Syarce
Syarce adalah singkatan dari syair cerita. Syair cerita bentuk penggabungan cerita dan syair sehingga pembaca dapat mengerti makna dan maksud dari isi syair.
Apero Mart
Apero Mart adalah tokoh online dan ofline yang menyediakan semua kebutuhan. Dari produk kesehatan, produk kosmetik, fashion, sembako, elektronik, perhiasan, buku-buku, dan sebagainya.
Apero Book
Apero Book adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang distribusi semua jenis buku. Buku fiksi, non fiksi, buku tulis. Selain itu juga menyediakan jasa konsultasi dalam pembelian buku yang terkait dengan penelitian ilmiah.
Apero Popularity
Apero Popularity adalah layanan jasa untuk mempolerkan usaha, bisnis, dan figur. Membantu karir jalan karir anda menuju kepopuleran nomor satu.
@Kisahku
@Kisahku adalah bentuk karya tulis yang memuat tentang kisah-kisah disekitar kita. Seperti kisah nyata, kisah fiksi, kisah hidayah, persahabatan, kisah cinta, kisah masa kecil, dan sebagaginya.
Surat Kita
Surat Kita adalah suatu metode berkirim surat tanpa alamat dan tujuan. Surat Kita bentuk sastra yang menjelaskan suatu pokok permasalaan tanpa harus berkata pada sesiapapun tapi diterima siapa saja.
Sastra Kita
Sastra Kita adalah kolom penghimpun sastra-sastra yang dilahirkan oleh masyarakat. Sastra kita istilah baru untuk menamakan dengan sastra rakyat. Sastra Kita juga bagian dari sastra yang ditulis oleh masyakat awam sastra.
Apero Gift
Apero Gift adalah perusahaan yang menyediakan semua jenis hadia atau sovenir. Seperti hadia pernikahan, hadia ulang tahun, hadiah persahabatan, menyediakan sovenir wisata dan sebagainya. Melayani secara online dan ofline.
2/01/2020
Sebuah Novel: Jawara. Angkara di Bumi Krakatau.
1/27/2020
Sebuah Wacana. Menutup Aurat Dengan Baik Adalah HAM Milik Kaum Muslimah
1/26/2020
Contoh Paham Neofeodalisme Derajad Dirinya Diukur Dengan Makanan
Palembang, 26 Januari 2020.
1/24/2020
Legenda Puyang Putri Salabure. Sumatera Selatan.
Sebuah talang yang
terletak tidak jauh dari aliran Sungai Keruh, Talang Manau. Talang yang cukup
besar masa itu. Terdapat sekitar tiga ratusan kepala keluarga. Aktivitas mereka
bertani ladang berpindah, berburu, dan menangkap ikan di sungai. Rumah-rumah
mereka berbentuk panggung dan terbuat dari kayu.
Datu Talang Manau
bernama Lakulah. Umurnya sekitar lima puluh tahun. Selain itu, ada juga orang
yang dihormati di Talang Manau, keluarga yang mahsyur. Keluarga sederhana bukan
dari keluarga kaya, bukan golongan bangsawan. Namun kebaikan budi keluarga
tersebut sangat terkenal. Kalau ada masalah, belajar ilmu pengetahuan, belajar
ilmu kuntau (silat). Penduduk selalu mendatangi keluarga ini, namanya Puyang
Salikuliku. Puyang Salikuliku memiliki sepuluh orang anak. Sembilan laki-laki
dan si bungsu perempuan bernama, Putri Salabure.
*****
Suatu sore Puyang
Salikuliku dan tiga anak laki-lakinya sedang latihan ilmu silat (kuntau). Anak
laki-laki ke enam bernama Lindu, anak ke tujuh Jujuka, anak ke delapan Pulana.
Ketiganya berganti-ganti berlati dengan Puyang Salikuliku. Terdengar suara
saling menyerang dengan garang. Mereka latihan dengan tangan kosong. Kadang
juga dengan menggunakan senjata khas masyarakat Pedatuan Bukit Pendape, Pibang.
