataanya semua itu adalah berupa omong kosong mereka semua. Orang-orang yang tidak berpengetahuan berbicara tanpa mengerti apa-apa. Mereka berpikir pendek melihat gudang bulog yang penuh oleh beras yang tidak laku di tengah masyarakat Indonesia.

Dunia juga yang tertipu dengan keadaan tersebut, ketika sumbangan beras di PBB untuk Afrika. Sehingga Soeharto mendapat kesempatan berpidato pada peringatan FAO (Food and Agriculture Organization, di Italia 14 November 1985. Berikut ini, tiga faktor yang menyebabkan paradigma swasembada beras muncul dari orang-orang tidak bijak.

Faktor Populasi Penduduk.
Penduduk Indonesia pada masa Orde Baru belum sebanyak sekarang (2019). Di tahun 1985 jumlah penduduk Indonesia berjumlah 165 juta jiwa. Dari total jumlah penduduk diperkirakan 50% ada di pulau Jawa, Bali, dan Madura. Sehingga penduduk di luar Pulau Jawa sangat jarang, terutama di Papua dan Kalimantan.

Jumlah penduduk yang sedikit tentu juga menyebabkan kebutuhan ekonomi juga sedikit. Hutan-hutan yang luas dan penduduk masih jarang. Alam yang kaya raya memberi makan manusia Indonesia di pedalaman. Mobilitas kehidupan juga tidak seperti zaman diatas tahun 2000.

Faktor Produksi Masyarakat Petani.
Pada masa itu, dibawah tahun 1995, masyarakat petani di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Papua dan pulau-pulau lainnya masih memiliki cukup lahan untuk bertani. Mereka menanam padi ladang, hasl panen biasanya cukup satu tahun dalam satu kali panen. Menanam umbi-umbian, singkong, keladi, ubi jalar dan lainnya. Di daerah Maluku dan Papua masyarakat mengkonsumsi sagu yang banyak tumbuh subur di sana.

Ada juga kelompok masyarakat yang mengkonsumsi ubi. Selain itu, lingkungan sungai, alam masih terjaga sehingga masyarakat dapat menangkap hewan buruan dan menangkap ikan yang berlimpah di laut, sungai dan danau. Kehidupan penduduk masih semi tradisional. Masyarakat juga masih memiliki banyak hewan peliharaan, seperti ayam, sapi, kambing, kerbau, sehingga penduduk memiliki cukup dalam memenuhi kebutuhan daging.

Aku masih ingat sewaktu aku masih umur lima tahunnan. Dimana kehidupan di desaku, penduduk berladang, menanam padi dan sayur mayur. Kemudian hampir setiap keluarga besar memiliki ternak sapi, kambing atau kerbau. Membuat gula dari tebu dan gula aren. Kopi memproduksi sendiri dari kebun-kebun di belakang rumah mereka.

Membuat minyak sayur dengan kelapa, dan sebaginya. Selain itu ada juga masyarakat di luar Pulau Jawa yang bersawa. Sehingga masyarakat di luar Pulau Jawa tidak bergantung dengan beras dari Pulau Jawa. Maka Orde Baru bilang kalau Indonesia swasembada beras. Bentuk keberhasilan pemerintah dalam bidang perekonomian. Padahal itu adalah kelebihan produksi di Pulau Jawa sendiri.

Kemudian seiring waktu, keadaan sosial masyarakat berubah. Ketika tanah-tanah warga berganti dengan kebun karet, kebun sawit atau sebagainya. Masyarakat tidak lagi memproduksi kebutuhan pokok mereka. Maka masyarakat menggantungkan pada hasil luar daerah, atau pembelian di tokoh atau pasar. Begitupun saat lahan penggembalaan ternak berkurang akibat perkebunan masyarakat. Menjadikan penduduk tidak lagi mau memelihara ternak sapi, kerbau dan kambing mereka.

Sering mereka mendapat masalah saat ternak-ternak tersebut masuk ke dalam kebun warga. Ayam kampung yang biasanya mudah berkembang. Namun kemudian secara masal diserang oleh sejenis penyakit, di kenal dengan flu burung. Saya berharap pemerintah menyelidiki tentang virus tersebut. Karena dikhawatirkan ada oknum yang bermain dalam menyebarkan penyakit tersebut.