“Heeaaaaa. Heeaaaa.
Trannng. Trannggg.” Begitulah suara gaduh kakak beradik berlatih ilmu bela
diri. Puyang Salikuliku mengamati dan kadang terjun ke kanca latihan.
Tubuh mereka basah oleh keringat. Tampak pada baju Tenun Belango mereka basah.
Berlatih dengan semangat dan penuh kesungguhan.
“Serangan koyong,
jurus bulan bintang tambah mantap. Sulit aku nak mengimbangi yong.” Ujar Jujuka
memuji kehebatan Lindu. Lindu hanya tersenyum simpul, dia bilang jangan memuji.
Perkataan Jujuka didukung oleh Pulana. "Betul koyong, bukan nak memuji.
Koyong bisa kembangkan dapat jadi jurus andalan Kakak.
Pulana menegak air di
dalam teko gerabah. Terdengar suara tegukan. Setelah puas dia melemparkan teko
ke arah Jujuka yang tampak mengisyaratkan kalau dia juga mau minum. Saat teko
sedang melayang mengarah ke Jujuka. Melesat sebuah batu sebesar telur ayam
menghantam teko. Lalu diiringi suara teriakan dahsyat.
“Tarrrrr.” Suara teko pecah.
Bayangan serba hitam
dengan pibang di punggung, menyerang Pulana. Puyang Salikuliku dan tiga anaknya
kaget bukan kepalang. Jujuka, Pulana, dan Lindu melompat mundur sejauh dua
langkah ke belakang. Tendangan beruntun si penyerang luput.
Mereka tidak dapat
mengenali penyerang, bertopeng cadar hitam. Berbaju serba hitam dan hanya
matanya yang terlihat. Orang tidak dikenal ini terus menyerang tiada henti
silih berganti. Kali ini si penyerang menghantam Lindu. Terjadilah pertarungan
hebat. Lindu akhirnya mampu menyambar topeng yang berbentuk cadar yang
dililitkan ke seluruh kepala itu.
“Salaaaaa....” Teriak
mereka berempat. Lindu berhenti dan berdiri mantap. Putri Salabure sekarang
ketahuan. Tapi dia masih saja menyerang Lindu. Lindu tidak menanggapi, pukulan
Putri Salabure berkali-kali mengenai dada, tendangan menghantam pinggang. Tapi
Lindu diam saja.
“Dah, berhenti kopek.
Kau ini.” Ujar Lindu melangkah pergi sambil melemparkan topeng ke Putri
Salabure. Putri Salabure berteriak kalau dia mau ikut latihan silat.
“Aku nak latihan,
Koyong. Bakk.” Kata Putri dengan merengek manja pada ayah dan kakak-kakaknya.
“Balik, dah soreh.
Siapa bantu Umak memasak!!!.” Ujar Pulana melangkah dan duduk.
“Untung punya satu
saja adik perempuan macam kau, ini. Kalau ada lima saja, hancur Talang Manau
ini." Serga Jujuka.
“Ya, koyong, Sala mau
ikut latihan. Mesti ajaklah aku.” Ujar Putri Salabure merengek, sambil cemberut
dan merajuk.
“Sudah besar masih
manja, saja.” Kata Jujuka yang kemudian duduk di hadapan Puyang Salikuliku.
Puyang Salikuliku melambaikan tangan agar Putri Salabure juga duduk di
hadapannya disamping kakak-kakaknya. Putri Salabure duduk sambil cemberut di
sisi Pulana. Mereka mendengarkan nasihat sang ayah. Beberapa saat kemudian
Putri Salabure pulang dia diminta mengantar air minum.
"Pulang, siapa
bantu Umak masak." Ujar Putri di jalan dengan nada kesal meniru suara kakaknya
tadi. Sambil mulutnya dimenyong-menyongkan.
Di sepanjang jalan
pulang dia masih merajuk. Baginya tidak mengapa wanita ikut laki-laki latihan.
Tapi itulah adat, dan wanita harus ikut kodratnya sebagai wanita. Nasihat
Puyang, wanita hebat bukan dinilai dari kehebatannya, tapi dari akhlak dan
kasih sayangnya. Setiba di rumah Putri Salabure langsung masuk kamar dan
mengurung diri. Sang ibu hanya menarik nafas dalam. Terpaksa si ibu yang
mengantar air minum.
*****
Waktu berlalu
sekarang memasuki musim kemarau. Kemarau belum begitu lama. Namun sungai,
lebung, paya-paya dan tempat penampungan air sudah kekeringan. Penduduk
terpaksa menggali tanah di dasar sungai kering untuk mendapatkan air bersih.
Kemudian memasuki musim hujan. Hujan belum begitu lebat tapi sudah banjir saja.
Begitupun tahun berikutnya, kemarau panjang dan air kering kembali. Sementara
itu, Bukit Pendape telah gundul dan menjadi ladang masyarakat semuanya.
Memasuki musim
penghujan tahun itu, untuk pertama kalinya banjir bandang melanda. Banyak
yang menjadi korban. Beberapa talang terdekat hancur dilanda banjir bandang.
Musim kemarau datang kembali, belum begitu lama, air telah menghilang. Lalu
tahun berikutnya lebih kering karena kemarau cukup panjang. Ribuan orang
meninggal dunia akibat wabah kolera, sebab sering mengkonsumsi air kotor.
Para tetua
masyarakat, para datu-datu talang, dan para puyang lainnya bermusyawarah.
Mencari tahu apa yang menyebabkan bencan-bencana menimpa kawasan Pedatuan
Dataran Negeri Bukit Pendape. Apa sumber masalahnya, bahkan mereka mulakukan
sedekah bumi dengan menyembelih puluhan ekor sapi. Namun tahun berikutnya,
banjir bandang kembali melanda. Merusak tanaman dan menghancurkan
pemukiman penduduk. Kembali ribuan orang mati.
Kemarau kembali
datang tahuntahun berikutnya dan kembali wabah penyakit kolera lagi, diare
menyerang dan ribuan orang mati. Kelaparan juga menjadi bencana tidak kalah
berat. Akibat kekurangan air, maka mereka kurang mendapat makanan. Begitulah
bencana melanda dan melanda. Entah apa sebabnya, semua tidak dapat menjawabnya.
******
Nun jauh di
hutan-hutan di atas bukit barisan. Ribuan orang pasukan suku kubu berbaris
mencari makanan menuju Pedatuan Dataran Negeri Bukit Pendape. Mereka ingin
menjarah, menyerang dan menghancurkan Negeri Bukit Pendape. Mereka bersenjata
tombak, panah, dan pedang, berjalan tanpa lelah. Mereka memiliki pasukan
bergajah. Rupanya suku Kubu mampu menjinakkan gajah liar yang banyak terdapat
di hutan Sumatera.
Tibalah pasukan Suku
Kubu di perbatasan wilayah Pedatuan Dataran Negeri Bukit Pendape. Pasukan
penjaga menghadang dan dimulai perang. Pasukan penjaga mengirim kabar ke Puyang
Datu Pedatuan Dataran Negeri Bukit Pendape. Mengetahui kabar tersebut, Puyang
Datu mengumpulkan para hulubalang, prajurit, para tetua, dan segenap rakyat.
Mengumumkan kalau sekarang dalam keadaan darurat perang. Mereka bermusyawara
mencari panglima perang sebagai pemimpin sentral pasukan yang akan memimpin
pasukan pedatuan.