Maka sejak virus itu menyerang di Indonesia ternak ayam kampung warga habis karena mati mendadak secara masal. Sehingga sekarang kebutuhan daging ayam di suplai dengan ayam ternak pedaging. Pada sektor perikanan di atas tahun 2000 terjadinya peracunan sungai, danau, sehingga ikan air tawar berkurang.

Faktor Sosial Ekonomi.
Sebagaimana diketahui makanan pokok orang Indonesia berbeda-beda. Terutama di Indonesia wilayah timur. Banyak penduduk Indonesia di berbagai wilayah belum menggantungkan makanan pokok pada beras. Seperti di Maluku, Papua, Madura, Sulawesi.

Penduduk-penduduk tersebut masih mengkonsumsi makanan pokok seperti jagung, ubi, sagu, dan jenis umbian lainnya. Memang sudah ada beberapa bagian yang mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok mereka. Sehingga ketergantungan dengan beras belum begitu tinggi. Sedangkan sentra beras dibangun secara luas di jawa. Tanpa mengukur jumlah konsumsi masyarakat kala itu.

Di pulau Jawa sebagai sentra penghasil beras tidak begitu berarti bagi wilayah di luar jawa. Masyarakat belum membeli dengan sepenuhnya beras dari Jawa. Sehingga membuat produksi beras hanya berkumpul di Pulau Jawa. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintahan  Otoriter Soeharto akhirnya membeli beras petani tersebut.

Maka beras dan gabah kering hasil petani di Jawa memenuhi gudang-gudang bulog pada masa itu. Sehingga Pemerintahan Otoriter Orde Baru pernah mengirimkan bantuan seratus ton beras ke Afrika (Ethiopia). Membuat anggapan dunia dan pengakuan Orde Baru bahwa Indonesia swasembada beras.

Untuk menghabiskan beras-beras tersebut juga memaksa Aparatur Negara mengkonsumsi beras berkualitas buruk itu, yang tertimbun dari gudang-gudang bulog dengan alasan, beras jatah dari negara. Baru pada masa revormasi jatah beras diganti dengan uang. Sehingga mereka dapat membeli sendiri beras yang berkualitas baik.

Dampak Kecerobohan Tersebut.
Di zaman sekarang ketika penduduk Pulau Jawa meningkat dua kali lipat lebih. Entah bagaimana itu dapat terjadi sebab apa yang di lakukan Orde Baru. Sawa banyak di timbun untuk pembangunan. Masyarakat di luar pulau Jawa tidak lagi memproduksi kebutuhan mereka sendiri. Sehingga kebutuhan beras akhirnya perlahan-lahan meledak dan terpaksa negara membeli keluar negeri (infor).

Penduduk di Indonesia Timur mulai mengkonsumsi beras. Meninggalkan makanan pokok mereka karena masa Orde Baru dirusak dengan beras. Seharusnya di dukung agar tidak membengkak keperluan beras dalam jangka panjang. Beras di Jawa perlahan hanya cukup memenuhi kebutuhan di Pulau Jawa tidak lagi seperti dulu sebab bertambahnya jumlah penduduk di Pulau Jawa.

Maka, bom waktu terjadi ekonomi Indonesia bergantung dari luar. Masihkan kita terjebak subjetivitas sejarah. Dengan bodoh percaya ada swasembada beras di zaman Pemerintahan Otoriter Orde Baru. Tidak, itu ketimpangan dan kecerobohan, arogansi dalam membangun ekonomi bangsa, dari paham sukuisme Soeharto. Kemudian menjadi bom waktu bagi perekonomian bangsa Indonesia.

Oleh. Joni Apero.
Editor. Selita. S.Pd.
Palembang, 12 September 2019.
Sumber foto. Anoname.

Sy. Apero Fublic

8/18/2019

Mata Cantik Aisyah Part III: Aisyah dan Geng Mio


APERO FUBLIC.- Bulan Ramadhan 1439 Hijriah telah berlalu, sekitar sebulan lalu. Aktivitas perkuliahan Aisyah dalam libur smester. Kampus sepi, hanya mahasiswa smester akhir yang datang mengurus tugas akhir, seperti skripsi, kompre, ujian munaqosah  yang datang ke kampus. Mereka dengan sabar menunggu untuk bimbingan skripsi atau ujian komprehensip. Libur smester, Aisyah juga pulang ke kampung halamannya di Kota Lahat. Desa Aisyah sangat indah, banyak sawah terhampar dan perbukitan yang tinggi.