“Kita sedang mendapat
musibah, kelaparan dan kekurangan air. Sekarang ada pasukan kubu yang liar
hendak menyerang.” Kata Depati dengan sedihnya. Para tetua, dan masyarakat
menyemangati Depati, meminta beliau tetap kuat, sebab semunya setia dan
mendukung depati. Dalam musyawarah besar itu, berkatalah datu pada sekalian
yang hadir.
“Barang siapa yang
dapat mengangkat, menggunakan dan memainkan Pusaka Pibang Sakti milik pedatuan,
maka dialah yang akan memimpin perang besar ini. Di persilahkan kalian satu
per-satu mengangkat pibang dari dalam kotak, bergantian." Jelas Puyang
Pedatuan.
Maka bergiliranlah
kaum laki-laki mengangkat pibang sakti. Dimulai dari Puyang Pedatuan, Para Datu
talang, para Puyang, para prajurit dan hulubalang, rakyat termasuk Puyang
Salikuliku, dan anak-anaknya. Seluruh kaum laki-laki dari usia tua sampai usia
lima tahun. Semua orang kaum laki-laki sudah namun tidak ada yang dapat
mengangkat pibang sakti itu. Kini dipersilahkan kaum wanita untuk mengangkat.
Kaum wanita juga
dimulai dari istri Puyang Depati Pedatuan, Istri Puyang-puyang lainnya.
Termasuk istri Puyang Salikuliku dan semua istri orang berpengaruh dan lainnya.
Dari nenek-nenek,
ibu-ibu, dan para gadis tapi tidak ada yang dapat mengangkat Pibang Pusaka.
Semua menjadi cemas, karena tidak mendapatkan orang yang dapat mengangkat
Pibang pusaka. Menurut mereka akan kalah perang melawan pasukan Kubu yang sudah
berada di perbatasan Pedatuan Dataran Negeri Bukit Pendape.
“Kita akan berperang
tanpa Pibang Pusaka, tetap akan menang Puyang. Kita bersatu dan melawan pasukan
orang Kubu itu.” Kata Jujuka berapi-api. Jujuka berdiri di samping Puyang
Pedatuan, menyatakan kalau dia siap berperang sampai titik darah penghabisan.
Perkataan Jujuka disambut gemuru oleh semua lapisan masyarakat dan prajurit
Pedatuan. Para hulubalang juga berkata demikian. Maka mereka semua bertekad bulat
untuk berperang dan memenangkan peperangan.
“Mereka menyerang
kita, karena hendak merampas negeri kita. Hendak merampas anak perempuan dan
istri kita. Maka kita akan melindungi keluarga kita dan kita akan menghancurkan
mereka.” Ujar Datu Talang Gajah Mati ikut berorasi membakar semangat pasukan
dan semangat masyarakat.
Semua berteriak
perang, mencabut pibang masing-masing dan mengacungkan ke atas. Teriakan
bergemuru dan mereka mulai mengatur barisan dan siap bergerak ke perbatasan
menyonsong penyerang, Suku Kubu. Pasukan diatur, ada pasukan yang berjaga
disekeliling perbatasan, agar tidak ada serangan dari belakang. Orang tua,
wanita dan anak-anak diungsikan. Menjelang sore hari, dua pasukan berhadapan di
perbatasan Pedatuan Negeri Bukit Pendape. Tanah lapang dan berbukit menjadi
medan perang.
“Puyang Pedatuan,
harap segerah mengirim bantuan. Pasukan perbatasan kita kewalahan. Mungkin
tidak dapat bertahan lama, kalah jumlah. Hulubalang Muntaka juga terluka di
paha kiri terkenah panah lawan.” Lapor seorang prajurit. Puyang segerah memberi
isyarat pada semuanya untuk segerah mengambil tempat yang sudah direncanakan.
Pasukan panah, pasukan tombak, pasukan penyergap, dan pasukan pemancing. Perang
dahsyat terjadi antara rakyat Pedatuan Dataran Negeri Bukit Pendape dengan
pasuka Kubu dari Bukit Barisan.