Suatu pagi Aisyah pergi kepasar sayur dengan berjalan kaki. Aisyah sengaja tidak membawa sepeda motor. Dia ingin melepas rindu dengan tanah kelahirannya. Karena sudah lama tidak pulang ke desa jadi Aisyah ingin menikmati suasana desa yang asri, sejuk dan damai. Sambil berjalan Aisyah menikmati pemandangan alam daerahnya yang indah. Awan putih nampak bergumpal di atas bukit salero. Memanjakan matanya, yang sudah berbulan-bulan hanya melihat kendaraan dan gedung-gedung di Kota Palembang.

Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Dengan santai Aisyah pulang dari pasar membawa belanja sayurannya di dalam keranjang rotan yang dianyam indah. Hasil kerajinan anyaman dari ibunya. Ada dua kilogram ikan sungai, setengah kilo tomat, dua ikat sayur kangkung, dua kilo kentang, dan bumbu-bumbu dapur. Saat pulang, agar tidak terlalu jauh Aisyah mengambil jalan pintas. Sebuah jalan setapak menuju rumahnya.

Selain itu Aisyah juga ingin melihat lebih banyak hamparan sawah dan pepohonan di perbukitan. Dulu jalan setapak itu adalah jalan pulang Aisyah dari sekolah sewaktu SMA. Aisyah berpapasan dengan beberapa ibu-ibu yang pulang dari sawah. Semuanya tersenyum hangat menyapa Aisyah. Kedua ibu-ibu itu suka Aisyah semakin sholehah. Saat bertegur sapa mereka memuji Aisyah, sehingga Aisyah jadi malu.

Pertengahan perjalanan menyusuri jalan setapak itu. Melewati tanah lapang yang ditumbuhi rerumputan hiaju. Sekelompok anak perempuan nampak berkumpul. Mereka duduk dan bermain disekitar itu. Perbincangan yang seru, terkadang mereka tertawa terbahak-bahak. Semuanya tampak begitu ceria dan gembira. Entah apa yang membuat mereka begitu semangat. Seharusnya mereka kesekolah hari ini. Tapi mengapa tidak bersekolah. Ternyata mereka bersepakat untuk bolos.

Semuanya berbaju kaos mini yang hampir terlihat pusarnya dengan celana pendek sebatas paha. Ada juga yang memakai rok mini. Tiga orang remaja rambutnya dipotong pendek sebahu. Duduk di sisi jalan setapak yang di cor beton, beralas sendal. Lima gadis lagi duduk diatas sepeda motor, dua tegak di sisi motor dengan tangan di lipat kedada. Bahkan ada yang duduk diatas sepeda motor degan cara kakinya diletakkan diatas setir motor.

Kaki dan pahahnya terpampang jelas. Tubuhnya ramping semampai, berkulit putih, alis hitam halus, wajah oval dengan lesung pipit. Wajah cantik dengan bibir merah tanpa lipstik. Namanya Zulaihah, dia pemimpin Geng Mio di desa Aisyah. Memang semua kelompoknya memakai sepeda motor mio. Aisyah memperhatikan sekumpulan gadis-gadis remaja itu.

Kalau dilihat dari umurnya mereka masih anak SMA. Dua tahun lebih muda dari Aisyah. Kemudian salah seorang diantara mereka berseru. Melihat Aisyah melangkah perlahan menuju kumpulan mereka. Aisyah yang memakai cadar, bergamis, dan berhijab syariah tentu menjadi perhatian mereka. Bila dibandingkan dengan mereka seperti langit dan bumi.

“Eh, lihat siapa itu !!!.” Serly berseru, dia tegak dengan tangan dilipat di dada.
“Entahlah, ada juga sok alim di desa kita.” Kata Arum yang rok mini.
“Orang baru mungkin.” Yang berambut pendek sebahu, dan dicat kuning kekuningan dibagian depan menimpali. Namanya Via.
“Baru lihat. Kata yang duduk di belakang Arum.
“Itu Aisyah sepertinya. Rumahnya tidak jauh dari rumahku.” Yang duduk di motor menambahkan.
“Dulukan dia tidak bercadar dan berpakaian begitu.
“Oh. Aisyah. Ku pikir siapa. Sok sekali itu cewek. Baru kulia beberapa smester sudah begitu pakaian kayak orang Arab.” Kata Zulaihah.