*****
Sementara itu, Putri
Salabure bangun dari tidurnya. Mengucak-ucak matanya yang merah. Lalu merapikan
rambut dengan ikat songket. Rambut yang panjang hitam dia sisir rapi. Berderik
pintu kamar saat dia membuka dan kedapur untuk meminum. Beberapa kali dia
manggil keluarganya, ayah, ibu, kakak-kakak satu demi satu dia panggil. Tapi
keadaan sepi dan hening, begitupun disekitar rumahnya. Berdiri di jendela dapur
Putri Salabure menatap ke tengah pemukiman Talang Manau yang tampak sepi.
Kemudian muncul
sepuluh orang laki-laki berlari-lari tergesah-gesah membawa perlengkapan
perang, tombak, panah, dan pibang. Dari jauh dia melihat lelaki tua seumuran
ayahnya melompat turun dari serambi rumah panggung tanpa melewati tangga yang
diiringi dua orang anak laki-lakinya, Uwa Nantata. Mereka juga berlari dengan
alat perang.
Talang Manau kemudian
gaduh muncul kaum ibu-ibu, semuanya dari arah Kota Pedatuan. Mereka kemudian
sibuk masuk kerumah dan membawa buntalan pakaian. Ada yang menggendong padi,
membawa peralatan masak.
Ibu Putri Salabure
datang, naik tangga rumah tergesah-gesah. Juga membuat gerakan yang sama, sibuk
berbenah seperti orang mau pindah. Butalan pakaian, senjata perang, garam dan
batu api. Beras dan bumbu dapur, periuk dan lainnya.
“Ada apa Umak, sibuk semua orang Talang?. Tanya
Putri malas.
“Dah siap-siaplah,
kita nak pegi mengungsi. Negeri kita diserang Kubu dari Bukit Barisan.” Ibu
Putri Salabure menceritakan semua yang terjadi. Mulai dari kedatangan pasukan Suku
Kubu, pencarian pemimpin yang dapat menggunakan Pusaka Pibang Sakti di istana
Pedatuan. Barulah Putri Salabure mengerti.
Dia juga ikut
berbenah dan siap mengungsi. Ayah dan kakak-kakak sudah pergi berperang. Timbul
rasa khawatir dan takut kalau orang-orang yang dia cintai terjadi sesuatu.
Membuat Putri Salabure menangis sambil mengingat ayah dan kakak-akaknya. Ibunya
hanya mengurut dada dan meminta agar putri bersabar dan cepat pergi. “Ibu
mengerti, tapi kita harus segerah pergi. Ini perintah ayahmu.” Katanya.
*****
Perang terjadi dan
kedua belah pihak sama ganas. Sudah banyak korban di pihak suku Kubu. Namun
mereka tidak mau menyerah. Mereka terus membabi buta, dan sekarang mulai
menggerakkan pasukan gajah mereka. Orang kubu terkenal dengan teknik penaklukan
gajah. Sehingga mereka memiliki pasukan gajah. Pasukan pedatuan terpaksa
bertahan dengan cara menyerang, mundur, bertahan, menyerang, mundur, bertahan.
Sehingga terus
terdesak oleh kekuatan Suku Kubu. Malam menjelang dan perang berhenti. Keesokan
pagi kembali peperangan berkobar. Seperti kemarin untuk menghadapi pasukan
gajah terpaksa menerapkan setrategi gerilya. Menjelang sore pasukan Pedatuan
Bukit Pendape terdesak hebat. Maju mereka binasa oleh pasukan gajah, mundur
bukit terjal dan sungai-sungai. Sehingga gerak pasukan Bukit Pendape sempit.
Teknik bertahan, menyerang, dan mundur tidak efektif lagi. Maka perang prontal
terpaksa diterapkan. Tentu saja pasukan Pedatuan perlahan kalah dan berjatuhan
korban di pihak Pedatuan Bukit Pendape.