Aisyah sampai di dekat mereka. Gadis di atas motor memberi kode pada gadis remaja yang rambutnya di cat warna kuning untuk menghalangi jalan. Kemudian dua temannya juga ikut pura-pura berbincang di tengah jalan. Sehingga jalan setapak terhalangi oleh mereka bertiga. Setelah Aisyah dekat dan tinggal beberapa langkah. Aisyah menyadari kalau dia bertemu remaja-remaja nakal. Sebagai seorang mahasiswi dia tetap tenang. Menganggap mereka semua sebagai adik-adiknya.

“Waduh, gayanya macam ustazah saja ya. Kemaren pakai hijab saja terpaksa, sekarang baru kulia beberapa smester sudah pakai cadar. Anehhh...
“Munafiq juga, ini orang ya.
“Tau, aah...
“Macam orang Arab saja. Ini Indonesia yee.” Kata Via sambil mulut di dowerkan.
“Mirip ibu-ibu yah.!!! Mirip sekali ya. !!! Pakek gamis, pakek cadar. Eh, itu ditangan mirip tempat bawang merah ya.” Mereka meledek handshock Aisyah.

Semua kemudian tertawa terbahak-bahak. Aisyah mendidih sampai keatas ubun-ubun kepalanya. Tapi dia kemudian beristiqfar dan bersabar. Dia diam saja mendengar perkataan remaja-remaja itu. Aisyah walau baru masuk semester empat dia sudah benar-benar dewasa. Dia tahu kalau ini anak remaja yang perlu dia rangkul. Banyak celoteh mereka membuat kuping Aisyah panas. Sesungguhnya kelompok Geng Mio ingin membuat Aisyah marah dan ribut dengan mereka. Setelah itu Aisyah kemudian berkata lembut.

“Adik, sudah bicaranya. Kakak mau lewat pulang.
“Adikkkk. Sok dekat ini cewekkk.” Kata Zulaihah yang paling sangar.
“Lewat saja sendiri apa urusan kami. Sok baik, emang kami adik kamu.” Kata si pirang ketus. Aisyah kemudian mengalah dan dia keluar dari jalan setapak dan melewati rerumputan tanah lapang. Dia terus berjalan tanpa menghiraukan celoteh nakal mereka. Aisyah benar-benar di uji imannya pagi ini. Bukan ahlak seorang muslimah sejatih apabila berkata-kata kasar.

Satu bulan berlalu dari kejadian itu. Suatu hari Aisyah pergi bersantai jalan sore bersama seorang sepupunya, Muslimah. Di perbatasan desa ada tempat penjualan kuliner. Di sana masyarakat sering datang bersantai, menikmati pemandangan Bukit Salero, tepian Sungai Lematang berbatu dan berair jernih, Kawasan Merapi Barat. Daerah Aisyah adalah dataran tinggi.

Banyak jalan yang berliku-liku karena jalan berbukit dan menghindari jurang. Di kelokan, agar aman pengendara membunyikan klakson dan melaju perlahan-lahan. Ada lembah yang cukup dalam dan curam di sisi jalan. Aisyah melaju dengan perlahan dan sabar. Sepupunya yang rewel selalu manja mengajak berbincang terus. Aisyah sabar meladeni adik cantiknya itu.

“Kak, nanti kaka yang traktir, besok baru aku?
“Ahh, kamu ini, besok terus. Datang besok  traktir hari ini, besok dia besak lagi.
“Iyalah akukan adik. Adikkan memang nomor satu.
“Oh. Mentang-mentang adik kamu yaaa, zolim ke kakak, durhaka tau.
“Kak gimana kabar cowok kakak.
“Eh, jangan sebut lagi. Kakak sudah hijrah dan istiqomah. Menjemput jodoh tanpa pacaran. Dulu kakak belum tahu saja tentang hukum Islam. Setelah kakak tahu jadi kakak tidak mau pacaran lagi. Dosa besar.
“Benar dosa besar kak.?
“Iyalah, itu jelas tertulis di dalam Al-Quran. Tidak boleh mendekati zina.
“Kak bole aku juga ikut hijrah.
“Eh, kamukan masih kecil, belum pernah pacaran. Jadi bukan hijrah namanya. Tinggal menutup aurat dan memperdalam pengetahuan ilmu agama.
“Ohhh. Begitu, makasi kak aku yang cantik. Semoga kak Ali cepat melamar Yah.

Aisyah melihat bekas ban mobil mengerem. Tapi itu biasa kalau di jalan raya. Kali ini ada rambu-rambu lalu lintas yang memberi tahu kalau jalan tikungan tajam dan menurun. Saat melewati pertengah tikungan tanpa sengaja Aisyah melihat ke samping kirinya. Aisyah terkejut dan setengah tidak percaya.

Tiga motor mio tergeletak, sedangkan ada delapan orang gadis dengan busana seksi sekali tergeletak disekitaran itu, terluka parah. Sepertinya mereka ada yang bonceng tiga. Ada yang berdara di hidung, tangan, kaki. Aisyah berhenti mendadak. Membuat Muslimah tersentak kaget. Muslimah menggerutu kenapa tiba-tiba berhenti. Aisyah dengan sigap menepikan motor dan turun.

Muslimah yang baru melihat juga terlonjak dengan kaget. Merekapun buru-buru menolong delapan orang yang tergeletak itu. Erangan dari mulut mereka terdengar kalau mereka masih hidup. Untung sesaat kemudian ada mobil pickup kosong lewat. Masih mobil penduduk di desa Aisyah. Sehingga keenam gadis itu dibawak kerumah sakit Kota Lahat.
*****
Sejak kejadian sore itu. Dimana Aisyah membantu, merawat dan sekaligus mengantar mereka ke rumah sakit. Membuat Geng Mio terharu. Mereka tidak menyangka kalau Aisyah masih baik dan membantu mereka. Seandainya Aisyah dan Muslimah tidak membantu. Entah apa yang terjadi, mungkin mereka meninggal atau diperkosa orang.

Kejadian itu membuat Geng Mio sadar. Mereka datang menemui Aisyah dan meminta maaf. Mereka berterimah kasih dan mengakui kalau mereka salah. Aisyah memaafkan mereka dan sekarang bersahabat. Aisyah sering berkumpul dan berbagi dengan mereka. Terutama tentang kewajiban seorang muslimah menutupi auratnya.

Berbagai alasan mereka dalam menanggapi ajakan menutupi aurat. Ada yang bilang masih jarang shalat. Ada yang buta ilmu agama, ada yang beralasan bukan anak pesantren. Aisyah menjelaskan kalau itu semua dapat diperbaiki seiring waktu. Aisyah menceritakan saat pertama dia memakai hijab syariah dan bercadar masih pacaran. Kemudian setelah dia tahu kalau tidak bole mendekati zina seperti pacaran. Maka dia memutus pacaranya, si Ahmad.

Sekarang Aisyah juga sedang belajar tentang ilmu piqh muslimah. Mereka akrab, dan menjadi seperti adik dan kakak. Suatu hari Aisyah mengundang mereka, buat acara rujakan. Aisyah tidak lagi membicarakan tentang hijrah.

Ternyata Geng Mio juga sudah mendapat hidayah. Saat makan ruajak bersama itu mereka berkata kalau mau hijrah karena Allah. Selama ini mereka tidak tahu sehingga mereka hanya ikut-ikutan sifat remaja di televisi, novel, youtube, medsos. Sehingga akhirnya mereka mencoba dengan syarat kalau tidak tahan boleh dilepas.

Aisyah bilang coba saja dan hanyati dengan iman. Sepuluh orang anggota Geng Mio memakai hijab syaraiah. Mereka membeli hijab secara online, lengkap dengan cadar, dan hand shock. Geng Mio memakai cadar dan pakaian syariah. Dua anggota yang tidak ikut kecelakaan juga ikut hijrah.

Setelah semua seragam busana muslim. Suatu hari, mereka mutuskan untuk bersantai bersama. Geng Mio yang baru mulai menampakkan diri. Desa Aisyah heboh dan beragam tanggapan masyarakat. Ada yang bilang radikal, teroris, budaya Arab, sok suci, kayak ibu-ibu.

Tapi mereka semua tidak peduli. Sebab mereka hijrah karena Allah. Allah mengampunkan semua dosa hambanya yang taubat. Suatu sore, Geng Mio, Aisyah, Muslimah melanjutkan niat beli bakso yang tertunda dulu, sebab mereka membantu kecelakaan. Sekarang sudah ada enam motor mio.

Kebetulan motor Aisyah juga motor mio. Ada duabelas orang bersepeda motor mengenakan busana muslimah. Penduduk desa terperanga melihat semua itu. Saat tiba ditempat jajanan, semua penduduk terdiam dan tidak percaya. Si ibu penjual bakso beberapa kali bertanya apakah benar kalau itu Geng Mio pimpinan Zulaihah. “Dunia terbalik apa?. Si ibu itu berguman.