“Koyong, awassss.
Arah belakang!!!. Teriak Pulana. Jujuka mengelak, lemparan tombak lewat. Tapi
kembali ada bayangan melompat membabat dengan pedang, ditangkis. Jujuka kembali
diserang dua orang dengan tombak. Melihat Jujuka dikeroyok, Pulana berlari
membatu. Sehingga mereka dapat mengalahkan lima penyerang itu. Habis itu,
kembali berdatangan pasukan suku kubu yang lainnya. Menyeruak dari semak-semak,
mengelilingi. Membuat kakak beradik itu sangat kerepotan. Orang Kubu sangat
ganas dan tidak ada belas kasihan.
Lindu datang membatu,
dan keadaan agak berimabang. Namun kembali bertambah pasukan suku kubu itu.
Kini ketiganya dikepung lima puluhan orang. Mereka melihat sekeliling sudah
tidak ada lagi pasukan Pedatuan bersama mereka. Semuanya sudah terkapar tewas.
Sedangkan pasukan bantuan tidak ada.
Serangan mendadak,
serentak, dengan kepungan tentu membuat mereka tidak dapat menghindar,
menangkis sekaligus. Beberapa sayatan dan tebasan mengenai tubuh mereka
masing-masing. Mereka bertiga bergandengan belakang dan tubuh mulai basah oleh
keringat dan darah. Mereka sudah tidak berharap hidup lagi.
“Heeeaaaaa. Crass,
trang, trang, trang. Teriakan dahsyat dan bayangan hitam melompat menyerang.
Pedang-pedang pasukan kubu yang berbenturan dengan senjata si bayangan hitam
putus. Lalu si bayangan hitam menyabet balik lima orang pasukan kubu roboh.
Kembali bergemuru pertarungan hidup mati. Tapi lain dengan si bertopeng hitam
dan senjatanya yang hebat. Beberapa gerakan saja puluhan orang tewas tertebas.
Sisanya berlari dan menghilang dikelebatan hutan.
“Koyonngg.” Suara si
topeng hitam terdengar lembut dan bercampur tangis. Tahulah mereka kalau itu
adik bungsu mereka yang manja, Putri Salabure. Melihat senjata pibang emas,
semua mengenali kalau itu pibang sakti. Melihat itu, Depati mengangkat Putri
Salabure menjadi panglima.
Pertarungan terus
berlangsung keesokan harinya. Kini Putri Salabure dinobatkan menjadi panglima
pasukan Pedatuan Bukit Pendape. Ternyata sebelum pergi mengungsi, Putri
Salabure mencoba mengagkat Pibang Pusaka di istana Pedatuan. Ternyata dia bisa
dan segerahlah dia menyusul ke medan perang.
Putri Salabure dianugerahi
gelar, Puyang. Semua pasukan mematuhi komando Puyang Putri Salabure. Kali ini
mereka menyerang balik pasukan suku Kubu diwaktu pajar. Mendapat serangan mendadak
dan keadaan tidak begitu siap. Membuat pasukan kubu kalang kabut. Gempuran
terus tak berhenti. Matahari yang cerah disambut jeritan dan teriakan dahsyat
peperangan.
Pasukan gajah tidak
berdaya saat berhadapan dengan pusaka Pibang Sakti. Satu sabetan membuat kaki
gajah putus atau perutnya robek. Putri Salabure seperti elang sekarang.
Kesaktiannya bertambah dengan memainkan Pibang Sakti. Menjelang sore, pasukan
suku kubu hancur. Pimpinannya tewas ditangan Puyang Putri Salabure. Maka
berakhirlah peperangan.
Kemenangan dipihak
Pedatuan Negeri Bukit Pendape. Sejak saat itu, Puyang Putri Salabure diakui
sebagai panglima pedatuan. Dia dihormati dan mendapat tunjangan hidup sebagai
seorang pembesar lainnya. Kehidupan kembali normal di Pedatuan. Namun bencana
belum berakhir.