Geng Mio merasa nyaman memakai pakaian muslimah. Mereka merasa aman dan terlindungi. Laki-laki tidak melihat mereka dengan renda dan penuh pandangan nakal. Mereka merasan menjadi wanita yang mulia. Sehingga akhirnya Geng Mio benar-benar berubah total, lahir dan batin.

Di malam hari mereka belajar mengaji di masjid. Sepulang sekolah mereka latihan berbagai kegiatan bermanfaat. Seperti bermain musik robana, mendesain busana muslim, bermain volly ball. Ternyata walau berbusana muslim tidak menghalangi mereka berolahraga.

Orang tua Geng Mio merasa bangga dengan mereka. Sehingga anggota Geng Mio menjadi terharu. Mereka tidak menyangka kalau orang tua mereka menjadi bangga dan bahagia melihat anak gadis mereka menjadi gadis shalehah. Kalau selama ini mereka dimarahi setiap hari. Sekarang ayah dan ibu mereka jadi tersenyum bahagia selalu.

Suatu festival olahraga di adakan di Kecamatan Merapi Barat, Lahat. Desa Aisyah menjadi tuan rumah. Geng Mio dan Aisyah ikut bertarung dalam kompetensi itu. Enam orang Zulaihah dan teman membentuk tim volly.

Dua orang beradu di busana muslim. Aisyah dan Musliman di tim kasidah. Tanpa disangka-sangkah mereka mendapat juara pertama semua. Keharuan kembali terjadi saat Pak Bupati yang memberikan hadia. Para orang tua Geng Mio yang menonton menyaksikan mereka jadi terharu.

Berurailah air mata mereka. Tak disangkah anak nakal dahulu sekarang berubah menjadi anak berprestasi dan shalehah. Geng Mio berlari menemui ibu–ibu mereka masing-masing. Memeluk dengan rasa mengharu-biru, sambil menangis. Mereka sekarang benar-benar menyadari alangkah indah hidup dengan kebaikan ahklak.

Begitupun ibu Muslimah juga bangga padanya. Aisyah tersenyum melihat ibunya. Dia memeluk sang ibu. Ibu Aisyah juga sangat sayang dengan Aisyah. Ibunya juga bangga putrinya sekarang menjadi gadis shalehah dan mampu merubah teman-temannya.

Di keramaian sore itu, penduduk melepas kepulangan Pak Bupati, dan tim-tim kecamatan lain. Sebelum pulang Pak Bupati berpesan agar anak muda menjadi agen perubahan bangsa, jauhi narkoba, rajinlah belajar, dan pelajari ilmu agama, Islam. Aisyah berjalan di kerumunan masyarakat di dampingi ibunya.

Dia bermaksud belanja jajanan. Lalu Aisyah bertemu dengan teman-temannya. Orang tua para Geng Mio sangat bahagia bertemu Aisyah. Bagi mereka Aisyah adalah pahlawan anak-anak mereka. Eh, ada yang menawarkan untuk menjadi menantunya. Aisyah bilang Insyaa Allah nanti setelah selesai kuliah.
******
Libur semester telah berakhir. Aisyah pamit untuk kembali ke kampus. Pagi yang cerah dan penuh haru. Sebelumnya Aisyah sudah pamit dengan teman-temannya. Muslimah dan tentunya Geng Mio yang sudah hijrah itu, menjadi sedih. Tas dan barang bawaan Aisyah sudah di siapkan ayahnya di pinggir jalan.

Agar kenek bus mudah mengangkat nanti. Aisyah memeluk ibu dan ayahnya. Begitupun dua adik kecilnya, Khadijah yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Dua adik laki-lakinya yang sudah SMP dan SMA juga berpamitan pagi tadi sebelum berangkat ke sekolah. Setelah siap Aisyah menunggu bus lewat di depan rumahnya.

Bus lewat pukul 09:00 WIB biasanya. Beberapa tetangga Aisyah juga sedih Aisyah kembali ke Kota Palembang. Terasa sepi kalau tidak ada Aisyah, kata mereka. Aisyah melangkah keluar diiringi ibunya. Saat Aisyah keluar membuka pintu. Betapa terkejut Aisyah halaman rumahnya sudah ramai.