Kembali kemarau
datang dan korban berjatuhan kembali. Nahas tahun ini Puyang Salikuliku juga
terkenah wabah dan dia meninggal dunia. Kesedihan mendalam di hati Puyang Putri
Salabure dan keluarganya. Dari itu, dia bertekad mengakhiri bencana yang setiap
tahun terus melanda mereka.
Kemarau dengan
kekeringan parah, dan penghujan dengan banjir dan banjir bandang dari atas
Bukit Pendape. Dia kemudian mengadakan penyelidikan dan mengamati alam,
bertanya pada orang-orang tua tentang masa lalu dan masak sekarang. Setelah
melakukan penyelidikan maka ada kesimpulan yang Puyang Putri Salabure pahami.
1. Dahulu Bukit
Pendape hijau dan banyak pepohonan. Maka Bukit Pendape harus ditanami kembali.
Hutan harus di jaga sebab hutan penyimpanan air dan pengurai air hujan agar
tidak mengalir langsung saat hujan turun deras. Agar tidak terjadi banjir
bandang.
2. Saat musim
penghujan mereka pindah ke atas Bukit Pendape untuk menghindari banjir sungai
dan banjir bandang dari atas bukit. Saat musim kemarau mereka pindah ke hilir
didekat sungai karena masih dapat menggali sumur di dalam badan sungai yang
kering.
Dari kesimpulan
itulah mereka akhirnya terhindar dari bencana untuk pertama kalinya. Bukit
pendape kini mulai ditanam pepohonan dan tidak boleh ditebang apalagi dijadikan
ladang. Harus dijaga kelestarian hutan di atas bukit, di lereng bukit, dan
disekitar bukit.
*****
Waktu berlalu,
sekarang Puyang Putri Salabure dan ketiga kakak telah menikah. Mereka sekarang
sudah memiliki anak-anak. Benar saja, dalam waktu sepuluh tahun mereka mulai
mendapat hasil dari kegiatan mereka. Hutan yang mereka tanam sudah mulai lebat
kembali, dan kembali menyimpan air. Saat kemarau daerah hilir tidak langsung
kering sebab mata air masih mengalir hasil penyimpanan akar pohon di perbukitan.
Musim penghujan tidak
lagi terjadi banjir bandang. Karena air hujan telah terurai oleh pepohonan.
Sepuluh tahun kemudian, hutan di Bukit Pendape benar-benar lebat dan kembali
seperti dulu lagi. Sehingga kekeringan di Pedatuan Bukit Pendape hanya terjadi
apabila sudah kemarau yang sangat panjang. Kalau kemarau biasa, tebat, lebung,
Sungai Keruh, Sungai Sake, dan sungai lainnya tidak kering parah. Tidak ada
lagi wabah diare dan kolera dimusin kemarau. Bahagialah penduduk Pedatuan
Dataran Negeri Bukit Pendape.
*****
Puyang Putri Salabure
sekarang sudah tua, rambutnya sudah memutih. Suatu hari Puyang Putri Salabure
mengajak penduduk ke puncak Bukit Pendape. Mereka berjalan mendaki dan
melihat-lihat hutan yang lebat hasil tanaman mereka puluhan tahun lalu. Pohon
meranti, pohon unglen atau ulin, merbau, mangris sudah tampak besar. Sampai
sekarang pepohonan tersebut masih dapat dijumpai di atas Bukit Pendape.
Puyang Putri berdiri
dihadapan masyarakat yang ikut mendaki ke atas bukit. Dia berkata agar menjaga
Bukit Pendape, jangan dirusak hutannya. Karena akan mendatangkan malapetaka dan
bencana bagi seluruh penghuni Pedatuan Dataran Negeri Bukit Pendape. Pibang
sakti dia cabut lalu ditancapkan di tanah. Lalu dia bersumpah dengan suara
lantang menggema.
"Aku menyumpahi
segenap anak manusia di bumi. Terkhusus untuk anak cucuku yang mendiami Dataran
Negeri Bukit Pendape ini. Barang siapa menebangi hutan dan menyebabkan hutan
rusak. Atau orang menebang pohon karena keserakahan, untuk jual beli dengan
tujuan keuntungan pribadi. Barang siapa berbuat dosa, seperti berzina, berbuat
mesum, berjudi, mabuk-mabukan di hutan ini. Barang siapa yang membakar hutan,
Maka aku sumpahi semua keturunannya memiliki takdir yang buruk.Barang siapa
yang menjaga hutan, menjaga Bukit Pendape dan berbuat baik disini. Maka
kebahagiaan dan kesejahteraan untuk dirinya dan untuk kalian semua.” Begitulah
kutukan Puyang Putri Salabure.
Dari bekas tusukan
mata Pibang Sakti muncrat mata air. Mata air terus mengalir dan mengalir. Kelak
mata air menjadi sungai kecil yang mengalir terus di atas bukit. Sampai
sekarang sungai kecil itu masih ada. Dapat dijumpai di kawasan Bukit Pendape
saat kita berkunjung ke sana.
Seperti manusia
biasa, Puyang Putri Salabure meninggal dunia layaknya manusia biasa. Dari atas
kuburannya tumbuh sebatang pohon. Pada awalnya masyarakat ingin mencabutnya.
Namun diurungkan takut terjadi apa-apa. Setelah pohon itu besar berbua
bulat-bulat warna hijau. Saat masak berwarna merah dan bijinya asam manis.
Penduduk menamakan buah tersebut dengan nama, buah Salabure. Pohon Salabure
tumbuh tersebar di hutan-hutan.
Oleh. Joni Apero.
Palembang, 19 Januari 2019.
Arti kata:
Pibang: Senjata tradisional masyarakat Dataran Negeri Bukit Pendape. Pedatuan: sama dengan kabupaten pada masa sekarang. Pedatuan Dataran Negeri Bukit Pendape nama tradisional yang sekarang meliputi wilayah seberang Kabupaten Musi Banyuasin.
Dari tebing Sungai Musi sampai ke perbatasan Kabupaten Musi Rawas dan Kabupaten PALI. Meliputi Kecataman Sungai Keruh, Kecamatan Jirak Jaya, Kecamatan Palakat Tinggi, sebagian kecamatan Sekayu, Sebagian kecaman lainnya yang sejajar lainnya.
Puyang: Pemimpin yang diangkat rakyat. Talang: Kampung/Desa. Datu: kepala desa/kepala dusun/pinpinan talang bahasa itu sebelum masuknya pengaruh hindhu dan budah. Umak: Ibu. Bak: Ayah.
1/20/2020
Herbathus. Herbal Alami Pengobatan dan Pencegahan Penyakit Asam Urat
Isi. 50 kapsul.
Badan POM TR 093399531.
Kontak. WA/HP. 089607544565.
Oleh. Asdi Merka. S.Hum.
Editor. Selita. S.Pd.
Palembang, 20 Januari 2020.
Sumber. Katalog Produk PT. Natural Nusantara.
RS. Sinov. Pengobat dan pencegahan Sakit Persendian. Osteoporosis dan Pengapuran
Isi. 60 Kapsul
Badan POM TR 133368911.
Kontak. HP/WA. 089607544565.
Oleh. Asdi Merka. S.Hum
Editor. Selita. S.Pd.
Palembang, 20 Januari 2020.
Herbastamina. Herbal Khusus Pria Berumah Tangga.
Isi. 60 kapsul.
Badan POM TR 113324141.
Kontak: WA/Hp. 089607544565.
Oleh. Totong Mahipal.
Editor. Selita. S.Pd.
Palembang, 20 Januari 2020.
Sumber. Katalog Produk PT. Natural Nusantara.