Geng Mio datang untuk melepas keberangkatan Aisyah ke Kota Palembang. Tapi yang paling Aisyah terkejut. Ada ratusan wanita yang berbusana muslimah sesuai syariah. Aisyah tidak menyangka kalau semua gadis di desanya sudah menyadari menutup aurat adalah wajib bagi wanita muslim.

Semuanya tahu dan mengenal puncaknya saat pestival olah raga kemarin. Sehingga semua penduduk desa mengetahui.Teriak panggilan kakak memanggil Aisyah menggema di halaman rumah. Aisyah hampir menjerit haru dan menutup mulut dengan kedua tangannya.

Begitupun ibu, ayah, tetangga, dan penduduk yang melintas menjadi terharu. Air mata mereka mengalir dengan sendirinya. Geng Mio memberikan Aisyah sebuah boneka berungan besar sebagai hadiah. Mereka memeluka Aisyah satu demi satu. Dalam haru dalam tangais mereka merasakan kedamaian dalam iman Islam.

Bus yang di tunggu datang juga. Ayah Aisyah memberi tanda agar bus berhenti. Bus mengerem, berhenti tepat di depanrumah. Seorang anak perempuan umur tujuh tahun menangis meminta Aisyah jangan pergi. Ibu si anak berusaha menangkan. Dia bilang Kakak Aisyah mau kuliah, mau belajar, nanti kalau dia libur dia akan pulang lagi.

Anak itu namanya Fatimah, selalu belajar mengaji dengan Aisyah. Kepergian Aisyah diiringi air mata haru dan cinta kasih semua orang desanya. Lambaian tangan mereka dapat Aisyah lihat dari jendela bus. Aisyah merasa bahagia sekali. Seperti mimpi rasanya. Dalam hati Aisyah berkata.

Terimah kasih Ya Allah telah menganugerahkan kasih sayang diantara kami. Kau telah membuka pintu hidayah sehingga kami dapat menikmati rahmatmu dengan baik. Untuk menghilangkan bosan Aisyah membuka handpone samsung miliknya. Dari facebookinstagram, sampai twitter. Aisyah tidak pernah membuka konten yang buruk apalagi amoral.

Tidak pernah menulis status yang tidak baik di dinding media sosialnya. Perjalanan yang membosankan dengan lama mencapai tujuh jam perjalanan, Lahat ke Kota Palembang. Mau tidak mau harus di jalani dengan sabar. Sebua pesan dari whatsApp masuk. Itu pesan dari seorang pemuda blogger yang pengangguran, Kak Joni tertulis namanya.
“Assalamualikum dek?
“Waalaikum salam, Kak.” Jawab Aisyah.
“Adik apa kabar? “ Masih libur apa?
“Alhamdulillah, baik Kak. Sudah kembali kulia kak. Ini adik sudah di jalan menuju Kota Palembang. Senin ini adik sudah mulai kuliah aktif.
“Adik di bus sekarang.
“Iya kak?
“Kakak dimana, lagi apa?
“Kakak di rumah. Sedang mengetik cerpen. “Oh, yah. Puisi adik sudah kakak upload di blogger.
“Terimah kasih, kak. Coba kirim lingnya.” Balas Aisyah.

Seorang anak muda duduk di kursi di sebalah kursi Aisyah. Rambut agak gondrong, mata sipit, kulit berwarna putih. Memakai switter berwarna biru langit. Kepalanya dia tutup dengan topi switternya sehingga terlihat wajahnya saja. Celana jean hitam, bersepatu karet berwarna biru.

Ada tas kecil berwarna coklat, yang berisi Al-Quran saku, handpone, sisir dan handuk kecil. Pemuda itu duduk bersebelahan dengan seorang bapak-bapak berumur empat puluhan tahun. Si pemuda membuka smartphone xiomi miliknya. Dia sedang mengirim pesan entah pada siapa.

Kemudian si pemuda melihat ke arah kursi Aisyah. Seringgai aneh mengulas di bibirnya. Tatapan mata si anak muda juga penuh tanda tanya. Aisyah melirik dan hatinya bertanya-tanya tentang si pemuda itu. Namun semua tanya hatinya dia abaikan sebab tidak berbuah jawaban.

Oleh. Joni Apero.
Editor. Desti. S.Sos.
Palembang, 28 Juli 2019.
Sumber gambar kartun. http://kartunmuslimah.com

Sy. Apero Fublic